Senin, Juni 28, 2010

Mazmur 15

SUATU MALAM DI RUMAH TUHAN

Jarot Hadianto

“TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu?
Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus?” (Mzm. 15:1)

Lima menit lamanya aku mematut-matut diri di depan cermin, menata baik-baik jubah yang aku kenakan. Wah, jubah ini terasa begitu mantap! Warnanya cokelat kehitaman, dilengkapi tudung di belakang kepala dan tali bersimpul tiga di bagian pinggang.

Kata orang, cokelat sebagai warna tanah adalah lambang kemiskinan dan kehinaan manusia. Ordo ini sengaja memilih jubah berwarna cokelat karena memang itulah semangat yang mau diwartakan: miskin sebagaimana Yesus dulu adalah orang miskin. Tapi mengenakan jubah ini sama sekali tidak membuat aku merasa miskin, apalagi hina. Bagaimana tidak, jubah ini begitu bagus, terbuat dari kain terbaik yang harganya pasti mahal. Di depan cermin, malam ini, dengan jubah cokelat ini, aku justru merasa gagah dan berwibawa.



TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu?

Setelah yakin bahwa semuanya sudah rapi, rambut juga sudah tersisir rapi, aku pun melangkah meninggalkan kamar menuju kapel untuk mengikuti acara meditasi. Kapel biara terletak agak jauh dari kamarku, yakni di sisi bangunan yang lain. Di situ, meski kecil, kapel tersebut berdiri dengan anggunnya, dikelilingi oleh lapangan rumput yang hijau dan taman bunga nan asri. Di samping kapel berdiri pohon asam raksasa yang setia memberinya naungan dari terik matahari dan guyuran air hujan. Singkat kata, kapel ini diselimuti ketenangan dan kedamaian. “Inilah rumah Tuhan yang sesungguhnya,” demikian batinku berkata.

Setiap kali memasuki kapel ini, aku selalu merasa gembira, lebih dari yang kurasakan ketika aku memasuki rumah-rumah Tuhan yang lain, misalnya gereja paroki. Dibanding kapel kecil ini, gereja paroki kami tentu saja jauh lebih megah. Gedungnya besar, sekarang malah sudah dilengkapi dengan pendingin udara guna menyejukkan hati umat paroki ini yang kabarnya suka panas akibat bertengkar satu sama lain. Namun, kemegahan itu kurang membuatku terkesan. Bagiku rumah Tuhan adalah rumah doa, dan di gereja paroki aku tak pernah bisa berdoa dengan tenang. Di situ doaku ditenggelamkan oleh jeritan penjual kaos, balon, bakso, dan mi ayam yang menjajakan dagangannya dengan penuh semangat.

Jadi dengan senang hati malam ini aku kembali memasuki kapel kesayanganku. Acara kami malam ini adalah membaca bacaan rohani, meditasi setengah jam, dan terakhir, mendoakan ibadat penutup yang disebut completorium. Dengan perlahan aku membuka pintu kapel sambil menyapa Dia yang empunya rumah, “Tuhan, ini aku. Izinkan aku kembali berkunjung ke rumah-Mu, untuk memohon berkat dan belas kasihan dari-Mu...”



Yaitu dia yang berlaku tidak bercela

Kalau ditanya, semua frater pasti mengaku sangat menggemari meditasi. Demikian juga yang terjadi dengan teman-temanku. Dalam berbagai kesempatan sharing, kecintaan itu selalu mereka ungkapkan. Ada yang bilang, “Meditasi membuat diri kita dekat dengan Sang Pencipta.” Yang lain bersaksi, “Keheningan dalam meditasi memampukan kita untuk mengenal diri kita sendiri.” Temanku yang darah tinggi berkata, “Berkat meditasi, emosi saya tidak meledak-ledak lagi.” Setiap kali mendengar refleksi yang bagus tapi berlebihan itu, aku selalu mengeluh dalam hati, “Aduh, aduh, kamu-kamu yang ngomong sampai berbusa-busa itu, bukannya kamu selalu ketiduran saat meditasi?”

Nah, orang-orang yang aku keluhkan itu sekarang berada di sekelilingku. Meditasi sudah setengah jalan, jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan, dan aku memandangi mereka sambil mengelus dada. Lihatlah, mereka semua meliuk-liuk seperti pohon pisang tertiup angin. Mata mereka terpejam, bibir sedikit menganga, kepala terangguk-angguk, sementara tubuh mereka miring ke sana dan ke sini. Sentuhlah orang-orang itu sedikit saja, niscaya mereka akan bertumbangan bagaikan tiang listrik diterjang badai. Begitu mereka sebut meditasi? Itu tidur Bung, bukan meditasi!

Andai saja Pater Magister ada, pastilah ia akan marah besar seperti minggu lalu. Waktu itu, mendapati calon-calon imam ini terlelap saat meditasi di sekeliling tabernakel, ia langsung saja meledak, “Kalian pikir kalian itu Samuel?!!” Samuel dalam 1Sam. 3:2-10 memang tidur di dekat tabut Allah dan saat itu ia mendapat panggilan dari-Nya. Tapi para frater yang mencoba mengikuti jejak Samuel ini bukannya mendapat panggilan Allah, melainkan omelan dari Pater Magister. Mereka dinasihatinya untuk menghormati kekudusan rumah Tuhan dan untuk menjaga perilaku saat berada di dalamnya. “Coba lihat apa yang kalian lakukan,” katanya masih dengan notasi tinggi, “Kalian itu bukannya berdoa di rumah Tuhan, tapi ngiler di rumah Tuhan!”

Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, apalagi ketika melihat teman-temanku itu dihukum mencabuti rumput di kebun kacang yang mahaluas. Lo, apakah aku tidak ikut dimarahi? Tentu saja tidak. Berbeda dengan mereka, aku tidak pernah ketiduran saat meditasi. Dalam hal meditasi, aku memang merasa diri sudah cukup mumpuni. Bayangkan saja, buku-buku yang menunjang meditasi karangan Anthony de Mello seperti Sadhana, Doa Sang Katak, dan Burung Berkicau sudah aku lahap semuanya.

Tapi teman-temanku ini memang payah. Minggu lalu dimarahi, minggu ini perbuatan yang sama diulang lagi. Dengan kesal, kupandangi mereka yang pura-pura khusyuk itu satu per satu. Hmmm…



Tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya, tidak berbuat jahat terhadap temannya

Di biara ini ada dua belas frater, sama benar dengan murid-murid Yesus yang jumlahnya juga dua belas. Selain dalam hal jumlah, kesamaan itu agaknya terletak pula dalam hal tingkah laku. Para murid dipanggil untuk mendukung karya Yesus, namun kerap kali hal itu tidak mereka pahami. Murid-murid malah sering menyusahkan Yesus dan membuat-Nya repot. Persis seperti itulah kelakuan dua belas frater ini.

Temanku yang duduk bersila di dekat tabernakel itu contohnya. Dia yang mengaku “anak orang kantoran” ini sering membuat yang lain merasa jengkel. Penyebabnya, dia ternyata tidak terbiasa dengan kerja tangan. Itu berarti dia tidak bisa menyapu, tidak bisa ngepel, tidak bisa memangkas rumput, dan banyak lagi tidak bisa yang lain. Anak manja seperti ini masuk biara? Dia pasti salah memilih jalan hidup!

Tidak jauh dari dia, ada temanku yang banyak bicara, sedikit bekerja. Mungkin dia ini calon pengkhotbah ulung, tapi terus terang apa yang ia katakan jarang sekali dilaksanakan. Baru-baru ini, terinspirasi oleh Santo Fransiskus Asisi yang menyebut semua ciptaan sebagai saudara dan saudari, ia membuat refleksi hebat berjudul “Mencintai Saudari-saudari Ayam yang Kita Pelihara.” Tak lama kemudian, ia lupa memasukkan saudari-saudari ayamnya itu ke dalam kandang sehingga semuanya tewas dimakan saudara kucing.

Sementara itu, teman yang duduk di sampingku adalah orang yang serba lamban dan terlambat. Kalau dia mendapat giliran masak pagi, kami pasti merasa cemas, sebab anak ini kalau tidur lupa bangun. Karena terlambat bangun itulah suatu ketika ia pernah masak dengan terburu-buru dan akhirnya menyajikan nasi setengah matang saat makan pagi. Kami jadi dongkol dan menyindirnya, “Saudaraku, kita ini biasa makan nasi, bukan beras.”

Pada akhirnya, aku pun memejamkan mata dan membuat suatu kesimpulan. “Ah, teman-temanku semua,” kataku dalam hati, “kalian ini sungguh frater-frater yang payah!”



Siapa yang berlaku demikian, tidak akan goyah selama-lamanya

Menjelang completorium, meditasi ditutup dengan pembacaan sebuah perikop Kitab Suci. Seorang frater membacakan Mazmur 15 dengan lantang, “TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus? Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya, yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya, yang tidak berbuat jahat terhadap temannya dan yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya…”

Aku terkejut mendengarnya. Ya Tuhan, ketentuan-ketentuan itu telah aku langgar! Tiba-tiba aku tersadar bahwa meditasi tadi telah kuisi dengan kesombongan diri, dengan celaan dan pikiran buruk akan teman-temanku. Apa gunanya doa tanpa perbuatan nyata? Apa pula gunanya meditasi jika hati ini dipenuhi sumpah serapah terhadap orang lain?

Malam itu, sambil melangkah meninggalkan kapel, aku mulai berpikir-pikir, “Tuhan, bukan teman-temanku, tapi mungkin akulah yang kurang layak berdiam dalam rumah-Mu…”***



Bacaan Pendukung

Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Harun, Martin. Berdoa Bersama Umat Tuhan: Berguru pada Kitab Mazmur. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Keren...kelihatan berdasar pengalaman pribadi. Jadi begitu hidup.