Senin, Desember 20, 2010

Mazmur 145

UNTUK SETERUSNYA DAN SELAMANYA
Jarot Hadianto

“Aku hendak mengagungkan Engkau, ya Allahku, ya Raja,
dan aku hendak memuji nama-Mu untuk seterusnya dan selamanya.” (Mzm. 145:1)

“Masuk biara banyak tantangannya, aku tahu itu,” kataku dengan letih lesu kepada teman yang ada di hadapanku. Saat itu, senja mulai turun. Langit berwarna kemerahan, dan kegelapan mulai menyelimuti bumi.

Sore itu kami mengadakan acara sharing panggilan. Kegiatan ini dilakukan setelah ibadat sore, lamanya kira-kira setengah jam. Dua belas frater dibagi menjadi enam kelompok. Kami lalu bertukar pikiran berdua-dua, terinspirasi oleh dua orang murid Yesus yang berjalan menuju Emaus dalam kegelisahan. Aku dan seorang teman mengambil tempat di depan biara. Kami duduk lesehan di situ. Tema yang harus kami diskusikan kali ini adalah tantangan dalam hidup membiara, dan aku memulainya dengan kisah yang suram.

“Aku tahu, di biara aku harus memperbaiki hidupku, harus tahan menanggung godaan, harus mendekatkan diri kepada Tuhan, harus latihan meditasi dan mengolah hidup rohani. Aku tahu itu semua dan aku siap menghadapinya,” kataku lagi.

Temanku tak kunjung memberi tanggapan. Dari tadi ia hanya memandangiku, kelihatannya tidak antusias. Sesekali ia berlama-lama memejamkan mata, mungkin bertanya-tanya, mimpi apa semalam hingga sore ini dihujani keluh-kesah dan persoalan hidup orang lain.

“Tapi ada satu masalah besar yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Masalah ini sangat mengganggu!” demikian aku terus berbicara, kali ini dengan berkobar dan berapi-api. Nada suaraku sengaja kutinggikan agar temanku itu jadi punya minat untuk mendengarkan.
“Wah! Masalah apa itu?” tanya temanku penasaran. Pancinganku rupanya berhasil.
“MENYANYI! Aku tidak tahu bahwa di biara, orang harus bisa menyanyi! Dan aku tidak bisa menyanyi!” jawabku.

Yang namanya sharing mestinya didengarkan dengan hikmat dan penuh pengertian. Sayangnya temanku ini mungkin tak pernah mendengar anjuran tersebut. Pengakuanku disambutnya dengan ledakan tawa yang mengagetkan. Bahkan saking lucunya (menurut dia lucu, menurut aku tidak), tawanya tak kunjung berhenti walau sudah berlangsung 5 menit. “Sungguh makhluk tak berperasaan!” umpatku dalam hati.

Tapi, tanpa mengindahkan penderitaanku, ia terus saja tertawa sampai menangis dan memegangi perutnya yang mulai terasa sakit. Aku hanya dapat memandanginya dengan kesal. Anak ini rupanya masih mengingat kejadian saat ibadat sore tadi.


Setiap hari aku hendak memuji Engkau


Ibadat sore tadi memang berujung pada kekacauan. Dan yang patut dipersalahkan tidak lain dan tidak bukan adalah aku sendiri, sebab akulah yang memimpin ibadat itu. Sebagai pemimpin, mestinya aku dapat menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga kami semua dapat beribadat dengan tenang dan hikmat. Tapi – maafkan aku, Tuhan – aku gagal.

Suasana rusuh sudah terasa sejak awal, yakni ketika aku melantunkan seruan pembuka: ‘Ya Allah, bersegeralah menolong aku.’ Not yang dipakai dalam seruan ini sebenarnya tidak banyak dan simpel saja: do-re-do-si-do-do. Aku cuma harus mengingat bahwa do pertama ditarik panjang-panjang, lalu antara nada si dan do ada ‘ayunan’ yang harus diwaspadai. Tapi, ya Tuhanku, karena tegang luar biasa dan karena pada dasarnya aku tak bisa menyanyi, rangkaian not sederhana itu di bibirku spontan berubah menjadi komposisi rumit dengan bunyi yang tidak karuan, miring ke sana dan miring ke sini. Frater-frater mulai menutup mulut, terkikik-kikik menahan tawa.

Kehancuran terjadi 15 menit kemudian, saat aku tampil lagi untuk ‘mengangkat’ Kidung Zakharia. Secara teknis, rangkaian nada dalam kidung ini memang lebih kompleks daripada dalam seruan pembuka. Bayangkan saja, di bagian belakang ada lima not dengan nada naik turun yang harus aku titi dengan tepat, tak boleh meleset, tak boleh terdengar fals. Sanggupkah aku? Aku ragu dan jadi gemetar. Tapi apa boleh buat, aku tak bisa mundur. Maka aku pun membulatkan tekad: aku hendak menyanyi untuk memuji nama Tuhan! Haleluya! Aku pasti bisa!

Maka, kupejamkan kedua mataku dan kutarik nafas dalam-dalam. Sesaat kemudian mulailah aku membuka mulut untuk melantunkan untaian syair yang indah penuh makna … dan habislah semuanya. Entah bagaimana caranya, aku membuat do jadi sol, sol jadi mi, dan mi jadi re. Konon kabarnya, dari mulutku keluar juga nada-nada baru yang belum pernah terdengar sebelumnya di alam semesta ini.

Pada saat itu, tanpa dikomando, seisi kapel langsung meledak. Teman-temanku tak kuat lagi menahan tawa. Sebagian berusaha menutup wajahnya dengan buku brevir, sebagian yang lain buru-buru keluar ruangan untuk tertawa sepuasnya di luar sana. Doa jadi kacau, ibadat sore bubar dengan sendirinya. Untung saat itu tak ada Pater Magister!


Tuhan itu panjang sabar dan besar kasih setia-Nya


Kalau hanya terjadi satu dua kali, tak apalah. Tapi peristiwa macam ini sudah terjadi berulang-ulang, dan sedihnya kemungkinan besar akan terus terjadi di masa mendatang. Bagaimana tidak, suaraku memang payah, tak bisa diperbaiki lagi. Jangan bilang aku malas berusaha, sebab aku sudah berdaya upaya sepanjang waktu untuk memperbaikinya. Setiap kali mendapat giliran memimpin ibadat, aku selalu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Sehari sebelumnya aku pasti mengurung diri dalam kamar untuk latihan menyanyi sepanjang hari. Hasilnya, ya itu tadi, nol besar.

Pater Magister sebenarnya tak terlalu peduli apakah aku bisa menyanyi atau tidak. Dia ini orangnya keras, tapi hanya menyangkut hal-hal yang prinsip, nyanyi-menyanyi tidak termasuk di dalamnya. Yang tidak sabar melihat diriku adalah wakilnya, Socius Magister, atau yang biasa kami panggil Pater Socius. Maklum, dia ini seniman ulung dan penyanyi hebat tiada tara. Suaranya sangat merdu bagaikan suara malaikat yang turun dari surga. Dan jangan lupa, vibrasi suaranya itu lo. Kalau dia menyanyi, kaca-kaca jendela sampai bergetar dibuatnya. Pater Socius sangat peduli pada lagu-lagu Gregorian yang disebutnya ‘warisan luhur dari Bunda Gereja yang suci’. Ia sungguh tidak rela lagu-lagu surgawi itu turun martabatnya gara-gara suaraku yang sember.

Pertama kali mendengar aku menyanyi, Pater Socius spontan mengelus dada. Ia mengaku telinganya langsung sakit sampai-sampai pendengarannya terganggu selama seminggu. Setelah itu, disingkirkannya aku dari grup paduan suara, karena katanya suaraku ‘semerdu burung gagak yang tengah mencari makan di tengah sawah’. Kala teman-temanku menyanyi di gereja, ia malah menyuruhku jadi misdinar saja. Alasannya, ‘ini kor dengan empat suara, kalau ada kamu nanti jadi lima suara’. Lain kesempatan, ia marah mendapatiku mengacaukan ibadat. Dicelanya aku karena menyanyi seperti ‘orang yang sedang berkumur-kumur’. Suaraku, katanya dengan emosi, ibarat ‘jeritan roh jahat yang datang dari neraka’.

Lama-lama aku jengkel diejek demikian. Memangnya menyanyi itu adalah segala-galanya? Memangnya menyanyi itu syarat masuk surga? Memangnya biarawan yang baik diukur dari caranya menyanyi? Dari suaranya yang bagus? Lihat dari cara hidupnya dong, bukan dari caranya menyanyi!

Ah, bukan berarti aku membenci Pater Socius. Dia itu sebenarnya orang baik. Dulu, menyadari bahwa aku ini manusia bersuara sumbang, ia berusaha melatihku habis-habisan. Pertama-tama, ia mengajari aku untuk melafalkan kata dengan baik. Ini penting, sebab aku suka sekali mengubah huruf f menjadi p. Akibatnya, lagu bagus dari Spice Girls yang berjudul Viva Forever saat kunyanyikan berubah menjadi Pipa Poreper. Di mata Pater Socius, sang seniman sejati, apa yang kulakukan itu tak ubahnya pelecehan terhadap karya seni. Itu dosa besar! Ia terpanggil untuk mempertobatkan diriku agar kembali ke jalan yang benar.

Soal pelafalan kata, Pater Socius boleh dibilang sukses mendidik diriku. Sekarang aku bisa membedakan mana huruf f, mana huruf p. Tapi soal penguasaan nada, bimbingan darinya gagal total. Sejauh masih berurutan do-re-mi-fa-sol-la-si-do, not-not itu memang tidak menjadi masalah bagiku. Tapi kalau aku diminta menyanyikan lagu dengan not yang naik turun, meliuk-liuk, dan berbelit-belit, semuanya pasti kacau balau. Apa boleh buat, aku benar-benar tuna nada!

Kegusaran Pater Socius memuncak ketika aku bisa-bisanya mendapat tugas untuk membawakan Mazmur Tanggapan. Saat itu, kami mengadakan misa intern di kapel biara. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Begitu aku bersuara dari atas mimbar, seketika seisi kapel dinaungi oleh suasana horor yang mencekam. Nada-nada yang kusenandungkan membuyarkan konsentrasi semua orang. Syukur tak ada yang sampai tertawa terbahak-bahak. Selain karena sudah kauancam sebelumnya, teman-temanku tampaknya sangat menghormati keluhuran perayaan Ekaristi. Mereka hanya buru-buru menunduk di kursinya masing-masing, setengah mati menahan tawa.

Tidak demikian halnya dengan Pater Socius. Ia murka dan sangat kecewa. Suaraku saat itu agaknya hancur-hancuran. Mendengarnya, Pater Socius jadi merasa bahwa usahanya selama ini sama sekali tak berguna. Jerih payahnya mengajariku menyanyi sia-sia belaka! Ia sangat marah karenanya dan langsung keluar dari kapel sambil membanting pintu. Tuhan kasihanilah kami…


Tuhan itu penopang bagi semua orang yang jatuh


“Tak kusangka ketidakmampuanku dalam bernyanyi akan membebani perjalanan panggilanku,” keluhku lagi melanjutkan sharing-ku. “Bayangkan, berdoa lima kali sehari, tujuh hari seminggu, semuanya dinyanyikan! La, ini kan ordo para pengemis bukan para penyanyi!”
“Kalau begini caranya, aku kan jadi repot. Mana tahan aku ditertawakan kalian semua terus-menerus. Terus terang ya, gara-gara itu aku pernah berpikir untuk mundur saja. Tapi masak keluar dari biara gara-gara tak bisa nyanyi? Alasan itu kurang berbobot!” Puas benar sore ini aku mencurahkan seluruh persoalan yang mengganjal hatiku.

Setelah itu, suasana mendadak hening. Aku sudah selesai dengan kisahku yang panjang lebar, sementara temanku yang tadi terkekeh-kekeh sekarang tampak berpikir-pikir dengan serius. Agaknya ia kini prihatin melihat diriku yang tengah pusing tujuh keliling. Tapi mengapa dia terus saja tersenyum-senyum kecil?
“Ah teman,” katanya sambil nyengir, “Kamu tak harus menyanyikan semuanya. Baca saja kah.”
“Tapi kebiasaan dalam tarekat kita kan begitu. Doa-doa harus dinyanyikan dengan indah. Semua orang meyakini bahwa menyanyi itu sama dengan berdoa dua kali!” kataku mengutip sebuah pepatah Latin.

“Itu kalau suaramu bagus,” tukas temanku. “Suaramu kan hancur. Kalau kau menyanyi, itu artinya kau tidak berdoa,” katanya sambil tertawa-tawa lagi.
“Lagi pula jangan kecil hati kah,” lanjutnya. “Yang suaranya jelek justru kelak akan jadi uskup. Biasanya begitu. Lihat saja, uskup-uskup kan biasanya tak bisa menyanyi.”
Wah, benarkah itu? Perkataan terakhir temanku menjadi penghiburan bagiku. Aku bisa tersenyum lagi dan sepanjang malam membayangkan asyiknya menjadi uskup. Hmmm…


Dua belas tahun kemudian


Hari ini aku bertemu dengan temanku itu lagi. Aku berdiri di depan altar, sementara ia kulihat duduk manis di bangku umat. Ya, setelah melalui perjalanan yang panjang, setelah jatuh bangun berjuang menghadapi aneka macam tantangan, pada akhirnya aku boleh ditahbiskan menjadi imam. Temanku itu tidak ada di antara kami, frater-frater yang ditahbiskan, sebab ia telah memilih untuk menempuh jalan hidup yang lain. Sayang sekali, padahal ia anak yang pandai.

Tentang diriku, aku sungguh tidak menyangka boleh menerima anugerah sebesar ini dari Tuhan. Padahal sebagai seorang pribadi, aku sungguh memiliki banyak kekurangan. Aku merasa tak layak menjadi hamba-Nya. Namun, kebesaran dan kebaikan hati Tuhan menutupi semua kekurangan itu.

Atas karunia yang melimpah ini, tak henti-hentinya hatiku memuji Dia, “Ya Tuhan, aku hendak mengagungkan nama-Mu untuk seterusnya dan selamanya!”
Aku pun bertekad untuk membalas kebaikan itu. Kujanjikan kepada-Nya, “Ya Tuhan, umat-Mu yang Kaupercayakan kepadaku akan kugembalakan dengan sebaik-baiknya! Siang dan malam!”
Setelah misa selesai, di tengah-tengah serbuan umat yang ingin mengucapkan selamat, aku berkesempatan bertemu dan berbincang-bincang dengan temanku itu. Wah, tak terasa kami sudah tidak bertemu selama belasan tahun! Maka dengan gembira kami bersalaman, saling menepuk bahu, dan berbasa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Sayangnya perbincangan itu tak bisa berlangsung lama. Panitia sudah menyeret-nyeretku untuk berfoto bersama umat. Maka, pertemuan kami untuk sementara terpaksa mesti diakhiri.
“Omong-omong,” katanya sebelum berpisah “prefasi yang kaunyanyikan tadi adalah prefasi terburuk yang pernah kudengar.”
“Suaramu masih saja mengerikan, baca saja kah.”
Kali ini kami tertawa bersama-sama.***

Kepustakaan
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 73-150. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 2. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.
Van Harn, Roger E., dan Brent A. Strawn (ed.). Psalms for Preaching and Worship. Grand Rapids: William B. Eerdmans, 2009.






Jumat, Desember 17, 2010

PERJALANAN MISI PAULUS YANG KEDUA
Alfons Jehadut

Berangkat dari Antiokhia Siria

Sebelum meninggalkan Antiokhia Siria, Paulus dan Barnabas berpisah. Barnabas ingin membawa Yohanes Markus lagi, tetapi Paulus menolaknya karena Yohanes Markus telah meninggalkan mereka di Pamfilia dan tidak bekerja bersama-sama lagi dengan mereka (Kis. 15:38). Setelah terjadi perselisihan yang tajam, tetapi sayangnya Lukas tidak memberitahukan apa alasan sebenarnya, Barnabas dan Yohanes Markus berlayar ke Siprus, sementara Paulus dan Silas berlayar ke Galatia selatan. Kegiatan misi pewartaan Barnabas dan Yohanes Markus tidak ditampilkan secara lebih spesifik, sementara kegiatan misi Paulus dan Silas ditampilkan secara spesifik. Paulus dan Silas meneguhkan jemaat dan mengajarkan kepada mereka hasil keputusan konsili Yerusalem (Kis. 15:41).

Setelah mendapat restu dari komunitas Antiokhia Siria untuk meneruskan pewartaan injil kepada bangsa-bangsa lain (Kis. 15:40), Paulus dan Silas meninggalkan Antiokhia Siria dan pergi ke gereja-gereja di Siria dan Kilikia untuk menyampaikan hasil keputusan konsili Yerusalem. Mereka juga datang ke Derbe dan Listra. Di Listra, Paulus menemukan rekan kerjanya lain, Timotius, yang disuruhnya sunat karena ibunya seorang Yahudi. Bersama dengan dua rekan misionarisnya ini, Paulus terus mewartakan injil di daerah Galatia selatan dan menyampaikan hasil keputusan konsili Yerusalem.

Lukas mencatat bahwa jemaat-jemaat yang dikunjungi oleh Paulus, Silas, dan Timotius diteguhkan dalam iman dan jumlah mereka bertambah dari hari ke hari (Kis. 16:5). Pertumbuhan jumlah ini kemungkinan besar hasil pembaruan misi perwartaan injil yang dilakukan oleh Paulus dan rekan-rekan misionarisnya, tetapi mungkin juga hasil dari kegiatan misi gereja-gereja di daerah tersebut. Pertumbuhan jemaat baru ini mungkin juga ditonjolkan oleh Lukas untuk menunjukkan bahwa solusi konflik yang diambil oleh konsili Yerusalem mengenai sunat antara orang kristiani Yahudi dan yang bukan Yahudi telah berhasil.


Rencana bermisi di provinsi Asia dan Bitinia

Setelah meninggalkan kota-kota di Galatia Selatan, yakni Ikonium, Derbe, Listra, Paulus bersama dengan Silas dan Timotius berencana untuk langsung pergi mewartakan injil di provinsi Asia, yakni Efesus, tempat pemerintahan gubernur Romawi (Kis. 16:6). Namun, rencana itu gagal karena Roh Kudus mencegah mereka mungkin melalui sebuah mimpi atau penglihatan. Roh Kudus juga mencegah mereka untuk mewartakan injil di provinsi Bitinia. Di sini Roh Kudus berperan sebagai pembatasan aktivitas misi pewartaan injil. Melalui pembatasan ini kita melihat bahwa arah misi pewartaan injil sesungguhnya tidak ditentukan oleh keinginan para misionaris, tetapi oleh Roh Kudus.

Karena rencana misi pewartaan injil di provinsi Asia dan Bitinia telah dicegah oleh Roh Kudus, Paulus dan rekan-rekannya pergi ke Troas melalui Misia. Di daerah ini Paulus dan rekan-rekannya mungkin tidak mewartakan injil, jika kita menghubungkan larangan Roh Kudus untuk bermisi di Asia dengan seluruh kota di provinsi Asia. Tetapi, jika Paulus dan rekan-rekannya hanya dilarang untuk melakukan karya misi pewartaan injil di ibu kota provinsi Asia, Efesus, maka mereka mungkin telah mewartakan injil di kota-kota yang mereka lalui.

Di Troas, Paulus mendapat sebuah penglihatan. Dalam penglihatan itu ia melihat seorang Makedonia berdiri dan memohon kepadanya, “Menyeberanglah kemari dan tolonglah kami!” (Kis. 16:9). Dari penglihatan ini ia dan rekan-rekannya menyimpulkan bahwa Allah memanggil mereka untuk mewartakan injil di Makedonia. Di sini penglihatan dilihat sebagai sarana yang dipakai oleh Allah untuk menyampaikan pesan dan kehendak-Nya. Dengan demikian, misi pewartaan injil di Makedonia bukanlah keinginan Paulus dan rekan-rekannya tetapi kehendak Allah sendiri.


Karya misi di Filipi

Setelah tiba dari Neapolis, Paulus, Silas, dan Timotius melakukan perjalanan misi pewartaan injil ke Filipi. Kisah itu diceritakan dalam Kis 16:12-40. Di Filipi, mereka mencari komunitas Yahudi lokal untuk beribadat pada hari sabat dan mewartakan injil pertama-tama kepada orang Yahudi. Mereka ke luar pintu gerbang kota dan menyusuri tepi sungai dan menemukan tempat sembahyang (Yunani: proseukhe) atau sinagoga (Kis. 16:13). Di sini mereka hanya bertemu dengan sekelompok perempuan yang berkumpul untuk berdoa. Pernyataan ini mungkin berarti bahwa laki-laki dan perempuan berdoa pada waktu yang berbeda-beda.

Di antara sekelompok perempuan, Lukas menyebut Lidia, seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira (bdk. Why. 2:18-29). Ia digambarkan sebagai seorang yang beribadah kepada Allah. Ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus dan rekan-rekan misionarisnya dan percaya kepada Yesus Kristus sehingga ia dibaptis bersama-sama dengan seisi rumahnya (Kis. 16:15). Iman dan baptisan ini dimungkinkan oleh karena Allah membuka hati mereka. Di sini kita melihat keyakinan teologis Lukas bahwa orang dapat beriman kepada Yesus Kristus hanya kalau Allah membuka hatinya (Kis. 11:18). Iman itu bukan hanya sebuah keputusan pribadi, melainkan juga hasil karya Allah. Iman itu diikuti dengan tindakan mengabungkna diri dalam persekutuan umat Allah melalui baptisan. Lidia bersama dengan seluruh isi rumahnya dibaptis, termasuk para pelayan, hamba, dan keturunan mereka.

Selain bertemu dengan sekelompok perempuan, Paulus dan rekan-rekan misionarisnya menjumpai seorang budak perempuan yang mempunyai roh tenung. Budak perempuan itu mengikuti mereka selama beberapa hari sambil berseru, “Orang-orang ini hamba Allah Yang Mahatinggi. Mereka memberitakan kepadamu jalan keselamatan” (Kis. 16:18). Seruan budak perempuan ini dilihat secara berbeda-beda oleh para penafsir. Beberapa penafsir melihatnya secara positif sebagai seorang yang memiliki peran penting dalam menyiarkan arti pesan yang benar dari pewartaan Paulus dan rekan-rekan misionarisnya kepada warga kota Filipi. Namun, roh tenungnya kemudian diusir karena mereka tidak menginginkan seorang yang tidak beriman menjadi media pewartaan injil. Pandangan positif ini tampaknya tidak masuk akal karena Paulus dan rekan-rekannya merasa terganggu sehingga mereka mengusir roh tenungnya dalam nama Yesus. Mereka terganggu karena sapaan Allah Yang Mahatinggi bagi warga kota Filipi yang bukan Yahudi dikaitkan dengan dewa Zeus. Hal ini berbahaya bagi pewartaan mereka karena bisa dipahami secara salah sebagai sintekretisme agama.

Ketika tuan-tuan budak perempuan yang telah dibebaskan melalui pengusiran roh tenungnya melihat harapan mereka untuk mendapat penghasilan telah lenyap, mereka lalu menangkap Paulus dan rekan-rekan misonarisnya dan menyeret mereka kepada para pembesar kota. Tuan-tuan perempuan ini melukiskan diri mereka sebagai warga Roma. Mereka menuduh Paulus dan rekan-rekan misionarisnya sebagai pengacau wilayah jajahan Roma di Filipi karena mengajarkan adat-istiadat yang tidak boleh dituruti oleh orang Roma. Adat-istiadat yang dimaksudkan di sini mungkin mengacu kepada ajaran mengenai ibadat dan penyembahan kepada Allah yang Esa yang tidak diterima dan diakui oleh penguasa Roma. Hukum Roma memang melarang siapapun untuk memiliki dewa-dewinya sendiri dan dewa-dewi baru atau asing selain yang diakui secara resmi oleh negara. Tuduhan ini menyebabkan para pembesar kota menyuruh tuan-tuan budak perempuan dan massa yang mendukung mereka untuk menelanjangi, mendera, dan melemparkan Paulus dan rekan-rekan misionarisnya ke dalam penjara (bdk.1Tes. 2:2; 2Kor. 11:23-25).

Ketika berada di penjara, Paulus dan rekan-rekannya memberikan kesaksian tentang iman mereka dengan berdoa dan menyanyikan puji-pujian (Kis. 16:25). Pada saat itulah terjadi gempa bumi dasyat yang melambangkan kehadiran ilahi. Sendi-sendi penjara goyah dan seketika itu terbukalah semua pintu penjara dan terlepaslah belenggu mereka. Ketika kepala penjara terjaga dan melihat pintu-pintu penjara terbuka, ia mau bunuh diri karena berpikir bahwa semua tahanan telah membebaskan diri. Namun, Paulus menghalanginya niatnya untuk bunuh diri, “Jangan celakan dirimu, sebab kami semuanya masih ada di sini.” Kepala penjara berlari masuk ke dalam penjara dan membawa mereka keluar dan bertanya, “Tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat supaya aku selamat?” Pertanyaan kepala penjara ini menggemakan pertanyaan orang-orang Yahudi Yerusalem pada waktu Pentekosta kristiani pertama (Kis. 2:37). Paulus dan Silas memberi jawaban klasik tentang “jalan keselamatan”, yakni percaya kepada Tuhan Yesus Kristus (Kis. 16:17; bdk. 2:21; 11:14). Allah menyelamatkan orang yang percaya kepada Yesus Kristus dan keselamatan ini tersedia juga bagi seisi rumah kepala penjara (bd. 2:21; 4:21; 10:43; 11:14; 15:11).

Setalah gempa bumi dahsyat, para pembesar kota menjadi takut dan menyuruh pejabat-pejabat kota pergi kepada kepala penjara untuk melepaskan Paulus dan Silas (16:35-36). Namun, Paulus dan Silas malah memprotes kebijakan pembesar kota dengan berlandaskan pada status mereka sebagai warga negara Roma (Kis. 16:37). Sebagai warga negara Roma, mereka dilindungi secara hukum dari hukuman cambuk atau deraan secara kejam di depan umum dan orang yang menghukum seorang warga negara dihukum berat. Protes ini ditanggapi oleh para pembesar kota dengan meminta maaf dan meminta mereka meninggalkan kota Filipi dengan damai. Tanggapan ini mengimplikasikan bahwa mereka menyadari kesalahan mereka. Hukuman cambuk atau deraan kepada warga negara Roma di hadapan umum melanggar ketetapan hukum Roma.

Mengapa Paulus dan Silas tidak memprotes saat mereka ditelanjangi, didera, dan dipenjara? Ada tiga alasan yang ditampilkan. Pertama, alasan praktis berkaitan dengan masalah waktu. Jika statusnya sebagai warga negara Roma dikedepankan, maka ada banyak hal yang harus dijelaskan dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuktikannya. Walau tidak sulit untuk membuktikan statusnya karena pasti terdaftar di kota asalnya, namun letak kota asalnya sangat jauh dari Filipi sehingga menyulitkannya untuk menujukkan sejumlah dokuman dan saksi karena ia dituduh sebagai seorang Yahudi dan mengakui dirinya sebagai seorang Yahudi yang memiliki status sebagai warga negara Roma. Kedua, alasan religius berkaitan dengan sentimen anti-Yahudi di Filipi. Dengan mengedepankan statusnya sebagai warga negara Roma, orang Yahudi semakin berada dalam situasi terjepit sehingga dihindarinya. Ia tidak pernah menyangkal latar belakang dan warisan keyahudianya dan mewartakan pesan “pewartaan Yahudi” tentang Mesias. Ketiga, alasan misi pewartaan injil. Dengan mengedepankan statusnya sebagai warga Roma, para pembesar dan warga kota dapat menafsirkan misi pewartaannya secara salah. Mereka dapat menafsirkannya sebagai suatu bentuk penerimaan terhadap kebiasaan dan adat-istiadat Romawi dan penolakan terhadap tradisi-tradisi Yahudi. Penafsiran keliru ini tentu sangat menganggu orang yang baru saja percaya kepada Yesus seperti Lidia, orang yang beribadah kepada Allah, dan orang Yahudi yang mungkin sudah percaya kepada Yesus.

Sejarah gereja Filipi diinformasikan secara lebih lanjut oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Ada tiga perhatian utama Paulus dalam surat ini. Pertama, ia mengingatkan persekutuan jemaat dengannya dalam pemberitaan injil. Persekutuan itu diperlihatkan dalam dukungan finansial yang dibawa Epafroditus bagi karya misinya (Flp. 2:25-30; 4:10-20). Peringatan ini dimunculkannya ketika para misionaris Yahudi-kristiani datang ke Filipi untuk mewajibkan sunat kepada orang kristiani bukan Yahudi (Flp. 3:17-21) dan karena itu harus diwaspadai (Flp. 3:2-21). Kedua, Paulus menasihati jemaat Filipi untuk sabar, setia, dan terus bersatu. Mereka harus berdiri teguh dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Injil tanpa digentarkan sedikit pun oleh lawan mereka (Flp. 1:27; bdk. 1:28-30; 2:1-4; 4:2-3). Ketiga, memberi informasi mengenai situasi hidupnya di penjara, kesehatan Epafroditus, utusan jemaat, yang jatuh sakit dan hampir mati, pengutusan Timotius dan rencananya kunjungannya pada masa yang akan datang (Flp. 1:12-20; 2:19-30).


Karya misi di Tesalonika

Dari Filipi melalui Amfipolis dan Apolonia, Paulus melanjutkan perjalanan misi ke Tesalonika, tempat kediaman prokonsul Roma, bersama dengan rekan misionarisnya. Kisah misi di Tesalonika diceritakan secara singkat oleh Lukas dalam Kis. 17:1-9. Tidak ada indikasi bahwa Paulus dan rekannya mewartakan injil di kota-kota yang mereka lalui. Hal ini mungkin karena mereka mengetahui bahwa tidak ada sinagoga di sana. Surat Paulus sendiri mencatat dalam 1Tes. 2:1-2 bahwa wilayah misi pewartaan injilnya setelah Filipi adalah Tesalonika.

Kisah Lukas tentang kunjungan pertama Paulus dan rekan misionarisnya ke Tesalonika terdiri dua bagian. Bagian pertama menceritakan awal kegiatan misi pewartaan (Kis. 17:1-4). Mereka mula-mula mewartakan injil di sinagoga lokal seperti yang biasa dilakukan. Selama tiga hari Sabat berturut-turut, mereka mewartakan injil di sinagoga yang tidak hanya dihadiri oleh orang Yahudi, tetapi juga sejumlah besar orang Yunani yang takut kepada Allah, yakni para simpatisan yang hadir dalam ibadat di sinagoga dan tertarik pada keyakinan iman Yahudi. Tidak sedikit dari simpatisan itu berasal dari perempuan-perempuan terkemuka. Paulus dan rekan misionarisnya meyakinkan para pendengarnya dengan memberikan pendasaran biblis tentang Yesus yang telah mati dan dibangkitkan sebagai Mesias yang dijanjikan. Namun, sayangnya Lukas tidak memberitahukan kepada kita perikop Perjanjian Lama manakah yang mungkin digunakan oleh Paulus.

Lukas menceritakan secara singkat keberhasilan misi pewartaan Paulus dan rekan misionarisnya. Di antara orang Yahudi yang hadir mendengarkan pewartaannya, hanya beberapa yang berhasilkan menjadi percaya dan menggabungkan diri dengan Paulus dan rekan misionarisnya. Keberhasilan kecil di antara orang Yahudi dikontraskan dengan keberhasilan besar di antara orang Yunani yang takut akan Allah dan perempuan-perempuan terkemuka yang berasal dari kaum bangsawan lokal. Keanggotaan gereja Tesalonika yang sebagian besar berasal dari orang-orang yang bukan Yahudi tampaknya dibenarkan oleh suratnya yang pertama kepada jemaat di Tesalonika, yang pertama-tama dialamatkan kepada jemaat kristiani yang bukan Yahudi (1Tes. 1:9).

Bagian kedua menampilkan sebuah kisah kekacuan di kota Tesalonika yang didalangi oleh orang Yahudi yang iri hati dengan keberhasilan pewartaan Paulus dan rekan misionarisnya (Kis. 17:5-9). Mereka menghasut beberapa penjahat Yunani lokal yang berkeliaran di pasar untuk membuat kekacauan di kota (13:50; 14:2, 5; 14:19). Mereka menyerbu rumah Yason dengan maksud untuk menghadapkan Paulus dan Silas kepada sidang rakyat. Identitas Yason tidak dilukiskan secara rinci oleh Lukas sehingga memunculkan sejumlah spekulasi. Ada yang berasumsi bahwa Paulus sudah mengenal Yason sebelum ia tiba di Tesalonika. Lidia dari Filipi yang memperkenalkan Paulus dengan Yosan pada saat meninggalkan Filipi. Yang lain berasumsi bahwa Yason adalah saudara jauh Paulus. Asumsi ini dapat menjelaskan mengapa Lukas tidak memperkenalkan identitas Yason secara lebih detail; mengapa ia tinggal di rumahnya; dan mengapa Yason merelakan dirinya sebagai jaminan bagi Paulus. Namun, Paulus sendiri melukiskan Yosan bersama dengan Lukius dan Sosipater sebagai teman-temannya sebangsa dan bukan sanak keluarga (Rom. 16:21).

Ketika tidak menemui Paulus dan rekan misionarisnya, massa yang dimobilisasi oleh orang Yahudi yang iri hati menyeret Yason dan beberapa orang kristiani yang mungkin sedang berkumpul untuk beribadat ke hadapan pembesar-pembesar kota. Di hadapan para pembesar kota, massa menampilkan dua tuduhan. Pertama, “orang-orang yang mengacaukan seluruh dunia telah datang juga kemari dan Yason telah menerima mereka menumpang di rumahnya” (Kis. 17:6-7a). Di sini Lukas tampaknya menampilkan suatu peristiwa sejarah. Yason dituduh menyedikan tumpangan dan menyiapkan makanan bagi Paulus dan rekan misionarisnya yang dituduh telah membuat kerusuhan di Tesalonika dan daripada di seluruh dunia yang beradab.

Tuduhan bahwa orang yang mengacaukan seluruh dunia jelas tidak mengacu kepada Yason dan beberapa orang kristiani yang sedang berkumpul di rumahnya karena Yason dan berapa orang kristiani berasal dari Tesalonika itu sendiri. Tuduhan ini mengarah kepada Paulus dan dua orang rekan misonarisnya. Tuduhan ini sebenarnya merefleksikan perasaan orang yang bukan Yahudi yang menyembah berhala pada zaman Lukas ketika gereja berkembang cepat di seluruh kekaisaran. Hampir pasti bahwa tuduhan ini tidak pernah muncul ketika hanya ada dua gereja yang telah didirikan oleh Paulus di Eropa. Lukas tampaknya menempatkan tuduhan dan masalah yang muncul pada zamannya ketika Paulus melakukan karya misi pewartaan injil supaya kisah menjadi relavan bagi pembacanya yang juga familiar dengan tuduhan semacam ini.
Kedua, “mereka semua bertindak melawan ketetapan-ketetapan Kaisar dengan mengatakan bahwa ada seorang raja lain, yaitu Yesus” (Kis. 17:7b; bdk. 16:21; Luk. 1:33; 19:11, 12, 15, 38; 22:29-30; 23:2-3, 37). Tuduhan ini ditujukan kepada Paulus dan rekan-rekan misionarisnya. Mereka dituduh melakukan kesalahan karena mewartakan seorang raja lain, yakni Yesus. Dengan pewartaan itu mereka dianggap tidak setia kepada kaisar Roma sebagai penguasa dunia sehingga para pembesar kota menjadi gelisah. Karena situasinya sangat berbahaya, Yason dan saudara-saudara seiman menyuruh Paulus dan rekan-rekan misionarisnya segera meninggalkan kota Tesalonika (bdk. 9:25, 30; 14:6) dan berangkat ke Berea, kota lain di Makedonia.

Kisah lanjutan tentang pewartaan Paulus di Tesonika diceritakan dalam suratnya. Beberapa bulan setelah meninggalkan Tesalonika, Paulus menulis surat untuk dibacakan di hadapan “semua saudara” yakni semua kaum beriman di kota itu (1Tes. 5:27). Ungkapan, “semua saudara” mengindikasi ada dua komunitas kristiani di Tesalonika, yakni komunitas kecil kristiani Yahudi dan komunitas besar kristiani bukan Yahudi. Namun, tidak ada indikasi bahwa komunitas besar kristiani bukan Yahudi terpisah dari komunitas kecil Yahudi. Penafsiran yang lebih masuk akal untuk ungkapan “semua saudara” adalah bahwa kota Tesalonika memiliki beberapa gereja-rumah yang mungkin sudah terbentuk pada waktu Paulus pertama kali mewartakan injil di kota tersebut. Maka, surat yang ditulisnya setelah meninggalkan Tesalonika harus dibaca oleh beberapa gereja-rumah di sana.


Karya misi di Berea

Setelah mereka meninggalkan kota Tesalonika secara terburu-buru, Paulus dan Silas tiba di Berea. Kisah melukiskan karya misi pewartaan injil Paulus di Berea dalam Kis. 17:10-14. Seperti biasanya, Paulus pertama-tama pergi ke rumah ibadat orang Yahudi, sinagoga. Lukas menceritakan bahwa orang-orang Yahudi Berea lebih siap mendengarkan pewartaan Paulus dan rekan-rekan misionarisnya tentang Yesus Kristus sebagai Mesias daripada orang-orang Yahudi di Tesalonika. Mereka menerimanya dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui apakah hal-hal yang dikatakan Paulus dan Silas itu benar atau tidak.

Lukas mencatat keberhasilan misi pewartaan injil di Berea. Ada banyak orang Yahudi yang menjadi percaya dan tidak sedikit di antaranya adalah orang Yunani yang terkemuka, baik perempuan maupun laki-laki. Keberhasilan ini memperlihatkan gereja ketiga di Makedonia dibangun berkat perwartaan Paulus dan rekan misionarisnya. Namun, orang-orang Yahudi Tesalonika yang telah menentang pewartaan Paulus dan rekan-rekan misionarisnya datang juga ke Berea untuk menghasut orang di sana. Kedatangan mereka ini memperlihatkan adanya kontak yang baik antara orang Tesalonika dan Berea. Ketika mendengar bahwa Paulus dan rekan misionaris telah mewartakan injil di Berea, mereka mengirim utusan untuk menghasut dan mengelisahkan hati orang banyak di kota Berea dan berharap bahwa Paulus dan rekan-rekan misionarisnya dituduh sebagai penyebab kekacauan dan para pembesar kota mengambil suatu tindakan keras.

Niat jahat utusan-utusan Yahudi Tesalonika terbaca oleh orang-orang kristiani di Berea yang baru saja bertobat. Dengan cepat mereka meminta Paulus segera berangkat menuju ke Pidna, pelabuhan Berea, sementara Silas dan Timotius tetap tinggal di Berea. Paulus ditemani oleh beberapa anggota gereja Berea berlayar dengan perahu ke Atena (Kis. 17:14-15). Beberapa anggota gereja Berea kemudian pulang lagi dengan membawa pesan kepada Silas dan Timotius untuk sesegera mungkin bergabung bersama Paulus. Dengan demikian, misi pewartaan injil di Makedonia berakhir.


Karya misi di Atena

Paulus menunggu Silas dan Timotius di Atena (Kis. 17:15), yang masih tinggal di Berea (Kis. 17:14), untuk bergabung kembali bersamanya. Silas dan Timotius mungkin bertemu lagi dengannya di Atena. Mereka kemudian diutusnya untuk kembali ke Makedonia dengan suatu tugas baru. Timotius diutusnya ke Tesalonika (1Tes. 3:15) dan Silas ke Filipi (2Kor 11:9; Flp. 4:4). Mereka kemudian bergabung lagi di Korintus. Lukas menceritakan karya misi pewartaan injil di Atena secara panjang lebar dalam Kis. 17:16-34.

Pada saat menunggu Silas dan Timotius untuk bergabung dengannya, Paulus memiliki kesempatan untuk melihat kota Atena (bdk. 1Tes. 3:1). Ia melihat ada banyak kuil, patung-patung berhala, dan altar-altar persembahan bagi dewa-dewi. Sebagai seorang kristiani Yahudi, ia sangat terpukul dengan penyembahan berhala di seantera kota tersebut. Reaksi ini berasal dari latar belakang monoteis Yahudinya (bdk. Kel. 20:4; Ul. 5:6-10) dan keyakinannya bahwa persembahan yang diberikan orang Atena kepada dewa-dewi adalah persembahan kepada roh-roh jahat, bukan kepada Allah (1Kor. 10:20).

Menanggapi apa yang dilihatnya, Paulus seperti biasa dilakukannya di kota-kota lain pergi ke sinagoga pada hari Sabat untuk mewartakan injil kepada orang Yahudi dan simpatisan Yahudi (bdk. Kis. 13:5, 14, 43; 14:1; 16:13; 17:1, 10, 17; 18:4, 19; 19:8). Namun, kita tidak mendengar adanya perlawanan atau pertobatan di antara orang Yahudi dan simpatisan Yahudi sebagai dampak dari pewartaannya di sana. Ia juga berdialog “di pasar setiap hari dengan orang-orang yang dijumpainya di situ.” Di antara orang-orang itu ada beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa.

Epikuros dan Stoa mewakili dua sekolah filsafat yang terkemuka pada zaman itu. Epikuros yang didirikan oleh Epikuros (sekitar tahun 300 SM) menyangkal keberadaan Allah dan hidup setelah mati. Mereka meyakini bahwa hidup ini hanya sebatas dunia ini dan karena itu hidup harus dinikmati sebelum mereka mati. Bagi mereka, kenikmatan adalah kebajikan yang paling tinggi. Moto mereka adalah “makan, minum, dan menikah sebab besok kita mati.” Sementara Stoa yang didirikan oleh Zeno (sekitar tahun 300 SM) meyakini bahwa Allah hadir dalam semua ciptaan. Allah ada dalam batu, pohon, langit, dan segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Sikap mereka terhadap hidup adalah pasrah dan berusaha untuk hidup sesuai dengan hukum alam dalam hidup sehari-hari.

Perwartaan dan perdebatan Paulus dengan dua aliran filsafat memunculkan dua tanggapan yang berbeda. Ada yang menganggapnya sebagai seorang pembual. Anggapan ini merupakan sebuah ejekan yang umumnya diberikan kepada pengkotbah atau pewarta jalanan yang hanya mengangkat kekayaan intelektual orang lain dan tidak memiliki pengajaran yang berguna bagi diskusi publik tentang agama yang benar. Yang lain menganggapnya sebagai pemberita ajaran dewa-dewa asing karena ia mewartakan injil tentang Yesus dan kebangkitannya (Kis. 17:18). Pewartaannya tentang Yesus dan kebangkitannya didengar oleh orang Atena seperti nama dari dua orang dewa, yakni “Yesus” dan “Anastasis” annya (Yunani: anastasis). Kedua tanggapan ini memperlihatkan bahwa filsuf Epikuros dan Stoa salah memahami pewartaan Paulus di pasar. Kegagalan mereka disebabkan karena mereka tidak mengetahui sejarah agama Yahudi sehingga pewartaannya tidak berhasil membuat mereka terkesan.

Paulus kemudian dibawa oleh orang Atena ke hadapan sidang Areopagus untuk mempresentasikan ajaran barunya. Areopagus adalah sebuah bukit kecil yang terletak di sebelah barat Akropolis atau benteng di mana ada sebuah ruang yang cukup untuk diadakan sidang dewan atau debat publik. Terkesan pasar yang sebelumnya dijadikan sebagai tempat untuk berdiskusi dengan siapa saja yang dijumpainya tidak lagi mencukupi untuk mengakomodasi orang banyak yang tertarik pada ajaran Paulus yang mereka anggap sebagai sesuatu yang baru. Di sinilah tempat yang tepat baginya untuk membuktikan keahliaannya sebagai pengkotbah dan kebenaran ajarannya yang dianggap baru.

Anggota sidang meminta Paulus untuk menjelaskan ajarannya, “Bolehkah kami tahu ajaran baru mana yang kauajarkan ini?” (17:19). Dalam pertanyaan ini tuduhan kepada Paulus sebagai seorang yang mengajarkan dewa-dewa baru diganti dengan keinginan mereka untuk untuk mempelajari sesuatu dari ajaran baru Paulus (Kis. 17:19). Rasa ingin tahu orang Atena menjadi alasan mengapa mereka memintanya untuk menjelaskan ajarannya yang mereka anggap baru. Maka, apa yang dikatakannya di hadapan sidang Areopagus bukanlah sebuah pembelaan atas tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya, melainkan sebuah pewartaan misinya di hadapan orang Atena.

Berdasarkan permintaan sidang Areopagus yang haus terhadap segala sesuatu yang baru, Paulus berdiri di tengah-tengah mereka dan menyapa para pendengarnya secara langsung dengan nama. “Hai orang-orang Atena, aku lihat bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu” (Kis. 17:22-23). Ia tidak langsung mencela penyembahan berhala mereka, tetapi memuji ketertarikan mereka pada hal-hal rohani karena ia telah melihat barang-barang pujaan mereka ketika berjalan-jalan di kota mereka. Pujian ini perlu dilihat sebagai suatu taktik untuk menarik perhatian dan minat pendengar.

Paulus kemudian menegaskan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud untuk memperkenalkan dewa-dewi dan ajaran baru sebagaimana yang dituduhkan kepadanya. Ia dengan cerdas memanfaatkan tulisan pada sebuah altar, “Kepada Allah yang tidak dikenal” (Kis. 17:23). Allah yang tidak mereka kenal, tetapi mereka puji dan sembah itu diperkenalkannya sebagai pencipta langit, bumi dan segala isinya; Tuhan atas langit dan bumi; dan pemberi nafas kehidupan (Kis. 17:24-25). Di sini ia menyingkapkan suatu kebenaran yang mendalam bagi orang Atena. Allah hanya satu dan Dialah pencipta segala sesuatu. Allah tidak diciptakan oleh manusia; Dialah yang menciptakan manusia dan segala sesuatu yang ada di alam semesta; Dialah sumber dan asal dari segala sesuatu. Dia tidak tinggal dalam kuil-kuil buatan tangan manusia. Gagasan ini mungkin menggemakan doa raja Salomo pada waktu peresmian bait Allah yang mengakui bahwa bait Allah tidak cukup sebagai rumah untuk tempat Allah berdiam (1Raj. 8:27; Yes. 57:15; Yer. 7:1-12). Allah yang tidak bisa dibatasi oleh ruang itu tidak membutuhkan barang apapun (2Mak. 14:35). Sebaliknya, Dialah yang menjadi sumber nafas kehidupan (Yes. 42:5; bdk. Kej. 2:7). Allah yang tidak membutuhkan barang apapun ini bertentangan dengan ajaran penyembahan berhala yang mengatakan bahwa dewa-dewi membutuhkan kurban persembahan dari manusia.

Paulus selanjutnya memperlihatkan cara Allah menciptakan manusia (Kis. 17:26-27). Diperlihatkan bahwa semua bangsa dan umat manusia diciptakan oleh Allah dari satu orang saja. Satu orang yang dimaksudkan adalah Adam dan Hawa (ay. 26; bdk. Kej. 1:24-25; Rom. 5:12-14). Allah yang telah menciptakan manusia juga menentukan musim-musim dan batas-batas untuk membatasi eksitensi manusia. Semuanya ini dilakukan supaya semua orang mencari Allah. Mencari Allah itu bukan untuk memperoleh banyak pengetahuan tentang Allah, melainkan untuk memuji dan menyembah-Nya dengan benar dalam iman, pengharapan dan kasih.

Mencari Allah itu bukan sesuatu yang mustahil karena Allah sungguh-sungguh dekat dengan kita. Dalam Dia kita hidup, bergerak, ada. Pernyataan ini menggarisbawahi fakta bahwa keberadaan kita tergantung secara total kepada Allah. Gagasan ini bukanlah sesuatu yang asing sebab di antara pujangga Atena ada yang mengucapkannnya. Di sini Paulus mungkin mengutip perkataan pujangga Stoa yang umumnya memahami bahwa dewa-dewi mengilfiltrasi alam semesta dan akal budi manusia. Pemahaman ini sesungguhnya ada juga dalam Perjanjian Lama terutama dalam kitab Mazmur. “Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku” (Mzm. 139:7-10).

Berlandaskan fakta bahwa manusia diciptakan oleh Allah dari satu orang saja, Paulus menarik sebuah kesimpulan bahwa penyembahan berhala merupakan sebuah tindakan kebodohan dan karena itu dilarang. Kita tidak boleh berpikir bahwa Allah serupa dengan patung-patung emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia. Apapun yang kita ciptakan tidak dapat mewakili Allah yang menciptakan kita. Allah yang menciptakan alam semesta dan segala isinya tidak bisa diwakili oleh barang ciptaan. Patung-patung berhala yang tidak bernyawa tidak dapat mewakili Allah yang hidup.

Paulus mengakhiri pidatonya di hadapan sidang Areopagus dengan meminta semua orang untuk bertobat (Kis. 30-31). Semua orang diminta untuk mengubah pola pikir, tingkah laku, dan masa lalu yang digambarkan sebagai zaman kebodohan karena tidak mengenal Allah yang benar. Zaman kebodohan telah berakhir dan mereka diminta untuk berbalik dari penyembahan terhadap patung-patung berhala buatan tangan mereka sendiri. Mereka harus kembali kepada Allah yang hidup yang membangkitkan Yesus dari antara orang mati dan menangkat-Nya menjadi hakim atas semua berhala. Pentingnya pertobatan diberi pendasaran yang kuat, yakni Allah telah menetapkan suatu hari ketika Ia dengan adil akan menghakimi dunia melalui tangan seorang yang telah ditentukan-Nya (Kis. 17:31). Seorang yang telah ditentukan itu adalah Yesus yang telah dibangkitkan oleh Allah dari antara orang mati dan ditetapkan sebagai hakim bagi semua manusia.

Lukas mencatat secara singkat tanggapan para anggota sidang Areopagus terhadap pidato Paulus. Ada beberapa yang tidak berhasil diyakinkannya seperti terlihat dalam ungkapan, “Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu” ketika mereka mendengar tentang kebangkitan orang mati. Mereka tidak menerima klaim tentang kebangkitan orang mati. Meski mereka menerima keabadian jiwa, namun gagasan tentang kebangkitan badan dianggap sebagai sesuatu yang asing bagi mereka karena tubuh dianggap sebagai sesuatu yang jahat.

Namun, ada beberapa juga yang berhasil diyakinkannya oleh pidatonya. Ada “beberapa orang menggabungkan diri dengan dia dan menjadi percaya, di antaranya juga Dionisius, anggota majelis Areopagus, dan seorang perempuan bernama Damaris, dan juga orang-orang lain bersama-sama dengan mereka” (Kis. 17:34). Pertobatan beberapa orang ini memunculkan persoalan historis karena Paulus menulis bahwa Stefanas dan keluarganya adalah “orang-orang yang pertama bertobat di Akhaya” (1Kor. 16:15). Ia mungkin lupa pada fakta bahwa ada beberapa orang yang bertobat di Atena ketika menulis surat Korintus. Ada juga yang berpendapat bahwa acuan kepada Stefanas dan keluarganya sebagai “orang-orang yang pertobat bertobat di Akhaya” perlu dipahami dalam arti terbentuknya sebuah gereja sementara pertobatan beberapa orang di Atena belum menyebabkan terbentuknya sebuah gereja di sana.


Karya misi di Korintus

Paulus meninggalkan Atena dan kemudian pergi ke Korintus. Ia menjalankan misi pewartaan injil di sana selama satu tahun enam bulan. Lukas mengisahkannya dalam Kis. 18:1-18. Dikisahkan bahwa Paulus pertama-tama bertemu dengan sebuah keluarga Yahudi, Aquila dan Priskila, yang baru saja datang dari Italia karena kaisar Klaudius mengusir semua orang Yahudi dari Roma sekitar tahun 49 Masehi. Pernyataan bahwa semua orang Yahudi diusir dari Roma tampaknya berlebih-lebihan karena Kis. 28:17 mengandaikan masih ada orang Yahudi di Roma. Lebih masuk akal kalau dikatakan bahwa hanya orang yang dianggap sebagai pengacau menurut pandangan orang Roma saja yang diusir.

Suetonius, sejarawan Roma, menceritakan bahwa kaisar Klaudius mengusir orang Yahudi dari Roma karena kekacauan yang disebabkan oleh seorang yang bernama “Khrestus.” Cerita ini kemungkinan besar mengacu pada tindakan beberapa orang kristiani Yahudi Yerusalem yang mewartakan bahwa Kristus Yesus adalah Mesias. Dengan demikian, pengusiran orang Yahudi di Roma disebabkan oleh kegiatan misi pewartaan injil orang kristiani Yahudi. Karena baik Kisah maupun 1Korintus tidak menyebutkan bahwa Aquila dan Priskila dibaptis oleh Paulus, maka lebih aman kalau kita mengandaikan bahwa pasangan ini telah menjadi kristiani dan terlibat secara aktif dalam misi pewartaan injil sebelum diusir oleh Kaisar Klaudius.

Ketika berada di Korintus, Paulus tinggal bersama dengan Aquila dan Priskila danbekerjasama dengan mereka untuk membuat tenda dari kulit. Dari pekerjaan inilah ia mendapatkan uang untuk kelangsungan hidup (Kis. 18:2) dan pewartaan injilnya. Pernyataan ini diperkuat oleh kesaksiannya dalam 1Tes. 2:9, “Sebab kamu masih ingat, Saudara-saudara, akan usaha dan jerih payah kami. Sementara kami bekerja siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapa pun juga di antara kamu, kami memberitakan Injil Allah kepada kamu.” Ia mencari uang sendiri untuk kelangsungan hidup dan pewartaan injilnya meski kadang-kadang ia mendapat dukungan finansial dari gereja-gereja yang telah didirikannya.

Pada hari Sabat, Paulus mengunjungi sinagoga Korintus untuk berkotbah dan mengajar selama beberapa hari Sabat dengan maksud untuk meyakinkan orang Yahudi dan Yunani supaya mereka percaya bahwa Yesus adalah Mesias yang dinanti-nantikan. Orang Yunani yang dimaksudkan di sini adalah orang yang takut akan Allah dan hadir dalam ibadat sinagoga. Kotbah dan pengajarannya berhasil menyakinkan beberapa orang Yahudi dan Yunani. Secara khusus, Lukas mencatat pertobatan Titius Yustus yang rumahnya berdampingan dengan rumah ibadat dan Krispus, kepala rumah ibadat, bersama-sama dengan seisi rumahnya (Kis. 18:7-8).

Ketika Silas dan Timotius datang dari Makedonia (Kis. 17:14-16), Paulus mewartakan injil dengan semakin intensif karena mendapat bantuan finansial baginya dari gereja-gereja Makedonia (Flp. 4:15; 2Kor. 11:8-9). Ia lalu meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang tenda untuk sementara waktu dan menfokuskan diri pada pengajaran iman kristiani. Namun, pada saat inilah ia dimusuhi dan dihujat oleh orang Yahudi (Kis. 18:6, bdk. Kis 13:45; 26:11). Orang Yahudi melawan pewartaannya tentang Yesus yang tersalib sebagai Mesias karena bertentangan dengan keyakinan mereka. Bagi mereka, seorang yang tersalib adalah seorang yang dikutuk oleh Allah (Ul. 21:23). Mereka juga menuduhnya sebagai penghujat karena mengajar bahwa orang Yunani dapat diselamatkan tanpa harus disunat dan mengikuti hukum Taurat (bdk. Kis. 6:11).

Apa reaksi Paulus atas perlawanan dan hujatan orang Yahudi? Ia mengebaskan debu dari pakaiannya yang menunjukkan bahwa persahabatannya dengan meraka telah diputus (Kis. 18:6; bdk. Neh. 5:13; Kis. 13:51). Tindakan ini memperlihatkan bahwa orang Yahudi yang menolak pewartaan injilnya tidak lebih baik daripada orang yang bukan Yahudi karena orang Yahudi biasanya melakukan tindakan serupa untuk melawan orang yang bukan Yahudi. Tindakan simbolis ini disertai dengan sebuah pernyataan profetis, “Biarlah darahmu tertumpah ke atas kepalamu sendiri” (Kis. 18:6; bdk Yeh. 33:4). Di sini “darah” dipahami sebagai sebuah kiasan untuk kesalahan (Mat. 27:25). Kesalahan mereka ditanggung oleh mereka sendiri sebab Paulus telah memenuhi tanggung jawabnya untuk mewartakan injil kepada mereka.

Karena tidak mungkin meneruskan pewartaan dan pengajaran injil di sinagoga, Paulus akhirnya beralih kepada bangsa-bangsa lain. Tindakan simbolis mengebaskan debu dari pakaian dilanjutkan dengan pindah ke rumah Titius Yustus (Kis. 18:7), seorang yang takut akan Allah. Ada yang berasumsi bahwa Titus Yustus identik dengan Gayus yang disebutkan oleh Paulus dalam 1Kor. 1:14 dan Rom. 16:23. Ia bertobat karena pewartaan Paulus dan kemudian menawarkan rumahnya untuk menjadi gereja-rumah pertama di Korintus. Di rumah gereja inilah seorang kepala rumah ibadat yang bernama Krispus bersama-sama dengan seisi rumahnya bertobat dan memberi diri mereka dibaptis (Kis. 18:8; bdk. 1Kor. 1:14-16). Baptisan ini menunjukkan bahwa Paulus tidak menolak orang Yahudi secara keseluruhan setelah berpaling kepada bangsa-bangsa lain.

Setelah beralih dari sinagoga ke gereja-rumah Titius Yustus, perlawanan dan hujatan terhadap Paulus tetap belum berakhir. Hal itu tersirat dalam penglihatan yang diterimanya pada suatu malam (Kis. 18:9-10). Yesus menyampaikan kata-kata yang khas dalam sebuah penampakkan dan pengangkatan seseorang untuk menjalankan suatu misi khusus, yakni "Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam!” (Kis. 18:9; bdk. Kis. 4:29; 5:20). Ia tidak perlu takut dan diam karena Tuhan sendiri menyertainya (bdk. Yos. 1:9; Yes. 41:10; 43:5; Yer. 1:8; Mat. 28:20; Luk. 1:28, 66; Kis. 7:9; 10:38) dan melindunginya secara fisik sehingga tidak ada seorang pun akan menyentuh dan menganiayanya. Tuhan juga memberinya semangat dengan mengatakan bahwa ada banyak umat Allah di kota Korintus. Perkataan ini menunjukkan bahwa Tuhan telah mengetahui keberhasilan karya misi pewartaan injilnya dan Tuhan sendiri memilih umatnya sebagai anggota umat Allah yang baru.

Perlawanan dan hujatan yang diisyaratkan dalam sebuah penglihatan akhirnya menjadi kenyataan. Orang Yahudi bersatu menyerang Paulus dan membawanya di hadapan sidang pengadilan ketika “Galio menjadi gubernur di Akhaya” (Kis. 18:12) sekitar tahun 51 M. Sebagai seorang pejabat kaisar Roma, Galio pertama-tama bertanggungjawab untuk mempertahankan ketentraman publik dan karena itu ia harus mempertimbangkan kebiasaan yang diterapkan dalam provinsinya. Ia mengizinkan orang Yahudi hidup sesuai dengan kebiasaan dan tradisi mereka dan melindungi mereka ketika diganggu oleh warga kota Yunani. Namun, tidak ada bukti mengenai status keistimewaan orang Yahudi di daerah jajahan Roma di Korintus.

Di hadapan gubernur Galio, orang Yahudi mengajukan sebuah tuduhan tentang Paulus dengan berkata, “Ia ini berusaha meyakinkan orang untuk beribadah kepada Allah dengan jalan yang bertentangan dengan hukum Taurat” (Kis. 18:13). Dari sudut pandang Yahudi, tuduhan ini berkaitan dengan pewartaannya tentang Yesus yang tersalib sebagai Mesias. Pewartaan ini bertentangan dengan pandangan hukum Taurat yang melihat seorang yang tersalib sebagai seorang yang dikutuk oleh Allah (Ul. 21:23). Dengan tuduhan ini mereka tidak lagi menganggapnya sebagai bagian dari komunitas Yahudi Korintus, meski tetap tidaklah jelas apakah mereka mengekskomunikasinya secara resmi dari sinagoga. Mereka menganggapnya sebagai penganggu kedamaian dalam menjalankan adat istiadat mereka.

Galio menerima orang Yahudi Korintus dan mendengarkan tuduhan mereka. Namun, sebelum Paulus membela dirinya, ia berkata, “Hai orang-orang Yahudi, sekiranya dakwaanmu mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan, sudah sepatutnya aku menerima perkaramu, tetapi kalau hal itu adalah perselisihan tentang perkataan atau nama atau hukum yang berlaku di antara kamu, maka hendaklah kamu sendiri menyelesaikannya; aku tidak sudi menjadi hakim atas perkara yang demikian” (ay. 15-16). Kata-kata ini menunjukkan bahwa ia melihat tidak adanya tindakan kriminal atau kejahatan serius yang melawan hukum negara dan berbahaya bagi kedamaian publik. Tuduhan yang dilontarkan lebih berkaitan dengan perselisihan mengenai ajaran Yahudi, teristimewa perselisihan tentang seorang yang bernama Yesus dan identitasnya. Tuduhan itu berada diluar wewenangnya sebagai pejabat Roma sehingga tidak ingin tampil sebagai seorang hakim untuk mengadilinya. Ia tidak berkompeten untuk menjadi hakim atas pertentangan teologis antara orang kristiani dan Yahudi.

Galio akhirnya membubarkan orang Yahudi dari ruang pengadilan. Tidaklah jelas apa yang terjadi setelahnya. Menurut hukum Romawi, seorang yang terbukti salah menuduh orang lain akan dihukum dengan hukuman yang dijatuhkan pada tersangka jika tuduhannya terbukti benar. Namun, ketentuan hukum ini tampaknya tidak diterapkan di sini karena mereka malah menyerbu Sostenes, kepala rumah ibadat yang mungkin menggantikan Krispus ketika ia menjadi kristiani. Mereka lalu memukulinya di depan ruang pengadilan tanpa intervensi dari Galio (Kis. 18:7). Sostenes diserbu dan dipukuli mungkin karena bersimpati dengan pewartaan dan pengajaran Paulus dan kemudian bergabung dengan komunitas kristiani. Jika orang Yahudi sendiri hanya menyerbu dan memukul kepala rumah ibadat mereka sendiri, maka kita dapat berasumsi bahwa Paulus mendapat perlindungan tertentu segera setelah Galio membubarkan orang Yahudi dari ruang pengadilan atau ia mungkin telah meninggalkan ruang pengadilan pada saat orang Yahudi masih “menyelidiki” penyebab kegagalan mereka dengan menyerbu pemimpin mereka.


Kembali ke Antiokhia, Siria

Dengan kembali ke Antiokia, Siria, Lukas mengakhiri kisah tentang perjalanan misi Paulus yang kedua (18:18-22). Dikisahkan bahwa Paulus tinggal selama beberapa waktu lagi Korintus sebelum meninggalkannya melalui pelabuhan Kengkrea, pelabuhan yang terletak di sebelah timur Korintus. Ia ditemani oleh Priskila dan Aquila yang memberinya tumpangan dan mempekerjakannya selama di Korintus. Tidaklah diceritakan apa alasan sehingga keluarga ini menemaninya ke Efesus. Tujuan perjalanannya adalah kembali ke Antiokhia Siria, tempat ia memulai perjalanan misi yang kedua bersama dengan Silas (Kis. 15:40).

Di pelabuhan Kengkrea, Paulus memenuhi nazarnya dengan mencukur rambut. Walau isi dan relevansinya tidak diberitahukan, namun satu-satunya nazar yang melibatkan tindakan mencukur rambut adalah nazar orang Nazir. Upacara untuk memenuhi nazar umumnya dilakukan di bait Allah Yerusalem, meksi tradisi yang lebih kemudian memungkinkan untuk dilakukan di luar bait Allah Yerusalem. Maka, mencukur rambut mungkin mengisyaratkan bahwa Paulus telah mengucapkan nazar orang nazir untuk mengkhusukan dirinya bagi Allah selama periode waktu tertentu (Bil. 6:1-12; Hak. 13:5-7). Tujuan Lukas menceritakan tindakan Paulus memenuhi nazarnya kepada Allah dengan mencukur rambut adalah untuk memperlihatkan bahwa Paulus terus menjalankan praktek hidup sebagai seorang Yahudi saleh meski dihujat sebagai seorang yang beribadah kepada Allah dengan jalan yang bertentangan dengan hukum Taurat (Kis. 18:13; 21:21).

Setelah memenuhi nazarnya, Paulus yang ditemani oleh Aquila dan Priskila berlayar ke Efesus yang pada waktu itu menjadi tempat pemerintahan gubernur Romawi di provinsi Asia. Pada waktu tiba di Efesus, ia sendiri pergi ke sinagoga dan berdiskusi dengan orang Yahudi. Dengan mengatakan bahwa Paulus sendiri pergi ke sinagoga, Lukas mau menunjukkan bahwa pewarta kristiani pertama di Efesus adalah Paulus, bukan Apolos atau seseorang yang lain. Ia pertama-tama mewartakan injil kepada orang Yahudi. Pewartaan di sinagoga Efesus memperlihatkan bahwa tindakannya mengebaskan debu dari pakaiannya dan pewartaannya di rumah seorang anggota gereja (Kis. 18:6-7) tidak melawan orang Yahudi secara keseluruhan, tetapi hanya melawan orang Yahudi di singaoga Korintus.

Orang Yahudi di sinagoga Efesus menerima pewartaan Paulus dengan baik. Mereka memintanya untuk tinggal lebih lama bersama dengan mereka. Namun, ia menolaknya karena ia memiliki rencana lain dan berjanji untuk kembali lagi jika Allah menghendakinya. Ia kemudian bertolak dari Efesus menuju Antiokhia melalui Kaisarea. Setelah naik ke darat dan memberi salam kepada jemaat di Yerusalem, ia berangkat ke Antiokhia di Siria, tempat ia memulai perjalanan misinya yang kedua (Kis. 15:35-41). Tujuannya adalah meneguhkan hati semua murid yang baru saja bertobat dan percaya kepada Allah melalui Yesus Kristus (Kis. 18:23; bdk. Kis. 14:21-23).

*******************************Bersambung**********************************

PERALANAN MISI YANG KETIGA

Pewartaan injil di Efesus

Paulus mengunjungi Efesus untuk pertama kalinya selama perjalanannya dari Korintus kembali ke Antiokhia Siria pada akhir musim panas tahun 51. Pasangan kristiani yang bernama Priskila dan Aquila menemaninya Paulus dari Korintus ke Efesus. Ia tinggal di kota itu hanya untuk suatu periode waktu yang singkat, tetapi ia mewartakan injil di sinagoga. Paulus menjumpai pendengar di sinagoga yang penuh perhatian dan ingin mendengarkannya lebih. Orang-orang Yahudi, kemungkinan besar pejabat sinagoga, meminta Paulus untuk tinggal lebih lama dan meneruskan pengajaran. Namun, ia menolaknya karena ia ingin kembali ke Antiokhia dan mengunjungi Yerusalem.

Priskila dan Aquila yang tiba bersama-sama dengan Paulus dari Antiokhia (18:18), tetap berada di Efesus. Setelah Paulus meninggalkan Efesus dan pergi ke Siria, mereka berjumpa dengan Apolos, yang mengunjungi Efesus. Apolos, seorang Yahudi yang berpendidikan dari Aleksandria yang berpengetahuan luas dalam tulisan Kitab Suci, mengajar di singago di Efesus dengan akurat tentang Yesus, tetapi ia hanya mengenal baptisan Yohanes (Kis. 18:24-26a). Apolos jelas seorang kristiani yang kurang memiliki pemahaman teologis dalam beberapa hal. Lukas menyatakan bahwa Aquila dan Priskila menjelaskan kepadanya jalan Tuhan dengan teliti (Kis. 18:26b).

Ketika Paulus kembali ke Efesus beberapa bulan kemudian, pada musim semi tahun 52, ia menjumpai “beberapa orang murid” di kota itu (Kis. 19:1-3). Istilah “murid” ditafsirkan sebagai orang-orang Yahudi kristiani yang telah bertobat sebagai dampak dari pelayanan Apolos. Istilah muri-dalam berbagai cara. Secara tradisional, penafsir menafsirkannya sebagai murid Yohanes Pembaptis. Beberapa penafsir melihat bahwa Paulus pada awalnya percaya bahwa “para murid ini” adalah orang kristiani, hanya untuk menyadari bahwa ini



1 Ada yang mengusulkan bahwa alasan paling mendasarnya adalah Barnabas menyesuaikan diri dengan posisi teologis utusan gereja Yerusalem yang bertentangan dengan Paulus (Gal. 2:13). Penyesuaian diri ini dicela oleh Paulus sebagai suatu kemunafikan. Celaan ini memperlihatkan bahwa Barnabas telah bertindak melawan keyakinannya sendiri yang sesungguhnya sama dengan Paulus ketika ia menyesuaikan diri dengan utusan gereja Yerusalem yang datang ke Antiokhia. Penyesuaian diri ini mungkin menyebabkan Paulus sangat terpukul karena Barnabas telah mendukungnya di hadapan para rasul di Yerusalem (Kis. 9:26-28), melibatkannya dalam karya misi pewartaan injil di Antiokhia (Kis. 11:25-30), dan bersama-sama mewartakan injil di Siprus dan Galatia Selatan (Kis. 13:2-14:26). Richard N. Longenecker, Galatians (Dallas, Texas: Word Books, 1990), 76.
2 Schnabel, Early Christian mission: Paul and the early Church, 1131
3 Tidak ada penjelasan yang ditawarkan oleh Lukas dalam Kisah Para Rasul untuk pembatasan ruang lingkup kesaksian dan pewartaan injil Paulus dan rekan-rekannya di provinsi Asia dan Bitinia, tetapi ada yang berasumsi bahwa pembatasan itu berhubungan dengan penolakan dan perlawanan publik yang didukung oleh penguasa seperti yang dialami oleh Paulus ketika ia melakukan karya misi pewartaan injil di Antiokhia Pisidia, Ikonium, dan Listra. Penolakan dan perlawanan ini menimbulkan banyak kesulitan bagi karya misi perwartaannya. Yang lain berasumsi bahwa injil telah diwartakan oleh Petrus atau seorang yang melihat dirinya sebagai Petrus di provinsi Asia dan Bitinia (1Ptr 1:1) dan karena itu Paulus dan rekan-rekannya dilarang oleh Roh Kudus untuk mewartakan injil atau memperkuat kegiatan misi pewartaan injil di daerah-daerah tersebut sehingga perasaan saling bersaing di antara para rasul dihindari. Howard Clark Kee, Good News to the Ends of the Earth: Theology of Acts (London: SCM Press, 1990), 38.
4 Joseph A. Fitzmyer, The Acts of the Apostles: A New Translation with Introduction and Commentary (New York: Doubleday, 1998), 587
5 Gerhard A. Krodel, Acts (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1986), 314.
6 Schnabel, Early Christian mission: Paul and the early Church, 1156-1157
7 Krodel, Acts,318.
8 Beberapa ahli tafsir melihat bahwa ahli-ahli pikir yang dijumpai Paulus di pasar bukanlah maksud dan target utama pendengarnya. Namun, pandang ini kurang meyakinkan karena ia berdialog setiap hari dengan mereka yang dijumpainya di pasar. Hal ini mengindikasikan bahwa ia ingin meyakinkan warga kota Atena yang bukan Yahudi tentang kebenaran injil Yesus Kristus, termasuk beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa. Ia mewartakan pesan injil yang sama seperti yang telah diwartakannya di kota-kota lain: “Ia memberitakan Injil tentang Yesus dan kebangkitan-Nya” (Kis. 17:18).
9 Anthony B. Robinson dan Robert W. Wall, Called to be Church: The Book of Acts for a New Day (Grand Rapids: Eerdmans, 2006),212.
10 Ada yang melihatnya bahwa Paulus dibawa ke sidang Areopagus untuk menyelidiki tuduhan yang dilontarkan kepadanya sebagai pewarta ajaran dewa-dewa baru. Anggota sidang Areopagus mungkin berpikir bahwa jika ajarannya mendapat sambutan luas warga kota Atena, ia bisa meminta tempat bagi dewa-dewanya dalam kuil yang dibangun untuk semua dewa. Ia juga bisa membeli sebidang tanah untuk mendirikan tempat ibadat atau sekurang-kurangnya sebuah altar untuk kurban persembahan bagi dewa-dewanya. Yang lain melihat bahwa ia dibawa ke sidang Areopagus dengan maksud untuk memperlihatkan kompetensinya sebagai seorang orator. Pendapat ini didukung oleh sebuah data dari dunia Mediterania timur yang mencatat bahwa para orator diundang oleh para pembesar kota untuk memperlihatkan kemampuan orasi dan orientasi filosofis mereka. Para orator biasanya diberitahukan sehari sebelumnya untuk mempersiapkan pidato dengan topik yang telah ditentukan. Mereka harus menyusun, menulis, menghafal pidatonya karena pada waktu tampil tmereka idak boleh memakai catatan. Naskah pidato semacam itu sering digandakan dan diedarkan di dalam kota. Maka, sangatlah mungkin bahwa pidato Paulus dalam Kis. 17:22-31 merupakan sebuah ringkasan pidato tertulisnya. Itu berarti apa yang dicatat dalam Kis. 17:22-31 tidak dipahami sebagai ringkasan pewartaan injil yang disampaikannya di hadapan bangsa-bangsa lain, tetapi sebuah pidato dalam suatu konteks yang spesifik. Schnabel, Early Christian mission: Paul and the early Church, 1177-1178.
11 Ada yang melihatnya bahwa Paulus dibawa ke sidang Areopagus untuk menyelidiki tuduhan yang dilontarkan kepadanya sebagai pewarta ajaran dewa-dewa baru di Atena. Anggota sidang Areopagus mungkin berpikir bahwa jika ajarannya tentang dewa-dewi baru mendapat sambutan luas warga kota Atena, ia bisa meminta tempat bagi dewa-dewanya dalam kuil yang dibangun untuk semua dewa. Ia juga bisa membeli sebidang tanah untuk mendirikan tempat ibadat atau sekurang-kurangnya sebuah altar untuk kurban persembahan bagi dewa-dewanya. Yang lain melihat bahwa ia dibawa ke sidang Areopagus dengan maksud untuk memperlihatkan kompetensinya sebagai seorang orator. Pendapat ini didukung oleh sebuah data dari dunia Mediterania timur yang mencatat bahwa para orator diundang oleh para pembesar kota untuk memperlihatkan kemampuan orasi dan orientasi filosofis mereka. Para orator biasanya diberitahukan sehari sebelumnya untuk mempersiapkan pidato dengan topik yang telah ditentukan. Mereka harus menyusun, menulis, menghafal pidatonya karena pada waktu tampil tmereka idak boleh memakai catatan. Naskah pidato semacam itu sering digandakan dan diedarkan di dalam
kota. Maka, sangatlah mungkin bahwa pidato Paulus dalam Kis. 17:22-31 merupakan sebuah ringkasan dari pidato tertulisnya. Itu berarti apa yang dicatat dalam Kis. 17:22-31 tidak dipahami sebagai ringkasan pewartaan injil yang disampaikannya di hadapan bangsa-bangsa lain, tetapi sebuah pidato dalam suatu konteks yang spesifik. Schnabel, Early Christian mission: Paul and the early Church, 1177-1178.
12 Krodel, Acts,327.
13 Schnabel, Early Christian mission: Paul and the early Church, 1179-1180.
14 I. Howard Marshall, Acts (Grand Rapids: Eerdmans, 1980)294.
15 Menurut Philip Towner, petunjuk ilahi dalam sebuah penglihatan memungkinkan kita untuk menyimpulkan bahwa Paulus telah mengubah strategi misinya. Namun, kita tidak boleh menyimpulkan secara tegas perubahan strategi misi Paulus antara perjalanan misi yang pertama dengan yang kedua. Selama karya misinya di Galatia, ia memang pertama-tama mewartakan injil di sinagoga lokal dan banyak orang yang bertobat dan percaya baik yang berlatar belakang Yahudi maupun yang bukan Yahudi yang takut akan Allah. Keberhasilan ini memunculkan perlawanan dan penolakan dari anggota komunitas Yahudi, yang pada gilirannya mendorongnya untuk berpaling kepada orang yang bukan Yahudi dan memaksanya berangkat secara mendadak. Namun, di Korintus, ia diberi petunjuk untuk tidak segera pergi dari kota tersebut walau orang Yahudi terus melawannya; ia meneruskan karya misinya di luar sinagoga tanpa mengabaikan orang Yahudi.
16 Schnabel, Early Christian mission: Paul and the early Church, 1195.
17 Mikeal C. Parsons, Acts (Grand Rapids: Baker Academic, 2008), 261.
18 Krodel, Acts,351.











APA YANG KUINGINKAN DALAM DOA?
William A. Barry, SJ
Cet.2, 2010, 165 x 220 mm, 145 hlm, OBOR
Harga Rp 28.000,-
Harga Member Rp. 25.200,- (disc 10%)
Kategori : Rohani
ISBN : 978-979-565-288-5


Dalam buku ini, William A. Barry, SJ, seorang pembimbing rohani yang berpengalaman, mengidentifikasi keinginan-keinginan yang biasa diungkapkan orang dalam doa. Secara garis besar keinginan tersebut terkait dengan relasi. Orang berkata, “Saya ingin mengenal Allah dengan lebih baik,” atau “Saya ingin kepastian bahwa Tuhan mengasihi saya.”


Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428
Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org









PERAYAAN EKARISTI HARI MINGGU DAN HARI RAYA TAHUN A
Komisi Liturgi Keuskupan Malang
Cet.1, 2010, 165 x 220 mm, 436 hlm, DIOMA
Harga Rp 75.000,-
Harga Member Rp. 67.500,- (disc 10%)
Kategori : Liturgi
ISBN : 978-979-26-0057-5


Buku ini berisi bacaan-bacaan, doa-doa, dan nyanyian-nyanyian Mazmur dari buku resmi Gereja sepanjang Tahun Liturgi (Tahun A). Buku ini juga dilengkapi dengan Lampiran Tata Perayan Ekaristi, sehingga dengan memiliki buku ini, umat dapat menyiapkan diri sebelum mengikuti Perayaan Ekaristi.


Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428
Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org









JALAN MENUJU KEHIDUPAN
Gerry Pierse, CSsR
Cet.1, 2010, 140 x 220 mm, 282 hlm, OBOR
Harga Rp 45.000,-
Harga Member Rp. 40.500,- (disc 10%)
Kategori : Rohani
ISBN : 978-979-565-563-3


Buku ini lahir dari pengalaman sebuah kelompok meditasi dalam merenungkan bacaan Injil hari Minggu dan bagaimana bacaan Injil telah menyentuh kehidupan mereka. Waktu mereka hening didalam meditasi, mereka tidak merenungkan lagi bacaan tersebut, tetapi membiarkan bacaan tadi berakar di kedalaman diri mereka. Bacaan Injil bagaikan benih yang ditabur, dibiarkan bertumbuh di kedalaman diri kita, dan kita percaya bahwa pada suatu waktu kita akan melihat buahnya.


Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428
Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org









KISAH-KISAH DIBALIK JUBAH
A. Mintara Sufiyanta, SJ
Cet.1, 2010, 130 x 209 mm, 164 hlm, OBOR
Harga Rp 33.000,-
Harga Member Rp. 29.700,- (disc 10%)
Kategori : Rohani
ISBN : 978-979-565-561-9

Buku ini menuturkan kisah-kisah perjalanan hidup kaum berjubah dalam menanggapi panggilan Allah dan dalam berjuang sebagai rasul-rasul Yesus Kristus di zaman sekarang. Di balik kisah-kisah yang ringan dan biasa, kaum berjubah berjumpa dengan peristiwa-peristiwa berkah atau resah dalam kehidupan hariannya. Buku ini hendak menyingkap sebagian dari seluruh kehidupan mereka, yang menghadirkan makna bagi kita.

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428
Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org









MENJADI HOSTI YANG SIAP DIBAGI
Felix Supranto, SS.CC
Cet.2, 2010, 110 x180.5 mm, 121 hlm, OBOR
Harga Rp 25.000,-
Harga Member Rp. 22.500,- (disc 10%)
Kategori : Liturgi
ISBN : 978-979-565-557-2

Buku ini merupakan sebuah sharing pengalaman rohani seseorang imam yang hari demi hari berupaya menjadi “hosti yang siap dibagi” kepada sesama. Refleksi hidup rohani dan kisah perjalanan imamatnya yang sederhana dan menyentuh ini menginspirasi pembaca untuk semakin bertumbuh di dalam imam dan panggilan hidup masing-masing hingga bias mengatakan “Aku bangga dengan imanku” dan siap berbagi kasih dengan sesama.

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428
Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org

Senin, November 29, 2010

Mazmur 12

DENGAN LIDAH, KAMI MENANG
Jarot Hadianto

“Dengan lidah kami, kami menang! Bibir kami menyokong kami! Siapakah tuan atas kami?”
(Mzm. 12:5)


Sepucuk surat menyambut kehadiranku di kantor hari ini, padahal hari masih pagi-pagi benar. Surat itu tergeletak di atas meja, di ruangan kecil tempat kami biasa makan siang sekaligus berganti pakaian. Warnanya putih bersih, di bagian kiri atas tercetak tebal logo kantor ini, sedangkan namaku tertera di sebelah kanan bagian tengah. Surat? Tidak biasanya aku mendapat surat, tidak biasanya juga kantor ini mengirimi pegawainya surat. Praktis saja, kalau ada apa-apa biasanya pimpinan memanggil kami, lalu memberi instruksi ini dan itu. Jadi, kenapa kali ini aku dikirimi surat?

Karena itu hatiku jadi berdebar-debar. Kuletakkan ranselku di atas lantai, lalu dengan perlahan aku pun duduk di samping meja, berlama-lama menatap surat tersebut. Kubiarkan saja surat itu tergeletak dalam posisinya yang semula, aku belum menyentuhnya sama sekali. Mengulurkan tangan untuk mengambil surat itu rasanya aku tak berani. Pikiranku tiba-tiba saja jadi kosong dan melayang-layang. Berkali-kali aku mendesah dan menghela napas yang panjang. Pada saat-saat seperti ini, menerima surat memang merupakan hal yang sangat menakutkan.


Tolonglah kiranya, Tuhan…

Meskipun kepada orang lain aku membanggakan diri sebagai “orang kantoran”, sebenarnya aku tidak benar-benar bisa disebut demikian. Aku ini dibilang pegawai ya tidak tepat, dibilang bukan pegawai juga tidak tepat. Bingung? Yang kumaksud, aku memang bekerja di kantor ini, tapi sebenarnya aku dikirim oleh sebuah yayasan untuk ditempatkan di sini. Istilah kerennya, aku ini tenaga outsourcing.

Jadi jangan samakan aku dengan pegawai-pegawai lain di kantor ini, yang mulai bekerja jam 8 pagi dan bergegas-gegas pulang tepat jam 5 sore. Aku selalu datang jauh lebih awal dan selalu pulang jauh lebih lambat. Namun, meskipun kelihatannya aku bekerja lebih keras daripada pegawai-pegawai tersebut, tetap saja aku tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa aku ini pegawai rendahan. Maka sejujurnya, di kantor ini aku bukanlah siapa-siapa.

Dari hari ke hari, aku mengerjakan hal yang rutin dan terkesan itu-itu saja. Yang kutangani boleh dibilang pekerjaan yang remeh, sepele, serta tidak penting sama sekali. Tiap pagi misalnya, aku dan teman-teman senasib sepenanggungan mengawali hari dengan bersih-bersih, menyapu dan mengepel kantor yang tingginya sampai tujuh lantai ini. Setelah itu, beberapa saat sebelum para pegawai yang rapi dan berdasi mulai berdatangan, kami membuatkan mereka teh atau kopi yang hangat. Beres dengan itu, tugas-tugas lain sudah menanti. Sepanjang hari kami disibukkan dengan tugas membersihkan dinding dan langit-langit gedung, mengangkut boks-boks besar dari lantai 1 ke lantai 7, memfotokopi macam-macam berkas, juga orderan dari para bos untuk membelikan mereka makan siang.

Meski tampaknya sepele, jangan dikira tugas-tugas itu gampang saja dilakukan. Soal membuat minuman, misalnya. Aku harus ingat baik-baik bahwa si ibu di lantai 1 maunya teh kental tanpa gula, sebab dia itu paranoid dengan diabetes. Sementara itu, nona-nona di lantai 2 minta dibuatkan teh manis, tapi tidak boleh terlalu manis. “Kami kan sudah cukup manis,” kata mereka kepedean. Tuan-tuan di lantai 3 punya request yang edan. Tiap pagi jam 8 pas, kopi hitam dengan gelas besar sudah harus tersaji di meja mereka. “Ingat ya, gulanya harus tiga sendok! Buatnya jangan kepagian, jangan sampai pas mau diminum sudah dingin. Saya maunya kopi panas, bukan es kopi!”

Aduh, aduh, aduh, tiga puluh pegawai dengan tiga puluh permintaan. Tiap orang punya kemauan masing-masing, dan aku harus mengingat itu semua dengan baik. Gula yang terlalu sedikit atau terlalu banyak, kopi yang kurang kental, minuman yang kurang panas, semuanya akan berbuah teguran atau malah komplain yang keras. Dan memang ada kalanya aku mendapat hari-hari sial, disembur kemarahan dari lantai 1 sampai lantai 7, dari pagi sampai petang. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa mengurut dada menyabar-nyabarkan diri, sambil berbisik dalam hati, “Tolong Tuhan, tolong…”


Bibir yang manis dan hati yang bercabang

Sekali lagi harus kukatakan, di kantor ini aku bukanlah siapa-siapa. Yayasan tempatku bernaung bisa memindahkan aku sewaktu-waktu ke mana mereka suka. Kantor tempat aku bekerja ini juga bisa meminta agar aku diganti, yakni kalau mereka tidak puas dengan pekerjaanku. Teman-temanku sudah banyak yang mengalaminya. Mereka pergi dari sini dengan air mata, tanpa tahu kesalahan apa yang telah mereka perbuat. Memang istilahnya mereka itu di-rolling. Namun, karena belum tentu ada tempat baru yang bisa menampung, atau karena kemudian ditaruh di tempat yang jauh, terpencil, dan susah dijangkau, rolling rasanya hanya istilah halus untuk pemecatan.

Bercermin dari pengalaman mereka, aku mencoba untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Meski gaji yang kudapat untuk pekerjaan yang melelahkan ini tak seberapa, tak apalah. Enam ratus ribu sebulan memang sudah mengandaskan mimpiku menjadi jutawan. Mana mungkin bisa kaya, untuk hidup sehari-hari saja kurang. Namun, ketika badanku sakit semua saat harus naik-naik tangga atau menggosok-gosok toilet, aku ingat senyum keluargaku yang menunggu di rumah. “Anakku sayang, istriku sayang, aku mengerjakan ini semua demi kalian,” kataku dalam hati. Dan aku pun kembali bekerja dengan penuh semangat.

Tapi sayangnya, seperti yang juga dialami oleh teman-temanku, tidak semua orang bisa menerima keberadaanku. Di antara pegawai kantor ini tampaknya ada yang tidak puas melihat caraku bekerja. Di matanya, apa saja yang kulakukan rasanya selalu salah, tak ada yang beres. Mengelap meja, tak mengkilap; menyapu, tak bersih; mengepel lantai, airnya tercecer di mana-mana. Bagaimana dengan teh yang tiap pagi kubuatkan khusus untuknya? Dia bilang, teh itu rasanya tidak karu-karuan. Suatu ketika, ia mengaku mendapat teh yang rasanya begitu aneh: ada manis, ada asem, ada asin. Maka ia memanggilku dan meledakkan amarahnya di hadapanku. Ia membentakku sambil menunding-nudingkan jarinya ke mukaku, “Kamu ini buat teh atau ORALIT!!!”

Teh yang kurang enak hanya soal remeh. Namun, karena pada dasarnya sudah tidak suka, soal yang remeh pun bisa dibuat jadi besar. Apalah dayaku, aku hanya orang kecil. Saat itu aku hanya bisa diam dan tertunduk. Selanjutnya, kalau bekerja di ruangannya, aku selalu berusaha cepat-cepat. Aku juga tidak berani mengangkat kepala memandang wajahnya. Kebenciannya kepadaku lama-kelamaan kurasa makin mendalam. Ia selalu saja mencari-cari apa yang salah, yang bisa dijadikan bahan untuk mengomeli diriku. Pokoknya bagi dia, aku ini pekerja yang payah.

Anehnya, dia yang beringas terhadapku, kalau berhadapan dengan orang lain, sikapnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Dengan rekan-rekannya, terutama dengan bos-bos besar, senyumnya selalu terkembang, semanis gula batu. Tutur katanya senantiasa halus, tertata rapi, dan indah. Orang-orang terkesan kepadanya dan memuji-muji betapa cakapnya ia bekerja. Melihat itu, aku jadi sedih sekaligus menggerutu. Mengapa mereka menilai orang dari luarnya saja? Tak tahukah mereka bahwa dia ini begitu kejam? Orang ini adalah manusia yang punya dua hati!


Dengan lidah kami, kami menang!

Sekarang kalian tahu mengapa surat ini membuatku ketakutan. Dia yang membenciku setengah mati adalah orang yang punya pengaruh kuat di kantor ini. Rekan-rekan sesama pegawai segan kepadanya, pekerja-pekerja kelas bawah takut berhadapan dengannya. Seorang teman sampai-sampai membisikkan nasihat kepadaku, “Kamu boleh dimusuhi oleh siapa saja di kantor ini, asal bukan dia. Dimusuhi dia artinya game over.” Tapi kini ia jelas-jelas membenciku. Bagaimana aku tidak khawatir?

Bisa saja dia melaporkan yang buruk-buruk tentang aku kepada para pimpinan. Di hadapan mereka, ia dapat memutarbalikkan kata sekehendak hati. Hal itu tentu tidak sulit, sebab ilmu dan kepandaiannya sangatlah tinggi. Dengan mudah, para pimpinan akan percaya penuh kepadanya. Seketika mereka akan melihat bahwa yang ada pada diriku ini hanyalah keburukan semata-mata. Hasilnya, sebuah surat akan segera mereka kirimkan kepadaku, surat agar aku segera enyah dari tempat ini, surat pemecatan. Itukah surat yang ada di depanku saat ini? Aku belum juga sanggup memungutnya dari atas meja.

Ah, sekarang aku merasakan sendiri betapa kata-kata dapat dirancang untuk membunuh seseorang. Demi kedudukan dan keinginan dirinya, orang yang punya kuasa tega memanfaatkan bibir dan lidahnya untuk tujuan yang salah. Hati yang bercabang dan lidah yang penuh dusta sungguh membawa maut! Korbannya tidak lain orang-orang kecil dan lemah seperti aku ini. Dia bisa bersilat lidah, aku tidak. Di sini aku bahkan tak punya hak untuk mengucapkan barang sepatah kata. Siapa yang percaya pada perkataan petugas kebersihan seperti aku?

Tuhan, aku lemah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana kalau aku sampai diberhentikan? Aku lalu kerja di mana? Siapa yang mau mempekerjakan orang kecil seperti aku? Bagaimana pula nasib anak dan istriku nanti?

Tuhan, aku tahu, dia adalah orang yang sangat kuat. Dengan lidah dan kata-katanya yang licik, ia menguasai segalanya. Tetapi Engkau, ya Tuhan, Engkau tahu apa yang ada dalam hati manusia. Patahkan kesombongannya, ya Tuhan. Jangan biarkan orang-orang percaya kepadanya. Jangan biarkan pula orang-orang angkuh macam dia berseru, “Dengan lidah, kami menang!” Bangkitlah Tuhan, tunjukkan kuasa-Mu. Kasihanilah aku, ya Tuhan, kasihanilah keluargaku.


Engkau, Tuhan, yang akan menepatinya…

Seperempat jam kubiarkan diri terombang-ambing dalam kegelisahan, memikirkan berbagai macam prasangka dan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Amplop putih itu masih setia tergeletak di depanku. Ah, mengapa aku begitu cemas? Siapa tahu isi surat ini tidak seburuk yang kubayangkan? Maka, dengan tangan bergetar, surat itu kuambil dari atas meja. Kuputar-putar sejenak sambil kutatap dengan wajah yang bimbang. Lalu, setelah hatiku terasa kuat, perlahan amplop itu aku sobek. Selembar kertas yang ada di dalamnya segera kutarik keluar.

Kata demi kata aku baca dengan perlahan, kalimat demi kalimat aku resapi dalam-dalam. Air mata mulai mengalir di pipiku. Tanpa sadar aku mulai terisak-isak. Kututupi wajahku dengan kertas surat yang ada di tanganku itu. Ah Tuhan, sungguhkah mukjizat itu ada? Mengapa aku tidak mengalaminya?***

Kepustakaan
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.

Jumat, November 26, 2010

PEREMPUAN MELAWAN NAGA (Why. 12:1-17)
Alfons Jehadut

Unsur-unsur yang ada dalam kisah penglihatan seorang perempuan dan naga dalam perikop ini memiliki banyak kesejajaran dengan kisah yang ada dalam teks-teks Perjanjian Lama dan teks-teks Yahudi yang lainnya. Namun, kesejajaran yang paling dekat dengan kisah perempuan dan naga adalah legenda kelahiran dewa Apollo menurut versi Yunani. Dikisahkan bahwa Leto, ibu Apollo, sedang mengandung anak dari Zeus, dewa tertinggi Yunani. Naga Python meramalkan bahwa anak yang dikandung Leto akan menggantikannya untuk menyampaikan nasihat ilahi di Delfi, pusat keagamaan Yunani dan karena itu ia berupaya untuk membunuhnya pada waktu kelahirannya. Namun, Zeus memerintahkan dewa angin dan dewa laut yang bernama Poseidon untuk membantu Leto yang akhirnya melahirkan anak laki-lakinya, yakni Apollo dan Artemis. Apollo lalu membunuh naga Python di Delfi. Yohanes tampaknya mengadaptasi legenda ini untuk melukiskan kelahiran Mesias meski bukanlah satu-satunya sumber. Ia mungkin juga mengadaptasi mitos kuno tentang perang yang abadi antara yang baik dan yang jahat dan kisah tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa dalam Kej. 3.

Yang menjadi fokus perhatian kita dalam perikop tentang perempuan dan naga bukanlah pada latar belakang kisahnya, melainkan kisahnya sendiri. Kisah ini terdiri empat bagian. Pertama, konfrontasi antara naga dan perempuan (ay. 1-6). Kedua, perang di surga antara Mikhael dan naga (ay. 7-9). Ketiga, nyanyian kemenangan di surga atas diusirnya naga dan malaikat-malaikatnya (ay. 10-12). Keempat, kelanjutan konfrontasi antara naga dan perempuan serta keturunannya (ay. 13-18). Keempat bagian inilah yang akan dibicarakan di bawah ini.


Konfrontasi antara perempuan dan naga (ay. 1-6)

Tanda pertama: seorang perempuan (ay. 1-2)

Tanda pertama di langit adalah seorang perempuan. Tanda (Ibrani: ôt) itu tidak harus objek, kejadian, atau peristiwa yang luar biasa (bdk. Yes. 38:7-8), tetapi bisa juga suatu objek, kejadian, atau peristiwa yang alamiah tetapi diberi arti atau makna teologis tertentu. Suatu objek, kejadian, atau peristiwa bisa menjadi tanda yang artinya bisa menjadi sarana untuk mengenali, mengingat, mempelajari atau melihat kelayakan sesuatu hal sebagai sesuatu yang dapat dipercaya. Yang dipentingkan dalam tanda bukan tanda itu sendiri, melainkan fungsi atau maknanya untuk menyampaikan suatu pengertian dan memotivasi suatu perbuatan. Dalam tradisi kenabian, tanda dilihat sebagai suatu peristiwa khusus yang menjadi jaminan untuk menguatkan atau meneguhkan kata-kata nabi (Yes. 7:10; Kel. 7:3).

Perempuan itu digambarkan sebagai berikut, “berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.” Unsur-unsur dalam gambaran ini mengingatkan kita pada gambaran tentang wajah Yesus yang bersinar-sinar bagaikan matahari yang terik (1:16; bdk. 20:1); mahkota kehidupan yang dijanjikan Yesus bagi para pemenang (2:10; bdk. 3:11), dua puluh empat tua-tua yang mempunyai mahkota emas di atas kepala mereka (4:4; bdk. 4:10), penunggang kuda putih dalam meterai pertama yang diberikan sebuah mahkota (6:2) dan rupa belalang-belalang pada terompet yang kelima yang mempunyai sesuatu seperti mahkota emas pada kepala mereka (9:7); seorang seperti anak manusia memiliki mahkota emas di kepalanya (14:14). Dari beberapa keserupaan unsur-unsur ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa perempuan yang ditampilkan di sini adalah seorang perempuan yang mulia dan agung.

Perempuan itu dilukiskan lebih lanjut sebagai seorang yang “sedang mengandung dan dalam keluhan dan penderitaannya hendak melahirkan.” Lukisan ini mengingatkan kita pada gambaran tentang Israel/Zion yang mengalami banyak kesusahan seperti seorang ibu yang mengerang kesakitan hendak melahirkan dalam menantikan kelahiran sebuah zaman baru (bdk. Yes. 26:16-27; 54:1; 66:7-9; Mi 4:9-10). Perempuan itu akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki setelah melarikan diri ke padang gurun. Pelarian ini mengingatkan kita pada perjalanan bangsa Israel melalui padang gurun selama empat puluh tahun. Di padang gurun, ia menemukan suatu tempat yang dipersiapkan oleh Allah untuk memeliharanya selama seribu dua ratus enam puluh hari (12:6, 14). Lamanya waktu mengingatkan kita pada dua nabi yang bersaksi selama seribu dua ratus enam puluh hari (11:3).

Siapakah perempuan yang ditampilkan sebagai yang mulia dan agung di sini? Kita harus pertama-tama melawan dorongan awal untuk mengambil kesimpulan bahwa perempuan yang melahirkan seorang anak laki-laki adalah Maria, ibu Yesus. Sebab, di tempat lain dalam kitabnya Yohanes tampaknya tidak memperlihatkan ketertarikannya pada figur Maria. Sejauh ini satu-satunya figur seorang “perempuan” yang disebutkan secara spesifik adalah Izebel (2:20). Identifikasi perempuan itu dengan Izebel tidaklah cocok karena Izebel ditampilkan sebagai seorang nabiah palsu. Di sini, Yohanes tampaknya tidak mengidentifikasikannya dengan figur perempuan tertentu. Tidaklah mengherankan karena dalam buku-buku yang ditulis hampir sezaman dengan kitab Wahyu, figur seorang perempuan biasanya muncul dalam penglihatan-penglihatan untuk menggambarkan Yerusalem (4 Ezra 9:38-10:56) dan gereja (Hermes, Visions 1-4). Sangatlah mungkin figur perempuan itu ditampilkan sebagai representasi dari bangsa Israel sebagai umat Allah.

Ada sejumlah indikasi yang menunjukkan bahwa figur perempuan yang ditampilkan di sini adalah representasi dari bangsa Israel sebagai umat Allah. Pertama, perempuan itu mempunyai sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya. Secara tradisional, angka dua belas mengacu kepada dua belas suku Israel. Kedua, perempuan itu mengerang kesakitan pada saat melahirkan. Gambaran ini mengingatkan kita pada bangsa Israel yang mengalami banyak kesusahan seperti seorang perempuan yang melahirkan dalam menantikan zaman baru (bdk. Yes. 26:16-18; Yer. 4:31; Mi. 4:9-10). Ketiga, perempuan itu melarikan diri ke padang gurun setelah melahirkan anaknya. Gambaran ini mengingatkan kita pada kisah keluarnya bangsa Israel dari perbudakan Mesir menuju tanah terjanji melalui padang gurun. Perempuan itu dibawa dengan ke padang gurun dengan kedua sayap dari burung nasar yang besar ketika dikejar oleh naga tampaknya terkait langsung dengan apa yang dikatakan dalam Kel. 19:4, “Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku” (bdk. Yes. 40:31). Keempat, semburan seperti sungai besar yang keluar dari mulut naga mengingatkan kita pada tindakan raja Firaun yang memerintahkan semua anak laki-laki Israel yang baru saja dilahirkan dibuang ke sungai Nil (Kel. 1:22).

Mengidentifikasikan perempuan itu dengan Maria, Bunda Yesus, merupakan sebuah perkembangan penafsiran yang muncul kemudian, meskipun bukanlah sesuatu yang tidak tepat karena Maria adalah Bunda Mesias dan personifikasi dari umat Allah. Menafsirkan perempuan itu dengan Maria, Bunda Yesus, relatif lebih mudah dipahami teristimewa dengan menafsirkannya dalam terang Yes. 7:14, “Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.”


Tanda kedua: seekor naga (ay. 3-4a)

Tanda yang kedua di langit adalah “seekor naga merah padam yang besar” (12:3). Inilah pertama kalinya naga yang memainkan peran penting dalam bab ini dan bab berikutnya disebutkan (12:4, 7, 9, 13, 16, 17; 13:2, 4, 11). Selanjutnya, sebutan naga hanya akan muncul dua kali dalam bab selanjutnya (16:12; 20:2; bdk. 20:7-10). Kata “naga” (Yunani: drakon) digunakan untuk menerjemahkan kata Ibrani “tannin” yang diterjemahkan sebagai “binatang-binatang laut yang besar” (Kej. 1:21); “ular besar” (Kel. 7:9); dan “ular tedung yang ganas” (Ul. 32:33).

Naga yang berwarna merah padam dilukiskan secara lebih lanjut, “kepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh mahkota” (12:3). Tujuh mahkota di atas kepalanya berkaitan dengan jumlah kepalanya, satu mahkota satu kepala. Mahkota adalah simbol kerajaan. Tujuh mahkota di atas tujuh kepalanya mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan kepenuhan kuasa yang dimilikinya. Namun, jumlah tanduknya tidak sesuai dengan jumlah kepalanya. Ketidaksesuaian ini memperlihatkan bahwa jumlah tanduk tidak boleh dibaca secara hurufiah. Gambaran tentang “sepuluh tanduk” mungkin ditarik dari gambaran binatang buas dalam Dan. 7:7, 20, 24. Jumlah tanduk itu ditampilkan untuk memperlihatkan kekuatannya yang besar (5:6). Namun, kekuatannya masih terbatas sebagaimana diperlihatkan dalam gambaran tentang kekuatan ekornya yang “menyeret sepertiga dari bintang-bintang di langit dan melemparkannya ke atas bumi” (12:4). Angka sepertiga mengindikasikan kekuatannya yang terbatas dan pembatasan bagi tindakan-tindakannya (bdk. 8:7, 9, 11, 12, 15, 18).


Konfrontasi perempuan dan naga (ay.4b-6)

Konfrontasi antara naga dan perempuan diperlihatkan secara jelas. Naga itu berdiri di hadapan perempuan yang hendak melahirkan untuk menelan anaknya segera sesudah dilahirkan. Identitas anak itu ditampilkan secara singkat. Anak itu seorang laki-laki, yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi. Dari sudut pandang kristiani, anak laki-laki itu mengacu kepada Yesus-Mesias yang dilahirkan dari bangsa Israel/umat Allah/Maria. Anak laki-laki itu dilukiskan sama seperti seorang figur Mesianik dalam Mzm. 2:9, “Engkau akan meremukkan mereka dengan gada besi” dan Yes. 66:7, “Sebelum menggeliat sakit, ia sudah bersalin, sebelum mengalami sakit beranak, ia sudah melahirkan anak laki-laki.”

Naga berdiri di hadapan perempuan untuk menelan anak laki-laki itu langsung setelah dilahirkan. Namun, ia gagal karena anak itu tiba-tiba dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan ke takhta-Nya. Dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan takhta-Nya merupakan sebuah ungkapan untuk melukiskan kemuliaan atau kenaikan Yesus. Dengan demikian, kisah ini tidak berkaitan dengan kelahiran Yesus secara fisik seperti tampak jelas dari tiga pertimbangan berikut. Pertama, perempuan itu bukanlah Maria. Kedua, di tempat lain dalam kitabnya, Yohanes tidak menunjukkan ketertarikannya pada peristiwa kelahiran Yesus. Ketiga, peristiwa kelahiran itu diikuti secara langsung dan sangat aneh – oleh peristiwa kenaikan-Nya.


Perang antara Mikhael dan Naga di surga (ay. 7-9)

Kisah tentang perempuan dan naga terputus oleh kisah tentang perang di surga antara Mikhael dan Naga. Dari kisah ini kita tidak diinformasikan bagaimana naga yang sebelum mengejar perempuan yang sedang mengandung di bumi kembali ke surga dan juga tidak menginformasikan apa yang memicu terjadi perang. Alasan penghilangan informasi ini sangatlah sederhana. Yohanes tidak bermaksud untuk menceritakan kisahnya secara kronologis. Perhatian utamanya terletak pada alasan mengapa Iblis atau Setan membenci gereja. Alasannya karena naga telah dilemparkan dari surga dan ia terus mengejar perempuan dan keturunannya. Kita yang familiar dengan kisah tentang Setan diusir atau dilemparkan dari surga dapat berasumsi bahwa perang terjadi karena Setan berupaya menjadi sama seperti Allah.

Mikhael, seorang malaikat yang namanya berarti “siapa seperti Allah”, hanya muncul di sini dalam keseluruhan kitabnya. Ia disebutkan sebanyak tiga kali dalam kitab Daniel sebagai “salah seorang dari pemimpin-pemimpin terkemuka” (Dan. 10:13); “pemimpinmu”; dan “pemimpin besar”(Dan. 12:1). Ia disebut juga sebagai “pemimpin malaikat” yang bertengkar dengan Iblis karena mayat Musa (Yud. 1:9) dan “pemimpin malaikat” yang berseru pada waktu parousia Tuhan (1Tes. 4:16). Di tempat lain, ia disebut sebagai malaikat agung (3 Barukh 11:8; 4Barukh 9:5; Testament of Abraham 1:4). Dalam gulungan kitab Laut Mati, ia dipandang sebagai seorang malaikat yang bertarung atas nama umat-Nya untuk melawan kekuatan jahat yang dipimpin oleh Belial atau setan (1QM 17:6-8). Dari beberapa gambaran ini, ia ditampilkan sebagai pelindung umat Allah.

Naga dilukiskan dan dikaitkan lebih lanjut sebagai “si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan.” Lukisan ini mungkin diambil dari kisah tentang masuknya dosa ke dalam dunia melalui tipu daya ular terhadap Hawa di taman Eden (Kej. 3:1-5). Yohanes tampaknya mengidentikkan setan dengan ular dalam Kej. 3 yang menipu Adam dan Hawa supaya tidak taat dan tidak percaya pada kata-kata Allah. Dalam konteks ini, ular, iblis atau setan adalah penyesat seluruh dunia. Ia mengacaukan dan membelokkan orang dari jalan Tuhan dan kebahagiaan.

Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan naga dan “malaikat-malaikatnya” di surga (ay.7). Ungkapan “malaikat-malaikat naga” ini hanya muncul di sini dalam keseluruhan kitabnya. Ungkapan ini mungkin dimaksudkan untuk mengimbangi ungkapan malaikat-malaikat Mikhael. Bagi beberapa penafsir, perang itu dilihat sebagai sebuah perang rohani antara Allah dan roh jahat dan beberapa yang lain melihatnya sebagai perang antara yang baik dan yang jahat. Apapun bentuk pemahamannya, Mikhael dan malaikat-malaikatnya ditampilkan sebagai inisiator dan pemenangnya.Naga dan malaikat-malaikatnya dilemparkan ke bumi. Tidak ada lagi tempat bagi mereka di surga. Kemenangan ini mengisyaratkan bahwa Allah akan mengalahkan musuh-musuh gereja.


Nyanyian kemenangan di surga (ay. 10-12)

Nyanyian kemenangan terjadi surga atas kalahnya naga dan malaikat-malaikatnya. Suara nyaring di surga yang didengar oleh Yohanes berasal dari dewan surgawi (bdk. 4:10-11; 5:8-9; 11:15; 19:10; 22:9). Nyanyian dewan surgawi ini memuat tiga hal. Pertama, situasi masa sekarang. “Sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa dan pemerintahan Allah kita, dan kekuasaan Dia yang diurapi-Nya” (ay. 10). Kedua, apa yang menyebabkan terjadinya situasi sekarang. Situasi itu terjadi karena “telah dilemparkan ke bawah pendakwa saudara-saudara seiman kita, yang mendakwa mereka siang dan malam di hadapan Allah kita” (ay. 10). Dilemparkannya ke bawah pendakwa saudara-saudara seiman mengingatkan kita pada naga yang telah dilemparkan ke bawah (ay. 9). Karena naga telah dilemparkan dari surga, maka keselamatan, kuasa, dan kerajaan Dia yang diurapi di bumi.

Mikhael dan malaikat-malaikatnya menang dalam perang melawan musuhnya melalui darah Anak Domba dan perkataan kesaksian mereka sendiri. Kini menjadi jelas bahwa alasan utama kemenangan bukanlah kekuatan Mikhael, melainkan melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Tindakan penebusan Kristus membebaskan umat beriman dari dosa-dosa mereka (1:5; 5:9) merupakan alasan kemenangan mereka atas naga dan malaikat-malaikatnya. Kemenangan itu juga tidak dapat dipisahkan dari kesaksian mereka sendiri tentang Yesus bahkan sampai mati. Alasan kemenangan ini mengingatkan kita kepada Yohanes yang berada di pulau Patmos karena sabda Allah dan kesaksiannya tentang Yesus (1:9); mereka yang dibunuh karena sabda Allah dan kesaksian yang mereka miliki (6:9).

Ketiga, suara nyaring itu menampilkan implikasi dari situasi yang terjadi sekarang. Pada satu sisi, surga dan orang-orang yang tinggal di dalamnya diminta untuk bersukacita (12:12; bdk Mzm. 96:11; Yes. 44:23; 49:13). Dalam 18:20, surga bersama para kudus, para rasul, dan para nabi akan diundang lagi untuk bersukacita atas penghakiman Allah terhadap kota besar Babel. Pada sisi lain, suara nyaring di surga menyampaikan sebuah kutukan (bdk. 8:13; 9:12; 11:4; 18:10, 16, 19) bagi bumi dan laut, “celakalah kamu, hai bumi dan laut! Kutukan itu muncul karena naga, Iblis, telah turun kepada orang yang tinggal di bumi yang secara jelas mengacu kepada peristiwa setelah perang di surga (12:9). Pengusiran naga, iblis atau setan dari surga berarti celaka bagi bumi karena ia datang kepada mereka dalam kemurkaan besar. Namun, hal itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat dan karena itu tanggapan yang tepat dari pihak umat Allah adalah tetap memberikan kesaksian iman dengan setia.


Kelanjutan konfrontasi antara naga dan perempuan serta keturunannya (ay. 13-17)

Kisah tentang perempuan dan naga diringkas lagi dalam bagian ini. Karena naga telah dikalahkan dan dilemparkan ke bumi, maka ia kembali mengejar perempuan yang melahirkan seorang anak laki-laki (Bunda Mesias, umat Allah, Gereja). Namun, Allah memberikan perempuan itu sarana yang diperlukan untuk meloloskan diri dari kejaran naga. Allah memberikannya kedua sayap dari burung nasar yang besar supaya ia terbang ke tempatnya di padang gurun, di mana ia dipelihara jauh dari tempat ular itu selama satu masa dan dua masa dan setengah masa (Dan. 7:25; 12:7).

Sarana yang diberikan, “kedua sayap burung nasar” mengingatkan kita pada apa yang dikatakan dalam Kel. 19:4; Ul. 32:11; Yes. 40:3. Allah telah membawa bangsa Israel di atas sayap burung rajawali dari Mesir, tanah penyembahan berhala, dan penindasan (11:8) ke padang gurun. Bagi Yohanes, padang gurun dalam kisah ini bukanlah tempat roh-roh jahat dan binatang-binatang buas (bdk. 18:2-3; Mrk. 1:13; Luk. 11:24), melainkan suatu tempat yang aman dan suaka dari pengejaran naga, tempat pengungsian dari kelaliman atau kesewenang-wenangan.

Melihat perempuan itu terbang ke padang gurun, naga menyemburkan dari mulutnya air, sebesar sungai, ke arah perempuan itu, supaya ia dihanyutkan oleh sungai tersebut (ay. 15-16). Namun, bumi itu sendiri datang menolongnya dengan membuka mulutnya dan menelan sungai yang disemburkan naga itu dari mulutnya. Tidaklah mudah untuk menemukan kesejajaran tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh bumi dalam Perjanjian Lama. Namun, Yohanes mungkin berpikir tentang banjir Nuh atau janji Allah: “Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan” (Yes. 43:2). Namun, apapun kisah yang disinggung oleh Yohanes, bumi sebagai ciptaan Allah yang baik digambarkan di sini sebagai penolong umat-Nya. Bumi digunakan oleh Allah untuk menelan banjir dan menghukum yang jahat (Bil. 26:10; Ul. 11:6; Mzm. 106:16-18). Bumi dapat ditafsirkan sebagai rahmat dan kuasa Allah yang menyelamatkan perempuan dari kekuatan naga yang merusakkan.

Naga gagal lagi setelah sebelumnya dikalahkan oleh Mikhael dan malaikat-malaikatnya. Namun, ia tidak menyerah, tetapi terus memerangi keturunan perempuan yang lain. Keturunan perempuan yang dilukiskannya sebagai orang-orang yang menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus. Pembedaan antara perempuan dan keturunannya yang lain menarik perhatian para ahli tafsir untuk mengidentifikasikan perempuan itu dengan gereja Palestina dan keturunannya yang lain dengan gereja yang bukan Yahudi. Namun, pembedaan itu tidak terlalu dibuat-buat karena di tempat lain Yohanes tidak menampilkan pembedaan tersebut. Lukisan tentang keturunan perempuan yang lain menunjukkan bahwa naga memerangi orang-orang yang menaati perintah Allah dan setia memberi kesaksian tentang Yesus. Naga memerangi orang kristiani yang ideal menurut kitab Wahyu.


1. Wilfrid. J. Harrington, Revelation (Collegeville: Liturgical Press, 1993), 130.
2. R. E. Clements, Isaiah 1-39 (Grand Rapids: Eerdmans, 1982), 87.
3. Padang gurun selalu mempunyai makna yang istimewa bagi orang Israel. Ketika mereka meninggalkan Mesir dan mengembara di padang gurun, mereka seharusnya mati karena tidak ada makanan dan minuman. Namun, di padang gurun yang mewakili kematian, orang Israel menemukan kehidupan. Mereka menemukan Allah. Ada air dan manna. Di padang gurun mereka mengenal Allah. Maka, padang gurun mewakili suatu tempat di mana orang dapat dengan mudah berhubungan secara dekat dengan Allah. “Ingatlah kepada seluruh perjalanan yang kaulakukan atas kehendak TUHAN, Allahmu, di padang gurun selama empat puluh tahun ini dengan maksud merendahkan hatimu dan mencobai engkau untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni, apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak” (Ul. 8:2). Gambaran yang lain tentang padang gurun yang ideal ditemukan dalam nabi Hosea, “Aku akan mengikat perjanjian bagimu pada waktu itu dengan binatang-binatang di padang dan dengan burung-burung di udara, dan binatang-binatang melata di muka bumi; Aku akan meniadakan busur panah, pedang dan alat perang dari negeri, dan akan membuat engkau berbaring dengan tenteram” (Hos. 2:16). Padang gurun adalah sebuah tempat di mana Allah melindungi umat pilihan-Nya. Karena Allah tergantung secara total pada Allah sendiri di pandang gurun, padang gurun merepresentasi relasi yang istimewa antara Allah dan umat-Nya.
4. Joseph L, Trafton, Reading Revelation: A Literary and Theological Commentary (Georgia: Smyth & Helwys, 2005), 117
5. Daniel Harrington, Revelation: the Book of the Risen Christ (Canada: New City Press, 1999), 99.
6. Dalam Perjanjian Lama, naga seringkali ditampilkan sebagai simbol bagi bangsa penindas seperti Mesir dan penguasanya (Mzm. 74:14), Firaun (Yeh. 32:2-32), Babilon (Yes. 27:1). Daniel menggunakan simbol naga untuk bangsa yang anti Allah dan penguasanya, lawan Israel. Dalam konteks ini, naga merah ditampilkan sebagai simbol untuk musuh utama umat Allah. Kim S. Vidal, Moon Under Her Feet: Woman of the Apocalypse (St. Glasgow: Wild Goose, 2004), 52
7. Trafton, Reading Revelation, 119.
8. Gerhard A. Krodel, Revelation (Minneapolis: Augsburg Fortress, 1989), 241.
9. Leonard L. Thompson, Revelation (Nashville: Abingdon Press, 1998), 137.
10.Vidal, Moon Under Her Feet, 65.
11.Menurut Harrington, suara nyaring itu kemungkinan besar tidak berasal dari para malaikat, tetapi dari para martir yang telah dimuliakan sebagaimana diisyaratkan oleh ungkapan “pendakwa saudara-saudara seiman.” Ungkapan ini sebelumnya muncul dalam Why. 6:11 ketika mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki diminta untuk beristirahat sedikit waktu lagi hingga genap jumlah kawan-kawan pelayan dan saudara-saudara seiman mereka, yang akan dibunuh sama seperti mereka. Harrington, Revelation, 101.
12.Seán P. Kealy, The Apocalypse of John (Wilmington: Michael Glazier, 1987),171.