Rabu, Maret 16, 2011

KELUARGA DALAM PERJANJIAN BARU
Alfons Jehadut



Di dalam tulisan ini akan diselidiki pertama-tama pemakaian istilah keluarga. Lalu dilanjutkan dengan relasi antara Gereja dan keluarga dan tiga ciri yang khas dari pola gereja-keluarga. Akhirnya, tulisan ditutup dengan sebuah aplikasi praktis bagi kehidupan keluarga kita saat ini.



Istilah keluarga

Ada dua kata yang digunakan dalam perjanjian Baru untuk keluarga dan untuk konsep-konsepnya yang terkait. Kata yang pertama adalah patria, yang berarti keluarga dari sudut pandang relasi historis, seperti garis keturunan. Kata ini dapat kita temukan dalam Luk 2:4. Dikatakan bahwa Yusuf berasal dari keluarga dan keturunan Daud - garis keturunan biologisnya. Kisah Para Rasul (Kis. 3:25) juga menggunakan istilah ini untuk menerjemahkan janji Allah kepada Abraham. Dijanjikan bahwa semua “keluarga”1 di muka bumi akan diberkati.

Kata yang kedua adalah oikos (plural: oikia). Kata ini jauh lebih umum daripada kata yang pertama. Kata ini dimengerti sebagai keluarga dalam arti rumah tangga. Dalam arti ini, kata oikos searti dengan kata bayit dalam Perjanjian Lama. Dalam dunia Yunani-Romawi, oikos (Latin:familia) dipahami sebagai sebuah unit sosial yang lebih luas. Unit sosial itu tidak hanya mencakup sanak keluarga sedarah, tetapi juga orang lain yang tidak sedarah seperti para budak, pekerja, dan orang-orang yang bersandar pada seorang kepala rumah tangga.



Keluarga dan Gereja

Keluarga adalah bagian yang penting dalam dunia Yahudi dan juga dalam dunia Yunani - Romawi. Maka, tidak terlalu mengherankan bahwa keluarga memainkan suatu peran yang penting dalam pertumbuhan dan pembentukan karakter gerakan kristiani perdana. Gereja Yerusalam memecahkan roti, melanjutkan pengajaran di rumah-rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah (bdk. Kis. 2:46; 5:42; 12:12).

Gereja bertumbuh dan berkembang melalui pewartaan di dalam keluarga. Seluruh anggota keluarga Kornelius bertobat karena pewartaan yang dilakukan oleh Petrus di dalam keluarga (Kis. 10). Kehadiran Roh di dalam keluarga itu tidak hanya mentobatkan seluruh anggota keluarga Kornelius, tetapi juga mentobatkan Petrus dan Gereja Yerusalem.2 Dengan demikian, babak baru di dalam pewartaan Injil kepada orang-orang bukan Yahudi mulai dibuka. Allah mempersiapkan Petrus untuk membuka misi penginjilan kepada orang-orang bukan Yahudi.

Strategi misi Paulus melanjutkan babak baru yang dilakukan oleh Roh melalui Petrus, yakni membuka misi kepada orang-orang bukan Yahudi. Orang-orang bukan Yahudi yang terdiri dari satu atau beberapa keluarga itu dianggap sebagai sel yang penting bagi terbentuknya Gereja. Maka, pantaslah kalau kita mencatat beberapa keluarga berikut: keluarga usahawati Lidia, seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, dengan seisi rumahnya dibaptis (Kis. 16:15); keluarga penjaga penjara di Filipi (Kis 16:15, 31-34); Stefanus, Krispus, Gayus di Korintus (1Kor 1:14-16; 16:15; Rom 16:23); keluarga Priskila dan Aquila, keluarga Onesimus di Efesus (1Kor 16:19; 2Tim 1:16; 4:19); Filemon di Kolose (Flm 1 dstnya); keluarga Nimfa di Laodikia (Kol 4:15 dstnya); dan Aristobolus, Narsisus, dan orang-orang lain di Rom (Rom. 16:10 dstnya).

Dari teks-teks itu kita melihat bahwa Gereja (ekklesia) bertumbuh dan berkembang dari perjumpaan di rumah (oikos) umat itu sendiri. Itu berarti keluarga itu sendiri merupakan sebuah Gereja. Keluarga merupakan sel yang dianggap sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan sebuah kelompok umat beriman yang lebih luas.



Pola Gereja-Keluarga

Dilihat dari fungsi sosial dan religius, keluarga bagi bangsa Israel adalah sebuah tempat seseorang masuk dalam persekutuan, tempat seseorang masuk dalam otoritas sosial, dan tempat memelihara iman. Tiga ciri yang khas keluarga dari sudut pandang fungsi sosial dan religius itu dapat dilihat dalam pola gereja-keluarga di dalam Perjanjian Baru.



Masuk dalam persekutuan

Paulus memakai bahasa Perjanjian Lama untuk melukiskan relasi kekeluargaan. Di dalam kata bet-ab itu dilukiskan relasi keluarga yang lebih luas, yang mencakup ayah dan ibu, anak-anak dan isteri-isteri mereka, cucu laki-laki dan isteri-isteri mereka, pembantu dan keluarganya, karyawan dan keluarganya. Selama zaman Perjanjian Lama “keluarga” umat Allah selalu berpolakan keluargta Abraham yang mencakup Abraham serta isteri-isterinya (Kej. 16:1-2; 25:1), saudara sepupu (Kej. 13:1), sanak saudara lain yang bergantung padanya dan budak sahayanya (Kej. 14:14; 17:13) serta hamba-hambanya (Kej. 15:2-3). Relasi kekeluargaan yang lebih luas itu juga ditampilkan di dalam Perjanjian Baru. Dikatakan bahwa dalam Kristus semua orang dianggap sebagai kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru (bdk. Ef 2:19 dstnya; 3:6). Orang-orang bukan Yahudi tidak lagi dianggap sebagai orang asing dan pendatang. Mereka menjadi “anggota keluarga Allah sendiri” (sebuah istilah yang digunakan untuk melukiskan orang Israel).

Masuk di dalam persekutuan keluarga Allah mempunyai sebuah konsekuensi. Kita mempunyai suatu kewajiban bagi saudara-saudara seiman. Tuntutuan sosial dan etis bagi koinonia sangat menonjol dalam Perjanjian Baru (Kis 2:42, 44, 4:34; Rom 12:13; 15:26 dstnya; Gal 6:6; 2Kor 8:4; 9:13; Flp 1:7; 4:15 dstnya; 1Tim 6:18; Ibr 13:16).

Sebagai contoh, kita melihat ciri kehidupan komunitas kristiani Yerusalem perdana (Kis 2:42-47). Di dalam komunitas itu ada empat ciri yang menonjol. Pertama, koinonia (persekutuan). Istilah ini menunjukkan bahwa orang-orang beriman merasakan suatu persekutuan yang kuat di antara sesama anggota umat. Ikatan persekutuan itu membuat mereka saling berbagi. Segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama karena mereka diikat oleh Roh Kristus yang sama.

Kerelaan orang-orang bukan Yahudi dari Gereja yang jauh dari Yerusalem untuk membagikan kekayaan mereka dengan orang kristiani Yahudi di Yerusalem merupakan suatu bukti nyata dari persekutuan. Kerelaan itu merupakan manifestasi eksternal dari iman yang sama dengan komunitas pusat (Rom 15:26; Gal 2:10; 1 Kor 16:1-3). Persekutuan itu melibatkan partisipasi nyata. Karena itu, perhatian terhadap saudara-saudara yang berkekurangan harus menjadi tanggung jawab semua orang beriman.

Kedua, berdoa. Saling mendoakan merupakan aspek lain dari persekutuan. Bentuk doa macam apakah yang dipakai oleh jemaat perdana yang percaya kepada Yesus? Mereka menggunakan doa-doa yang telah mereka kenal sebelumnya, yakni doa-doa yang dipakai oleh orang-orang Yahudi. Mereka merumuskan doa-doa baru menurut model doa-doa orang Yahudi. Kisah menggambarkan orang-orang kristiani perdana, seperti Petrus dan Yohanes, seringkali pergi dan bahkan setiap hari ke Bait Allah untuk berdoa pada jam-jam tertentu (2:46; 3:1; 5:12, 21, 42). Ini mengimplikasikan bahwa orang Yahudi perdana yang percaya pada Yesus meneruskan pola kebiasaan kebaktian mereka. Tetapi, secara perlahan-lahan doa orang kristiani berpusat pada ingatan dan pujian terhadap apa yang telah dilakukan oleh Yesus.

Ketiga, memecahkan roti. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dengan gembira dan dengan tulus hati (2:46). Bagaimana orang kristiani perdana menafsirkan Ekaristi? Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus (1 Kor 11:23-26), yang ditulis pada pertengahan tahun 50-an menyebutkan model perayaan ekaristi yang diwariskan padanya (kira-kira dari tahun 30 M). Dikatakan bahwa, “setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang”. Ingatan akan kematian Tuhan barangkali menggemakan model paskah Yahudi yang menghadirkan kembali (Ibrani: zikkaron; Yunani: anamnesis) peristiwa keluaran. Ingatan itu kemudian bergeser dari peristiwa keluaran ke peristiwa salib dan kebangkitan Yesus.

Keempat, ajaran para rasul. Kitab Suci itu bersifat otoritatif bagi semua orang Yahudi, khususnya hukum taurat dan kitab nabi-nabi. Hal itu juga berlaku bagi umat kristiani perdana. Akan tetapi, modifikasi yang dilakukan oleh Yesus atas hukum Taurat menjadi pangkal dari ajaran yang bersifat khas kristiani. Sebagaimana Yesus memodifikasi dan menafsirkan secara lain dengan orang Yahudi demikianlah juga para pengajar kristiani membuat aplikasinya sendiri terhadap situasi-situasi yang tidak dialami Yesus. Aplikasi ini dapat ditemukan dalam ajaran para rasul.



Otoritas dalam keluarga

Dalam pandangan orang Israel kuno, anak dianggap sebagai karunia yang istimewa dari Allah (bdk. Mzm 127; 128). Di samping umur yang panjang, keluarga yang besar dianggap sebagai berkat Allah yang kelihatan. Bukan hanya keturunan sebagai inti dari janji Abraham (Kej. 15:5), tetapi juga jumlahnya yang banyak dianggap sebagai unsur yang penting dari berkat yang dijanjikan karena ketaatan pada perjanjian Sinai (bdk. Im 26:9; Ul 28:4). Karena keluarga yang besar dianggap sebagai berkat, maka kehilangan anak dianggap sebagai tragedi yang besar.

Otoritas orang tua (baik ayah maupun ibu) sangat ditekankan di dalam Perjanjian Lama. Maka, ada suatu kewajiban menghormati dan mentaati mereka (bdk. Kel. 20:12; 21:15, 17; Ul 21:18-21; 27:16). Kewajiban ini terkait dengan tugas mereka untuk menyalurkan sabda Tuhan.

Meski orang tua mempunyai otoritas, namun otoritas dan kepemimpinan untuk semua tujuan praktis di tingkat lokal berada di tangan para tua-tua yang hampir pasti adalah laki-laki dari masing-masing keluarga. Apakah pola ini diikuti secara sadar atau tidak, kekristenan perdana mempercayakan kepeimpinannya (di bawah para rasul) keada para tua-tua dari masing-masing Gereja dan tampaknya mereka mengambil fungsi normal dari kepala-kepala keluarga yang bisa menjadi teladan bagi orang lain (bdk 1Tim. 3:2-7, 12; Tit. 1:6).

Menarik bahwa perempuan disebutkan juga sebagai kepala keluarga. Lydia, Nimfa, dan Priskila selalu disebutkan sebelum nama-nama suami mereka. Memang mereka tidak disebut secara eksplisit presbyteroi3 dari umat yang berkumpul di rumah-rumah mereka, tetapi tampaknya bukan tidak mungkin bahwa mereka menjadi pemimpinnya. Dengan menyebutkan sejumlah nama perempuan itu menjadi jelas bagi kita bahwa kaum perempuan mempunyai tempat di dalam misi perwartaan kristiani abad pertama setelah kematian dan kebangkitan Yesus. Karena itu kaum perempuan kristiani sekarang ini juga seharusnya menyadari arti pentingnya keterlibatan mereka di dalam memajukan pewartaan Injil dan kaum laki-laki juga harus menyadari arti pentingnya jalinan kerjasama dengan kaum perempuan di dalam memajukan pewartaan Injil.



Ibadat dan Ajaran

Salah satu peran penting keluarga di Israel kuno adalah sarana kontinuitas iman, sejarah, hukum, dan tradisi-tradisi bangsa. Pemeliharaan akan “aset-aset bangsa” ini secara khusus berada di tangan seorang ayah. Dia bertanggung jawab untuk mengajarkan hukum Tuhan kepada anak-anaknya. Tanggung jawab ini bukan hanya sebagai suatu kewajiban sebagai orang tua, tetapi sungguh-sungguh sebagai syarat untuk memperoleh berkat di negeri yang dijanjikan (Ul. 6:7; 11:19; 32:46).

Seorang ayah mempunyai kewajiban untuk menjelaskan kepada anak-anaknya mengenai peristiwa-peristiwa, kebiasaan-kebiasaan, dan peringatan-peringatan tertentu. Ada lima teks yang berisikan pertanyaan dan jawaban yang harus diberikan oleh orang tua ketika ditanyai oleh anak-anaknya: Kel. 12:26 dstnya; 13:14 dstnya; Yos 4:6 dstnya; 21-14; dan Ul. 6:20-24. Teks-teks ini dapat dilihat sebagai teks “katakese” yang dapat dipakai oleh orang tua untuk anak-anak. Di dalam teks-teks ini digunakan secara berulang-ulang rumusan berikut: “Ketika anak-anakmu bertanya kepada kepadamu … maka kamu harus katakan …”

Contoh-contoh katakese di atas tidak mengabaikan ajaran-ajaran yang harus diberikan oleh keluarga. Peran keluarga di dalam memelihara pengetahuan dan pemahaman tentang peristiwa-peristiwa sejarah seperti keluaran, penaklukan, pemberian tanah, hukum Taurat, merupakan pusat iman dan relasi orang Israel dengan Yahwe yang bersifat historis. Peristiwa-peristiwa penting di dalam perjalanan sejarah bangsa mereka, seperti paskah, sunat, dan ajaran tentang hukum Taurat dihidupkan di dalam keluarga. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa keluarga bagi orang Israel adalah kunci di dalam menjaga dan memelihara iman.

Perjanjian Baru juga mengakui peran penting keluarga di dalam memelihara iman. Diakui bahwa Gereja yang hidup itu terjadi di dalam keluarga. Gereja yang hidup itu terjadi dalam pengajaran Injil di rumah keluarga-keluarga (Kis 5:42; 20:20); dalam baptisan (Kis 16:15; 1Kor 1:16); dalam pemecahan roti (Kis 2:46) dan dalam pengajaran-pengajaran (Kis 2:20). Dalam teks yang terakhir ini, Paulus mengingat bahwa pengajarannya di Efesus dilangsungkan baik di tempat-tempat publik maupun di rumah-rumah.

Pewartaan Paulus di rumah-rumah keluarga memperlihatkan bahwa keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama. Keluarga dilihat sebagai tempat pendidikan bagi anak-anak (Ef. 6:4). Orang tua bertugas sebagai pem-bimbing utama di dalam mengarahkan, menuntun dan memberikan pengertian dan pemahaman yang benar tentang sesuatu hal sesuai kaidah-kaidah iman kristiani. Orang tua sebagai agen utama di dalam menumbuhkan mengembangkan kehidupan anak-anaknya baik secara fisik, psikis, intelektual, dan spiritual.



Penutup

Dari uraian di atas kita melihat bahwa kekristenan awal mengambil metafor keluarga sebagai gambaran bagi Gereja secara keseluruhan. Gambaran itu berlatar belakang Perjanjian Lama. Sebagaimana orang Israel menyebut diriya bet-Yahwe” atau keluarga Allah (Bil. 12:7; Yer 12:7; Hos 8:1; dan Mikha 4:2), demikianlah juga Gereja dapat disebut anggota keluarga Allah (Ef. 2:19; Gal. 6:10; Ibr. 3:2-6; 1Tim 3:15; 1Ptr 4:17).

Sebagai anggota keluarga Allah, keluarga kristiani seharusnya menjadikan dirinya pantas untuk menyandang predikat tersebut. Untuk itu, kita perlu mengikuti nasihat umum Paulus untuk hidup berkeluarga (bdk Kol 3:18-4:1; Ef. 5:22-6:9; 1Ptr 2:13-3:7). Di dalam nasihat umum ini ditegaskan bahwa perkawinan mengungkapkan hubungan Kristus dengan Gereja. Para suami dinasihati untuk mengasihi isterinya seperti Kristus mengasihi umat-Nya. Dan, para isteri dinasihati untuk tunduk kepada suami sebagaimana umat tunduk kepada Kristus.

Sikap yang pantas dari orang tua terhadap anak dan sikap yang pantas dari anak terhadap orang tua juga diperhatikan oleh Paulus (Kol 3:21). Dikatakan bahwa orang tua tidak boleh menyakiti hati anak-anaknya, supaya anak-anak tidak tawar hatinya. Orang tua perlu membesarkan anak-anaknya dalam didikan dan ajaran kristiani. Anak-anak juga diminta untuk mentaati orang tuanya (bdk Kel 20:12).

Fungsi pendidikan di dalam keluarga dipercayakan kepada orang tua. Konsili Vatikan II mengingatkan: “Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, maka mereka terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Oleh karena itu, orangtualah yang harus tampil sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama. Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga bila diabaikan, sangatlah, sangat sukar juga untuk dilengkapi. Sebab merupakan kewajiban orang tua: menciptakan lingkup keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka. Maka, keluarga itulah lingkungan pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial, yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat”4

Kewajiban orang tua untuk mendidik anak itu bersifat hakiki. Kewajiban ini tidak tergantikan dan tidak dapat diambil alih oleh orang lain. Dalam pendidikan pertama ini orang tua menjadi model. Anak-anak meniru perbuatan orang tuanya. Jika orang tua senang membaca Alkitab secara teratur, anak tahu bahwa Alkitab harus dibaca secara teratur. Anak juga tertarik untuk mengetahui isi Alkitab apabila orang tua menceritakan isi Alkitab kepadanya dalam bahasa yang dapat dimengerti. Cerita Alkitab bisa menarik minat anak untuk mengetahui isi Alkitab lebih banyak.



1.LAI menerjemahkan kata “patria” dengan bangsa bukan keluarga.
2.Bdk. Richard Pablo, “The pluralistic Experiences of the First Christian Communities According to the Acts of the Apostles” dalam Dei Verbum, no 62/63, 2002, 24-31.
3.Sebutan presbyteroi tidak boleh diterjemahkan dengan imam, tetapi dengan kata-kata yang lebih umum “kaum tua-tua” sebab selama abad pertama, Gereja belum memiliki struktur seperti yang kita kenal sekarang, yakni umat paroki dipimpin oleh pastor, para pastor dipimpin oleh uskup, dan para uskup dikepalai oleh Paus.
4.Pernyataan “Gravissimum Educationis”, tentang pendidikan Kristen, art 3.

Tidak ada komentar: