JANGAN BERBUAT DOSA
Jarot Hadianto
“Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa!” (Mzm. 4:5)
“Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa!” (Mzm. 4:5)
Sambil meringis menahan nyeri, aku memegangi kepalaku yang berdenyut-denyut. Aduh, pusing sekali. Seluruh tubuhku juga terasa sakit, rasanya sungguh tak karuan. Sejenak aku bangkit dari tempat tidurku, menghilangkan rasa pegal setelah berbaring di situ satu jam lamanya. Percuma saja aku berusaha tidur. Perasaan yang bergejolak membuat batinku tak tenang, hingga dari tadi mataku tak juga mau dipejamkan.
Maka, aku lalu duduk-duduk saja di sisi pembaringan. Kutatap lama-lama cermin kusam yang menempel di dinding. Gambar diriku terpampang di situ, sesosok anak muda dengan baju kumuh dan rambut acak-acakan. Wajahku tampak kuyu nan kusut, tampak pula lebam dan warna membiru di beberapa bagian. Ah, aku ini benar-benar manusia yang menyedihkan. Kuraba pipi kiriku perlahan-lahan. Aduh, aduh, rasanya ngilu sekali. Apa gigiku ada yang patah atau rontok? Kurang ajar! Mendadak, perasaan geram kembali meluap-luap dalam diriku. Sosok dalam cermin dengan jelas menunjukkan hal itu. Dadanya naik turun menahan emosi, bibirnya terkatup rapat, sementara matanya berwarna merah laksana darah. Itulah aku yang sedang marah, benar-benar marah!
Apabila aku berseru, jawablah aku ya Allah
Aku teringat peristiwa tragis di tempat kerja siang tadi. Sungguh di luar dugaan, sebab tadinya aku mengira bahwa hari ini akan sama saja seperti hari lainnya, di mana aku dapat melakukan rutinitas pekerjaanku dengan tenang. Hari ini pun aku awali persis sama seperti hari-hari sebelumnya. Pagi-pagi buta aku sudah bangun. Lalu, setelah mandi dan mempersiapkan ini-itu, aku pun berangkat ke kantor saat matahari masih terlelap di peraduannya. Dengan ritme teratur seperti itu, siapa sangka hari ini akan menjadi hari yang sangat berbeda, siapa sangka hari ini adalah hari sial bagiku.
Baru saja melangkah memasuki ruangan, aku bertemu dengan orang itu, rekan kerja yang sebenarnya tak bisa disebut rekan kerja. Mukanya masam, bibirnya cemberut melengkung ke bawah, membuat siapapun yang memandangnya bakalan kehilangan selera makan. Apakah ia tak pernah membaca artikel kesehatan bahwa wajah dengan pola otot seperti itu akan membuat seseorang kelihatan cepat tua? Begitu pikirku sambil berlalu di hadapannya. Sekilas aku melihat dia, dan dia pun melihat aku. Dalam waktu sepersekian detik kami berhadapan muka, tanpa ada kata dan sapa terucap di antara kami. Meski aneh, bagiku itu sudah biasa. Hari-hari kemarin juga begitu, sebab aku dan dia memang tidak akrab. Jadi, aku pun tenang-tenang saja, lalu mulai mengangkati kardus dan mengepak sejumlah barang, itulah tugasku sehari-hari.
Keadaan jadi agak berbeda ketika tak lama sesudah itu pimpinan tertinggi tiba-tiba memanggil seluruh karyawan, lalu mengumumkan dua instruksi penting. Yang pertama, bahwa perusahaan ini mendapat proyek besar namun mendadak, yakni pengiriman paket buku ke seluruh Indonesia. Kedua, karena barangnya banyak dan waktunya sempit, beliau memerintahkan agar semua karyawan dari semua divisi ambil bagian dalam proyek ini. Pekerjaan harian masing-masing harap ditinggalkan dulu. Pengumuman pertama langsung disambut semua orang dengan penuh sukacita. Itu berarti perusahaan ini masa depannya cerah, banyak order, dan dengan itu (semoga) gaji meningkat. Pengumuman kedua? Yang ini ditanggapi dengan keluh kesah dan kasak-kusuk di mana-mana. Tentunya orang-orang itu baru berani menggerutu setelah sang pimpinan meninggalkan ruangan. Saat bos ada, mereka mengangguk-angguk tanda taat dan hormat.
Tuhan mendengarkan apabila aku berseru kepada-Nya
Maka demikianlah, siang tadi ada kesibukan yang tidak biasa di kantor kami. Tiga puluh orang sekaligus berada dalam satu ruangan yang sebenarnya tidak terlalu luas. Kami hilir mudik, berbagi tugas membongkar kardus-kardus besar, memilih-milah isinya, membaginya menjadi paket-paket kecil, kemudian mengemasnya baik-baik dan menempelinya alamat. Karena ada begitu banyak orang, ruangan terasa sangat panas, meski pendingin udara sudah disetel di angka dua belas. Dan, jangan tanya keadaan di sekitar kami. Buku, lem, kertas berceceran di mana-mana, semuanya awut-awutan dan berantakan. Melihat jumlah buku yang harus kami tangani, situasi ini agaknya akan berlangsung selama seminggu atau dua minggu ke depan.
Bagiku itu tentu bukan masalah, sebab memang inilah pekerjaanku. Tidak demikian halnya dengan rekan-rekanku. Melihat wajah mereka, rasanya aku ingin tertawa. Ini dia yang kusebut “wajah-wajah yang tidak ikhlas”. Senyum benar-benar menjadi barang langka hari ini. Pasti mereka bertanya-tanya mimpi apa semalam, sehingga mendadak harus menjalani kerja rodi. Ada juga yang bekerja dengan kening berkerut. Aku yakin, orang itu pasti sedang merekayasa alasan agar terhindar dari kerja yang melelahkan ini mulai besok pagi. Ha, ha, ha … dalam hati aku tergelak. Mereka memang tidak cocok menangani kerja kasar seperti ini. Apalagi, berhubung tanpa persiapan, orang-orang itu banting tulang bersimbah keringat mengenakan baju batik!
Sambil tersenyum-senyum kecil, aku melirik-lirik, mencuri lihat cara kerja mereka. Hmmm … tampaknya kurang profesional dan cenderung sembarangan. Tapi aku harus maklum. Apa boleh buat, ini kan memang bukan bidang mereka. Si bos juga yang salah. Ia mengira, banyak orang berarti cepat selesai. Itu belum tentu. Orang-orang ini tidak biasa membungkus barang. Jadi, selain malah lama, hasil akhirnya pasti tidak rapi dan tidak maksimal.
Satu hal lagi yang bisa jadi masalah: mereka bekerja tanpa kerelaan hati. Nona manis dari bagian HRD itu, misalnya, dari tadi lebih sibuk dengan lem dan isolasi yang menempel di tangannya. Ia khawatir benda-benda terkutuk itu mencederai kulitnya yang halus nan lembut. Ibu tua dari bagian keuangan sikapnya sama saja. Tak habis-habisnya ia mengeluh, mengapa dari memegang uang, sekarang ia harus menyeret-nyeret trolley. “Ini tak ada dalam kontrak kinerja!” begitu katanya. Sementara itu, temanku yang sehari-harinya menjadi juru ketik sengaja memilih duduk di bagian ujung, agar bisa bekerja sambil mencaci-maki si bos yang tak tahu diri. Aku tertawa geli melihat wajahnya yang suntuk. Karena ia tergolong “orang sendiri”, aku berani bercanda mengoloknya dengan berkata, “Hari gini kerjaan tidak beres? Apa kata dunia?”
Dari situlah bencana berawal. Si muka masam ternyata ada di dekat situ. Ia mengira aku sedang menyindir dirinya. Tadi itu, sepanjang kami bekerja, ia memang lebih banyak bengong-bengong saja, tidak kunjung mengerti ketika diajari cara membungkus setumpuk buku dengan rapi. Alhasil, ia lebih banyak jadi penonton, dengan prestasi kerja nol besar. Pantas saja ia jadi panas mendengar aku berkata demikian. Matanya melotot ke arahku seakan mau keluar. Temperatur ruangan yang mendidih rupanya makin membuat emosinya tersulut. Segera saja ia bangun dari tempat duduknya, lalu mendatangi aku sambil memasang tampang yang bukan main seramnya.
Dia bertanya, “Apa maksud perkataanmu tadi?”; aku menjawab, “Aku tak punya maksud apa-apa.” Dia menuduh, “Kamu mengejek aku ya?”; aku menangkis, “Perkataanku tidak tertuju padamu.” Kemudian dia membentak, “Sejak tadi aku melihatmu tertawa-tawa sendiri. Kenapa?”; dengan lincah aku mengelak, “Mengapa manusia merdeka seperti aku tidak boleh tertawa?” Dia terus mencecar, “Selama ini kamu tidak suka padaku dan selalu berusaha menjatuhkan aku kan?”; aku membantah keras, “Aku tak peduli padamu dan tak punya soal apa-apa denganmu.” Lalu dia mengancam, “Kalau kamu macam-macam, aku hajar kau!”; aku nekat melawan, “Aku sama sekali tidak takut padamu!”
Lalu tiba-tiba tangannya melayang meninju lenganku.
Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa
Sampai sekarang, aku ingat rasanya. Sakit sekali! Sangat-sangat sakit! Aku tak sempat menangkis, apalagi menghindar, karena pukulan itu menghunjam begitu cepat dan telak. Badanku sampai terhuyung-huyung ke samping dibuatnya. Dan, pada saat itulah, ketika rasa terkejutku belum hilang, pukulan-pukulan berikutnya berdatangan laksana buah durian berguguran dari pohonnya. Habis perut dan dadaku dihajar olehnya. Melihat wajahku yang membiru, aku berkesimpulan, tinjunya rupanya mampir juga ke situ. Si muka masam tampaknya benar-benar sedang kalap. Seluruh amarahnya dilampiaskan terhadapku siang tadi.
Aku sama sekali tak bisa melawan. Badan lawanku dua kali lebih besar dari badanku. Memang sekali dua kali aku berusaha balas meninju dia. Tapi itu sia-sia belaka. Tanganku seperti memukul tembok, dan dia jelas tak merasakan apa-apa. Maka, yang bisa kulakukan tadi hanyalah menunduk, menangkis, dan mengaduh-aduh. Kedua tanganku lebih banyak melindungi wajahku, jangan sampai bogem mentah temanku itu membuat gigiku tanggal dan mataku copot. Tentu saja tadi itu seketika ruangan jadi geger. Teman-teman turun tangan memisahkan kami. Satu orang menyeretku agar menjauh, lima orang menahan si muka masam agar berhenti mengamuk. Aku berterima kasih atas kemurahan hati mereka. Sayang, bantuan itu datang terlambat. Badanku sudah telanjur babak belur, juga harga diriku. Semuanya hancur lebur tak bersisa.
Maka dari itu, sejak siang tadi sampai malam ini, diriku benar-benar berselimutkan kemarahan. Peristiwa itu terus-menerus terkenang dalam ingatanku dan membuat kegeramanku meluap-luap. Aku merasa mendapat hinaan dan pelecehan yang luar biasa. Terus terang, seumur hidup aku belum pernah berkelahi. Aku pikir, untuk apa beradu fisik? Bukankah segala persoalan bisa dicari solusinya dengan dibicarakan baik-baik? Sekarang, tampaknya aku mesti meralat pendapat itu. Ternyata ada orang yang tak bisa diajak bicara karena akal sehatnya tidak jalan. Untuk menyelesaikan masalah, orang ini hanya mengenal bahasa kekerasan dengan main pukul dan main gebuk di sana-sini. Jangan buang-buang waktu mengajak orang macam ini berbicara. Percuma!
Dalam kemarahanku, aku lalu merancang balas dendam. “Hah, tunggu pembalasanku, Teman! Pasti akan terasa sangat menyakitkan!” kataku dengan sengit sambil menatap bayanganku sendiri di dalam cermin. Aku berpikir-pikir, tindakan apa yang akan kulakukan terhadap dirinya, agar ia tobat, kapok, jera, tentu setelah badannya bonyok dan lebam-lebam seperti diriku? Bagaimana kalau aku mengerahkan teman-temanku sekampung untuk menghajar dirinya? Wah, itu ide yang bagus! Keroyok saja dia, lalu pukuli sepuasnya, pasti sakit hatiku akan terobati karenanya. Tapi, pikir punya pikir, rencana itu segera kubatalkan. Selain terlalu kejam, kuhitung-hitung temanku paling-paling ada lima. Mereka itu kurus-kurus kurang tenaga. Kami takkan mampu mengalahkan dia, meskipun kami maju bersama!
Bagaimana kalau aku memilih jalan yang lebih halus? Jangan salah, meski halus, aku yakin hasil akhirnya akan menyakitkan baginya dan memuaskan bagiku. Caranya, perkara ini harus diadukan kepada pimpinan tertinggi. Ya, aku harus mendekati bos besar, menceritakan kelakuan anak buahnya yang berandalan itu, dengan memberi bumbu di sana-sini agar lebih dramatis. Tujuan akhirnya, demikian aku berharap, orang itu dijauhi sanksi yang berat, yakni pemecatan. “Pecat dia! Singkirkan dia! Perusahaan ini adalah perusahaan yang beradab. Di sini tak ada tempat bagi orang yang kelakuannya liar dan barbar!” Aku murka sambil menuding-nuding diriku sendiri di dalam cermin.
Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur
Sesudah itu, aku tersenyum puas, lalu kembali membaringkan badan. Sekilas aku teringat nasihat teman-temanku tadi siang, agar aku bersikap sabar, sabar, dan sabar. “Maafkan dia, mungkin dia lagi emosi,” kata seorang temanku. Enak saja! Kan bukan kamu yang sakit dan malu, digebuki di depan mata orang banyak! Aku tidak peduli lagi. Pokoknya, rencanaku akan kujalankan besok pagi dan harus berhasil.
Tiba-tiba mataku terbuka lagi. Ah, apakah aku sejahat itu? Tidak, tidak, tidak, aku tidak pernah mau menyengsarakan orang lain. Bagaimana kalau si muka masam nanti sungguh dipecat dan tidak punya pekerjaan lagi? Makan apa dia? Bagaimana dengan anak-istrinya? Siapa tahu tindakannya tadi bukan karena dendam kepadaku, tapi karena dia sedang punya banyak masalah? Mengapa aku tidak mendekati dia besok, mengajaknya bicara, siapa tahu kami lalu bisa saling memaafkan? Bukankah dialog adalah prinsip yang selama ini kuyakini kebenarannya?
Gagasan itu sungguh membuatku jengkel. Rencana balas dendam yang sebelumnya kususun matang jadi buyar seketika. Sisi hatiku yang satu berkata, “Dia tadi tidak menyesal, dia tadi tidak minta maaf. Mana mungkin memaafkan orang yang tidak minta maaf!” Tapi sisi hatiku yang lain membantah, “Mungkin saja. Justru maaf yang kita berikan bisa jadi menimbulkan kesadaran dan rasa sesal di hatinya. Maafkanlah tanpa menunggu dia meminta maaf!”
Ah! Di batinku malah kemudian berkecamuk perang seru: balas … jangan … balas … jangan … balas … jangan … Kepalaku tambah pusing dibuatnya. Dengan gusar, aku bangkit lagi dari tempat tidurku. Sosok di dalam cermin kembali kutuding dan kupelototi. “Tuhan! Mengapa aku harus berbuat baik terhadap orang yang berbuat jahat terhadapku!”
Maka, aku lalu duduk-duduk saja di sisi pembaringan. Kutatap lama-lama cermin kusam yang menempel di dinding. Gambar diriku terpampang di situ, sesosok anak muda dengan baju kumuh dan rambut acak-acakan. Wajahku tampak kuyu nan kusut, tampak pula lebam dan warna membiru di beberapa bagian. Ah, aku ini benar-benar manusia yang menyedihkan. Kuraba pipi kiriku perlahan-lahan. Aduh, aduh, rasanya ngilu sekali. Apa gigiku ada yang patah atau rontok? Kurang ajar! Mendadak, perasaan geram kembali meluap-luap dalam diriku. Sosok dalam cermin dengan jelas menunjukkan hal itu. Dadanya naik turun menahan emosi, bibirnya terkatup rapat, sementara matanya berwarna merah laksana darah. Itulah aku yang sedang marah, benar-benar marah!
Apabila aku berseru, jawablah aku ya Allah
Aku teringat peristiwa tragis di tempat kerja siang tadi. Sungguh di luar dugaan, sebab tadinya aku mengira bahwa hari ini akan sama saja seperti hari lainnya, di mana aku dapat melakukan rutinitas pekerjaanku dengan tenang. Hari ini pun aku awali persis sama seperti hari-hari sebelumnya. Pagi-pagi buta aku sudah bangun. Lalu, setelah mandi dan mempersiapkan ini-itu, aku pun berangkat ke kantor saat matahari masih terlelap di peraduannya. Dengan ritme teratur seperti itu, siapa sangka hari ini akan menjadi hari yang sangat berbeda, siapa sangka hari ini adalah hari sial bagiku.
Baru saja melangkah memasuki ruangan, aku bertemu dengan orang itu, rekan kerja yang sebenarnya tak bisa disebut rekan kerja. Mukanya masam, bibirnya cemberut melengkung ke bawah, membuat siapapun yang memandangnya bakalan kehilangan selera makan. Apakah ia tak pernah membaca artikel kesehatan bahwa wajah dengan pola otot seperti itu akan membuat seseorang kelihatan cepat tua? Begitu pikirku sambil berlalu di hadapannya. Sekilas aku melihat dia, dan dia pun melihat aku. Dalam waktu sepersekian detik kami berhadapan muka, tanpa ada kata dan sapa terucap di antara kami. Meski aneh, bagiku itu sudah biasa. Hari-hari kemarin juga begitu, sebab aku dan dia memang tidak akrab. Jadi, aku pun tenang-tenang saja, lalu mulai mengangkati kardus dan mengepak sejumlah barang, itulah tugasku sehari-hari.
Keadaan jadi agak berbeda ketika tak lama sesudah itu pimpinan tertinggi tiba-tiba memanggil seluruh karyawan, lalu mengumumkan dua instruksi penting. Yang pertama, bahwa perusahaan ini mendapat proyek besar namun mendadak, yakni pengiriman paket buku ke seluruh Indonesia. Kedua, karena barangnya banyak dan waktunya sempit, beliau memerintahkan agar semua karyawan dari semua divisi ambil bagian dalam proyek ini. Pekerjaan harian masing-masing harap ditinggalkan dulu. Pengumuman pertama langsung disambut semua orang dengan penuh sukacita. Itu berarti perusahaan ini masa depannya cerah, banyak order, dan dengan itu (semoga) gaji meningkat. Pengumuman kedua? Yang ini ditanggapi dengan keluh kesah dan kasak-kusuk di mana-mana. Tentunya orang-orang itu baru berani menggerutu setelah sang pimpinan meninggalkan ruangan. Saat bos ada, mereka mengangguk-angguk tanda taat dan hormat.
Tuhan mendengarkan apabila aku berseru kepada-Nya
Maka demikianlah, siang tadi ada kesibukan yang tidak biasa di kantor kami. Tiga puluh orang sekaligus berada dalam satu ruangan yang sebenarnya tidak terlalu luas. Kami hilir mudik, berbagi tugas membongkar kardus-kardus besar, memilih-milah isinya, membaginya menjadi paket-paket kecil, kemudian mengemasnya baik-baik dan menempelinya alamat. Karena ada begitu banyak orang, ruangan terasa sangat panas, meski pendingin udara sudah disetel di angka dua belas. Dan, jangan tanya keadaan di sekitar kami. Buku, lem, kertas berceceran di mana-mana, semuanya awut-awutan dan berantakan. Melihat jumlah buku yang harus kami tangani, situasi ini agaknya akan berlangsung selama seminggu atau dua minggu ke depan.
Bagiku itu tentu bukan masalah, sebab memang inilah pekerjaanku. Tidak demikian halnya dengan rekan-rekanku. Melihat wajah mereka, rasanya aku ingin tertawa. Ini dia yang kusebut “wajah-wajah yang tidak ikhlas”. Senyum benar-benar menjadi barang langka hari ini. Pasti mereka bertanya-tanya mimpi apa semalam, sehingga mendadak harus menjalani kerja rodi. Ada juga yang bekerja dengan kening berkerut. Aku yakin, orang itu pasti sedang merekayasa alasan agar terhindar dari kerja yang melelahkan ini mulai besok pagi. Ha, ha, ha … dalam hati aku tergelak. Mereka memang tidak cocok menangani kerja kasar seperti ini. Apalagi, berhubung tanpa persiapan, orang-orang itu banting tulang bersimbah keringat mengenakan baju batik!
Sambil tersenyum-senyum kecil, aku melirik-lirik, mencuri lihat cara kerja mereka. Hmmm … tampaknya kurang profesional dan cenderung sembarangan. Tapi aku harus maklum. Apa boleh buat, ini kan memang bukan bidang mereka. Si bos juga yang salah. Ia mengira, banyak orang berarti cepat selesai. Itu belum tentu. Orang-orang ini tidak biasa membungkus barang. Jadi, selain malah lama, hasil akhirnya pasti tidak rapi dan tidak maksimal.
Satu hal lagi yang bisa jadi masalah: mereka bekerja tanpa kerelaan hati. Nona manis dari bagian HRD itu, misalnya, dari tadi lebih sibuk dengan lem dan isolasi yang menempel di tangannya. Ia khawatir benda-benda terkutuk itu mencederai kulitnya yang halus nan lembut. Ibu tua dari bagian keuangan sikapnya sama saja. Tak habis-habisnya ia mengeluh, mengapa dari memegang uang, sekarang ia harus menyeret-nyeret trolley. “Ini tak ada dalam kontrak kinerja!” begitu katanya. Sementara itu, temanku yang sehari-harinya menjadi juru ketik sengaja memilih duduk di bagian ujung, agar bisa bekerja sambil mencaci-maki si bos yang tak tahu diri. Aku tertawa geli melihat wajahnya yang suntuk. Karena ia tergolong “orang sendiri”, aku berani bercanda mengoloknya dengan berkata, “Hari gini kerjaan tidak beres? Apa kata dunia?”
Dari situlah bencana berawal. Si muka masam ternyata ada di dekat situ. Ia mengira aku sedang menyindir dirinya. Tadi itu, sepanjang kami bekerja, ia memang lebih banyak bengong-bengong saja, tidak kunjung mengerti ketika diajari cara membungkus setumpuk buku dengan rapi. Alhasil, ia lebih banyak jadi penonton, dengan prestasi kerja nol besar. Pantas saja ia jadi panas mendengar aku berkata demikian. Matanya melotot ke arahku seakan mau keluar. Temperatur ruangan yang mendidih rupanya makin membuat emosinya tersulut. Segera saja ia bangun dari tempat duduknya, lalu mendatangi aku sambil memasang tampang yang bukan main seramnya.
Dia bertanya, “Apa maksud perkataanmu tadi?”; aku menjawab, “Aku tak punya maksud apa-apa.” Dia menuduh, “Kamu mengejek aku ya?”; aku menangkis, “Perkataanku tidak tertuju padamu.” Kemudian dia membentak, “Sejak tadi aku melihatmu tertawa-tawa sendiri. Kenapa?”; dengan lincah aku mengelak, “Mengapa manusia merdeka seperti aku tidak boleh tertawa?” Dia terus mencecar, “Selama ini kamu tidak suka padaku dan selalu berusaha menjatuhkan aku kan?”; aku membantah keras, “Aku tak peduli padamu dan tak punya soal apa-apa denganmu.” Lalu dia mengancam, “Kalau kamu macam-macam, aku hajar kau!”; aku nekat melawan, “Aku sama sekali tidak takut padamu!”
Lalu tiba-tiba tangannya melayang meninju lenganku.
Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa
Sampai sekarang, aku ingat rasanya. Sakit sekali! Sangat-sangat sakit! Aku tak sempat menangkis, apalagi menghindar, karena pukulan itu menghunjam begitu cepat dan telak. Badanku sampai terhuyung-huyung ke samping dibuatnya. Dan, pada saat itulah, ketika rasa terkejutku belum hilang, pukulan-pukulan berikutnya berdatangan laksana buah durian berguguran dari pohonnya. Habis perut dan dadaku dihajar olehnya. Melihat wajahku yang membiru, aku berkesimpulan, tinjunya rupanya mampir juga ke situ. Si muka masam tampaknya benar-benar sedang kalap. Seluruh amarahnya dilampiaskan terhadapku siang tadi.
Aku sama sekali tak bisa melawan. Badan lawanku dua kali lebih besar dari badanku. Memang sekali dua kali aku berusaha balas meninju dia. Tapi itu sia-sia belaka. Tanganku seperti memukul tembok, dan dia jelas tak merasakan apa-apa. Maka, yang bisa kulakukan tadi hanyalah menunduk, menangkis, dan mengaduh-aduh. Kedua tanganku lebih banyak melindungi wajahku, jangan sampai bogem mentah temanku itu membuat gigiku tanggal dan mataku copot. Tentu saja tadi itu seketika ruangan jadi geger. Teman-teman turun tangan memisahkan kami. Satu orang menyeretku agar menjauh, lima orang menahan si muka masam agar berhenti mengamuk. Aku berterima kasih atas kemurahan hati mereka. Sayang, bantuan itu datang terlambat. Badanku sudah telanjur babak belur, juga harga diriku. Semuanya hancur lebur tak bersisa.
Maka dari itu, sejak siang tadi sampai malam ini, diriku benar-benar berselimutkan kemarahan. Peristiwa itu terus-menerus terkenang dalam ingatanku dan membuat kegeramanku meluap-luap. Aku merasa mendapat hinaan dan pelecehan yang luar biasa. Terus terang, seumur hidup aku belum pernah berkelahi. Aku pikir, untuk apa beradu fisik? Bukankah segala persoalan bisa dicari solusinya dengan dibicarakan baik-baik? Sekarang, tampaknya aku mesti meralat pendapat itu. Ternyata ada orang yang tak bisa diajak bicara karena akal sehatnya tidak jalan. Untuk menyelesaikan masalah, orang ini hanya mengenal bahasa kekerasan dengan main pukul dan main gebuk di sana-sini. Jangan buang-buang waktu mengajak orang macam ini berbicara. Percuma!
Dalam kemarahanku, aku lalu merancang balas dendam. “Hah, tunggu pembalasanku, Teman! Pasti akan terasa sangat menyakitkan!” kataku dengan sengit sambil menatap bayanganku sendiri di dalam cermin. Aku berpikir-pikir, tindakan apa yang akan kulakukan terhadap dirinya, agar ia tobat, kapok, jera, tentu setelah badannya bonyok dan lebam-lebam seperti diriku? Bagaimana kalau aku mengerahkan teman-temanku sekampung untuk menghajar dirinya? Wah, itu ide yang bagus! Keroyok saja dia, lalu pukuli sepuasnya, pasti sakit hatiku akan terobati karenanya. Tapi, pikir punya pikir, rencana itu segera kubatalkan. Selain terlalu kejam, kuhitung-hitung temanku paling-paling ada lima. Mereka itu kurus-kurus kurang tenaga. Kami takkan mampu mengalahkan dia, meskipun kami maju bersama!
Bagaimana kalau aku memilih jalan yang lebih halus? Jangan salah, meski halus, aku yakin hasil akhirnya akan menyakitkan baginya dan memuaskan bagiku. Caranya, perkara ini harus diadukan kepada pimpinan tertinggi. Ya, aku harus mendekati bos besar, menceritakan kelakuan anak buahnya yang berandalan itu, dengan memberi bumbu di sana-sini agar lebih dramatis. Tujuan akhirnya, demikian aku berharap, orang itu dijauhi sanksi yang berat, yakni pemecatan. “Pecat dia! Singkirkan dia! Perusahaan ini adalah perusahaan yang beradab. Di sini tak ada tempat bagi orang yang kelakuannya liar dan barbar!” Aku murka sambil menuding-nuding diriku sendiri di dalam cermin.
Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur
Sesudah itu, aku tersenyum puas, lalu kembali membaringkan badan. Sekilas aku teringat nasihat teman-temanku tadi siang, agar aku bersikap sabar, sabar, dan sabar. “Maafkan dia, mungkin dia lagi emosi,” kata seorang temanku. Enak saja! Kan bukan kamu yang sakit dan malu, digebuki di depan mata orang banyak! Aku tidak peduli lagi. Pokoknya, rencanaku akan kujalankan besok pagi dan harus berhasil.
Tiba-tiba mataku terbuka lagi. Ah, apakah aku sejahat itu? Tidak, tidak, tidak, aku tidak pernah mau menyengsarakan orang lain. Bagaimana kalau si muka masam nanti sungguh dipecat dan tidak punya pekerjaan lagi? Makan apa dia? Bagaimana dengan anak-istrinya? Siapa tahu tindakannya tadi bukan karena dendam kepadaku, tapi karena dia sedang punya banyak masalah? Mengapa aku tidak mendekati dia besok, mengajaknya bicara, siapa tahu kami lalu bisa saling memaafkan? Bukankah dialog adalah prinsip yang selama ini kuyakini kebenarannya?
Gagasan itu sungguh membuatku jengkel. Rencana balas dendam yang sebelumnya kususun matang jadi buyar seketika. Sisi hatiku yang satu berkata, “Dia tadi tidak menyesal, dia tadi tidak minta maaf. Mana mungkin memaafkan orang yang tidak minta maaf!” Tapi sisi hatiku yang lain membantah, “Mungkin saja. Justru maaf yang kita berikan bisa jadi menimbulkan kesadaran dan rasa sesal di hatinya. Maafkanlah tanpa menunggu dia meminta maaf!”
Ah! Di batinku malah kemudian berkecamuk perang seru: balas … jangan … balas … jangan … balas … jangan … Kepalaku tambah pusing dibuatnya. Dengan gusar, aku bangkit lagi dari tempat tidurku. Sosok di dalam cermin kembali kutuding dan kupelototi. “Tuhan! Mengapa aku harus berbuat baik terhadap orang yang berbuat jahat terhadapku!”
Bacaan Pendukung
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Bergant, Dianne, dan Robert J. Karris (ed.). Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar