Kamis, Mei 23, 2013

24 Mei – Hari Biasa- (Sir. 6:5-17; Mrk. 10:1-12)  

Teks Kitab Suci
1 Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situ pun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula.2 Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?"3 Tetapi jawab-Nya kepada mereka: "Apa perintah Musa kepada kamu?"4 Jawab mereka: "Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai."5 Lalu kata Yesus kepada mereka: "Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,7 sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."10 Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu.11 Lalu kata-Nya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu.12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah." 

Renungan oleh 
Romo Surip, OFMCap

“Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, ia menulis surat cerai...” (Ul 24:1). Kata “tidak senonoh” sebagai alasan penceraian ditafsir berbeda-beda.Rabi Syammai berpendapat bahwa “tidak senonoh” berkaitan dengan sesuatu yang memalukan secara moral, terutama perzinahan.Rabi Hillel menafsir lebih longgar dan luas sekali hingga hal-hal sepele, seperti memecahkan piring makan, berbicara dengan laki-laki asing, berkata tidak sopan tentang hubungan dengan suaminya dan cerewet.Dengan demikian perceraian bisa terjadi karena alasan-alasan yang sangat sepele, bahkan tanpa alasan. Peraturan dalam Ul 24:1-4 diberikan Musa bukan untuk mengesahkan perceraian, tetapi membatasi akibat-akibat negatif dari tindakan para suami yang tidak bertanggungjawab terhadap isterinya. Musa bukan mengizinkan perceraian, tetapi melarang laki-laki menikahi lagi isteri yang diceraikannya, kalau isteri itu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain. Jadi, teks itu sudah mengandaikan adanya perceraian dan hanya menentukan formalitas hukum demi melindungi perempuan dari ketidakadilan. Karena malangnya nasib isteri yang diceraikan dan demi belaskasih terhadapnya, Musa menyuruh memberi surat cerai. Musa mengizinkan perceraian karena dipaksa kaum laki-laki Yahudi yang telah berdosa dan toleran terhadap tindakan-tindakan salah mereka.Toleran itu bukan berarti bahwa Musa membenarkan tindakan salah mereka, tetapi untuk mengatasi ketegaran hati orang Yahudi, membatasi praktek kejahatan dan melindungi kaum perempuan dari akibat buruk penceraian. 

Yesus menolak tegas dispensasi itu dan memaparkan perkawinan yang dikehendaki Allah dengan mengutip Kej 1:27; 2:24. Ia berkata: “...apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”Persatuan itu hubungan eksklusif, di mana mereka meninggalkan orang tuanya untuk menjadi satu daging sebagai suami-isteri, sehingga mereka bukan lagi dua melainkan satu. Menjadi satu daging berarti secara total dipersatukan dalam persatuan badani atau seks. Kata daging mengacu pada seluruh pribadi manusia, tetapi fokusnya adalah fisik.Persatuan badani itu tak terbatalkan dan tak ada satu hukum atau kuasa manusiawi dapat menceraikan dua orang yang sudah dipersatukan Allah.Setiap perkawinan adalah karya Allah dan mengungkapkan kehendak-Nya, sebab dalam relasi kasih mereka hadirlah Allah.Konsekuensinya, perceraian dan perkawinan lagi adalah zinah. Penegasan “menceraikan isterinya” pun menunjuk pada kesederajatan antara suami-isteri, sehingga bukan saja isteri yang harus setia pada suami, tetapi juga suami kepada isteri. Hanya dalam kesederajatan dan saling setia itulah mereka berelasi secara benar, sebab relasi yang merendahkan salah satu pihak tidak pernah mendatangkan persatuan. Sedangkan dengan isteri yang menceraikan suaminya dimaksudkan dengan isteri yang meninggalkan suaminya untuk kawin dengan laki-laki lain. Sebab hukum Yahudi tidak membenarkan isteri menceraikan suaminya.Itupun suatu zinah.Dengan demikian perceraian memang tidak dimungkinkan dan suami-isteri harus selalu berusaha mengampuni dan berekonsiliasi. 

Mengapa kita kadang mempermainkan peraturan untuk memperoleh keuntungan pribadi?Yesus telah menyatakan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah tidak dapat diceraikan manusia. Apa mau kita sekarang?

Tidak ada komentar: