Jumat, Juli 30, 2010

Mazmur 23

KISAH ORANG PALING MALANG SEDUNIA
Jarot Hadianto

“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mzm. 23:1)


Situasi yang kuhadapi saat ini tampaknya sederhana bagi orang lain, tapi tidak bagiku. Aku diminta setiap pagi mengantar setumpuk koran dari stasiun kereta ke kios majalah di pertigaan jalan. Untuk pekerjaan itu, aku akan mendapat uang jasa sebesar dua ribu rupiah per hari. Jarak antara dua tempat itu tidak jauh, hanya sekitar 300 langkah. Jadi kelihatannya mudah saja, bukan?

Tapi untuk melakukan kerja sederhana itu aku punya tiga masalah besar. Pertama, jalan yang akan kulalui itu sempit, namun selalu padat oleh manusia, mobil, dan motor yang hilir mudik menuju stasiun kereta. Kedua, tidak ada teman yang bisa mendampingiku, aku harus berjalan sendiri. Dan ketiga, mengapa dua hal sepele itu menjadi soal, tidak lain karena aku tidak bisa melihat. Aku ini buta.


Orang paling malang sedunia

Kalau begitu keadaannya, lalu untuk apa aku harus mengambil risiko berjalan sendirian, membawa setumpuk koran yang berat, hanya demi selembar uang dua ribu rupiah? Terus terang saja, uang sebanyak itu sangat berarti bagiku. Aku ini pengemis. Pendapatan harian yang kuperoleh tidak banyak dan tidak pernah bisa dipastikan. Saat tanggal muda, kantong celanaku bisa penuh oleh koin, buah pemberian orang-orang kantoran yang murah hati. Tapi ketika tanggal tua tiba, jangan harap itu terjadi.

Pagi ini misalnya, pemasukan tercatat nol rupiah. Padahal, aku sudah beroperasi sejak pagi-pagi buta dan sekarang dalam keadaan lapar. Apakah tanggal tua telah tiba? Aku menduga demikian. Tuan-tuan dan nona-nona muda yang menanti kereta di stasiun ini rasanya tidak berminat melihat aku. Akibatnya, mangkok di tanganku masih kosong melompong. Koin seratus perak pun tak ada! Jadi, apa boleh buat, ketika ada orang yang mau memakai jasaku untuk mengantar koran ke kios di pinggir jalan, aku segera saja menerimanya.

Menjadi pengemis memang menyedihkan. Menjadi pengemis yang buta, itu lebih menyedihkan lagi. Tapi ya, begitulah nasibku. Sering aku merasa, aku ini orang paling malang sedunia. Entah kenapa Tuhan tega menciptakan aku seperti ini. Aku sudah lelah bertanya-tanya kepada-Nya tanpa jawaban. Sekarang ini, selain bersikap pasrah dan menjalani hidup apa adanya, aku punya keyakinan baru yang kupegang erat-erat: “Tuhanlah gembalaku, aku takkan kekurangan. Tuhan akan membimbing dan menuntun aku ketika aku berjalan dalam kegelapan.” Ah, bagaimana bisa pengemis buta seperti aku punya insight – begitu orang pintar sering mengatakannya – sehebat itu? Sebentar lagi kalian akan mengetahuinya.


Perjalanan dimulai

Koran-koran yang harus kuantar sekarang sudah berada di tanganku. Di luar dugaan, jumlahnya banyak sehingga sungguh merepotkan. Aku menjepitnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan sudah punya tugas yang tetap, yakni menggenggam tongkat. Setelah meneguhkan hati dengan mengulang-ulang mantra suci: “Tuhanlah gembalaku,” aku memulai perjalanan yang mendebarkan ini. Dalam kegelapan, aku melangkah setapak demi setapak. “Tuhan, semoga aku sampai ke tujuan dengan selamat!” seruku dalam hati. Kalau tugas perdana ini berjalan lancar, besok-besok aku bisa mengawali hari-hariku dengan gembira, sebab setiap pagi dua ribu rupiah sudah pasti ada di tangan.

Aku rasa hari mulai terang, sebab udara mulai terasa hangat. Seperti sudah kuduga, pada jam-jam begini, jalan yang kulalui sudah dipadati orang yang hendak menuju ke tempat kerjanya masing-masing. Sambil berjalan melawan arus, aku menajamkan telinga, mengamati langkah mereka yang serba terburu-buru, takut ketinggalan kereta. Tapi raja jalan sempit tanpa trotoar ini bukanlah orang-orang itu, melainkan tukang ojek. Ya, tukang-tukang ojek adalah penguasa sejati jalur ini dengan motor-motor mereka yang melaju bak kereta ekspres. Demi memburu penumpang, mereka suka bertingkah gila-gilaan, serobot sana serobot sini, dan ngebut sesuka hati seolah-olah sedang berlaga di sirkuit balapan.

Aku terus melangkah dengan perlahan. Telingaku kupasang baik-baik, mewaspadai para tukang ojek dan motor-motor mereka yang liar itu. Begitu mendengar suara mendengung seperti lebah, itu artinya pasukan ojek mendekat dan aku harus minggir. Tapi pendengaranku yang tajam menangkap suara-suara lain juga. Yang kumaksud ialah seruan-seruan kecil seperti “Wah”, “Hah”, “Oh”, “Astaga”, “Ya ampun”, dan sejenisnya. Semua seruan itu tertuju kepadaku. Aku rasa itulah ekspresi kekagetan orang melihat ada orang buta berjalan sendiri di keramaian. Mereka mungkin terkejut, heran, atau prihatin. Melihat aku membawa setumpuk koran, bisa jadi mereka juga merasa aneh dan lucu. Orang buta dan koran memang bukan pasangan yang tepat.


Melepas lelah di samping gereja

Pada langkah ke-109, aku memutuskan untuk beristirahat. Berjalan penuh kewaspadaan ternyata membuat urat-uratku tegang. Aku jadi cepat lelah dan indra keenamku jadi kurang berfungsi dengan baik. Beberapa kali aku bergeser ke tengah jalan, yang mana hal tersebut membuat ibu-ibu penjual pastel yang berjejer di situ berteriak histeris dan buru-buru menyeretku kembali ke tepi. Aku berterima kasih atas pertolongan mereka. Diam-diam aku berdoa semoga pastel, donat, dan lemper yang mereka jual hari ini laku habis tak bersisa.

Sebenarnya pemilihan tempat istirahat ini bukan suatu kebetulan. Langkah ke-109 dari stasiun kereta adalah suatu tempat yang teduh karena dinaungi pohon akasia nan rindang. Pada hari tertentu, yakni hari Minggu, aku biasa mangkal di tempat ini. Kenapa harus hari Minggu, tidak lain karena di situ ada sebuah gereja yang tentunya dipenuhi orang hanya pada hari Minggu. Aku pikir, aneh juga ada gereja kok terletak di dekat stasiun, di samping jalanan yang sempit dan padat. Apa mereka bisa berdoa dalam suasana yang begitu ramai, berisik, berhiaskan bunyi klakson di sana-sini? Tapi apa peduliku. Di tempat ini, banyak orang bermurah hati memberiku sedekah. Di tempat ini pula untuk pertama kalinya aku mendengar lagu “Tuhanlah Gembalaku” itu.

“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.”

Saat itu, ketika orang-orang di dalam gereja menyanyikan lagu tersebut, telingaku langsung berdiri tegak. Waahh… lagu itu begitu indah, syairnya begitu dalam! Aku sangat terkesan dan merasa tersapa olehnya. Sebagai orang buta yang selalu “berjalan dalam lembah kekelaman”, lagu itu langsung meresap ke dalam batinku, sebab sesuai sekali dengan situasi kehidupanku. Sejak saat itu, aku suka menyenandungkan lagu “Tuhanlah Gembalaku” berulang-ulang. Sikapku pun berubah. Yang tadinya sering mengeluh, sekarang jadi riang dan penuh semangat. Berkat lagu “Tuhanlah Gembalaku”, aku jadi yakin bahwa Tuhan pasti setia menuntun aku, memberi jalan bagiku, dan mencukupi aku dalam kekuranganku. Bukankah Dia yang menciptakan aku? Aku percaya, Dia pun mengasihi aku, peduli terhadapku, dan senantiasa memperhatikan aku.


Terkapar di tengah jalan

Begitulah, duduk satu dua menit di tempat ini membuat aku bersemangat lagi. Rasa lelahku lenyap dan aku pun melanjutkan perjalananku menuju pos terakhir, yakni kios koran di pertigaan sana. 191 langkah lagi. Ah, tidak jauh itu. Dengan spirit “Tuhanlah Gembalaku”, aku pasti bisa melakukannya.

Aku melangkah setapak demi setapak dengan gembira, sambil mengangguk-anggukkan kepala menyanyikan lagu kesayanganku tersebut. Tapi mungkin gara-gara itulah konsentrasiku jadi hilang. Aku bergeser agak ke tengah, lalu tiba-tiba ada suara mendengung melaju kencang ke arahku, dan guabruuuuuusssssss……..!!! Tukang ojek sialan itu benar-benar menabrak diriku.
Aku menjerit. Orang-orang juga menjerit. “Ya Tuhan!”, “Masya Allah!”, “Tuhan Yesus!” Demikianlah kami semua menyerukan nama Tuhan kami masing-masing. Si tukang ojek beda. Tak mau dipersalahkan, yang seketika ia lontarkan adalah sumpah serapah terhadapku, “Buta kamu ya! Matamu ditaruh di mana?” Lha, memang aku buta, bagaimana sih orang ini? Begitu menyadari bahwa yang ditabraknya benar-benar orang buta, ia langsung terdiam, tidak meneruskan caci makinya. Lagi pula saat itu orang-orang mulai datang berkerumun. Sebagian menolong aku, yang lain gantian memarahinya.

Terkapar di jalanan, aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Rasa sakit mendera seluruh tubuhku. Tongkatku terlempar entah ke mana, dan tangan kiriku kehilangan barang yang dijepitnya. Barang itu! Ya Tuhan, koran itu! Aku yang sudah mau pingsan langsung tidak jadi. “Koran! Koran! Di mana korannya?!!” begitu aku berteriak, sambil tanganku meraba ke mana-mana mencari-cari benda yang terbuat dari kertas. Satu dua lembar berhasil kudapat. Oh, koran itu berceceran di sana-sini, kotor oleh debu, air, dan tanah, tak ada yang utuh lagi!


Penutup

Membayangkan kemarahan si pemilik koran, aku ketakutan setengah mati. Ia pasti menuntutku membayar ganti rugi. Nilai koran-koran ini pasti sampai ratusan ribu. Ya Allah, dari mana aku mendapat uang sebanyak itu? “Aduh…, aduh…, Tuhanku…, Tuhankuuuu…!!!” Aku menangis dan meraung keras-keras. Orang-orang yang menolongku jadi kebingungan. Si tukang ojek malah jadi pingsan. Ia mengira orang yang ditabraknya sedang sekarat.

Aku tidak tahu separah apa luka yang kuderita. Yang ada di pikiranku hanyalah koran-koran itu. Ya Tuhan, pemilik koran itu pasti akan membunuhku. Kalaupun tidak, dia pasti tak akan memberiku pekerjaan lagi. Lalu bagaimana aku bisa makan? Aku merasa sangat putus asa. “Ya Tuhan, aku dalam bahaya! Kasihanilah aku, Tuhan. Kasihanilah aku sekali ini saja! Sudah terlalu lama Engkau mendiamkan aku. Tuhanku, Gembalaku, maukah kali ini Engkau menolong aku?”***


Bacaan Pendukung
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Harun, Martin. Berdoa Bersama Umat Tuhan: Berguru pada Kitab Mazmur. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.

Rabu, Juli 07, 2010

PANGGILAN DAN PERUTUSAN YEREMIA
(Yer. 1:4-10)
Alfons Jehadut

Perikop ini umumnya dianggap sebagai sebuah “cerita panggilan dan perutusan” Yeremia menjadi seorang nabi. Di sini kita menemukan ciri-ciri yang biasanya muncul dalam sebuah cerita panggilan dan perutusan seorang untuk suatu tugas khusus. Ciri-ciri standar itu mencakup inisiatif ilahi (ay. 5), penolakan dari orang yang dipanggil (ay. 6), bantahan dan janji Allah (ay. 7-8), dan tindakan perutusan secara fisik (ay. 9a) dan isi pokoknya (ay. 9b-10).


Inisiatif ilahi

Yeremia menceritakan kembali panggilan dan perutusan menjadi seorang nabi bagi bangsa-bangsa dalam sebuah dialog antara Allah dan dirinya. Dalam dialog itu Allah berkata kepada Yeremia, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (ay. 5). Allah telah mengenal Yeremia bahkan sebelum ia dikandung dalam rahim ibunya; Allah telah menguduskan Yeremia untuk suatu misi khusus sebelum ia dilahirkan; dan Allah telah menetapkannya untuk melaksanakan tugas kenabian yang sangat besar kepada semua bangsa. Dengan dipanggil dan ditetapkan sebagai nabi bagi bangsa-bangsa, kotbah dan nubuat Yeremia tidak hanya terbatas untuk suku Yehuda saja tetapi juga diperuntukkan bagi seluruh dunia. Yeremia melihat kemerosotan dan penyembahan berhala sebagai suatu penyakit pandemik yang melanda seluruh bangsa manusia karena itu kotbah dan kata-kata nubuatnya ditujukan kepada seluruh bangsa manusia.

Kata-kata Allah di atas tidak perlu dilihat sebagai sebuah laporan atas apa yang sesungguhnya terjadi tetapi sebagai sebuah lukisan pengalaman Yeremia yang percaya bahwa dirinya telah lama dipanggil dan diangkat oleh Allah untuk menjadi seorang nabi bagi bangsa-bangsa. Dengan mengutip kata-kata Allah, Yeremia mengungkapkan keyakinannya bahwa panggilan dan perutusannya menjadi seorang nabi tidak datang dari keinginan dan pilihan hidupnya sendiri tetapi lahir dari rencana dan kehendak Allah jauh sebelum ia sendiri menyadarinya. Jauh sebelum dibentuk dalam rahim ibunya, Allah telah mengenalnya, menguduskannya, dan menetapkannya menjadi seorang nabi bagi bangsa-bangsa. Penegasan tentang asal-usul panggilan dan perutusan ini mungkin dimaksudkan agar para pendengar atau pembacanya mendengar dan mempercayai apa yang akan dikatakannya. Jika seorang nabi tidak dipanggil dan diutus oleh Allah maka tidak ada alasan bagi umat untuk mendengarkan dan mempercayai kata-kata nubuatnya. Yeremia berinisiatif memanggil dan mengutus Yeremia menjadi nabi dan tugas kenabian itu sesuai rencana Allah sejak semula.


Penolakan Yeremia

Setelah melukiskan keyakinan tentang asal-usul panggilan dan perutusannya menjadi seorang nabi, Yeremia lalu mengungkapkan keberatannya kepada pada pendengar dan pembacanya. “Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda” (ay. 6) Keberatan yang serupa kita temukan juga dalam cerita panggilan dan perutusan Musa untuk memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir, “Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulu pun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mu pun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah” (Kel. 4:10). Baik Musa maupun Yeremia mengajukan keberatan atas tugas yang diberikan karena mereka tidak fasih berbicara. Keberatan Musa ditanggapi oleh Allah dengan menyediakan Harun sebagai juru bicaranya.

Umur yang masih muda, ketidakmampuan untuk berkomunikasi, dan ruang lingkup tugas kenabian yang sangat luas merupakan alasan yang masuk akal secara manusiawi untuk mengajukan keberatan atas panggilan dan perutusan Allah. Yeremia yang masih sangat muda merasa belum matang dan belum sanggup sebab di Israel kuno tua-tualah yang memberi perintah dan nasihat yang patut dihormati dan bukan seorang yang masih muda. Namun, ruang lingkup tugas yang luas, usia yang masih muda, dan kefasihan berbicara itu tidak diperhitungkan oleh Allah sebagai alasan untuk menolak panggilan dan pengangkatan-Nya. Yeremia bukanlah satu-satunya orang yang dipanggil dan diangkat menjadi nabi pada usia yang sangat muda. Samuel juga masih sangat muda pada waktu pertama kali dipanggil oleh Allah untuk menjadi nabi (1Sam 3:1-4:1a). Seorang nabi tidak dituntut batasan umur dan keahlian tertentu karena Allah yang meletakkan kata-kata ke dalam mulutnya.



Bantahan dan janji Allah

Yeremia menolak panggilan dan perutusannya menjadi seorang nabi bagi-bangsa dengan mengungkapkan kekurangan dan keterbatasannya. Kekurangan dan keterbatasan itu tidak diterima oleh Allah sebagai alasan menolak panggilan dan perutusannya dengan mengutip apa yang telah dikatakan oleh Allah kepadanya. Allah berkata kepada Yeremia, “Janganlah katakan Aku ini masih muda, tetapi kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apa pun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan. Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau” (ay. 7-8).

Dengan mengutip kata-kata bantahan Allah di atas Yeremia menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada pilihan lain baginya selain menerima panggilan dan tugas perutusannya. Sebagai seorang yang telah dipanggil dan diutus menjadi nabi bagi bangsa-bangsa, Yeremia harus pergi kepada siapapun ia diutus dan menyampaikan apapun yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Perjalanan misinya diarahkan bukan oleh kehendak dan keinginan pribadinya melainkan oleh rencana dan kehendak Allah semata-mata. Kata-kata yang keluar dari mulutnya juga tidak berasal dari dirinya sendiri tetapi dari Allah. Yeremia di sini lagi-lagi mengungkapkan keyakinannya bahwa dirinya hanyalah menyampaikan firman Allah dan perjalanan misinya dikendalikan seluruhnya oleh Allah sendiri.

Yeremia lalu diminta oleh Allah untuk tidak takut dalam menjalankan panggilan dan perutusannya karena Allah akan menyertainya. “Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau” (ay. 8). Janji yang memberikan peneguhan ini sangat diperlukan agar Yeremia tidak takut untuk pergi kepada siapa pun ia diutus dan untuk menyampaikan apapun yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Dengan janji ini Yeremia dibawa ke dalam persekutuan dengan nenek moyang Israel yang juga telah menerima peneguhan yang sama seperti Yakub (Kej. 28:15), Musa (Kel. 3:12); Yosua (Yos 1:5); Gideon (Hak. 6:16), dan lain-lain. Janji yang sama ini akan disampaikan lagi kepada Yeremia (Yer. 1:19; 15:20) dan akan diperluas kepada bangsa Israel (Yer. 30:11). Janji inilah yang akan menjadi sumber pengharapan bagi Yeremia menghadapi penderitaannya yang berat (Yer. 20:11-13).



Tindakan perutusan dan isi pokok tugas perutusannya

Yeremia kembali menceritakan interaksi Allah dengan dirinya. Diceritakan bahwa “TUHAN mengulurkan tangan-Nya dan menjamah mulutku” (ay. 9) sehingga mulutnya pantas untuk mewartakan sabda Allah. Tindakan Allah ini mirip tindakan yang lakukan oleh seorang malaikat dalam kisah panggilan Yesaya. Malaikat menyentuh bibir Yesaya dengan bara api untuk membuatnya pantas mewartakan sabda Allah (Yes. 6:6-7). Tindakan Allah ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk perutusan secara fisik. Melalui tindakan ini panggilan dan perutusan Yeremia sebagai seorang nabi yang menjadi juru bicara dan penafsir Sabda Allah diperkuat kembali. Namun, ada juga yang melihat tindakan Allah ini berfungsi untuk mengubah pola pikir Yeremia bersifat manusia ke dalam pola pikir Allah sendiri.

Selain mengulurkan tangan-Nya dan menjamah mulut, Allah juga menaruh sabda-Nya ke dalam mulut Yeremia, “Aku menaruh perkataan-perkataan-Ku ke dalam mulutmu” (ay. 9). Tindakan Allah ini mengingatkan kita pada janji Allah tentang seorang nabi seperti Musa dalam Ul. 18:18, “seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya.” Janji seorang nabi seperti Musa terpenuhi dalam diri Yeremia. Allah telah menaruh sabda-sabda-Nya dalam mulut Yeremia. Keberatan Yeremia bahwa dirinya tidak pandai bicara karena usianya masih sangat muda diatasi oleh Allah dengan menempatkan kata-kata secara langsung dalam mulutnya.

Setelah menempatkan kata-kata ilahi ke dalam mulutnya, Yeremia lalu mengetahui isi pokok perutusannya. “Ketahuilah, pada hari ini Aku mengangkat engkau atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam.” Tugas pokok perutusannya sebagai nabi bagi bangsa-bangsa adalah “untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam.” Di sini Allah memberikan suatu tugas ganda, yakni meruntuhkan dan membangun. Dalam konteks kitab Yeremia dan pesannya secara keseluruhan, tugas ganda ini diungkapkan secara berbeda-berbeda untuk pendengarnya yang berbeda-beda (12:14-17; 18:7-9; 24:6; 31:28; 31:40; 42:10; 45:4). Kedua tugas ganda ini mengungkapkan kompleksitas pesan yang akan disampaikan oleh Yeremia – kadang-kadang penghakiman dan kadang-kadang pengharapan; kadang-kadang kepada orang Israel dan kadang-kadang kepada bangsa-bangsa lain. Kepada bangsa dan kerajaan yang berdosa karena melakukan kejahatan, ia harus menubuatkan penghukuman Tuhan yang membangkitkan penyesalan. Sebaliknya, kepada bangsa dan kerajaan yang bertobat dari kejahatannya, ia harus menubuatkan pengampunan Tuhan yang membangkitkan pengharapan.



Amanat

Secara keseluruhan kisah panggilan dan perutusan Yeremia menampilkan sebuah dialog. Allah dan Yeremia berbicara satu sama lain seperti seorang teman. Dialog semacam itu mengindikasikan adanya suatu kepercayaan dan kedekatan antara Allah dan Yeremia. Allah mempercayakan Yeremia dengan sebuah panggilan dan misi perutusan khusus meski Yeremia pada awalnya berkeberatan. Keberatan itu ditolak oleh Allah dan berjanji untuk menyertainya. Penyertaan Allah terlihat dalam tindakan mengulurkan tangan-Nya, menjamah mulutnya, dan meletakkan sabda-Nya di dalam mulut Yeremia. Melalui penyertaan ini kita sungguh-sungguh percaya pada kredibilitas dan kewibawaan Yeremia sebagai seorang nabi. Yeremia benar-benar diberi kuasa dan wewenang oleh Allah dan akan bertindak dengan kekuasaan Allah sendiri.

Kisah panggilan dan perutusan Yeremia ini juga memberi suatu pemahaman bagi kita tentang Allah. Allah digambarkan sebagai seorang yang mengenal, menguduskan, dan menetapkan Yeremia sebagai seorang nabi. Jauh sebelum dibentuk dalam rahim ibunya, Allah telah mengenalnya, menguduskannya, dan menetapkannya menjadi seorang nabi bagi bangsa-bangsa. Gambaran ini memperlihatkan bahwa Allahlah berinisiatif dalam memilih, memanggil, dan mengutus Yeremia sebagai seorang nabi yang tidak hanya diutus kepada bangsa Israel tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain. Allah yang berinisiatif itu terus bekerja secara aktif untuk memimpin, membimbing, dan menyertai orang yang telah dipanggil dalam menjalankan liku-liku misi perutusannya.

Allah memanggil Yeremia bukan untuk mendapatkan hak istimewa tetapi untuk mendapatkan suatu tugas khusus. Walau Yeremia berkeberatan dengan tugas yang diberikan sama seperti yang sering kita lakukan dalam menerima tugas-tugas gereja, namun Allah tidak menerima keberatannya sebagai alasan untuk melarikan diri dari tugas yang berikan karena Allah berjanji untuk menyertai kita. Yeremia sama seperti kita mungkin berkeberatan karena kelemahan dan kekurangan kita, namun Allah berjanji untuk menyertai kita dalam melaksanakan panggilan dan perutusannya. Allah tidak akan membiarkan kita berjuang sendiri. Ia selalu memimpin dan membimbing kita jika kita menerima panggilan dan perutusannya dengan setia.



Sumber-sumber Bacaan

Boadt, Lawrence. Jeremiah 1-25. Wilmington: Michael Glazier, 1982.
Brueggemann, Walter, To pluck up, to tear down: a Commentary on the book of Jeremiah 1-25. Grand Rapids: Eerdmans, 1988.
Dempsey, Carol J. Jeremiah: Preacher of Grace, Poet of Truth. Collegeville: Liturgical Press, 2006.
Thompson, J. A. The Book of Jeremiah. Grand Rapids: Eerdmans, 1980.
Weems, Renita J. “Jeremiah” dalam Daniel Patte, ed. Global Bible Commentary. Nashville: Abingdon Press, 2004.