KAYA. SAYANG, BODOH
Jarot Hadianto
Jarot Hadianto
My life is finding the perfect shoes, demikian iklan sebuah kartu kredit yang mungkin segera membuat batin kita bersungut-sungut. Masak, hidup di dunia ini habis hanya untuk mencari sepatu? Apa tidak ada tujuan hidup yang lain, yang sedikit lebih mulia? Biarpun hanya sebuah iklan, tidak dapat disangkal bahwa isi iklan tersebut mencerminkan gaya hidup sebagian orang zaman ini. Sepatu yang begitu digilai menjadi contoh fenomena banyak orang dewasa ini yang mudah lupa diri begitu berhadapan dengan uang atau harta benda. Yang disebut ‘bahagia’ menurut mereka adalah jika segala keinginan mereka terpenuhi atau jika mereka memiliki materi yang berkecukupan.
Penginjil Lukas berpendapat bahwa kekayaan pada dasarnya bukan suatu masalah. Yang menjadi masalah adalah sikap orang atas kekayaan itu: menganggapnya sebagai ‘inti hidup yang bahagia’, tidak kunjung puas dengan harta benda yang dimilikinya (sikap tamak), dan tidak memanfaatkan kekayaan itu untuk kesejahteraan bersama. Orang kaya model ini dengan keras dijulukinya sebagai ‘orang kaya yang bodoh’. Kalau begitu, apa ada orang kaya yang cerdas? Ada. Coba simak penuturan Lukas dalam perumpamaan tentang ‘orang kaya yang bodoh’ berikut!
LUKAS 12:13-21
Seorang dari orang banyak itu berkata kepada Yesus, “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.” Tetapi Yesus berkata kepadanya, “Saudara, siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?” Kata-Nya lagi kepada mereka, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaannya itu.”
Kemudian Ia menyampaikan kepada mereka suatu perumpamaan, “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya semua gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, engkau memiliki banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil darimu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.”
Struktur Teks
Janganlah memandang orang kaya dalam perumpamaan di atas dengan kebencian, tapi pandanglah dengan rasa kasihan. Orang ini sepi sendiri dan tidak bisa menentukan prioritas hidupnya. Lukas bukan mencela kekayaan orang ini, tapi menyayangkan sikap orang ini terhadap kekayaannya.
Kekayaan, menurut Lukas, harus disikapi dengan tepat. Jangan membuat orang cemas, sebab yang paling penting dalam hidup manusia adalah mencari Kerajaan Allah (bdk. Luk. 12:22-34). Sikap itu tampak dalam perumpamaan ‘orang kaya yang bodoh’ (Luk. 12:13-21) yang dapat kita bagi menjadi tiga bagian:
• Ay. 13-14 = Yesus diminta bantuan-Nya untuk menyelesaikan sengketa warisan, namun Ia tidak bersedia.
• Ay. 15 = Kepada orang banyak, Yesus memperingatkan tentang bahaya ketamakan.
• Ay. 16-21 = Perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh.
Ulasan Teks
Persoalan tentang harta warisan
Yesus sedang mengajar ‘beribu-ribu orang banyak’ yang mengerumuni-Nya (Luk. 12:1), ketika seseorang menyela untuk meminta bantuan. Ada yang menyebut tindakan orang itu sebagai ‘interupsi yang tidak sopan’ (pantas Yesus tidak sudi membantunya!) karena Yesus diajak bicara tentang warisan ketika Ia sedang berbicara tentang hal-hal hakiki dalam hidup ini (Luk. 12:1-12). Namun, agaknya lebih baik dilihat bahwa orang itu di sini tidak memiliki maksud negatif. Ia sungguh minta bantuan kepada Yesus untuk memecahkan persoalannya menyangkut warisan yang tidak diterimanya.
Yesus dimintai bantuan sebagai penengah atau hakim, karena Ia adalah guru yang terkenal dan dihormati masyarakat luas. Tetapi sayang, Yesus tidak bersedia memenuhi permintaan orang itu. Alasan penolakan, mungkin karena Yesus berpendapat bahwa hal itu akan lebih baik jika diurus oleh pihak-pihak berwenang, entah itu pemerintah Roma atau para ahli Taurat, yang memang kompeten menyelesaikan soal pembagian warisan. Di tangan mereka, persoalan tentu akan terselesaikan dengan baik. Lagi pula, misi Yesus bukan mengurusi rebutan warisan!
Tamak itu berbahaya
Untuk dipahami, sengketa warisan hanyalah titik tolak, bukan fokus perhatian perikop ini. Sebab, Yesus lalu ganti berbicara tentang sikap tamak yang biasa menjangkiti manusia. Tidak bermaksud mempersalahkan orang yang bertanya tadi, ajaran Yesus ini ditujukan kepada semua orang yang hadir di situ. Namun, teristimewa bagi orang itu, meski Yesus tidak bersedia memenuhi permintaannya, setidaknya ia tidak pulang dengan tangan kosong. Sebelumnya ia hanya berpikir bagaimana cara ia mendapat harta warisan yang menjadi haknya. Tapi, sesudah bertemu Yesus, di kepalanya mestinya ada gagasan baru tentang bagaimana sikap yang tepat ketika berhadapan dengan harta benda.
“Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan,” demikian kata Yesus kepada para pendengar-Nya. Ternyata menurut-Nya, bukan kekayaan yang harus diwaspadai, melainkan sikap kita terhadap kekayaan itu. Apa maksud Yesus dengan perkataan itu?
Kaya, tapi bodoh
Yesus senang bercerita. Kali ini pun Ia melengkapi ajaran-Nya dengan sebuah perumpamaan yang bagus, yang biasa kita beri judul ‘orang kaya yang bodoh’. Meskipun dikatakan ‘bodoh’, agaknya kita perlu memandang orang kaya ini dengan rasa kasihan, bukan dengan kebencian. Sebab, ia di sini ditampilkan sebagai pribadi yang kesepian. Tidak ada pihak lain yang diajaknya bicara, selain dirinya sendiri.
Si orang kaya memiliki hasil tanah yang berlimpah-limpah. Begitu banyaknya, sehingga ia sendiri bingung mau diapakan kekayaan – berupa hasil bumi – miliknya itu. Setelah dipikir-pikir dan ‘berkonsultasi’ dengan dirinya sendiri, akhirnya sebuah solusi ditemukan: ia akan membangun tempat penampungan berupa lumbung-lumbung besar dan semua hartanya akan ditimbun di situ. Setelah itu, ia akan bersenang-senang menikmati hidupnya yang berkelimpahan itu... sendirian!
Sayang kehendak Tuhan menggagalkan rencananya. Nyawa si orang kaya diambil, sehingga ia tidak bisa menikmati harta yang ia miliki. Tuhan bahkan menegurnya sebagai ‘orang bodoh’. Lalu, apa yang sebenarnya dikehendaki Tuhan berkaitan dengan kekayaannya itu?
Amanat
Anda tentu masih ingat perumpamaan tentang orang yang dititipi satu talenta. Bukannya dikembangkan, talenta itu malah dikubur di dalam tanah (Mat. 25:14-30; versi lain Luk. 19:11-27). Sikap orang kaya di sini bisa disejajarkan dengan orang yang memendam talenta itu. Pada dasarnya, kekayaan atau memiliki kekayaan tidak dipermasalahkan. Karena kebaikan-Nya, Allah memberikan kekayaan kepada manusia sebagai anugerah dari-Nya. Yang menjadi masalah adalah bagaimana seseorang menikmati atau memanfaatkan anugerah itu. Pesan yang mau disampaikan Yesus dalam perumpamaan ini sangat jelas: kekayaan jangan dinikmati seorang diri. Berbagilah!
Tapi, si orang kaya dalam perumpamaan ini tidak mau berbagi. Ia mau menikmati hartanya seorang diri, mau senang sendiri, tidak peduli dengan orang lain. Itu sebabnya ia disebut ‘bodoh’. Ia bodoh karena mengira dengan kekayaan, hidupnya akan mendapat kepastian (padahal tetap saja ia dapat mati sewaktu-waktu). Ia juga bodoh karena mau menikmati hartanya sendiri, tidak mengajak orang lain bersama-sama merasakan anugerah Allah.
Dengan begitu, kita sekalian yang mendengar perumpamaan ini diajarkan untuk tidak bersikap bodoh. Bekerja keras agar hidup sejahtera, bukan hanya boleh, tapi juga harus. Namun, setelah kita dapat hidup dengan sejahtera, memiliki harta benda yang cukup, jangan lalu bersikap tamak. Kalau menjadi orang kaya, jadilah ‘orang kaya yang cerdas’, dengan cara berbagi dengan orang lain yang membutuhkan.
Di tengah-tengah bangsa yang memiliki angka pengangguran dan tingkat kemiskinan yang tinggi seperti di negeri kita ini, pesan Yesus kali ini sungguh sangat aktual. Perumpamaan ini sama sekali tidak bermaksud mengecam kekayaan. Jangan juga salah dipahami sebagai anjuran untuk beramai-ramai menjadi orang miskin. Yang justru mau dikatakan adalah agar kita mempunyai tanggung jawab sosial, mau berbagi dengan orang yang berkekurangan. Singkat kata: bekerjalah, semoga Anda hidup berkecukupan, dan jangan lupa tanggung jawab untuk menyejahterakan sesama!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar