Kamis, Maret 31, 2011

Mazmur 52

POHON ZAITUN DI RUMAH ALLAH
Jarot Hadianto

“Tetapi aku ini seperti pohon zaitun yang menghijau di dalam rumah Allah;
aku percaya akan kasih setia Allah untuk seterusnya dan selamanya.”
(Mzm. 52:10)

Pagi tadi, ketika hari masih diliputi kegelapan, ketika matahari pagi belum mau menampakkan sinarnya, sebuah tanda dioleskan di keningku. Tanda itu dari abu, berbentuk salib kecil. Aku menerimanya dengan sikap takzim, lagi hormat, diiringi senandung merdu dari kelompok paduan suara yang menyanyikan lagu Hanya Debulah Aku. Tidak salah lagi, ini memang hari Rabu Abu, hari yang istimewa, sebab menjadi tanda dimulainya retret agung Masa Prapaskah.


Sesaat setelah menerima abu, tiba-tiba aku merasa ada perubahan pada diriku. Ketika berjalan kembali ke tempat duduk, aku merasa badanku menjadi sangat ringan. Semilir angin pagi menerpa wajahku, seluruh tubuhku seakan diselimuti oleh kesejukan. Jiwaku melayang tinggi ke atas awan, surga seolah-olah sudah ada di depan mata. Seluruh dosaku seolah terangkat dan dibuang jauh-jauh, aku merasa diri laksana kertas putih yang bersih tanpa noda. Tuhan terasa begitu dekat! Benarkah demikian?


Ah, itu pasti hanya perasaanku saja. Abu di kepala tidak serta merta membuatku jadi orang suci. Pertobatan baru saja akan dimulai.


Engkau memegahkan diri
Memenuhi perintah Bunda Gereja yang suci, hari ini aku membulatkan tekad untuk berpuasa. Inilah tanda pertobatanku. Aku berjanji, setidaknya selama satu bulan ini, diriku tak boleh dirasuki oleh keinginan-keinginan duniawi, antara lain hasrat untuk selalu menyantap makanan enak, hobi yang membuat berat badanku nyaris mencapai seratus kilo. Jadi, wahai nasi padang nan lezat, ayam goreng nan renyah, sate kambing bumbu kecap yang menggoda, bakso daging sapi yang gurih dan nikmat, juga soto babat asli kudus yang mangkal di ujung jalan, mulai sekarang enyah kalian semua dari pikiranku!


Aku mau, mulai detik ini dan seterusnya, pikiranku hanya tertuju pada Yang Ilahi. Hari-hariku takkan lagi diisi oleh acara makan, makan, dan makan, melainkan oleh doa yang tak berkesudahan. Dengan penuh semangat, sambil melangkahkan kaki meninggalkan gereja, aku berketetapan untuk berpuasa demi melatih raga ini agar disiplin, tidak mudah dikuasai oleh hawa nafsu. Semoga dengan puasa ini, aku bisa mendengarkan sapaan Tuhan, bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, dan dengan itu jauh dari segala macam kejahatan dan dosa. Tapi, puasa kan berat. Sanggupkah aku melaksanakannya?


Ah, tidak masalah. Aku teringat peraturan puasa yang dibacakan di bagian akhir misa tadi. Tersenyum-senyum aku dibuatnya. Puasa kita ternyata ringan-ringan saja. Tidak boleh makan dan minum dari pagi sampai petang selama satu bulan penuh? Ternyata tidak demikian. Aku hanya diminta untuk makan kenyang satu kali sehari, itu pun tidak tiap hari, hanya hari Rabu Abu ini dan Jumat Agung nanti. Lalu, pada setiap Jumat selama Masa Prapaskah aku hanya diminta untuk berpantang, menghindari hal-hal yang aku sukai. Wah, boleh juga puasa model begini. Aku yakin bisa melakukannya. Enteng sekali!


Pikir punya pikir, aku kemudian memutuskan untuk mengombinasikan puasaku dengan pantang daging dan pantang garam. Ayam panggang dan steak sapi adalah kegemaranku, mari kita lihat, sejauh mana aku sanggup mengatasi hasrat keinginanku yang senantiasa menggebu-gebu terhadap dua jenis makanan ini. Sementara itu, garam memang pantas aku hindari, mengingat emosiku sering meledak gara-gara darah tinggi.
Demikianlah, pulang dari gereja, aku sarapan ala kadarnya, hanya nasi putih tiga sendok, ditemani sayur bayam dan tempe goreng satu potong. Tak setitik pun ada garam di dalamnya. Semuanya tawar, tak ada rasa.


Lidahmu seperti pisau cukur yang diasah
Hasilnya? Ya Tuhan, badanku lemas, letih lesu sepanjang hari. Semua gejala yang menjadi tanda orang kurang makan ada pada diriku. Kepalaku pusing-pusing, mataku terasa berat, kulitku penuh oleh keringat dingin, dan serentak dengan itu, mendadak saja tubuhku gemetaran. Ini semua bukan karena aku sakit, tapi karena aku lapar! Kulirik dompetku yang tergeletak di sampingku. Ada sekitar lima lembar uang seratus ribu di dalamnya. Hah, aku punya uang banyak, tapi gara-gara puasa, tak bisa kupakai untuk membeli makanan yang kuinginkan! Aku benar-benar merasa tak berdaya.


Tak kusangka puasa yang kelihatan ringan ini ternyata berat untuk dijalani. Hariku jadi berantakan karenanya. Aku tak bisa fokus pada pekerjaan, karena perhatianku pada tugas-tugas yang menumpuk di atas meja lenyap sama sekali. Tulisan-tulisan di kertas tampak kabur, sementara tanganku bahkan tak sanggup lagi menggengam pulpen. Konsentrasiku cuma terarah pada satu hal: aku ingin makan. Waduh, maksud hati memikirkan hal-hal rohani dengan berpuasa, yang terjadi justru kepalaku penuh dengan bayangan nasi goreng, sate, soto ayam, dan sejenisnya.


Siang hari, jam dua belas pas, tepat ketika saat “makan kenyang satu kali” tiba, penderitaanku mencapai puncaknya. Di hadapanku terhidang nasi setinggi Gunung Semeru. Di sebelahnya tersaji sayur kacang panjang yang harum mewangi. Lauknya memang tempe goreng lagi, tapi itu bukan masalah. Yang penting, kalau tadi pagi aku hanya boleh makan satu potong, kali ini aku berencana melahap sepuluh potong sekaligus! Pokoknya, momen “makan kenyang satu kali” ini akan kujadikan kesempatan untuk “makan kenyang sekali”, atau lebih tegas lagi “makan sekenyang-kenyangnya”. Aku tidak peduli lagi. Aku lapar!


Tapi, begitu sendok pertama masuk ke dalam mulutku, semangatku langsung buyar, hancur berantakan. Tawar! Semuanya tawar! Tak ada rasa! Baru aku ingat, aku kan pantang garam. Semua makanan yang kusantap hari ini tak bakalan punya rasa. Lemaslah aku. Makanan melimpah tapi “sunyi senyap” di lidah, siapa yang berminat dengan makanan seperti ini?


Gagal memuaskan hasrat untuk makan enak, mendadak aku jadi sensitif. Semuanya jadi terlihat salah di mataku. Akibatnya, setengah hari di kantor kuisi dengan kegiatan marah-marah tak keruan. Temanku kupelototi karena berisik saat bekerja, cleaning service kugertak karena menumpahkan air di dalam ember, aku bahkan nekat memarahi kepala kantorku gara-gara semangat sekali menyuruhku melakukan ini dan itu. Apa dia tidak tahu kalau aku sedang berpuasa? Dasar!


Begitulah, hari ini benar-benar menjadi hari buruk bagiku, hari yang membingungkan. Sadar bahwa nanti malam aku harus menyantap hidangan tanpa rasa lagi, aku pun makin tenggelam dalam duka yang berkepanjangan.


Mencintai yang jahat daripada yang baik, mencintai segala perkataan yang mengacaukan
Pulang dari kantor, badanku benar-benar tak lagi punya tenaga. Biar begitu, ketika jam makan malam tiba, aku sama sekali tidak merasa gembira. Padahal, semestinya inilah saat yang tepat untuk memberi raga ini asupan gizi agar kembali segar, bugar, dan energik seperti sediakala. Yang terjadi, aku hanya duduk di tepi meja makan tanpa gairah sedikit pun. Sejumput nasi dan sepotong tempe – kali ini aku mengeluh: tempe lagi, tempe lagi – dari tadi kupandang dan kulihat-lihat saja. Perut sudah bernyanyi-nyanyi minta diisi, tapi tanganku belum tergerak untuk memegang sendok. Benda itu hanya kuputar-putar di atas meja. Benar-benar tak ada selera.


Setengah jam kemudian, nasi yang ada di hadapanku bukannya kumakan, tapi malah kusingkirkan ke tepi meja. Kuraih kaleng biskuit yang ada di sebelahnya, kubuka, dan cepat-cepat kulahap isinya. Ah, senang sekali bisa mengecap rasa manis setelah sengsara seharian. Lima potong biskuit dengan cepat masuk ke dalam perutku, membuat tenagaku perlahan-lahan pulih kembali. Jangan khawatir puasa gagal, kue kering sebanyak itu sama sekali tidak membuatku kenyang! Hanya, karena rasanya agak gurih, sebenarnya aku sedikit curiga jangan-jangan biskuit ini mengandung garam. Ah sudahlah, aku pura-pura tidak tahu saja.


Kutelan potongan biskuit yang keenam sambil berpikir-pikir, kalau begini terus setiap hari, bisa-bisa badanku jadi kurus kering dalam seminggu. Untung puasanya hari ini saja. Pola puasa saat Jumat Agung nanti rasanya harus disesuaikan – atau tepatnya diubah – agar penderitaan hari ini tidak lagi terulang. Sementara itu, pantang garam tidak lagi menjadi pilihan untuk dilakukan setiap Jumat. Hidup tanpa garam itu terlalu berat! Aku sekarang mengerti dengan baik makna pepatah “bagaikan sayur tanpa garam”. Garam rupanya benar-benar bumbu dapur yang paling sakti. Oleh karena itu, sebaiknya aku pantang yang lain saja. Pantang merokok, misalnya. Pasti aku tak akan dibuat menderita, sebab aku memang tidak pernah merokok.


“Ah, beban ini baru terlepas besok pagi,” demikian aku menggerutu dalam hati. Ya, baru besok aku boleh lagi makan apa saja dan kapan saja. Tapi, besok terasa begitu lama. Mana tahan? Sambil menggigit keping biskuit yang ketujuh dan seterusnya, aku merancang proyek “balas dendam”. Boleh hari ini sengsara, tapi lihat, besok penderitaan ini akan dibayar lunas!


Begini rencana yang dengan bulat hati akan aku terapkan esok hari: fajar yang baru akan kubuka dengan menyantap nasi uduk nan hangat, ditemani kerupuk udang dan ayam goreng nan lezat. Wah … sarapan yang sungguh menggugah selera. Rasanya pasti sangat gurih dan menggoda. Untuk menu siang hari, sengatan mentari yang panas perlu diimbangi dengan kesegaran soto bertabur daging ayam yang so pasti nikmat di lidah. Pendampingnya harus minuman istimewa, yakni es jeruk. Biarpun rasanya asam-manis, es jeruk adalah jaminan kesegaran badan. Porsi makan siang kalau perlu akan dibuat double, dengan tujuan utama agar aku makin semangat dalam bekerja. Untuk hidangan makan malam, nasi goreng spesial adalah pilihan jitu yang tak mungkin mengecewakan.


Hmmm, benar-benar mak nyusss… Kubayangkan itu semua dengan mata terpejam. Kutarik nafas dalam-dalam dan kulepaskan dengan penuh kelegaan. Diam-diam air liur menetes dari bibirku.


Allah, tempat pengungsianku
Prang … prang .. prang!!! Suara itu membuat aku terkejut. Lamunanku buyar seketika, dan yang tersisa hanyalah rasa malu. Ya Tuhan, makanan saja yang ada dalam pikiranku, padahal aku sedang berpuasa! “Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus,” aku teringat khotbah pastor tadi pagi. “Puasa adalah sarana pengendalian diri, latihan rohani untuk mengendalikan hawa nafsu. Saat kita berpuasa, ingatlah akan kesalahan, kejahatan, dan ketidakadilan yang kita lakukan. Ingatlah akan itu semua dan bertobatlah. Kembalilah kepada Tuhan.” Boro-boro ingat kesalahan, yang kuingat sepanjang hari ini hanyalah perutku yang lapar. Boro-boro ingat Tuhan, yang kuingat sepanjang hari ini hanyalah makanan!


Ah Tuhan, aku benar-benar orang lemah yang penuh dosa. Aku ini tak lebih dari seonggok debu yang sama sekali tidak berharga, hidup tanpa arah, dipermainkan oleh keinginan-keinginan yang tak beraturan. Padahal, aku ingin selalu dekat dengan-Mu, ya Tuhan. Aku ingin hidup sesuai dengan kehendak-Mu, agar teguhlah aku seperti pohon zaitun yang tumbuh menghijau di pelataran rumah-Mu.


Prang … prang .. prang!!! Suara itu kembali mengagetkanku. Suara berisik apa pula itu? Mengganggu saja! Prang … prang .. prang!!! Nasi goreng, nasi goreng!!! Ah, itu rupanya pedagang nasi goreng yang memukul-mukul wajannya, berpromosi dalam rangka menarik pembeli. Hah, nasi goreng? Aku langsung gelisah. Perutku kembali bernyanyi, sementara bau nasi goreng yang harum semerbak mulai masuk ke dalam hidungku. Wah, ini sungguh godaan yang sulit untuk ditaklukkan! Perasaanku bergejolak dengan hebatnya, “Ya Tuhan, aku harus banyak belajar menahan diri!” Beli … tidak … beli … tidak … beli …***


Bacaan pendukung
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.

Tidak ada komentar: