Senin, Januari 30, 2012








KURSUS KITAB SUCI Jan-Feb 12 New!

Yayasan Lembaga Biblika Indonesia membuka Kursus Kitab Suci (Tematik) periode Januari - Februari 2012. Kursus diadakan setiap Senin & Kamis pkl. 09.00-11.00 WIB. Tema Kursus Kitab Suci periode ini; Pengantar Perjanjian Lama & Pengantar Perjanjian Baru

Pengantar Perjanjian Lama>>>Setiap Senin pkl 09.00 - 11.00
Pengantar Perjanjian Baru >>>Setiap Kamis pkl 09.00 - 11.00


Informasi : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 – 93692428
Email : kks@biblikaindonesia.org

Rabu, Januari 25, 2012

ORANG KAYA YANG MENGAMBIL DOMBA ORANG MISKIN
(Bagian 2)
Jarot Hadianto

“Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan.” (2Sam. 12:6)

Power tends to corrupt
Kisah Daud dan Batsyeba tersusun dengan rapi, cukup jelas, dan enak dibaca. Pembaca niscaya akan menikmati kisah ini dan tidak menemukan banyak kesulitan untuk memahaminya. Namun, satu-satunya kesulitan yang ada ternyata menjadi masalah terbesar perikop ini: Mengapa aib yang tidak senonoh itu perlu diceritakan dan dimuat dalam Kitab Suci? Sejumlah pencinta Kitab Suci sungguh menyayangkan hal tersebut. Sambil mengelus dada, mereka berpendapat mestinya cerita-cerita yang saru, tidak pantas, dan tidak suci seperti itu tidak usah dimuat saja. Namanya juga Kitab Suci! Sudah begitu, kisah Daud yang tak bisa menahan nafsunya itu sering membuat umat repot. Gara-gara itu orang lain jadi seenaknya menuduh: “Kitab Suci orang Kristen isinya pornografi semua.” Kalau saja Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi jadi disahkan, bisa-bisa skandal Daud itu membuat Kitab Suci kita dilarang beredar. Malu, kan?

Tapi itu sebenarnya tergantung pada pemahaman kita tentang makna Kitab Suci. Kalau Kitab Suci dipandang sebagai kitab yang berisikan hal-hal yang suci, ya aib Daud sebaiknya disembunyikan saja. Konsekuensinya Alkitab akan jadi tipis, karena kisah-kisah perang, pembunuhan, dan pemerkosaan dengan begitu juga harus disingkirkan. Kiranya akan lebih baik jika kita berpendapat bahwa Alkitab disebut Kitab Suci karena di situ dapat kita temukan ajaran-ajaran tentang keutamaan hidup yang disampaikan melalui pengalaman-pengalaman umat TUHAN di masa lalu, baik itu pengalaman yang menyenangkan maupun pengalaman yang mengerikan. Dengan gagasan demikian, kita bisa mengerti mengapa penyusun kitab Samuel tidak malu-malu mengisahkan skandal Daud dan Batsyeba. Justru kita perlu memujinya, sebab dengan begitu ia jujur menampilkan manusia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Daud tidak terkecuali. Hamba pilihan TUHAN ini hidupnya tidak hanya diisi oleh cerita-cerita sukses. Saat-saat yang kelam juga pernah menaungi perjalanan hidupnya.

Dengan mengingini istri Uria, Daud membuka pintu hatinya bagi kejahatan. Sebagai raja ia mempunyai kekuasaan yang sangat besar, mestinya hal itu membuatnya berhati-hati dalam bertindak. Bukankah ada ungkapan: power tends to corrupt (kekuasaan cenderung disalahgunakan)? Jelas-jelas Daud mengabaikan nasihat bijak itu. Lupa dengan idealismenya saat berjuang dan dikejar-kejar Saul, setelah menjadi raja sekarang gantian Daud yang mabuk kuasa dan menyalahgunakan jabatannya. Diawali dengan zina, kejahatan-kejahatan lain dengan segera datang menyusul. Apa boleh buat, dosa yang satu dilakukan untuk menutupi dosa yang lain. Daud perlu membunuh Uria untuk menyembunyikan skandalnya dengan Batsyeba. Dihitung-hitung, sang raja setidaknya telah melanggar tiga perintah Allah yang paling dasar: ia berzina; mengingini istri orang; dan melakukan pembunuhan (lih. Kel. 20:1-17). Tapi parahnya, sejauh ini tidak ada yang menegurnya, sehingga Daud tenang-tenang saja dan tidak merasa bersalah. Mungkin begitulah tabiat khas para penguasa, tidak ada bedanya zaman dahulu dan sekarang. Sungguh mengesalkan bahwa mereka ini berlagak seolah-olah berada di atas hukum. Kalau saja Daud bukan raja, kejahatannya itu pasti sudah diganjar dengan hukuman mati!

Karena takut, orang-orang di sekitar Daud diam saja melihat kelakuan rajanya. Tapi TUHAN tak bisa diam. Salah besar jika Daud mengira jabatannya bisa membuat dirinya bebas berbuat apa saja sesuka hati. Ia tak kebal hukum, dan TUHAN selaku raja Israel yang sejati siap menghakiminya. Maka, perikop perzinaan Daud dan Batsyeba pun diakhiri dengan sebuah kalimat tegas bernada penghakiman: “Tetapi hal yang telah dilakukan Daud itu adalah jahat di mata TUHAN” (2Sam. 11:27). Hukuman telah menanti sang raja. Sesuai dengan dosa yang dilakukannya, hukuman itu sangat hebat.

Dulu diberkati, sekarang dikutuk
Pantas saja Nabi Natan merasa jengkel melihat ulah sang raja. Kiranya di pundak Daud ia menaruh banyak harapan. Hal itu tidak mengherankan jika kita menilik track record Daud yang sangat positif sebelum ia menjadi raja dan pada masa-masa awal pemerintahannya. Karenanya banyak pihak percaya Daud akan menjadi raja yang berhasil; ia akan memerintah Israel sebagai wakil TUHAN dalam kebenaran dan keadilan. Natan adalah salah seorang pendukung Daud. Terhadap sang raja nada bicaranya pernah sangat optimis. Bacalah tentang hal tersebut selengkapnya dalam 2Sam. 7:1-17. Sebagai penyambung lidah Allah, di situ Natan menubuatkan berkat berlimpah dari-Nya bagi Daud dan keturunannya. Namun, Daud pertama-tama diingatkan bahwa kejayaan yang dialaminya saat ini adalah berkat penyelenggaraan dan kebaikan hati TUHAN.

Berikut petikannya: “Akulah yang mengambil engkau dari padang, ketika menggiring kambing domba, untuk menjadi raja atas umat-Ku Israel. Aku telah menyertai engkau di segala tempat yang kaujalani dan telah melenyapkan segala musuhmu dari depanmu. Aku membuat besar namamu seperti nama orang-orang besar yang ada di bumi. Aku menentukan tempat bagi umat-Ku Israel dan menanamkannya, sehingga ia dapat diam di tempatnya sendiri dengan tidak lagi dikejutkan dan tidak pula ditindas oleh orang-orang lalim seperti dahulu, sejak Aku mengangkat hakim-hakim atas umat-Ku Israel. Aku mengaruniakan keamanan kepadamu dari semua musuhmu. Juga diberitahukan TUHAN kepadamu: TUHAN akan memberikan keturunan kepadamu.” (2Sam. 7:8-11)

Jadi Daud diingatkan bahwa kemuliaan yang diraihnya bukan semata karena usahanya pribadi, tapi pertama-tama dan terutama berkat kasih setia TUHAN. Mengapa TUHAN berkenan memilih Daud? Tidak ada hubungannya dengan ketaatan atau prestasi yang diraih Daud, dengan mengatakan “Akulah yang mengambil engkau” (dan kalimat-kalimat lain yang semuanya diawali dengan “Aku”) Natan menegaskan bahwa pilihan TUHAN itu bersumber dari kehendak bebas-Nya. TUHAN mengasihi Daud dan melimpahinya dengan rupa-rupa karunia karena Ia berkehendak begitu. Terdorong oleh kasih setianya pula TUHAN berkenan mengikat perjanjian dengan Daud. Kepadanya Ia menjanjikan sesuatu yang luar biasa: Takhta Daud akan kokoh untuk selama-lamanya (2Sam. 7:12-16)!

Demikianlah, janji itu ditujukan kepada Daud, tapi cukup jelas bahwa anak cucu Daud akan menikmati dampaknya pula. Bagaimana tidak, TUHAN sendiri yang akan membangkitkan keturunan bagi Daud dan akan “mengokohkan takhta kerajaannya untuk selama-lamanya”. Maka, nubuat itu bukan hanya memberi legitimasi bagi pemerintahan Daud, tapi juga pemerintahan keturunannya. Raja-raja dinasti Daud dengan begitu dapat menunjuk nubuat Nabi Natan 2Sam. 7 sebagai klaim bahwa pemerintahan mereka direstui oleh TUHAN.

Namun jika tidak dicerna dengan tepat, nubuat sang nabi akan kontraproduktif, tidak lebih dari sekadar dukungan membabi buta bagi kekuasaan raja-raja keturunan Daud, dan itu hanya akan mendorong mereka memerintah sesuka hati. Oleh karena itu pendapat sejumlah pakar Kitab Suci berikut patut kita perhatikan. Gnana Robinson dalam bukunya Let Us Be Like the Nations berpendapat bahwa teks 2Sam. 7 dari waktu ke waktu telah mengalami redaksi oleh banyak pihak. Sulitlah bagi kita sekarang ini untuk memilih-milahnya. Tapi setidaknya dalam bentuknya yang terakhir cukup jelas nubuat Natan ini menggambarkan keyakinan penyusun bahwa dinasti Daud adalah manifestasi karya penyelamatan Allah bagi bangsa Israel. Dulu TUHAN memimpin mereka keluar dari Mesir; memberikan Kanaan sebagai tanah terjanji untuk mereka tempati; sekarang Ia menunjuk orang pilihan-Nya untuk memerintah mereka dengan adil. Ia juga menjamin kemuliaan bagi Daud (dengan begitu juga bangsa yang dipimpinnya) di masa depan. Sementara itu, Walter Brueggemann dalam bukunya First and Second Samuel menilai bahwa nubuat Natan dalam 2Sam. 7 merupakan pernyataan teologis yang paling krusial dalam Perjanjian Lama. Menurut Brueggemann, nubuat Natan ini menggambarkan iman – yang bercampur dengan keyakinan ideologis – pihak-pihak pendukung keluarga Daud yang berani mengklaim bahwa Allah sendiri yang mengesahkan pemerintahan dinasti ini untuk selama-lamanya.

Namun, bahkan pendukung keluarga Daud pun akhirnya menyadari bahwa pemerintahan di dunia ini selalu ada kekurangannya. Meski digelari hamba TUHAN yang setia, Daud pernah juga melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Raja-raja keturunannya pun nyatanya nanti banyak yang tingkah lakunya mengecewakan, bahkan merekalah yang akhirnya mengantar kerajaan itu pada perpecahan dan kehancuran. Maka dari itu kita perlu lebih bijak menafsirkan “jaminan memerintah untuk selama-lamanya” dalam nubuat Nabi Natan. Pendapat Brueggemann dapat kita pertimbangkan. Menurutnya, dalam nubuat ini ada ketegangan yang sulit dipecahkan antara janji keabadian pemerintahan dinasti Daud di satu sisi, dengan di sisi lain konsep ganjaran setimpal yang biasanya menjadi keyakinan tradisi D.

Sementara ini ada baiknya kita membatasi diri pada penanganan kasus Daud dan Batsyeba saja. Atas perbuatannya yang keji Daud akan mendapat hukuman yang setimpal dari Allah (sesuai dengan keyakinan tradisi D), tapi hukuman itu tidak akan menghapus janji Allah akan kelestarian pemerintahan keluarganya. Alasannya sederhana (tapi tidak selalu mudah kita terima): karena demikianlah kehendak Allah. Atas dasar kasih setia-Nya, Dia telah mengikat perjanjian dengan Daud. Maka Ia akan setia dengan perjanjian itu, meski Daud telah berbuat dosa. Situasi memang jadi agak sulit: keluarga Daud akan memerintah selama-lamanya (2Sam. 7:16), tapi pada saat yang sama “pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya” (2Sam. 12:10). Ya, hukuman berat segera dijatuhkan kepada Daud. Nabi Natan sudah siap menyampaikan keputusan dari TUHAN, Hakim yang mahatinggi, langsung di hadapan sang raja, pesakitan yang pura-pura tidak berdosa.

Perumpamaan dikira laporan
Dalam 2Sam. 11 Daud tampak dominan dengan menyuruh orang lain melakukan ini dan itu. Dominasi sang raja tak berbekas di 2Sam. 12 karena sekarang hak untuk menyuruh ada di tangan TUHAN, sementara Daud hanya bisa menerima, tak punya pilihan lain. Saatnya tiba bagi TUHAN untuk memainkan peran-Nya sebagai Raja Israel yang sejati. Ia pun menyuruh Natan mendatangi Daud. Sang nabi menunaikan tugasnya dengan berani, lagi cerdik. Ia tidak langsung menegur Daud. Di hadapan Daud, ia terlebih dulu mengisahkan sebuah cerita yang sangat menarik, tentang orang kaya yang merampas domba betina milik orang miskin.

Perumpamaan itu demikian sederhana, namun maksudnya jelas. Tentang si kaya, Natan tidak bicara banyak. Ia lebih fokus pada orang yang miskin, dengan menggambarkan betapa dalam relasi antara orang itu dengan satu-satunya domba betina yang dimilikinya: penuh perhatian, cinta, dan kasih sayang. Singkat kata, orang miskin dan dombanya itu hidup bahagia. Tapi kebahagiaan itu dihancurkan oleh orang kaya yang tanpa perasaan mengambil domba betina itu dari tangan si miskin. Kesan main paksa, tidak jujur, egois, dan rakus dapat kita tangkap dari perbuatan orang kaya itu. Cukup jelas bagi kita – tapi tidak bagi Daud – orang kaya yang dimaksud adalah Daud sendiri, orang miskin itu Uria, dan domba betina yang diambil paksa itu menunjuk pada Batsyeba.

Bodohnya Daud, ia mengira perumpamaan itu kisah nyata. Dikiranya Natan melaporkan terjadinya tindak kriminal pengambilan domba secara paksa, dan memintanya sebagai raja Israel memberikan penghakiman yang tegas. Jadi betapa efektif (dan menjebak) perumpamaan yang dikisahkan Nabi Natan! Menyangka bahwa ini menyangkut orang lain, rasa keadilan Daud langsung terpanggil dan ia pun menjatuhkan hukuman yang tidak kira-kira beratnya: “… Orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan” (2Sam. 12:5-6).

Begitulah sifat manusia pada umumnya: menuntut orang lain berlaku adil, tapi tidak diri sendiri. Natan dengan cerdik memainkan kecenderungan buruk tersebut. Daud dibuatnya lena sedemikian rupa hingga akhirnya ia menjatuhkan hukuman pada dirinya sendiri. Tentunya Daud shock berat ketika tiba-tiba Natan berbalik menudingnya: “Engkaulah orang itu!” (2Sam. 12:7). Hati Daud seketika menciut, jadi rupanya dia sudah ketahuan!

Demikianlah Nabi Natan telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Para raja memang harus selalu diingatkan bahwa kekuasaan politiknya berada di bawah TUHAN, dan bahwa kekuasaan itu juga harus punya etika. Dalam sejarah kerajaan Israel – baik di selatan maupun di utara – pertentangan antara raja dan nabi memang selalu muncul. Saul bertentangan dengan Samuel; Elia melawan Ahab; Yesaya melawan Ahas; Yeremia bahkan berturut-turut menghadapi Raja Yoahas, Yoyakim, Yoyakhin, dan Zedekia. Konflik ini terjadi karena para raja dinilai menjalankan kekuasaannya dengan sekehendak hati “seperti pada segala bangsa-bangsa lain” (bdk. 1Sam. 8:5), sehingga nabi-nabi tampil untuk mengingatkan mereka agar memerintah sesuai kehendak TUHAN, Raja Israel yang sejati. Natan yang berkarya pada masa pemerintahan Daud tak luput dari masalah ini. Ia cukup berhasil, sebab Daud diantarnya pada penyesalan yang mendalam hingga akhirnya muncul pernyataan: “Aku sudah berdosa kepada TUHAN” (2Sam. 12:13). Dalam hal ini Natan sungguh beruntung karena yang dihadapinya adalah Daud. Tidak sia-sia TUHAN menjadikannya hamba pilihan, Daud dengan rendah hati mengakui segala kesalahannya. Nabi-nabi lain – Yeremia misalnya – nasibnya tidak sebaik itu. Raja-raja yang mereka tegur tetap berkepala batu, dan malah berbalik mengejar-ngejar mereka.

Akan halnya Daud, kenekatan Natan tak membuatnya gusar. Ia tenggelam dalam penyesalan diri atas kejahatan yang telah dilakukannya. Bagi dirinya sendiri ia menjatuhkan hukuman mati dan kewajiban untuk memberikan ganti rugi empat kali lipat. Pertobatan Daud membuat Natan memaklumkan pembatalan hukuman mati bagi dirinya (2Sam. 12:13), tetapi ganti rugi tetap harus dibayar, sebab kejahatan Daud “telah sangat menista TUHAN” (2Sam. 12:14). Meski mendapatkan keringanan, hukuman itu nyatanya masih sangat berat: pedang selamanya tidak akan menyingkir dari keturunannya; istri-istrinya akan diambil secara terang-terangan; dan anak hasil hubungan gelapnya dengan Batsyeba akan mati. Betapa mahal harga yang harus dibayar Daud demi kesenangan diri yang enaknya hanya sekejap ia rasakan. Kenikmatan sesaat, hukumannya kekal!

Daud memasuki masa-masa suram
Tradisi D dengan rapi menyusun 2Sam. 11-12 sebagai awal kemunduran pemerintahan Raja Daud. Bagi kita pembaca Alkitab masa kini, membaca perikop ini mungkin menyisakan sejumlah pertanyaan: Bagaimana berkat abadi bisa berjalan beriringan dengan kutuk yang juga berlaku selamanya? Bagaimana pula dengan janji keabadian pemerintahan dinasti Daud, bukankah ratusan tahun kemudian kerajaan itu tamat di tangan kerajaan Babel? Mungkin akan membantu jika diingat kembali bahwa redaksi akhir tradisi D terjadi pada masa pembuangan. Kerajaan Daud telah musnah, Israel bahkan terusir dari tanah terjanji. Namun di hati kaum buangan keyakinan bahwa mereka akan dipulihkan tetap menyala-nyala. Mereka yakin suatu saat bisa kembali ke tanah terjanji dan untuk seterusnya dipimpin lagi turun-temurun oleh keturunan Daud.

Kisah dalam 2Sam. 11-12 dengan demikian merupakan refleksi cikal bakal kemunduran pemerintahan Daud, yang secara teologis diyakini sebagai hukuman TUHAN akibat dosa besar yang dilakukan sang raja. Nubuat Natan dalam 2Sam. 12:1-15a bahkan diperkirakan mula-mula tidak ada dalam kisah ini, ditambahkan kemudian untuk menunjukkan bahwa kemalangan beruntun yang menimpa Daud tidak lain merupakan hukuman dari TUHAN. Secara keseluruhan 2Sam. 11-12 mempersiapkan lengsernya Daud dari takhta kerajaan Israel, dan memberi landasan teologis mengapa keluarga Daud tercerai berai, saling bunuh satu sama lain. “Murid-muridku sekalian,” demikian Guru Deuteronomis mau mengakhiri kuliahnya, “Kemerosotan Daud adalah buah dari dosa yang dilakukannya. Dulu ia begitu jaya dan gilang-gemilang, sayang sang raja kemudian menyimpang dari jalan TUHAN. Kejahatan merasuki hatinya, dan mulai sekarang kegemilangannya pun terjun bebas menuju kehancuran...”***



Selasa, Januari 17, 2012










Seirama Langkah Tuhan (Au pas de Dieu) New Book!
Francois Gondrand

Nihil Obstat: Armand Michael Millan, S. Th.D
(Manila, 14 Oktober 2011)
Imprimatur: Tri Budi Utomo, Pr, Vikjen Keuskupan Surabaya
(Surabaya, 24 Oktober 2011)

Cet. 1. 2012, 150 x 229 mm, - 404 hlm, OBOR
Harga Rp 75.000,-
Harga Member Rp. 67.500,- (disc 10%)
Kategori : Rohani
ISBN: 978-979-565-603-6

Biografi
Santo Josemaria Escriva
(Pendiri Opus Dei)

©

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428
Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org










Jalan Salib (Via Crucis) New Book!
Santo Josemaria Escriva

Nihil Obstat: Armand Michael Millan, S. Th.D
(Manila, 14 Oktober 2011)
Imprimatur: Tri Budi Utomo, Pr, Vikjen Keuskupan Surabaya
(Surabaya, 24 Oktober 2011)

Cet. I. 2011, 118 x 160 mm, -119 hlm, OBOR
Harga Rp 35.000,-
Harga Member Rp. 31.500,- (disc 10%)
Kategori : Rohani

ISBN: 978-979-565-602-9

Buku yang amat berharga dari Santo Josemaria ini disiapkan khusus untuk membantu umat merenungkan sengsara Tuhan Yesus, untuk berdoa dan, dengan rahmat Allah, untuk tumbuh dalam semangat silih- penyesalan yang tumbuh dari kasih serta dalam rasa syukur kepada Tuhan, yang telah menyelamat kita dengan Darah-Nya.

©

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428
Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org

Jumat, Januari 06, 2012

AJARAN TENTANG PAROUSIA BUKANLAH DONGENG (2 Ptr. 1:16-21)
Alfons Jehadut

Jemaat kristiani menghadapi para pengajar sesat yang mempersoalkan kebenaran ajaran tentang parousia Tuhan. Mereka menganggap dan menuduh pewartaan tentang kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai Raja hanya sebagai dongeng isapan jempol manusia (ay. 16). Bagi mereka, ajaran ini tidak sesuai dengan kenyataan. Mereka memang sudah lama menunggunya, tetapi tidak pernah terealisasi.

Menghadapi anggapan dan tuduhan para pengajar palsu, Petrus membela ajarannya tentang parousia Tuhan. Ia menyatakan bahwa ajarannya bukanlah dongeng isapan jempol manusia belaka (ay. 16). Ajarannya didasarkan pada saksi mata pewahyuan Allah pada waktu peristiwa transfigurasi (ay. 17-18). Ajaran tentang parousia diteguhkan oleh nubuat para nabi. Namun, nubuat itu “tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (ay. 19-21).

Ajaran tentang parousia bukan cerita isapan jempol (ay. 16)
Petrus membela ajaran ketika diserang oleh para pengajar palsu. Petrus meminta jemaatnya untuk mengingat bahwa ajarannya tidak berasal dari dirinya sendiri, tetapi benar-benar berasal dari Allah. Meski ditulis dan disampaikannya, namun ajaran-ajarannya tidak menyatakan pemikiran dan kehendaknya sendiri, tetapi pemikiran dan kehendak Allah. Roh Allah yang menuntun dan menginspirasinya ketika menulis dan menyampaikan ajaran kepada jemaat (2 Tim. 3:16; bdk. 2 Ptr. 1:21).

Petrus selanjutnya menyatakan bahwa ajarannya bukanlah sebuah dogeng isapan jempol yang dibuat-buat oleh manusia seperti yang biasa ditampilkan oleh para pengajar palsu. Pada waktu mewartakan tentang kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai Raja, Petrus bersama dua rasul lainnya – Yakobus dan Yohanes – menyaksikan kebesaran dan kemuliaan-Nya. Di sini Petrus menafsirkan peristiwa transfigurasi sebagai ungkapan kehormatan dan kemuliaan Yesus dan antisipasi kedatangan-Nya kembali dalam keadaan yang mulia pada waktu parousia. Kehormatan dan kemuliaan itu tidak hanya dinyatakan melalui perubahan rupa-Nya, tetapi juga melalui suara Allah yang menafsirkan perubahan tersebut.

Peristiwa transfigurasi Yesus (ay. 17-18)
Bagaimana peristiwa transfigurasi diceritakan oleh Petrus? Peristiwa itu tidak diceritakannya secara terperinci seperti yang dikisahkan oleh injil sinoptik (Mat. 17:1-8; Mrk. 9:2-8; Luk. 9:28-36). Ia tampaknya tidak tertarik untuk menceritakannya secara terperinci. Penampakan dan gambaran tentang pakaian Yesus tidak dikisahkannya. Ia lebih memusatkan perhatian pada suara yang datang dari dalam awan. Fokus perhatian ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa ajarannya berwibawa, bukan sebuah dongeng isapan jempol.

Sumber yang datang dari dalam awan diidentifikasikan oleh Petrus sebagai suara Allah, sementara dalam injil sinoptik sumber suara itu tidak diidentifikasikan secara jelas. Suara Allah itu menyatakan identitas Yesus sebagai Anak Allah. “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (bdk. Mat. 17:5; Mrk 9:7; Luk. 9:35). Kata-kata Allah ini serupa dengan suara surgawi pada waktu baptisan Yesus (bdk. Mrk 1:11; Mat 4:17; Luk 3:22). Suara Allah itu tidak hanya didengar oleh Petrus, tetapi juga oleh Yakobus dan Yohanes.

Petrus, Yakobus, dan Yohanes mendengar suara Allah yang menyingkapkan identitas Yesus yang berubah rupa ketika bersama-sama dengan Yesus ada di atas gunung yang kudus. Gunung itu disebut kudus karena apa yang terjadi di sana, yakni kemuliaan Allah dinyatakan dalam diri Yesus. Secara natural gunung memang dianggap sebagai tempat pewahyuan ilahi. Allah berbicara dengan Musa di gunung Sinai ketika memberikan hukum-Nya (Kel. 19:23) dan dengan Elia ketika meneguhkan dan menugaskannya kembali (1Raj. 19:8-18).

Sesuai dengan nubuat para nabi (ay. 19-21)
Petrus selanjutnya menyatakan bahwa ajarannya diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Melalui pernyataan ini ia ingin mengungkapkan bahwa ajarannya sungguh-sungguh didasarkan pada nubuat para nabi. Namun, sayangnya tidak ada kutipan tertentu yang ditampilkan. Ia mengandaikan begitu saja bahwa pembaca atau pendengarnya mengetahui nubuat yang dirujuknya. Itulah sebabnya, para penafsir berasumsi bahwa Petrus sedang merujuk pada kitab Dan. 7:13-14 yang menubuatkan tentang kedatangan “seorang seperti anak manusia” yang diterapkan kepada kedatangan Yesus yang kedua dalam Perjanjian Baru.

Meski tidak dikutip secara jelas, namun Petrus memberi nasihat kepada jemaatnya untuk memperhatikan nubuat para nabi seperti memperhatikan “pelita yang bercahaya di tempat yang gelap” (ay. 19a). Di sini nubuat dipahaminya sebagai pelita yang bercahaya di tempat yang gelap. Pemahaman ini mungkin didasarkannya pada gagasan pemazmur yang berkata, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm. 119:105). Nubuat dipahami sebagai terang yang akan memberi petunjuk, fokus, dan harapan kepada jemaat tentang bagaimana harus hidup di dunia yang gelap ini.

Nasihat untuk memperhatikan nubuat para nabi diakhiri dengan sebuah peringatan tentang bagaimana harus menafsirkan nubuat. “Nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (ay. 20-21). Nubuat para nabi tidak boleh ditafsirkan semata-mata berdasarkan perasaan dan keinginan pribadi. Sebab, nubuat tidak pernah dihasilkan oleh kehendak manusia tetapi dihasilkan dari inspirasi Roh Kudus.

Kata-kata nubuat para nabi harus diperhatikan sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar. Dalam Bil. 24:17, “bintang terbit dari Yakub” dipahami sebagai suatu acuan bagi kedatangan Mesias. Bagi Petrus, kedatangan Mesias itu terpenuhi dalam diri Yesus sebagai pembawa terang. Yesus digambarkan sebagai “Surya pagi dari tempat yang tinggi” (Luk. 1:78) dan “bintang timur yang gilang-gemilang” (Why. 22:16).