Senin, November 29, 2010

Mazmur 12

DENGAN LIDAH, KAMI MENANG
Jarot Hadianto

“Dengan lidah kami, kami menang! Bibir kami menyokong kami! Siapakah tuan atas kami?”
(Mzm. 12:5)


Sepucuk surat menyambut kehadiranku di kantor hari ini, padahal hari masih pagi-pagi benar. Surat itu tergeletak di atas meja, di ruangan kecil tempat kami biasa makan siang sekaligus berganti pakaian. Warnanya putih bersih, di bagian kiri atas tercetak tebal logo kantor ini, sedangkan namaku tertera di sebelah kanan bagian tengah. Surat? Tidak biasanya aku mendapat surat, tidak biasanya juga kantor ini mengirimi pegawainya surat. Praktis saja, kalau ada apa-apa biasanya pimpinan memanggil kami, lalu memberi instruksi ini dan itu. Jadi, kenapa kali ini aku dikirimi surat?

Karena itu hatiku jadi berdebar-debar. Kuletakkan ranselku di atas lantai, lalu dengan perlahan aku pun duduk di samping meja, berlama-lama menatap surat tersebut. Kubiarkan saja surat itu tergeletak dalam posisinya yang semula, aku belum menyentuhnya sama sekali. Mengulurkan tangan untuk mengambil surat itu rasanya aku tak berani. Pikiranku tiba-tiba saja jadi kosong dan melayang-layang. Berkali-kali aku mendesah dan menghela napas yang panjang. Pada saat-saat seperti ini, menerima surat memang merupakan hal yang sangat menakutkan.


Tolonglah kiranya, Tuhan…

Meskipun kepada orang lain aku membanggakan diri sebagai “orang kantoran”, sebenarnya aku tidak benar-benar bisa disebut demikian. Aku ini dibilang pegawai ya tidak tepat, dibilang bukan pegawai juga tidak tepat. Bingung? Yang kumaksud, aku memang bekerja di kantor ini, tapi sebenarnya aku dikirim oleh sebuah yayasan untuk ditempatkan di sini. Istilah kerennya, aku ini tenaga outsourcing.

Jadi jangan samakan aku dengan pegawai-pegawai lain di kantor ini, yang mulai bekerja jam 8 pagi dan bergegas-gegas pulang tepat jam 5 sore. Aku selalu datang jauh lebih awal dan selalu pulang jauh lebih lambat. Namun, meskipun kelihatannya aku bekerja lebih keras daripada pegawai-pegawai tersebut, tetap saja aku tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa aku ini pegawai rendahan. Maka sejujurnya, di kantor ini aku bukanlah siapa-siapa.

Dari hari ke hari, aku mengerjakan hal yang rutin dan terkesan itu-itu saja. Yang kutangani boleh dibilang pekerjaan yang remeh, sepele, serta tidak penting sama sekali. Tiap pagi misalnya, aku dan teman-teman senasib sepenanggungan mengawali hari dengan bersih-bersih, menyapu dan mengepel kantor yang tingginya sampai tujuh lantai ini. Setelah itu, beberapa saat sebelum para pegawai yang rapi dan berdasi mulai berdatangan, kami membuatkan mereka teh atau kopi yang hangat. Beres dengan itu, tugas-tugas lain sudah menanti. Sepanjang hari kami disibukkan dengan tugas membersihkan dinding dan langit-langit gedung, mengangkut boks-boks besar dari lantai 1 ke lantai 7, memfotokopi macam-macam berkas, juga orderan dari para bos untuk membelikan mereka makan siang.

Meski tampaknya sepele, jangan dikira tugas-tugas itu gampang saja dilakukan. Soal membuat minuman, misalnya. Aku harus ingat baik-baik bahwa si ibu di lantai 1 maunya teh kental tanpa gula, sebab dia itu paranoid dengan diabetes. Sementara itu, nona-nona di lantai 2 minta dibuatkan teh manis, tapi tidak boleh terlalu manis. “Kami kan sudah cukup manis,” kata mereka kepedean. Tuan-tuan di lantai 3 punya request yang edan. Tiap pagi jam 8 pas, kopi hitam dengan gelas besar sudah harus tersaji di meja mereka. “Ingat ya, gulanya harus tiga sendok! Buatnya jangan kepagian, jangan sampai pas mau diminum sudah dingin. Saya maunya kopi panas, bukan es kopi!”

Aduh, aduh, aduh, tiga puluh pegawai dengan tiga puluh permintaan. Tiap orang punya kemauan masing-masing, dan aku harus mengingat itu semua dengan baik. Gula yang terlalu sedikit atau terlalu banyak, kopi yang kurang kental, minuman yang kurang panas, semuanya akan berbuah teguran atau malah komplain yang keras. Dan memang ada kalanya aku mendapat hari-hari sial, disembur kemarahan dari lantai 1 sampai lantai 7, dari pagi sampai petang. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa mengurut dada menyabar-nyabarkan diri, sambil berbisik dalam hati, “Tolong Tuhan, tolong…”


Bibir yang manis dan hati yang bercabang

Sekali lagi harus kukatakan, di kantor ini aku bukanlah siapa-siapa. Yayasan tempatku bernaung bisa memindahkan aku sewaktu-waktu ke mana mereka suka. Kantor tempat aku bekerja ini juga bisa meminta agar aku diganti, yakni kalau mereka tidak puas dengan pekerjaanku. Teman-temanku sudah banyak yang mengalaminya. Mereka pergi dari sini dengan air mata, tanpa tahu kesalahan apa yang telah mereka perbuat. Memang istilahnya mereka itu di-rolling. Namun, karena belum tentu ada tempat baru yang bisa menampung, atau karena kemudian ditaruh di tempat yang jauh, terpencil, dan susah dijangkau, rolling rasanya hanya istilah halus untuk pemecatan.

Bercermin dari pengalaman mereka, aku mencoba untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Meski gaji yang kudapat untuk pekerjaan yang melelahkan ini tak seberapa, tak apalah. Enam ratus ribu sebulan memang sudah mengandaskan mimpiku menjadi jutawan. Mana mungkin bisa kaya, untuk hidup sehari-hari saja kurang. Namun, ketika badanku sakit semua saat harus naik-naik tangga atau menggosok-gosok toilet, aku ingat senyum keluargaku yang menunggu di rumah. “Anakku sayang, istriku sayang, aku mengerjakan ini semua demi kalian,” kataku dalam hati. Dan aku pun kembali bekerja dengan penuh semangat.

Tapi sayangnya, seperti yang juga dialami oleh teman-temanku, tidak semua orang bisa menerima keberadaanku. Di antara pegawai kantor ini tampaknya ada yang tidak puas melihat caraku bekerja. Di matanya, apa saja yang kulakukan rasanya selalu salah, tak ada yang beres. Mengelap meja, tak mengkilap; menyapu, tak bersih; mengepel lantai, airnya tercecer di mana-mana. Bagaimana dengan teh yang tiap pagi kubuatkan khusus untuknya? Dia bilang, teh itu rasanya tidak karu-karuan. Suatu ketika, ia mengaku mendapat teh yang rasanya begitu aneh: ada manis, ada asem, ada asin. Maka ia memanggilku dan meledakkan amarahnya di hadapanku. Ia membentakku sambil menunding-nudingkan jarinya ke mukaku, “Kamu ini buat teh atau ORALIT!!!”

Teh yang kurang enak hanya soal remeh. Namun, karena pada dasarnya sudah tidak suka, soal yang remeh pun bisa dibuat jadi besar. Apalah dayaku, aku hanya orang kecil. Saat itu aku hanya bisa diam dan tertunduk. Selanjutnya, kalau bekerja di ruangannya, aku selalu berusaha cepat-cepat. Aku juga tidak berani mengangkat kepala memandang wajahnya. Kebenciannya kepadaku lama-kelamaan kurasa makin mendalam. Ia selalu saja mencari-cari apa yang salah, yang bisa dijadikan bahan untuk mengomeli diriku. Pokoknya bagi dia, aku ini pekerja yang payah.

Anehnya, dia yang beringas terhadapku, kalau berhadapan dengan orang lain, sikapnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Dengan rekan-rekannya, terutama dengan bos-bos besar, senyumnya selalu terkembang, semanis gula batu. Tutur katanya senantiasa halus, tertata rapi, dan indah. Orang-orang terkesan kepadanya dan memuji-muji betapa cakapnya ia bekerja. Melihat itu, aku jadi sedih sekaligus menggerutu. Mengapa mereka menilai orang dari luarnya saja? Tak tahukah mereka bahwa dia ini begitu kejam? Orang ini adalah manusia yang punya dua hati!


Dengan lidah kami, kami menang!

Sekarang kalian tahu mengapa surat ini membuatku ketakutan. Dia yang membenciku setengah mati adalah orang yang punya pengaruh kuat di kantor ini. Rekan-rekan sesama pegawai segan kepadanya, pekerja-pekerja kelas bawah takut berhadapan dengannya. Seorang teman sampai-sampai membisikkan nasihat kepadaku, “Kamu boleh dimusuhi oleh siapa saja di kantor ini, asal bukan dia. Dimusuhi dia artinya game over.” Tapi kini ia jelas-jelas membenciku. Bagaimana aku tidak khawatir?

Bisa saja dia melaporkan yang buruk-buruk tentang aku kepada para pimpinan. Di hadapan mereka, ia dapat memutarbalikkan kata sekehendak hati. Hal itu tentu tidak sulit, sebab ilmu dan kepandaiannya sangatlah tinggi. Dengan mudah, para pimpinan akan percaya penuh kepadanya. Seketika mereka akan melihat bahwa yang ada pada diriku ini hanyalah keburukan semata-mata. Hasilnya, sebuah surat akan segera mereka kirimkan kepadaku, surat agar aku segera enyah dari tempat ini, surat pemecatan. Itukah surat yang ada di depanku saat ini? Aku belum juga sanggup memungutnya dari atas meja.

Ah, sekarang aku merasakan sendiri betapa kata-kata dapat dirancang untuk membunuh seseorang. Demi kedudukan dan keinginan dirinya, orang yang punya kuasa tega memanfaatkan bibir dan lidahnya untuk tujuan yang salah. Hati yang bercabang dan lidah yang penuh dusta sungguh membawa maut! Korbannya tidak lain orang-orang kecil dan lemah seperti aku ini. Dia bisa bersilat lidah, aku tidak. Di sini aku bahkan tak punya hak untuk mengucapkan barang sepatah kata. Siapa yang percaya pada perkataan petugas kebersihan seperti aku?

Tuhan, aku lemah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana kalau aku sampai diberhentikan? Aku lalu kerja di mana? Siapa yang mau mempekerjakan orang kecil seperti aku? Bagaimana pula nasib anak dan istriku nanti?

Tuhan, aku tahu, dia adalah orang yang sangat kuat. Dengan lidah dan kata-katanya yang licik, ia menguasai segalanya. Tetapi Engkau, ya Tuhan, Engkau tahu apa yang ada dalam hati manusia. Patahkan kesombongannya, ya Tuhan. Jangan biarkan orang-orang percaya kepadanya. Jangan biarkan pula orang-orang angkuh macam dia berseru, “Dengan lidah, kami menang!” Bangkitlah Tuhan, tunjukkan kuasa-Mu. Kasihanilah aku, ya Tuhan, kasihanilah keluargaku.


Engkau, Tuhan, yang akan menepatinya…

Seperempat jam kubiarkan diri terombang-ambing dalam kegelisahan, memikirkan berbagai macam prasangka dan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Amplop putih itu masih setia tergeletak di depanku. Ah, mengapa aku begitu cemas? Siapa tahu isi surat ini tidak seburuk yang kubayangkan? Maka, dengan tangan bergetar, surat itu kuambil dari atas meja. Kuputar-putar sejenak sambil kutatap dengan wajah yang bimbang. Lalu, setelah hatiku terasa kuat, perlahan amplop itu aku sobek. Selembar kertas yang ada di dalamnya segera kutarik keluar.

Kata demi kata aku baca dengan perlahan, kalimat demi kalimat aku resapi dalam-dalam. Air mata mulai mengalir di pipiku. Tanpa sadar aku mulai terisak-isak. Kututupi wajahku dengan kertas surat yang ada di tanganku itu. Ah Tuhan, sungguhkah mukjizat itu ada? Mengapa aku tidak mengalaminya?***

Kepustakaan
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.

Jumat, November 26, 2010

PEREMPUAN MELAWAN NAGA (Why. 12:1-17)
Alfons Jehadut

Unsur-unsur yang ada dalam kisah penglihatan seorang perempuan dan naga dalam perikop ini memiliki banyak kesejajaran dengan kisah yang ada dalam teks-teks Perjanjian Lama dan teks-teks Yahudi yang lainnya. Namun, kesejajaran yang paling dekat dengan kisah perempuan dan naga adalah legenda kelahiran dewa Apollo menurut versi Yunani. Dikisahkan bahwa Leto, ibu Apollo, sedang mengandung anak dari Zeus, dewa tertinggi Yunani. Naga Python meramalkan bahwa anak yang dikandung Leto akan menggantikannya untuk menyampaikan nasihat ilahi di Delfi, pusat keagamaan Yunani dan karena itu ia berupaya untuk membunuhnya pada waktu kelahirannya. Namun, Zeus memerintahkan dewa angin dan dewa laut yang bernama Poseidon untuk membantu Leto yang akhirnya melahirkan anak laki-lakinya, yakni Apollo dan Artemis. Apollo lalu membunuh naga Python di Delfi. Yohanes tampaknya mengadaptasi legenda ini untuk melukiskan kelahiran Mesias meski bukanlah satu-satunya sumber. Ia mungkin juga mengadaptasi mitos kuno tentang perang yang abadi antara yang baik dan yang jahat dan kisah tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa dalam Kej. 3.

Yang menjadi fokus perhatian kita dalam perikop tentang perempuan dan naga bukanlah pada latar belakang kisahnya, melainkan kisahnya sendiri. Kisah ini terdiri empat bagian. Pertama, konfrontasi antara naga dan perempuan (ay. 1-6). Kedua, perang di surga antara Mikhael dan naga (ay. 7-9). Ketiga, nyanyian kemenangan di surga atas diusirnya naga dan malaikat-malaikatnya (ay. 10-12). Keempat, kelanjutan konfrontasi antara naga dan perempuan serta keturunannya (ay. 13-18). Keempat bagian inilah yang akan dibicarakan di bawah ini.


Konfrontasi antara perempuan dan naga (ay. 1-6)

Tanda pertama: seorang perempuan (ay. 1-2)

Tanda pertama di langit adalah seorang perempuan. Tanda (Ibrani: ôt) itu tidak harus objek, kejadian, atau peristiwa yang luar biasa (bdk. Yes. 38:7-8), tetapi bisa juga suatu objek, kejadian, atau peristiwa yang alamiah tetapi diberi arti atau makna teologis tertentu. Suatu objek, kejadian, atau peristiwa bisa menjadi tanda yang artinya bisa menjadi sarana untuk mengenali, mengingat, mempelajari atau melihat kelayakan sesuatu hal sebagai sesuatu yang dapat dipercaya. Yang dipentingkan dalam tanda bukan tanda itu sendiri, melainkan fungsi atau maknanya untuk menyampaikan suatu pengertian dan memotivasi suatu perbuatan. Dalam tradisi kenabian, tanda dilihat sebagai suatu peristiwa khusus yang menjadi jaminan untuk menguatkan atau meneguhkan kata-kata nabi (Yes. 7:10; Kel. 7:3).

Perempuan itu digambarkan sebagai berikut, “berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.” Unsur-unsur dalam gambaran ini mengingatkan kita pada gambaran tentang wajah Yesus yang bersinar-sinar bagaikan matahari yang terik (1:16; bdk. 20:1); mahkota kehidupan yang dijanjikan Yesus bagi para pemenang (2:10; bdk. 3:11), dua puluh empat tua-tua yang mempunyai mahkota emas di atas kepala mereka (4:4; bdk. 4:10), penunggang kuda putih dalam meterai pertama yang diberikan sebuah mahkota (6:2) dan rupa belalang-belalang pada terompet yang kelima yang mempunyai sesuatu seperti mahkota emas pada kepala mereka (9:7); seorang seperti anak manusia memiliki mahkota emas di kepalanya (14:14). Dari beberapa keserupaan unsur-unsur ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa perempuan yang ditampilkan di sini adalah seorang perempuan yang mulia dan agung.

Perempuan itu dilukiskan lebih lanjut sebagai seorang yang “sedang mengandung dan dalam keluhan dan penderitaannya hendak melahirkan.” Lukisan ini mengingatkan kita pada gambaran tentang Israel/Zion yang mengalami banyak kesusahan seperti seorang ibu yang mengerang kesakitan hendak melahirkan dalam menantikan kelahiran sebuah zaman baru (bdk. Yes. 26:16-27; 54:1; 66:7-9; Mi 4:9-10). Perempuan itu akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki setelah melarikan diri ke padang gurun. Pelarian ini mengingatkan kita pada perjalanan bangsa Israel melalui padang gurun selama empat puluh tahun. Di padang gurun, ia menemukan suatu tempat yang dipersiapkan oleh Allah untuk memeliharanya selama seribu dua ratus enam puluh hari (12:6, 14). Lamanya waktu mengingatkan kita pada dua nabi yang bersaksi selama seribu dua ratus enam puluh hari (11:3).

Siapakah perempuan yang ditampilkan sebagai yang mulia dan agung di sini? Kita harus pertama-tama melawan dorongan awal untuk mengambil kesimpulan bahwa perempuan yang melahirkan seorang anak laki-laki adalah Maria, ibu Yesus. Sebab, di tempat lain dalam kitabnya Yohanes tampaknya tidak memperlihatkan ketertarikannya pada figur Maria. Sejauh ini satu-satunya figur seorang “perempuan” yang disebutkan secara spesifik adalah Izebel (2:20). Identifikasi perempuan itu dengan Izebel tidaklah cocok karena Izebel ditampilkan sebagai seorang nabiah palsu. Di sini, Yohanes tampaknya tidak mengidentifikasikannya dengan figur perempuan tertentu. Tidaklah mengherankan karena dalam buku-buku yang ditulis hampir sezaman dengan kitab Wahyu, figur seorang perempuan biasanya muncul dalam penglihatan-penglihatan untuk menggambarkan Yerusalem (4 Ezra 9:38-10:56) dan gereja (Hermes, Visions 1-4). Sangatlah mungkin figur perempuan itu ditampilkan sebagai representasi dari bangsa Israel sebagai umat Allah.

Ada sejumlah indikasi yang menunjukkan bahwa figur perempuan yang ditampilkan di sini adalah representasi dari bangsa Israel sebagai umat Allah. Pertama, perempuan itu mempunyai sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya. Secara tradisional, angka dua belas mengacu kepada dua belas suku Israel. Kedua, perempuan itu mengerang kesakitan pada saat melahirkan. Gambaran ini mengingatkan kita pada bangsa Israel yang mengalami banyak kesusahan seperti seorang perempuan yang melahirkan dalam menantikan zaman baru (bdk. Yes. 26:16-18; Yer. 4:31; Mi. 4:9-10). Ketiga, perempuan itu melarikan diri ke padang gurun setelah melahirkan anaknya. Gambaran ini mengingatkan kita pada kisah keluarnya bangsa Israel dari perbudakan Mesir menuju tanah terjanji melalui padang gurun. Perempuan itu dibawa dengan ke padang gurun dengan kedua sayap dari burung nasar yang besar ketika dikejar oleh naga tampaknya terkait langsung dengan apa yang dikatakan dalam Kel. 19:4, “Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku” (bdk. Yes. 40:31). Keempat, semburan seperti sungai besar yang keluar dari mulut naga mengingatkan kita pada tindakan raja Firaun yang memerintahkan semua anak laki-laki Israel yang baru saja dilahirkan dibuang ke sungai Nil (Kel. 1:22).

Mengidentifikasikan perempuan itu dengan Maria, Bunda Yesus, merupakan sebuah perkembangan penafsiran yang muncul kemudian, meskipun bukanlah sesuatu yang tidak tepat karena Maria adalah Bunda Mesias dan personifikasi dari umat Allah. Menafsirkan perempuan itu dengan Maria, Bunda Yesus, relatif lebih mudah dipahami teristimewa dengan menafsirkannya dalam terang Yes. 7:14, “Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.”


Tanda kedua: seekor naga (ay. 3-4a)

Tanda yang kedua di langit adalah “seekor naga merah padam yang besar” (12:3). Inilah pertama kalinya naga yang memainkan peran penting dalam bab ini dan bab berikutnya disebutkan (12:4, 7, 9, 13, 16, 17; 13:2, 4, 11). Selanjutnya, sebutan naga hanya akan muncul dua kali dalam bab selanjutnya (16:12; 20:2; bdk. 20:7-10). Kata “naga” (Yunani: drakon) digunakan untuk menerjemahkan kata Ibrani “tannin” yang diterjemahkan sebagai “binatang-binatang laut yang besar” (Kej. 1:21); “ular besar” (Kel. 7:9); dan “ular tedung yang ganas” (Ul. 32:33).

Naga yang berwarna merah padam dilukiskan secara lebih lanjut, “kepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh mahkota” (12:3). Tujuh mahkota di atas kepalanya berkaitan dengan jumlah kepalanya, satu mahkota satu kepala. Mahkota adalah simbol kerajaan. Tujuh mahkota di atas tujuh kepalanya mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan kepenuhan kuasa yang dimilikinya. Namun, jumlah tanduknya tidak sesuai dengan jumlah kepalanya. Ketidaksesuaian ini memperlihatkan bahwa jumlah tanduk tidak boleh dibaca secara hurufiah. Gambaran tentang “sepuluh tanduk” mungkin ditarik dari gambaran binatang buas dalam Dan. 7:7, 20, 24. Jumlah tanduk itu ditampilkan untuk memperlihatkan kekuatannya yang besar (5:6). Namun, kekuatannya masih terbatas sebagaimana diperlihatkan dalam gambaran tentang kekuatan ekornya yang “menyeret sepertiga dari bintang-bintang di langit dan melemparkannya ke atas bumi” (12:4). Angka sepertiga mengindikasikan kekuatannya yang terbatas dan pembatasan bagi tindakan-tindakannya (bdk. 8:7, 9, 11, 12, 15, 18).


Konfrontasi perempuan dan naga (ay.4b-6)

Konfrontasi antara naga dan perempuan diperlihatkan secara jelas. Naga itu berdiri di hadapan perempuan yang hendak melahirkan untuk menelan anaknya segera sesudah dilahirkan. Identitas anak itu ditampilkan secara singkat. Anak itu seorang laki-laki, yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi. Dari sudut pandang kristiani, anak laki-laki itu mengacu kepada Yesus-Mesias yang dilahirkan dari bangsa Israel/umat Allah/Maria. Anak laki-laki itu dilukiskan sama seperti seorang figur Mesianik dalam Mzm. 2:9, “Engkau akan meremukkan mereka dengan gada besi” dan Yes. 66:7, “Sebelum menggeliat sakit, ia sudah bersalin, sebelum mengalami sakit beranak, ia sudah melahirkan anak laki-laki.”

Naga berdiri di hadapan perempuan untuk menelan anak laki-laki itu langsung setelah dilahirkan. Namun, ia gagal karena anak itu tiba-tiba dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan ke takhta-Nya. Dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan takhta-Nya merupakan sebuah ungkapan untuk melukiskan kemuliaan atau kenaikan Yesus. Dengan demikian, kisah ini tidak berkaitan dengan kelahiran Yesus secara fisik seperti tampak jelas dari tiga pertimbangan berikut. Pertama, perempuan itu bukanlah Maria. Kedua, di tempat lain dalam kitabnya, Yohanes tidak menunjukkan ketertarikannya pada peristiwa kelahiran Yesus. Ketiga, peristiwa kelahiran itu diikuti secara langsung dan sangat aneh – oleh peristiwa kenaikan-Nya.


Perang antara Mikhael dan Naga di surga (ay. 7-9)

Kisah tentang perempuan dan naga terputus oleh kisah tentang perang di surga antara Mikhael dan Naga. Dari kisah ini kita tidak diinformasikan bagaimana naga yang sebelum mengejar perempuan yang sedang mengandung di bumi kembali ke surga dan juga tidak menginformasikan apa yang memicu terjadi perang. Alasan penghilangan informasi ini sangatlah sederhana. Yohanes tidak bermaksud untuk menceritakan kisahnya secara kronologis. Perhatian utamanya terletak pada alasan mengapa Iblis atau Setan membenci gereja. Alasannya karena naga telah dilemparkan dari surga dan ia terus mengejar perempuan dan keturunannya. Kita yang familiar dengan kisah tentang Setan diusir atau dilemparkan dari surga dapat berasumsi bahwa perang terjadi karena Setan berupaya menjadi sama seperti Allah.

Mikhael, seorang malaikat yang namanya berarti “siapa seperti Allah”, hanya muncul di sini dalam keseluruhan kitabnya. Ia disebutkan sebanyak tiga kali dalam kitab Daniel sebagai “salah seorang dari pemimpin-pemimpin terkemuka” (Dan. 10:13); “pemimpinmu”; dan “pemimpin besar”(Dan. 12:1). Ia disebut juga sebagai “pemimpin malaikat” yang bertengkar dengan Iblis karena mayat Musa (Yud. 1:9) dan “pemimpin malaikat” yang berseru pada waktu parousia Tuhan (1Tes. 4:16). Di tempat lain, ia disebut sebagai malaikat agung (3 Barukh 11:8; 4Barukh 9:5; Testament of Abraham 1:4). Dalam gulungan kitab Laut Mati, ia dipandang sebagai seorang malaikat yang bertarung atas nama umat-Nya untuk melawan kekuatan jahat yang dipimpin oleh Belial atau setan (1QM 17:6-8). Dari beberapa gambaran ini, ia ditampilkan sebagai pelindung umat Allah.

Naga dilukiskan dan dikaitkan lebih lanjut sebagai “si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan.” Lukisan ini mungkin diambil dari kisah tentang masuknya dosa ke dalam dunia melalui tipu daya ular terhadap Hawa di taman Eden (Kej. 3:1-5). Yohanes tampaknya mengidentikkan setan dengan ular dalam Kej. 3 yang menipu Adam dan Hawa supaya tidak taat dan tidak percaya pada kata-kata Allah. Dalam konteks ini, ular, iblis atau setan adalah penyesat seluruh dunia. Ia mengacaukan dan membelokkan orang dari jalan Tuhan dan kebahagiaan.

Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan naga dan “malaikat-malaikatnya” di surga (ay.7). Ungkapan “malaikat-malaikat naga” ini hanya muncul di sini dalam keseluruhan kitabnya. Ungkapan ini mungkin dimaksudkan untuk mengimbangi ungkapan malaikat-malaikat Mikhael. Bagi beberapa penafsir, perang itu dilihat sebagai sebuah perang rohani antara Allah dan roh jahat dan beberapa yang lain melihatnya sebagai perang antara yang baik dan yang jahat. Apapun bentuk pemahamannya, Mikhael dan malaikat-malaikatnya ditampilkan sebagai inisiator dan pemenangnya.Naga dan malaikat-malaikatnya dilemparkan ke bumi. Tidak ada lagi tempat bagi mereka di surga. Kemenangan ini mengisyaratkan bahwa Allah akan mengalahkan musuh-musuh gereja.


Nyanyian kemenangan di surga (ay. 10-12)

Nyanyian kemenangan terjadi surga atas kalahnya naga dan malaikat-malaikatnya. Suara nyaring di surga yang didengar oleh Yohanes berasal dari dewan surgawi (bdk. 4:10-11; 5:8-9; 11:15; 19:10; 22:9). Nyanyian dewan surgawi ini memuat tiga hal. Pertama, situasi masa sekarang. “Sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa dan pemerintahan Allah kita, dan kekuasaan Dia yang diurapi-Nya” (ay. 10). Kedua, apa yang menyebabkan terjadinya situasi sekarang. Situasi itu terjadi karena “telah dilemparkan ke bawah pendakwa saudara-saudara seiman kita, yang mendakwa mereka siang dan malam di hadapan Allah kita” (ay. 10). Dilemparkannya ke bawah pendakwa saudara-saudara seiman mengingatkan kita pada naga yang telah dilemparkan ke bawah (ay. 9). Karena naga telah dilemparkan dari surga, maka keselamatan, kuasa, dan kerajaan Dia yang diurapi di bumi.

Mikhael dan malaikat-malaikatnya menang dalam perang melawan musuhnya melalui darah Anak Domba dan perkataan kesaksian mereka sendiri. Kini menjadi jelas bahwa alasan utama kemenangan bukanlah kekuatan Mikhael, melainkan melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Tindakan penebusan Kristus membebaskan umat beriman dari dosa-dosa mereka (1:5; 5:9) merupakan alasan kemenangan mereka atas naga dan malaikat-malaikatnya. Kemenangan itu juga tidak dapat dipisahkan dari kesaksian mereka sendiri tentang Yesus bahkan sampai mati. Alasan kemenangan ini mengingatkan kita kepada Yohanes yang berada di pulau Patmos karena sabda Allah dan kesaksiannya tentang Yesus (1:9); mereka yang dibunuh karena sabda Allah dan kesaksian yang mereka miliki (6:9).

Ketiga, suara nyaring itu menampilkan implikasi dari situasi yang terjadi sekarang. Pada satu sisi, surga dan orang-orang yang tinggal di dalamnya diminta untuk bersukacita (12:12; bdk Mzm. 96:11; Yes. 44:23; 49:13). Dalam 18:20, surga bersama para kudus, para rasul, dan para nabi akan diundang lagi untuk bersukacita atas penghakiman Allah terhadap kota besar Babel. Pada sisi lain, suara nyaring di surga menyampaikan sebuah kutukan (bdk. 8:13; 9:12; 11:4; 18:10, 16, 19) bagi bumi dan laut, “celakalah kamu, hai bumi dan laut! Kutukan itu muncul karena naga, Iblis, telah turun kepada orang yang tinggal di bumi yang secara jelas mengacu kepada peristiwa setelah perang di surga (12:9). Pengusiran naga, iblis atau setan dari surga berarti celaka bagi bumi karena ia datang kepada mereka dalam kemurkaan besar. Namun, hal itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat dan karena itu tanggapan yang tepat dari pihak umat Allah adalah tetap memberikan kesaksian iman dengan setia.


Kelanjutan konfrontasi antara naga dan perempuan serta keturunannya (ay. 13-17)

Kisah tentang perempuan dan naga diringkas lagi dalam bagian ini. Karena naga telah dikalahkan dan dilemparkan ke bumi, maka ia kembali mengejar perempuan yang melahirkan seorang anak laki-laki (Bunda Mesias, umat Allah, Gereja). Namun, Allah memberikan perempuan itu sarana yang diperlukan untuk meloloskan diri dari kejaran naga. Allah memberikannya kedua sayap dari burung nasar yang besar supaya ia terbang ke tempatnya di padang gurun, di mana ia dipelihara jauh dari tempat ular itu selama satu masa dan dua masa dan setengah masa (Dan. 7:25; 12:7).

Sarana yang diberikan, “kedua sayap burung nasar” mengingatkan kita pada apa yang dikatakan dalam Kel. 19:4; Ul. 32:11; Yes. 40:3. Allah telah membawa bangsa Israel di atas sayap burung rajawali dari Mesir, tanah penyembahan berhala, dan penindasan (11:8) ke padang gurun. Bagi Yohanes, padang gurun dalam kisah ini bukanlah tempat roh-roh jahat dan binatang-binatang buas (bdk. 18:2-3; Mrk. 1:13; Luk. 11:24), melainkan suatu tempat yang aman dan suaka dari pengejaran naga, tempat pengungsian dari kelaliman atau kesewenang-wenangan.

Melihat perempuan itu terbang ke padang gurun, naga menyemburkan dari mulutnya air, sebesar sungai, ke arah perempuan itu, supaya ia dihanyutkan oleh sungai tersebut (ay. 15-16). Namun, bumi itu sendiri datang menolongnya dengan membuka mulutnya dan menelan sungai yang disemburkan naga itu dari mulutnya. Tidaklah mudah untuk menemukan kesejajaran tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh bumi dalam Perjanjian Lama. Namun, Yohanes mungkin berpikir tentang banjir Nuh atau janji Allah: “Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan” (Yes. 43:2). Namun, apapun kisah yang disinggung oleh Yohanes, bumi sebagai ciptaan Allah yang baik digambarkan di sini sebagai penolong umat-Nya. Bumi digunakan oleh Allah untuk menelan banjir dan menghukum yang jahat (Bil. 26:10; Ul. 11:6; Mzm. 106:16-18). Bumi dapat ditafsirkan sebagai rahmat dan kuasa Allah yang menyelamatkan perempuan dari kekuatan naga yang merusakkan.

Naga gagal lagi setelah sebelumnya dikalahkan oleh Mikhael dan malaikat-malaikatnya. Namun, ia tidak menyerah, tetapi terus memerangi keturunan perempuan yang lain. Keturunan perempuan yang dilukiskannya sebagai orang-orang yang menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus. Pembedaan antara perempuan dan keturunannya yang lain menarik perhatian para ahli tafsir untuk mengidentifikasikan perempuan itu dengan gereja Palestina dan keturunannya yang lain dengan gereja yang bukan Yahudi. Namun, pembedaan itu tidak terlalu dibuat-buat karena di tempat lain Yohanes tidak menampilkan pembedaan tersebut. Lukisan tentang keturunan perempuan yang lain menunjukkan bahwa naga memerangi orang-orang yang menaati perintah Allah dan setia memberi kesaksian tentang Yesus. Naga memerangi orang kristiani yang ideal menurut kitab Wahyu.


1. Wilfrid. J. Harrington, Revelation (Collegeville: Liturgical Press, 1993), 130.
2. R. E. Clements, Isaiah 1-39 (Grand Rapids: Eerdmans, 1982), 87.
3. Padang gurun selalu mempunyai makna yang istimewa bagi orang Israel. Ketika mereka meninggalkan Mesir dan mengembara di padang gurun, mereka seharusnya mati karena tidak ada makanan dan minuman. Namun, di padang gurun yang mewakili kematian, orang Israel menemukan kehidupan. Mereka menemukan Allah. Ada air dan manna. Di padang gurun mereka mengenal Allah. Maka, padang gurun mewakili suatu tempat di mana orang dapat dengan mudah berhubungan secara dekat dengan Allah. “Ingatlah kepada seluruh perjalanan yang kaulakukan atas kehendak TUHAN, Allahmu, di padang gurun selama empat puluh tahun ini dengan maksud merendahkan hatimu dan mencobai engkau untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni, apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak” (Ul. 8:2). Gambaran yang lain tentang padang gurun yang ideal ditemukan dalam nabi Hosea, “Aku akan mengikat perjanjian bagimu pada waktu itu dengan binatang-binatang di padang dan dengan burung-burung di udara, dan binatang-binatang melata di muka bumi; Aku akan meniadakan busur panah, pedang dan alat perang dari negeri, dan akan membuat engkau berbaring dengan tenteram” (Hos. 2:16). Padang gurun adalah sebuah tempat di mana Allah melindungi umat pilihan-Nya. Karena Allah tergantung secara total pada Allah sendiri di pandang gurun, padang gurun merepresentasi relasi yang istimewa antara Allah dan umat-Nya.
4. Joseph L, Trafton, Reading Revelation: A Literary and Theological Commentary (Georgia: Smyth & Helwys, 2005), 117
5. Daniel Harrington, Revelation: the Book of the Risen Christ (Canada: New City Press, 1999), 99.
6. Dalam Perjanjian Lama, naga seringkali ditampilkan sebagai simbol bagi bangsa penindas seperti Mesir dan penguasanya (Mzm. 74:14), Firaun (Yeh. 32:2-32), Babilon (Yes. 27:1). Daniel menggunakan simbol naga untuk bangsa yang anti Allah dan penguasanya, lawan Israel. Dalam konteks ini, naga merah ditampilkan sebagai simbol untuk musuh utama umat Allah. Kim S. Vidal, Moon Under Her Feet: Woman of the Apocalypse (St. Glasgow: Wild Goose, 2004), 52
7. Trafton, Reading Revelation, 119.
8. Gerhard A. Krodel, Revelation (Minneapolis: Augsburg Fortress, 1989), 241.
9. Leonard L. Thompson, Revelation (Nashville: Abingdon Press, 1998), 137.
10.Vidal, Moon Under Her Feet, 65.
11.Menurut Harrington, suara nyaring itu kemungkinan besar tidak berasal dari para malaikat, tetapi dari para martir yang telah dimuliakan sebagaimana diisyaratkan oleh ungkapan “pendakwa saudara-saudara seiman.” Ungkapan ini sebelumnya muncul dalam Why. 6:11 ketika mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki diminta untuk beristirahat sedikit waktu lagi hingga genap jumlah kawan-kawan pelayan dan saudara-saudara seiman mereka, yang akan dibunuh sama seperti mereka. Harrington, Revelation, 101.
12.Seán P. Kealy, The Apocalypse of John (Wilmington: Michael Glazier, 1987),171.