Kamis, Februari 25, 2010










MEMBACA LIMA KITAB PERTAMA ALKITAB I : Pengantar Umum – Kitab Kejadian

V. Indra Sanjaya, Pr
Cet.5, 2003, 125 x 185 mm, 172 hlm, KANISIUS
Harga Rp 26.000,-
Harga Member Rp. 23.400,- (disc 10%)
Kategori : Kitab Suci
ISBN : 979-21-0377-5


Buku ini adalah tentang Pentateukh yang merupakan lima kitab pertama dari Alkitab kita. Kendati minat umat beriman terhadap Alkitab semakin hari semakin meningkat, rasanya keakraban mereka lebih terbatas pada tulisan-tulisan Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil. Lalu, mengapa Perjanjian Lama kurang diminati? Salah satu kemungkinannya adalah kurangnya kepustakaan tentang Perjanjian Lama yang bisa membantu umat. Untuk maksud itulah buku ini hadir!

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428

Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org










ROH BAIK DAN ROH JAHAT
Paul Suparno, S.J
Cet.13, 1998, 125 x 190 mm, 120 hlm, KANISIUS
Harga Rp 18.000,-
Harga Member Rp. 16.200,- (disc 10%)
Kategori : Rohani
ISBN : 978-979-672-255-6


Hidup kita sehari-hari dipengaruhi oleh roh baik dan roh jahat. Roh jahat atau kuasa setan membujuk orang untuk melakukan kejahatan, sedangkan roh baik, roh dari Tuhan, mendorong orang untuk berbuat kebaikan. Akan tetapi, persoalannya ialah tidak mudah untuk membedakan apakah gerakan yang mendorong hati kita itu dari roh baik atau roh jahat, karena roh jahat sering kali menyamar sebagai roh baik agar dapat mempengaruhi orang dan pelan-pelan menjerumuskannya ke dalam kejahatan. Apalagi di zaman modern ini, dimana kebaikan dan kejahatan bercampur aduk sulit dibedakan, kita pun sering menjadi semakin bingung. Dalam buku ini penulis mencoba mengurai secara praktis bagaimana kita dapat belajar membedakan gerakan roh yang mempengaruhi hidup kita berdasarkan Latihan Rohani St. Ignatius, dan memberikan banyak contoh dari kehidupan kita sehingga isi buku ini mudah dimengerti.

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428

Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org










HARAPAN DAN CINTA DARI USKUP UNTUK IMAMNYA
Penyunting: Agustinus Surianto Himawan, Pr
Cet.1, 2010, 140 x 210 mm, 169 hlm, OBOR
Harga Rp 35.000,-
Harga Member Rp. 31.500,- (disc 10%)
Kategori : Rohani
ISBN : 979-565-532-9


Buku ini menyajikan sharing pengalaman (suka, duka, dan harapan) dari pada para Uskup dalam menggembalakan umat bersama para imam sebagai rekan kerjanya. Para Uskup diminta untuk mengungkapkan isi hatinya masing-masing, dengan penekanan terutama berkaitan dalam hal relasi antara Uskup dengan para imamnya, dalam konteks dan situasi di masing-masing Keuskupan.

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428

Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org










SANTO YOHANES BOSCO
Jeremias Jena
Cet.1, 2010, 110 x 175 mm, 134 hlm, OBOR
Harga Rp 24.000,-
Harga Member Rp. 21.600,- (disc 10%)
Kategori : Rohani
ISBN : 979-565-527-2


Santo Yohanes Bosco atau lebih akrab dipanggil dengan nama Don Bosco adalah seorang imam yang terpanggil sejak usia 9 tahun lewat sebuah mimpi. Mimpi ini begitu penting dan dihayati oleh Santo Yohanes Bosco sepanjang hidupnya sebagai momen Allah menyatakan kasih dan kehendak-Nya lewat perantaraan Putra-Nya sendiri dan Bunda Maria. Don Bosco mendirikan kongregasi istimewa untuk melayani kaum muda yang bernama Serikat Salesian – yang kini tersebar di seluruh dunia. Gereja mengangkatnya sebagai “Pelindung Kaum Muda”.

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428

Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org










GUE AKRAB DENGAN YESUS KATA SIAPA?
Joseph Landri
Cet.1, 2010, 110 x 175 mm, 179 hlm, OBOR
Harga Rp 28.000,-
Harga Member Rp. 25.200,- (disc 10%)
Kategori : Rohani
ISBN : 979-565-529-9


Buku ini menyajikan kisah-kisah yang nyata terjadi dalam keseharian hidup umat beriman yang telah dibaptis dalam nama-Nya, bahkan dengan lantang mengaku diri akrab dengan Yesus, padahal hati, pikiran, dan tindakan hariannya jauh dari Kristus. Aneka peristiwa yang dikisahkan dalam buku ini bisa menjadi cermin dan bahan refleksi hidup Anda serta memberi Anda penegasan bahwa jangan pernah mengaku akrab dengan-Nya kalau belum benar-benar meneladani sikap hidup-Nya.

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428

Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org









PERSONAL NOTES BERNADETTE SOUBIROUS
Penerjemah: Lucia Andriani
Cet.1, 2010, 110 x 160 mm, 85 hlm, OBOR
Harga Rp 32.000,-
Harga Member Rp. 28.800,- (disc 10%)
Kategori : Rohani
ISBN : 979-565-528-0


Buku catatan kecil yang berisi catatan pribadi Bernadette Soubirous ini merupakan peninggalan paling berharga dari Santa Bernadette yang disimpan dalam arsip Biara St. Gildard di Nevers – disamping cerita riwayat penampakan Bunda Maria di Lourdes. Buku ini berisi, antara lain, catatan atas ungkapan hati dan doa-doa yang sangat indah untuk Tuhan Yesus dan Bunda Maria, juga kepada para orang kudus.

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428

Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org

Senandung Mazmur

TIDAK ADA ALASAN UNTUK TIDAK BERSYUKUR
Jarot Hadianto

“Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik!” (Mzm. 118:1)

Dalam doa-doanya, sering kali manusia menyerbu Tuhan dengan banyak permohonan. Semua diminta dari-Nya, mulai dari hal-hal yang penting dan mendesak (mohon disembuhkan dari penyakit yang berat, misalnya), sampai pada hal-hal sepele yang sebenarnya bisa diusahakan sendiri (misalnya, mohon dibantu untuk menemukan uang seribu rupiah yang terselip entah di mana). Tak terbayangkan, betapa repotnya Tuhan mengurusi kita, orang-orang yang banyak maunya ini. Tapi ini tentu saja bukan gejala yang baru muncul. Buktinya, kitab Mazmur yang ditulis zaman dahulu kala pun didominasi oleh mazmur-mazmur permohonan.
Namun, tidak demikian halnya dengan Mzm. 118. Mazmur ini beda; bukan permohonan yang disampaikannya, melainkan puji syukur yang dipanjatkan dalam suatu ibadat yang meriah. Dari situ saja kita sudah dapat memetik sebuah pesan berharga: jangan hanya bisa menuntut; kita juga harus bisa bersyukur. Saya ingin sekali mengajak Anda sekalian untuk mengidungkan sekaligus mendalami makna mazmur yang indah ini.

Semua orang mesti bersyukur
Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Biarlah Israel berkata: “Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!” Biarlah kaum Harun berkata: “Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!” Biarlah orang yang takut akan TUHAN berkata: “Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!”

Ajakan untuk bersyukur atas segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita menjadi pembuka Mzm. 118. Dasar dari ajakan ini adalah pengakuan bahwa Tuhan itu baik. Segala yang diciptakan-Nya baik, Ia juga menghendaki agar semua ciptaan-Nya hidup dalam keadaan baik. Karena itulah Ia melimpahi kita sekalian dengan berkat dan kasih setia. Dalam segala situasi, Ia mendampingi kita dan berkenan menghadirkan keselamatan bagi kita. Pemazmur sungguh mengimani hal itu. Ia mengajak Israel (umat Allah), kaum Harun (para imam), dan orang yang takut akan Tuhan (di luar dua kelompok yang disebut sebelumnya) untuk memiliki iman yang sama. “Semua orang, siapa saja,” demikian seru pemazmur, “hendaknya mensyukuri kebaikan Tuhan dan beriman kepada-Nya!”

Tiga kesaksian tentang kebaikan Tuhan

Tapi benarkah Tuhan itu baik? Mereka yang hidupnya penuh dengan kebahagiaan, berlimpah dari segi materi, dan disayangi orang-orang di sekitarnya dengan segera akan mengamininya. Namun, tidak demikian halnya dengan mereka yang hidupnya pahit dan penuh dengan penderitaan. Jumlah orang yang keadaannya demikian sangat besar, bahkan bisa jadi kita termasuk di dalamnya. Beban kehidupan yang berat membuat mereka sulit tersenyum. Masalah yang datang tak berkesudahan tidak membuahkan tawa, melainkan cucuran air mata. Seruan pemazmur pastilah akan mereka sambut dengan cibiran. Bersyukur atas kebaikan Tuhan? Kebaikan yang mana?
Sebelum kita ikut-ikutan pesimis memandang kehidupan ini, baiklah kita mendengar tiga kesaksian berikut, yang hendak menunjukkan bahwa kesulitan hidup bukanlah alasan untuk tidak bersyukur. Inilah tiga kesaksian dari orang-orang yang menjalani kehidupan yang tidak mudah. Pengalaman mereka begitu dekat dengan pengalaman kita sehari-hari. Yang mereka alami bahkan bisa jadi jauh lebih parah, sebab situasinya demikian kritis. Mereka terjepit, seakan-akan tak ada lagi jalan keluar. Tapi ternyata dugaan itu salah. Dalam situasi sulit, Tuhan hadir dan berkenan menyelamatkan mereka, memberi mereka kemenangan. Tindakan Tuhan itu sungguh dahsyat; kebaikan-Nya tiada tara. Orang-orang itu terharu dan mensyukuri kebaikan Tuhan tiada henti.

Dalam kesesakan aku telah berseru kepada TUHAN. TUHAN telah menjawab aku dengan memberi kelegaan. TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku? TUHAN di pihakku, menolong aku; aku akan memandang rendah mereka yang membenci aku. Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada manusia. Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada para bangsawan.

Kesaksian yang pertama disampaikan oleh seorang yang mengalami kesesakan hidup. Dengan sebab-sebab yang tidak dijelaskan, ia dibenci oleh orang lain. Karena itulah ia menderita, gerak-geriknya menjadi terbatas karena selalu ditanggapi secara negatif. Kepada siapa ia dapat mengadu? Apakah kepada para bangsawan, yang hartanya melimpah dan karenanya punya pengaruh yang kuat? Orang yang merasa diri hina ini memilih bersikap takwa; ia berserah diri kepada Tuhan. Iman itu ternyata tidak sia-sia. Dengan cara yang juga tidak dijelaskan – tapi yang pasti membuat orang itu terheran-heran – Tuhan menolong dia dan memberinya kelegaan. Ia pun bersukacita, sebab Tuhan senantiasa mendengarkan keluh kesah orang kecil dan lemah.

Segala bangsa mengelilingi aku -- demi nama TUHAN, sesungguhnya aku pukul mereka mundur. Mereka mengelilingi aku, ya mengelilingi aku -- demi nama TUHAN, sesungguhnya aku pukul mereka mundur. Mereka mengelilingi aku seperti lebah, mereka menyala-nyala seperti api duri, -- demi nama TUHAN, sesungguhnya aku pukul mereka mundur.

Kesaksian yang kedua cocok bila lahir dari pengalaman seorang raja atau panglima pasukan yang terjun di medan perang. Bangsa-bangsa bersekutu untuk menghancurkan dia. Pasukan musuh yang demikian kuat mengepung dia dan siap mencabut nyawanya. Mereka seperti lebah dengan sengatnya yang mematikan, atau seperti api yang menghanguskan. Baginya tak ada lagi jalan keluar. Dari sudut pandang manusia, raja atau panglima itu sudah pasti akan hancur remuk, tewas di tangan musuh dengan cara yang mengenaskan.
Namun, betapapun banyak pasukan musuh, betapapun kuatnya mereka, pahlawan kita ini tidak merasa gentar. Ia boleh saja dipandang kecil dan lemah, tapi dengan keyakinan yang teguh akan penyertaan Tuhan, ia maju menyongsong musuh. Dan, penyertaan Tuhan memang terbukti bersamanya. Musuh yang hebat itu akhirnya takluk kepadanya. Pengalaman ini mengingatkan kita pada kisah Daud dan Goliat (lih. 1Sam. 17). Daud adalah seorang muda yang tak punya pengalaman perang. Berhadapan dengan Goliat yang perkasa, ia berseru, “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam…” (1Sam 17:45). Dan, Goliat pun dikalahkannya.

Aku ditolak dengan hebat sampai jatuh, tetapi TUHAN menolong aku. TUHAN itu kekuatanku dan mazmurku; Ia telah menjadi keselamatanku. Suara sorak-sorai dan kemenangan di kemah orang-orang benar: “Tangan kanan TUHAN melakukan keperkasaan, tangan kanan TUHAN berkuasa meninggikan, tangan kanan TUHAN melakukan keperkasaan!” Aku tidak akan mati, tetapi hidup, dan aku akan menceritakan perbuatan-perbuatan TUHAN. TUHAN telah menghajar aku dengan keras, tetapi Ia tidak menyerahkan aku kepada maut.

Kesaksian yang ketiga agaknya disampaikan oleh seorang yang bukan hanya dibenci, tapi lebih lagi juga ditolak oleh orang lain. Padahal, tak sedikit pun kesalahan ada pada dirinya. Orang-orang menolaknya begitu hebat, sampai-sampai ia jatuh dan tak dapat bangun lagi. Ini mau menggambarkan bahwa untuk bertahan hidup, orang ini sudah berada di batas kemampuannya. Tinggal selangkah lagi, ia akan jatuh ke tangan maut.
Namun hal itu tidak terjadi. Pada saat yang genting, Tuhan mengulurkan tangan dan menolongnya. Penyelamatan Tuhan sungguh luar biasa, hati orang ini pun bersukacita karenanya. Ia memuji-muji keperkasaan Tuhan dengan menyanyikan sebuah lagu, yakni lagu yang dulu dinyanyikan Musa setelah memimpin bangsa Israel menyeberangi Laut Teberau (Kel. 15:1-21). Pengalaman diselamatkan Tuhan dihayati orang ini sebagai panggilan untuk menjadi saksi kebaikan-Nya. Ia bertekad untuk terus menceritakan perbuatan-perbuatan Tuhan kepada orang lain dengan harapan agar kasih setia Tuhan itu dirasakan juga oleh mereka.

Bukakanlah aku pintu gerbang kebenaran, aku hendak masuk ke dalamnya, hendak mengucap syukur kepada TUHAN. Inilah pintu gerbang TUHAN, orang-orang benar akan masuk ke dalamnya. Aku bersyukur kepada-Mu, sebab Engkau telah menjawab aku dan telah menjadi keselamatanku.

Banyak orang memohon-mohon bantuan Tuhan, tapi setelah permohonan itu dikabulkan, Tuhan lalu dilupakan begitu saja. Yang begitu itu adalah model orang yang gampang meminta, tapi sulit bersyukur. Tidak demikian halnya dengan orang-orang yang kesaksiannya telah kita dengar di atas. Kebaikan Tuhan meresap dalam hati mereka dan – karena begitu luar biasa – akan mereka ingat untuk selamanya. Mereka pun menghadap Tuhan di Bait Allah untuk memanjatkan syukur. Syukur bahwa Tuhan peduli kepada orang-orang yang kecil dan lemah; syukur bahwa Tuhan sudi membebaskan mereka dari duka, derita, sengsara, dan ancaman maut. Dengan itu mereka bersaksi bahwa situasi sesulit apapun tidak menjadi halangan bagi manusia untuk bersyukur. Situasi yang sulit justru menjadi “celah” bagi Tuhan untuk menunjukkan kekuasaan dan kebaikan hati-Nya!

Kisah tentang batu penjuru
Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru. Hal itu terjadi dari pihak TUHAN, suatu perbuatan ajaib di mata kita.

Masih dalam konteks mengucap syukur, terungkaplah sebaris kalimat yang di kemudian hari menjadi sangat terkenal: “Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru.” Orang-orang yang dulunya bernasib malang itu menggambarkan diri mereka sebagai batu yang dibuang tukang-tukang bangunan, yakni masyarakat di sekitarnya. Tukang-tukang bangunan membuang batu yang menurut pandangan mereka rapuh, mudah pecah, dan tidak berharga. Tapi Tuhan punya pendapat berbeda. Diambil-Nya batu yang tercampak itu, lalu dijadikan-Nya batu penjuru, batu yang membuat sebuah bangunan dapat berdiri dengan kokoh. Sudut pandang manusia rupanya berbeda dengan sudut pandang Allah. Yang tidak berharga di mata manusia, justru bernilai tinggi di hadapan-Nya.
Perjanjian Baru sangat menggemari ungkapan tersebut di atas dan menerapkannya pada diri Yesus (lih. Mat. 21:42; Mrk. 12:10; Luk. 20:17; Kis. 4:11; Ef. 2:20; 1Ptr. 2:7). Memang secara keseluruhan, Mzm. 118 adalah salah satu teks Perjanjian Lama yang membantu para murid dan segenap pengikut Yesus untuk memahami sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya. Gereja memandang Mzm. 118 sebagai “Mazmur Paskah” atau “Mazmur Kebangkitan”. Mazmur ini, menurut Gereja, mengungkapkan bagaimana dalam diri Yesus Kristus, Allah mengubah derita dan kematian menjadi sukacita yang penuh dan melimpah.
Yesus mati tergantung di kayu salib. Ditinggal pergi Sang Guru dengan cara demikian, para rasul seketika menjadi bingung dan terpukul. Bukan hanya mereka, perasaan yang sama juga berkecamuk di hati banyak orang yang selama ini mengikuti Dia dan percaya kepada-Nya. Sebelumnya, kehadiran Yesus memang menarik perhatian masyarakat luas. Firman-Nya menyejukkan jiwa dan memberi harapan. Ia juga membuat banyak mukjizat yang memesona sekaligus menyelamatkan. Tak heran, masyarakat lalu memandang-Nya sebagai Mesias yang pada saatnya nanti akan memimpin bangsa itu melawan penjajah Roma. Tapi apa mau dikata, harapan itu tinggallah harapan. Yesus ditangkap, dihukum mati, dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir-Nya di ketinggian. Tragis dan menyedihkan. Mengapa Dia, orang yang sangat baik, bisa mati dengan cara seperti itu? Kematian dengan cara yang demikian mengerikan hanya dialami oleh orang yang dikutuk Tuhan!
Pasca-kematian Yesus, para murid yang guncang dan terpukul pun menjadi tercerai-berai. Mereka ketakutan dan berusaha bersembunyi dari kejaran lawan-lawan yang telah membunuh Guru mereka. Kisah perjalanan dua orang murid ke Emaus (Luk. 24:13-35) bahkan mengindikasikan bahwa kelompok murid Yesus sudah siap-siap membubarkan diri. Mereka berniat pulang ke tempatnya masing-masing untuk kembali menekuni pekerjaan sehari-hari yang dulu mereka tinggalkan.
Syukurlah hal itu tidak terjadi. Para murid lebih dulu dikejutkan oleh peristiwa demi peristiwa yang menakjubkan: makam kosong, kesaksian-kesaksian tentang penampakan Yesus, dan pada akhirnya Yesus sendiri menampakkan diri kepada mereka. Pemahaman akan teks Kitab Suci juga menyadarkan mereka bahwa kematian Yesus – juga kebangkitan-Nya – merupakan bagian dari rencana keselamatan yang sedang dikerjakan Allah (bdk. Luk. 24:25-27). Salah satu teks Kitab Suci yang menjadi bahan pertimbangan mereka tentu saja adalah Mzm. 118 yang kita kupas kali ini. Mazmur ini menyadarkan para murid bahwa kematian bukan akhir dari segalanya. Yesus yang disingkirkan oleh “tukang-tukang bangunan” telah diangkat oleh Tuhan, dibangkitkan, dan dijadikan-Nya batu penjuru yang sangat berharga. Setelah itu, para murid pun bangkit dari keterpurukan mereka. Sengsara dan kematian Yesus mereka lihat dengan sudut pandang baru. Tak ada lagi rasa kecewa, apalagi putus asa. Sebab, kematian Yesus justru menjadi awal pengharapan yang baru.

Penutup: Dalam segala situasi, bersyukurlah!
Meminta sesuatu kepada Tuhan tentu boleh saja. Bahkan permohonan kepada Tuhan kadang dilihat sebagai bukti iman seseorang kepada Dia yang senantiasa memperhatikan hidup manusia. Tentang hal ini, Yesus sendiri pernah berkata, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat. 7:7). Tapi, terlalu banyak meminta itu namanya “meminta-minta”. Meminta itu baik, meminta-minta tidak. Nah, agar kita tidak menjadi manusia peminta-minta yang merepotkan Tuhan dengan macam-macam tuntutan yang tidak perlu, baiklah kita melengkapi diri kita dengan dua hal, yakni semangat untuk berusaha dan – sebagaimana diajarkan oleh Mzm. 118 – semangat untuk bersyukur.
Pemazmur menyadari bahwa bersyukur bukanlah hal yang mudah. Hidup penuh dengan kepahitan, dan itulah yang menghalangi seseorang untuk sampai pada kesadaran bahwa Tuhan menyayangi dia. Namun, dengan Mzm. 118, pemazmur membantah anggapan bahwa rasa syukur hanya lahir dari diri orang yang hidupnya bahagia. Kesaksian-kesaksian dalam Mzm. 118 menunjukkan, justru orang-orang yang hidupnya penuh masalah, merekalah yang punya alasan kuat untuk menyampaikan syukur, sebab mereka mengalami penyelamatan Tuhan secara langsung.
Dalam peristiwa sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus, umat Kristen memperoleh contoh konkret bagaimana menjalani kehidupan yang tidak mudah ini. Duka dan derita selalu mengiringi kehidupan kita. Itu adalah hal yang wajar, bukan tanda bahwa Tuhan menjauhi, mengabaikan, atau menghukum kita. Dengan iman akan kebaikan hati-Nya, akan keselamatan-Nya yang senantiasa menyertai kita, kita tidak lagi melihat penderitaan sebagai aib, melainkan sebagai “sarana pengajaran”. Bukankah dengan menanggung derita kita menjadi lebih kuat, tegar, dan dewasa?
“Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru.” Ini menunjukkan bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu, termasuk dalam saat-saat kehidupan kita yang paling kelam sekalipun. Jika demikian halnya, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak bersyukur. Yang sedikit perlu kita lakukan hanyalah membuka hati. Sebab, sering kali penyelamatan Tuhan tidak kita rasakan bukan karena Ia tidak bekerja, melainkan karena kita tidak memberi-Nya kesempatan.***

Kepustakaan
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira.
Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 73-150. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Harun, Martin.
Berdoa Bersama Umat Tuhan: Berguru pada Kitab Mazmur. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Mays, James L.
Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll.
Psalms 2. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.
Suharyo, I.
Memahami serta Menghayati Mazmur dan Kidung. Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Jumat, Februari 19, 2010










CATHOLIC THE BEST WAY TO CHRIST
Tim Fidei Press
Cet.1, 2010, 135 x 200 mm, 208 hlm, FIDEI PRESS
Harga Rp 35.000,-
Harga Member Rp. 31.500,- (disc 10%)
Kategori : Rohani
ISBN : 978-602-8670-02-9


Mungkinkah Anda pernah bertanya, “Manakah Gereja sejati yang sungguh didirikan Yesus Kristus itu? Apakah Gerejaku saat ini? Atau Gereja lain?” Kisah-kisah pertualangan dan peziarahan iman tokoh-tokoh dalam buku ini memberikan kepada Anda jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Mereka menceritakan dengan lugas, mengalir, dan apa adanya petualangan iman mereka sampai mereka menemukan Gereja sejati yang mereka cari. Dengan membaca buku ini, Anda akan mengetahui mana sebenarnya Gereja sejati yang didirikan Yesus Kristus. Mari kita berpetualang bersama untuk menyingkap kebenaran ini.

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428

Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org

SURAT-SURAT KEPADA TUJUH GEREJA - Bagian 3

“TEMPAT TAKTHA IBLIS”
Surat kepada Jemaat di Pergamus (Why 2:12-17)


12 "Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Pergamus: Inilah firman Dia, yang memakai pedang yang tajam dan bermata dua: 13 Aku tahu di mana engkau diam, yaitu di sana, di tempat takhta Iblis; dan engkau berpegang kepada nama-Ku, dan engkau tidak menyangkal imanmu kepada-Ku, juga tidak pada zaman Antipas, saksi-Ku, yang setia kepada-Ku, yang dibunuh di hadapan kamu, di mana Iblis diam. 14 Tetapi Aku mempunyai beberapa keberatan terhadap engkau: di antaramu ada beberapa orang yang menganut ajaran Bileam, yang memberi nasihat kepada Balak untuk menyesatkan orang Israel, supaya mereka makan persembahan berhala dan berbuat zinah. 15 Demikian juga ada padamu orang-orang yang berpegang kepada ajaran pengikut Nikolaus. 16 Sebab itu bertobatlah! Jika tidak demikian, Aku akan segera datang kepadamu dan Aku akan memerangi mereka dengan pedang yang di mulut-Ku ini. 17 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, kepadanya akan Kuberikan dari manna yang tersembunyi; dan Aku akan mengaruniakan kepadanya batu putih, yang di atasnya tertulis nama baru, yang tidak diketahui oleh siapa pun, selain oleh yang menerimanya."

Sapaan bagi si teralamat (ay. 12a)
Seperti dua surat sebelumnya surat ini diawali dengan sapaan bagi si teralamat dan di sini si teralamat disapa sebagai malaikat jemaat di Pergamus. Pergamus merupakan pusat kebudayaan “kafir” yang menarik banyak peziarah untuk datang. Praktek penyembahan berhala marak terjadi, seperti ibadat penyembahan kepada dewa Zeus yang diyakini sebagai penyelamat dan kepada dewa Asclepius yang diyakini sebagai dewa penyembuh. Keberadaan dan kehadiran dewa-dewa itu biasanya disimbolkan dengan ular naga. Mungkin karena itulah Yohanes menyebut kota itu sebagai takhta Iblis (2:13) sebab ular naga melambangkan Iblis (Why 12:9). Cerita mukjizat penyembuhan melalui ibadat kepada dewa-dewa itu telah mengundang banyak peziarah datang baik yang berasal dari lingkungan sekitar maupun yang berasal dari jauh.
Ancaman bagi gereja di Pergamus tidak hanya berasal dari popularitas ibadat penyembahan berhala, tetapi juga berasal dari penyembahan kepada kaisar. Pada tahun 29 SM Pergamus menjadi kota pertama di Asia Kecil yang mendirikan kuil penyembahan kepada kaisar. Mengambil bagian dalam ibadat penyembahan kepada kaisar itu dipandang sebagai ungkapan semangat kebangsaan dan loyalitas politis. Oleh karena itu, menolak untuk menyembah kaisar sama artinya dengan menolak negara dan pemerintah. Penolakan orang-orang kristiani untuk menyembah kaisar itulah yang menyebabkan mereka dianiaya.


Identifikasi diri pemberi perintah (ay. 12b)
Setelah menyapa si teralamat, surat kemudian disusul dengan identifikasi diri Yesus yang memerintah kepada Yohanes untuk menulis surat. Yesus diidentifikasi sebagai, “Dia, yang memakai pedang yang tajam dan bermata dua” (2:12; bdk 1:16; 19:15). Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, identifikasi ini memperlihatkan peran Kristus yang telah dibangkitkan sebagai hakim atas gereja dan dunia.

Pujian dan kritikan (ay. 13-16)
Pada bagian pertama tubuh suratnya (ay. 13), Yohanes memuji jemaat kristiani di Pergamus karena mereka tetap setia kepada Kristus meski mereka berada di lingkungan yang tidak bersahabat dengan iman kristiani. Lingkungan itu dilukiskan sebagai “takhta iblis”, tempat Iblis berdiam. Ungkapan “takhta iblis” mungkin mengacu pada penyembahan kepada kaisar dan penyembahan kepada dewa-dewi yang memiliki pengaruh yang luar biasa di sana.9 Di tengah pengaruh lingkungan semacam ini, mengakui diri sebagai orang kristiani tidaklah mudah. Akan tetapi, tekanan, cemoohan, pengucilan, dan bahkan kemartiran Antipas tidak menggoyahkan iman mereka kepada Kristus. Siapakah Antipas? Terlepas dari apa yang dikatakan di sini kita tidak mengenalnya. Namun, yang pasti bahwa Antipas digambarkan sebagai orang yang setia kepada Kristus sehingga dia mati dibunuh. Kesetiaannya sebagai seorang saksi Kristus telah menyebabkan dia mati sebagai martir. Dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri dia memberikan kesaksian yang paling efektif tentang Tuhan yang diimaninya.
Pada bagian kedua, Yohanes mengeritik jemaat Pergamus (ay. 14-15). Mereka dikritik karena mereka gagal menolak ancaman yang datang dari dalam. Mereka toleran dengan pengajar-pengajar palsu. Beberapa anggota jemaat berpegang pada ajaran “Bileam.” Dalam tradisi Yahudi, Bileam dikenal sebagai nabi yang menyebabkan kemurtadan bagi orang-orang Israel (Bil 31:16). Dialah bertanggung jawab atas perzinahan laki-laki Israel dengan perempuan dari suku Moab (Bil 25:1-5). Yohanes di sini menyebut Bileam sebagai prototipe pengajar palsu yang menyesatkan jemaat kristiani pada awal kekristenan.10 Ajaran Bileam di pandang sebagai prototipe ajaran yang membawa penyesatan atau kemurtadan bagi orang-orang kristiani.
Menyebut Bileam sebagai contoh pengajar palsu mungkin terkait dengan adanya kemiripan antara persoalan di Peor dan di Pergamus. Ajaran Bileam dilukiskan dalam kaitannya dengan makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala-berhala dan dalam perzinahan yang mengingatkan kita pada perselingkuhan orang-orang Israel dengan perempuan-perempuan Moab (25:1). Mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi merupakan suatu praktek yang umum dilakukan. Bagian-bagian tertentu dari hewan kurban digunakan untuk kurban persembahan dan untuk diberikan kepada para imam yang bertugas di kuil-kuil. Bagian-bagian yang lain boleh dijual di pasar atau digunakan untuk perjamuan pesta. Hal itu memunculkan masalah bagi orang-orang kristiani (1Kor 8:1-13; 10:14-33) dan masalah inilah yang juga disapa oleh konsili Yerusalem (Kis 15:20, 29).
Jemaat Pergamus juga dikritik karena mereka berbuat zinah. Kata “zinah” dalam tradisi Yahudi memiliki makna yang luas. Kata itu tidak hanya dipahami dalam pengertian hubungan seksual yang bertentangan dengan hukum Musa tetapi juga dipahami secara metaforis, yakni ketidaksetiaan kepada Allah dengan menyembah berhala (Yer 2:1-3:9; Yeh 23; Hos 4:10-15). Pengertian metaforis inilah yang mendominasi penggunaan kata “zinah” dalam kitab Wahyu (14:8; 17:2, 4; 18:3, 9; 19:2; bdk 9:21; 21:8; 22:15) dan pengertian itulah yang juga dipakai di sini. Dengan demikian, masalah utamanya adalah partisipasi jemaat kristiani dengan budaya berhala di sekitar mereka. Segala bentuk partisipasi dengan budaya berhala dipandang sebagai batu sandungan bagi orang-orang kristiani dan karena itu harus dihindari.
Kritikan Yohanes itu tidak hanya diarahkan kepada para pengikut ajaran Bileam, tetapi juga kepada para pengikut ajaran Nikolaus. Ajaran Nikolaus tampaknya identik dengan ajaran Bileam. Namun, apa persisnya ajaran mereka tetaplah sebuah hipotesis bagi kita karena Yohanes tidak memberitahukannya secara jelas kepada kita. Sama seperti Bileam, ajaran Nikolaus tampaknya berkaitan dengan makanan yang dipersembahkan kepada berhala-berhala dan perzinahan.11 Mereka mungkin berpendapat bahwa orang-orang kristiani bebas makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala-berhala. Mereka mungkin mengulangi apa yang dikatakan oleh Paulus, “tidak ada berhala di dunia ini” (1Kor 8:4) dan mungkin juga mereka menerapkannya secara lebih jauh dengan mendukung penghayatan kebebasan seksual. Ajaran ini mungkin telah menyebabkan beberapa anggota jemaat bersikap lunak terhadap tradisi religius Yunani-Romawi, baik pesta berhala di kuil-kuil maupun pelanggaran seksual.12
Kritikan kepada para pengikut Bileam dan Nikolaus itu disusul dengan perintah untuk bertobat. Meski hanya dua kelompok yang dikritik, namun perintah untuk bertobat ini ditujukan kepada seluruh anggota jemaat. Perintah ini disusul dengan sebuah ancaman. Jika mereka tidak bertobat, “Aku akan memerangi mereka dengan pedang yang di mulut-Ku ini” (ay 16). Ancaman ini tidak boleh dipahami secara harafiah tetapi secara kiasan. Bahasa kiasan tentang Allah berperang melawan jemaat-Nya dapat juga dilihat dalam Perjanjian Lama (Yer. 21:5; Mzm 17:24; 35, 36). Senjata yang dipakai oleh Allah adalah pedang dari mulut-Nya, yakni sabda Allah itu sendiri. Hubungan antara pedang – sebuah gambaran umum tentang penghakiman (mis Rom 13:4) – dengan mulut mengisyaratkan bahwa Yesus akan menyampaikan kata-kata penghukuman bagi orang-orang yang tidak bertobat.


Panggilan untuk mendengar dan Janji bagi para pemenang (ay. 17)
Permintaan untuk bertobat disusul dengan janji bagi para pemenang. Di sini para pemenang dipahami sebagai orang-orang yang setia pada imannya kepada Yesus meski dipaksa dan diancam dan yang tidak makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala-berhala. Kepada mereka yang setia dan yang tidak makan makanan berhala inilah ditampilkan dua janji. Pertama, para pemenang akan diberikan manna yang tersembunyi. Manna adalah makanan yang diberikan secara ajaib oleh Allah kepada orang-orang Israel di padang gurun ketika mereka keluar dari Mesir (Kel. 16:4-36). Allah memerintahkan mereka untuk menyimpan segomer penuh manna dan disimpan di hadapan TUHAN (Kel 16:32-34). Menurut legenda Yahudi, Yeremia menyembunyikan manna dari hadapan orang-orang Babilon yang menaklukkan Yerusalem di dalam tabut perjanjian (2Mak 2:4-7; 4Bar 3:9-18; bdk 2 Bar 6:7-10). Manna yang tersembunyi itu akan menjadi santapan surgawi bagi orang-orang yang tidak menyangkal iman mereka kepada Yesus meski dipaksa dan diancam dan tidak makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala-berhala.
Kedua, para pemenang akan diberikan batu putih, yang di atasnya tertulis nama baru (bdk. Yes 62:2), yang tidak diketahui oleh siapapun, selain oleh orang yang menerimanya. Warna batu itu sama dengan warna pakaian yang dijanjikan kepada para pemenang di tempat lain, yakni putih (3:5; bdk 3:4, 18). Warna itu melambangkan kemurnian, kesempurnaan, dan kemenangan Kristus (Why 1:14; 4:4; 6:11; 7:14; 19:14). Di atas batu putih itu tertulis nama Kristus atau Allah yang tidak seorang pun ketahui dan nama itu dilekatkan-Nya pada dahi saksi-saksi iman yang setia (Why 3: 12; 14:1; 19:2). Nama baru itu memberikan perlindungan bagi saksi-saksi yang setia kepada-Nya.13 Dengan demikian, batu putih yang di atasnya tertulis nama Kristus atau Allah itu menjamin keselamatan dan hidup kekal bagi saksi-saksi iman yang setia.


9 P. E. Hughes, The Book of Revelation: A Commentary (Grand Rapids: Eerdmans, 1990), 43-44.
10 Slater, Christ and Community, 125.
11 Krodel, Revelation, 117-118.
12 G.E. Ladd, A Commentary on the Revelation of John (Grand Rapids: Eerdmans, 1972), 48.
13 Kealy, The Apocalyspse of John, 92.

Senin, Februari 08, 2010

SURAT-SURAT KEPADA TUJUH GEREJA - Bagian 2

“KAMU AKAN BEROLEH KESUSAHAN SELAMA SEPULUH HARI”
Surat kepada Gereja di Smirna (Why 2:8-11)


8 "Tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Smirna: Inilah firman dari Yang Awal dan Yang Akhir, yang telah mati dan hidup kembali: 9 Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu -- namun engkau kaya -- dan fitnah mereka, yang menyebut dirinya orang Yahudi, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, sebaliknya mereka adalah jemaah Iblis. 10 Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita! Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antara kamu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari. Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan. 11 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Siapa yang menang, ia tidak akan menderita apa-apa oleh kematian yang kedua."

Sapaan bagi si teralamat (ay. 8a)
Surat yang kedua Yohanes dialamatkan kepada malaikat jemaat di Smirna. Smirna adalah sebuah kota pelabuhan yang terletak di sebelah utara kota Efesus. Kota itu dikenal sebagai pusat perdagangan dan ibadat pemujaan kepada kaisar. Pada tahun 26 M, kota itu dipilih sebagai salah satu tempat untuk membangun sebuah kuil untuk memuja kaisar Tiberius. Loyalitas penduduknya kepada kaisar Roma menjadi alasan mengapa kota itu dipilih dan dijadikan sebagai tempat ibadat pemujaan kepada kaisar Roma. Kehadiran kuil yang didedikasikan untuk memuji dan menyembah kaisar Roma itu membantu kita untuk menjelaskan mengapa orang-orang kristiani dipenjara dan mungkin juga dibunuh di sana.

Identifikasi diri pemberi perintah (ay. 8b)

Yohanes mengidentifikasikan orang yang memerintahnya untuk menulis surat sebagai “Yang Awal dan Yang Akhir” dan “yang telah mati dan hidup kembali” (bdk. 1:17-18). Identifikasi ini mengingatkan kita penyingkapan diri Allah dalam Yes 44:6, “Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: "Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku” dan Yes 48:12, “Dengarkanlah Aku, hai Yakub, dan engkau Israel yang Kupanggil! Akulah yang tetap sama, Akulah yang terdahulu, Akulah juga yang terkemudian!” Dalam kedua perikop ini Yesaya menyingkapkan bahwa Allah Israel itu satu-satunya pencipta atas segala sesuatu dan sebagai Tuhan atas sejarah. Dialah asal-usul dan tujuan seluruh sejarah. Maka, dewa-dewi buatan tangan manusia dan kaisar-kaisar Roma sama sekali tidak bisa disandingkan dengan Allah Israel. Penyingkapan diri Allah ini ditransferkan kepada Kristus yang telah dibangkitkan. Hal ini mau mengungkapkan bahwa Yesus yang telah dibangkitkan mengambil bagian dalam kehormatan dan kemuliaan Allah.5
Identifikasi diri diperjelas lagi dalam pernyataan berikutnya, “Yang telah mati dan hidup kembali.” Identifikasi ini jelas mengacu pada peristiwa kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitan-Nya. Dia telah mati namun dibangkitkan oleh Allah dan kini hidup kembali. Acuan pada kematian dan kebangkitan itu dimaksudkan untuk menginspirasi orang-orang Kristiani di Smirna supaya mereka tetap setia kepada Kristus meski mengalami banyak penderitaan. Kesetiaan Kristus kepada Allah meski harus mati di kayu salib berfungsi sebagai model bagi gereja di Smirna.

Dorongan dan nasihat (ay. 9-10)
Gereja Smirna merupakan salah satu dari dua gereja (Filadelfia) yang tidak mendapat kritikan. Yesus tidak mengeritik penghayatan iman mereka. Sebaliknya, mereka mendapat dorongan karena mereka bertahan dalam iman meski mengalami kesusahan dan kemiskinan. Jemaat kristiani mengalami kesedihan karena mereka mengalami berbagai bentuk tekanan dan kesulitan. Aneka ragam tekanan dan kesulitan itu mungkin membuat mereka miskin secara material dan rohani. Mengapa mereka hidup susah dan miskin padahal mereka hidup di kota yang terkenal sebagai pusat perdagangan? Kemungkinan sikap mereka terhadap ibadat pemujaan kepada kaisar telah menyebabkan mereka dikeluarkan dari lingkaran kekuasaan dan kemudahan ekonomis.6
Selain mengalami kesusahan dan kemiskinan, jemaat di Smirna juga mengalami fitnahan dari orang-orang yang menyebut dirinya orang Yahudi tetapi sesungguhnya mereka bukanlah orang Yahudi. Mereka inilah yang disebutnya sebagai “jemaah iblis” (ay. 9; 3:9). Jemaah iblis ini barangkali mengacu pada orang-orang Yahudi palsu karena mereka mengembangkan sinkretisme agama dengan menggabungkan praktek-praktek keagamaan kafir dengan praktek keagamaan Yahudi.7 Dengan demikian, beberapa orang Yahudi Smirna memainkan peran dalam menciptakan kesulitan bagi orang-orang kristiani Smirna.
Yohanes menasihati jemaat Smirna untuk tidak takut terhadap penderitaan dan setia sampai mati. Meski beberapa dari anggota jemaat akan dipenjara, namun mereka tidak boleh takut. Pencobaan itu tidak berlangsung lama karena hanya berlangsung selama sepuluh hari. Keterangan waktu “sepuluh hari” mungkin mengacu pada penindasan lokal yang terjadi dalam waktu yang singkat.8 Yohanes mungkin membayangkan bahwa beberapa anggota jemaat mungkin menjadi martir sebab dia menasihati mereka untuk setia sampai mati. Jika mereka setia dan benar, mereka akan diberikan mahkota kehidupan. Pada zaman kuno, mahkota sering digunakan sebagai simbol kehormatan dan keselamatan. Di sini Yohanes mungkin memakai ungkapan “mahkota kehidupan“ untuk mengacu pada suatu ganjaran pada masa yang akan datang bagi orang-orang yang benar (bdk Yak 1:12; 1 Ptr 5:4). Sebagaimana mahkota diberikan kepada orang-orang yang menang dalam sebuah pertandingan, orang-orang kristiani yang setia juga akan diberikan berkat hidup kekal bersama dengan Kristus.

Panggilan untuk mendengar dan janji bagi pemenang (ay. 11)
Dalam bagian penutup surat ini kita menemukan rumusan yang serupa dengan surat sebelumnya, yakni panggilan untuk mendengarkan (bdk. 2:7a). Panggilan itu disusul dengan janji bagi pemenang, yakni bebas dari kematian yang kedua. Orang-orang yang setia pada imannya sampai mati tidak akan menderita apa-apa oleh kematian yang kedua. Ungkapan “kematian yang kedua” didiskusikan lebih lanjut dalam Why 20:6, 14, dan 21:8. Dalam Why 20:6, kematian yang kedua didefinisikan dengan cara mempertentangkannya dengan kebahagiaan abadi kebangkitan yang pertama dan Why 20:14 mendefinisikannya sebagai “lautan api”. Why 21:8 menyebutkan bahwa lautan api, kematian yang kedua, disediakan bagi “orang-orang penakut, orang-orang yang tidak percaya, orang-orang keji, orang-orang pembunuh, orang-orang sundal, tukang-tukang sihir, penyembah-penyembah berhala dan semua pendusta.” Dengan demikian, kematian yang kedua dapat dipahami sebagai hukuman kekal yang diterima oleh orang-orang jahat.

5 Slater, Christ and Community, 101.
6 Seán P.
Kealy, The Apocalyspse of John (Wilmington: Michael Glazier, 1987), 87.
7 Kealy,
The Apocalyspse of John, 87.
8 Krodel,
Revelation, 113.

Senin, Februari 01, 2010

Senandung Mazmur

Mazmur 137

MEMECAHKAN ANAK-ANAK PADA BUKIT BATU?1
Jarot Hadianto

“Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu!” (Mzm. 137:9)

Kelompok Boney M dengan penuh semangat menyanyikan lagu By the River of Babylon. Beberapa dekade lalu, lagu berirama disko ini begitu populer. Sampai sekarang pun, orang masih saja gemar mendengarnya sambil menggoyang-goyangkan kepala dan bertepuk tangan. Dalam sebuah acara lagu-lagu kenangan di televisi, bapak ibu berusia lanjut bahkan tampak mengikuti iramanya sambil berdansa! Mungkin banyak yang lupa bahwa syair By the River of Babylon sebenarnya diambil lurus-lurus dari Mzm. 137. Kiranya juga tidak banyak yang menyadari bahwa syair Mzm. 137 itu pahit dan penuh dengan kesedihan. Bila dijadikan lagu, tentu saja tidak cocok jika dipilih irama yang gembira sehingga para pendengar terdorong untuk bergoyang cha-cha-cha...

Betapa pahitnya isi Mzm. 137 kelihatan nyata dalam bunyi tiga ayat terakhir, yaitu ay. 7-9, yang begitu kejam. Penulis lagu By the River of Babylon tidak mengambil tiga ayat tersebut. Alkitab memuatnya lengkap. Namun, dalam doa-doa yang memakai Mazmur (misalnya Ibadat Harian) dan dalam Mazmur Tanggapan yang Anda dengar waktu mengikuti perayaan Ekaristi, jangan harap ay. 7-9 ini dijumpai. Bagian tersebut telah “disensor” sehingga mazmur yang sangat terkenal ini akan senantiasa disudahi dengan ay. 6. Mengingat isi ay. 7-9 yang demikian kejam dan penuh dengan nafsu balas dendam, pemotongan ini dirasa perlu dan tampaknya juga tidak ada yang memprotesnya. Tepatnya, tiga ayat itu berbunyi demikian:

Ingatlah, ya TUHAN, kepada bani Edom, yang pada hari pemusnahan Yerusalem mengatakan: “Runtuhkan, runtuhkan sampai ke dasarnya!”
Hai putri Babel, yang suka melakukan kekerasan, berbahagialah orang yang membalas kepadamu perbuatan-perbuatan yang kaulakukan kepada kami!
Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu!


Lihatlah kalimat terakhir yang mampu membuat bulu kuduk kita berdiri karena ngeri. Para pembaca Kitab Suci pasti lalu bertanya-tanya: Bagaimana mungkin gagasan sadis seperti itu dapat termuat dalam Alkitab? Bagaimana mungkin perbuatan “memecahkan anak-anak pada bukit batu” mendapat pujian “berbahagialah”? Berkaitan dengan nilai religius kitab Mazmur, bagaimana mungkin ayat-ayat seperti ini dapat membuat manusia semakin dekat relasinya dengan Allah?

Ayat-ayat bermasalah tersebut adalah baris terakhir dari sebuah puisi yang singkat, namun isinya sangat kuat, yang sekarang disebut sebagai Mzm. 137 tadi. Penggubah Mzm. 137 mengawali ungkapan hatinya dengan syair indah yang dikenal oleh banyak orang:

Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion.
Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita...


Dari situ terlihat bahwa mazmur ini menunjuk pada waktu, tempat, dan kejadian tertentu, yaitu runtuhnya Yerusalem di tangan bangsa Babel dan sekutunya, bangsa Edom, pada tahun 586 SM. Serbuan besar-besaran Nebukadnezar, raja Babel (2Raj. 25:1-21), telah menghancurkan segala-galanya. Tempat yang paling dibanggakan bangsa Yehuda, yang dianggap paling sakral, yaitu Bait Allah, juga mereka buat jadi timbunan puing belaka. Umat kekasih Allah sekarang harus tinggal di tanah asing. Mereka menjadi bangsa yang ditaklukkan, dan sebagai akibatnya harus rela dibuang ke Babel. Maka, mazmur ini sebenarnya adalah jeritan hati orang-orang yang terbuang. Pengalaman dihina orang-orang Babel terasa sangat segar; pengkhianatan orang-orang Edom itu, bangsa tetangga yang berkerabat dengan mereka (Edom adalah bangsa keturunan Esau, saudara Yakub), seperti luka yang belum kering.

Bagaikan menabur garam di atas luka, hati orang-orang Yehuda semakin perih manakala orang Babel menyuruh mereka menyanyikan “nyanyian dari Sion”. Bagaimana mungkin puji-pujian akan kehebatan Allah dan kejayaan Kota Yerusalem dilantunkan padahal mereka sudah kalah? Masakan mereka bernyanyi: “Kota Allah, kediaman Yang Mahatinggi, disukakan oleh aliran-aliran sebuah sungai” (Mzm. 46:5), sementara Yerusalem dalam keadaan hancur lebur? Orang Babel tentu bermaksud mengejek mereka. Apalagi, mazmur-mazmur itu adalah lagu kudus yang dinyanyikan dalam kesempatan ibadat. Sekarang, orang Babel membuatnya menjadi lagu hiburan belaka! Penggubah Mzm. 137 yang kesal hati itu agaknya adalah seorang musisi Bait Allah yang ikut dibuang ke Babel. Dia dan rekan-rekan sejawatnya tepat sekali jika dijadikan sasaran lelucon sadis seperti itu.

Mengangkat tema kenangan akan Yerusalem, sang musisi mengubah Mzm. 137 dengan penuh rasa pahit dan luka yang mendalam. Tidak berhenti di situ, ia juga meluapkan hasratnya akan balas dendam. Ia terkenang pada musuh yang dengan kejam menjarah Yerusalem. Dalam penaklukan kerajaan Yehuda, bangsa Babel plus orang Edom melakukan kekejaman yang waktu itu umum dilakukan oleh pemenang perang. Mereka merampas harta benda, juga membantai penduduk Yerusalem tanpa pandang bulu (bdk. 2Raj. 8:12; Yes. 13:16). Sasaran utama pembantaian adalah anak laki-laki karena merekalah yang “berpotensi” melakukan balas dendam di waktu mendatang. Mengenang hal itu, sang penggubah Mzm. 137 seakan berseru, “Kiranya Allah mengingat kekejaman yang mereka lakukan itu!”

Meski ia dibakar dendam, patut diingat bahwa seruannya itu didasari oleh prinsip keadilan yang diyakini waktu itu, yaitu pembalasan yang setimpal. Selain itu, ia berpendapat bahwa hanya Allah saja yang dapat membalaskan dendam itu. Karenanya, pemazmur berseru kepada Allah agar sungguh terjamin bahwa mereka yang dulu melakukan tindakan kejam itu (orang Babel dan Edom) akan ganti mengalaminya di masa depan.

Mempertimbangkan hal itu, para pembaca Kitab Suci, khususnya para pencinta mazmur, tidak perlu gerah menjumpai kalimat keras seperti “berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu” dalam Alkitab. Tradisi Israel kuno memang tidak pernah segan mengungkapkan perasaan hati yang meluap-luap dalam doa-doa mereka, sekalipun itu adalah rasa marah dan dendam. Bandingkan dengan kenekatan mereka memuat kisah perselingkuhan Daud-Batsyeba dalam Alkitab (2Sam. 11:1-27). Begitulah sikap yang disebut jujur dan apa adanya. Maka, kita perlu menerima seruan penutup Mzm. 137 itu sebagai ungkapan jujur perasaan seorang manusia yang berada dalam keputusasaan dan situasi yang menyakitkan. Pemazmur tidak menganjurkan agar Anda memiliki hati penuh dendam seperti itu. Tetapi, seandainya Anda berada dalam situasi seperti yang dialaminya, ungkapkan saja isi hati Anda apa adanya. Justru dengan begitu, Anda akan beroleh kesembuhan. Lagi pula, seruan itu ditujukan kepada Allah. Itu berarti pemazmur tidak berniat melakukan balas dendam dengan tangannya sendiri. Ia hanya ingin meluapkan amarahnya dan tidak berniat melukai orang lain.

Dapat disimpulkan bahwa Mzm. 137:7-9 memang suatu ungkapan yang sama sekali tidak berbelas kasihan. Orang Kristen yang biasa mendengar kata “berbahagialah” dengan nada yang menyejukkan dalam khotbah Yesus di bukit (Mat. 5:1-12; Luk. 6:20-23) kemungkinan besar dibuat tidak nyaman olehnya. Meskipun demikian, inilah sebuah pernyataan iman yang konkret dan nyata. Seruan kejam sang pemazmur sekaligus menunjukkan bahwa dalam setiap situasi dan dalam berbagai cara, seorang manusia tetap dapat menghadap Allah. Di hadapan-Nya, doa dan jeritan hati kita dihargai dan ditanggapi dengan semestinya. Maka, janganlah menyempitkan Mzm. 137 dengan memandangnya sebagai suatu hasrat pribadi untuk balas dendam dengan cara yang biadab. Meskipun dihapus dari daftar bacaan rohani dan tidak akan pernah diucapkan dalam doa-doa orang Kristen, makna terdalam Mzm. 137:7-9 tetap perlu dipahami karena ternyata membantu perkembangan rohani kita.***

Daftar Pustaka
Bergant, Dianne (ed.). Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Groenen, C. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Lenchak, Timothy A. The Bible Today. September 1997, hlm. 311.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.

1 Dimuat di rubrik “Perikop-perikop Sulit”, Wacana Biblika, Vol. 5, No. 2, April-Juni 2005, hlm. 76-80.