Kamis, November 01, 2012

Hubungan suami-Isteri: Saling Mengabdi (Ef. 5:21-32)[12]
Perikop ini termasuk dalam bagian yang berbicara tentang peraturan hidup rumah tangga yang meliputi relasi antara istri dan suami (5:21-33), anak dengan orang tua (6:1-4), dan pembantu dengan majikan (6:5-9). Peraturan semacam itu dipandang sebagai sesuatu yang umum dalam dunia Yunani-Romawi untuk mengatur hidup bermasyarakat. Jika setiap orang mengetahui perannya, maka hidup bermasyarakat akan berjalan dengan baik. 

Penulis surat Efesus mengadopsi bentuk dan struktur dasar peraturan hidup rumah tangga yang biasa berlaku pada zamannya. Namun, ia juga memasukan unsur-unsur baru dalam terang injil. Maka, peraturan hidup rumah tangga itu menyediakan suatu bentuk cara hidup yang sesuai dengan injil dalam terang waktu dan budaya zamannya. 

Di sini kita akan berfokus pada relasi antara istri dan suami yang dianologikan dengan hubungan Kristus dengan Gereja (Ef. 5:21-33).[13] Perikop ini dapat dibagi dalam tiga bagian. Pertama, nasihat kepada isteri (ay. 22-24). Kedua, nasihat kepada suami (ay. 25-32). Ketiga, kesimpulan yang mengangkat kembali dasar hubungan suami-isteri (ay. 33). 

Nasihat kepada isteri (ay. 22-24) 
Paulus pertama-tama memberi nasihat kepada isteri yang umumnya dianggap sebagai pihak “yang lemah” (1Ptr 3:7). “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (ay. 22). Nasihat ini mirip nasihat dalam Kol. 3:18, “Hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.” Istri dinasihat untuk taat kepada suami dengan kualitas ketaatan seperti kepada Tuhan. Kualitas ketaatan ini mungkin mau mengatakan bahwa isteri tunduk kepada suami seolah-olah kepada Tuhan. Dengan demikian, sikap tunduk isteri kepada suami dianggap sebagai bagian dari kewajiban kepada Tuhan. 

Mengapa istri dinasihatkan untuk taat kepada suami seperti kepada Tuhan? Istri tunduk kepada suami karena “suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.” Alasan ini mau mengatakan bahwa hubungan suami-istri analog dengan hubungan Kristus-gereja. Suami mewakili Kristus dan isteri mewakili Gereja. Analogi ini berakar dalam Perjanjian Lama yang menggambarkan hubungan Yahweh-umat-Nya dengan hubungan suami-isteri (bdk Yes. 54:5-8; 62:4-5; Yer. 31:21-22. 

Alasan lain mengapa isteri harus tunduk kepada suami karena suami mewakili peran Kristus sebagai penyelamat tubuh. Suami mewakili peran Kristus yang rela mengurbankan diri-Nya untuk menyelamatkan umat manusia. Dengan mewakili peran Kristus, suami harus rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan isterinya dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kata “penyelamat” terletak seluruh tanggung jawab suami terhadap isterinya. Allah menempatkan suami dalam suatu posisi yang bertanggung jawab. Ini tentu tidak berarti bahwa suami menjalankan semua tanggung jawabannya secara sempurna karena hal itu pasti tidaklah mungkin. 

[12].Perikop ini dibacakan sebagai bacaan kedua pada hari minggu biasa ke-21 tahun B. 
[13].Analogi ini bukan tanpa masalah. Masalahnya terletak pada fakta bahwa suami yang mewakili Kristus dan istri yang mewakili gereja. Kiasan perkawinan seharusnya tidak boleh diterima sebagai suatu pernyataan bahwa suami itu bebas dari kesalahan dan dosa sedangkan istri penuh dengan dosa.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, isteri lagi-lagi dinasihatkan untuk tunduk kepada suami dalam segala hal. Segala hal yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan relasi suami-isteri, sesuai dengan konteks pembicaraannya. Di sini ia tidak bermaksud untuk tunduk secara absolut dalam segala hal karena isteri mempunyai ketaatan yang lebih tinggi kepada Tuhan. Ketika istri menemui fakta bahwa suami mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah, maka istri harus lebih menaati Tuhan sebagai penguasa tertinggi. Sikap tunduk isteri terhadap suaminya tidak sama dengan sikap tunduk seorang hamba terhadap tuannya. Maka, sikap tunduk isteri kepada suami dalam segala hal harus dilihat sebagai jawaban istri atas kasih suaminya. 

Nasihat bagi suami (ay. 25-32) 
Setelah memberi nasihat kepada isteri, kini Paulus memberi nasihat kepada suami. Nasihat ini sebenarnya bertentangan dengan kebiasaan masyarakat Yunani-Romawi yang sangat menekankan kewajiban isteri kepada suami dan bukan kewajiban suami kepada isteri. Suami tidak mempunyai kewajiban terhadap isterinya. Dengan menasihati suami, Paulus meletakkan tanggung jawab yang sama kepada suami. Ada tanggung jawab timbal balik dalam relasi suami-isteri. 

Kepada para suami Paulus menasihatkan untuk mengasihi isteri mereka. “Hai suami, kasihilah istrimu” (Ef. 5:25). Dalam Kol. 3:19 kewajiban untuk mengasihi ini diungkapkan dalam suatu larangan yang lebih spesifik, “Hai suami-suami, kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.” Dengan menampilkan cara yang lebih spesifik, Paulus mengharapkan ungkapan praktis dari kasih suami kepada isteri. 

Apa kualitas kasih yang dituntut dari seorang suami untuk isterinya? Kualitas yang dituntut sama dengan kasih Kristus terhadap gereja. “Sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Ef. 5:25). Suami harus mengasihi isterinya dengan cara yang sama seperti Kristus mengasihi gereja. Kasih Kristus terhadap gereja ditampilkan sebagai contoh kualitas kasih yang harus diteladani. Dengan menekankan kasih Kristus yang telah menyerahkan diri bagi gereja, Paulus menunjukkan kasih suami tidak hanya terbatas pada larangan praktis untuk tidak memperlakukan dengan kasar dan untuk memenuhi kebutuhan material, tetapi juga kesiapsediaan untuk mengorbankan kesenangan pribadi demi kebahagiaan isterinya. Kasih yang dituntut dari seorang suami di sini sesungguhnya lebih berat daripada tuntutan ketaatan yang dituntut dari seorang isteri. 

Paulus selanjutnya menjelaskan maksud Kristus ketika menyerahkan diri-Nya bagi jemaat, gereja. Pertama, untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman (ay. 26). Di sini penyucian itu dimengerti dalam arti spiritual daripada arti fisik. Sabda Allah membersihkan kita dalam pengertian bahwa ketika kita percaya pada injil, kita disucikan dari dosa-dosa kita seperti air membersihkan kita dari kotoran (bdk. Tit. 1:5; 1Kor. 6:11). Maka, penyucian itu dipahami sebagai metafor untuk penebusan. 

Penyucian atau pengudusan itu dilakukan dengan cara memandikannya dengan air dan sabda. Cara ini mungkin mengacu baik pada persiapan perkawinan yang dilakukan oleh mempelai perempuan maupun pada baptisan sebagai salah satu cara jemaat disucikan. Kedua, untuk menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela (ay. 27). Maksud ini mirip dengan maksud Allah memilih kita sebelum dunia dijadikan, yakni supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Ef. 1:4). Dari kedua maksud ini Paulus tampaknya membuat persamaan antara adat perkawinan dunia Timur, yakni memandikan, mengurapi, dan mengantar gadis yang masih suci kepada suaminya, dengan kasih Kristus yang membersihkan dan menghiasi gereja dengan baptis dan sakramen lainnya sehingga gereja sebagai mempelai Kristus tampak bersih suci. 

Kualitas kasih lain yang dituntut dari seorang suami itu sama seperti mengasihi tubuh sendiri. “suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri” (ay. 28). Suami harus mengasihi isterinya dengan cara yang sama seperti ia mengasihi tubuhnya sendiri. Karena dalam perkawinan dua orang pribadi menjadi satu daging (Kej. 2:24), maka istri menjadi bagian dari tubuh suami sendiri. Konsekuensinya, suami seharusnya mengasihi dan memperlakukan istrinya sebagaimana ia memperlakukan tubuhnya sendiri (bdk. Im. 19:18). Seorang yang sehat jiwa-raganya tidak akan membenci atau melalaikan tubuhnya sendiri, tetapi sebaliknya mengasuh dan memeliharanya. Kualitas tindakan mengasuh dan memelihara tubuh itu harus sama dengan tindakan Kristus mengasuh dan melihara tubuh-Nya, yakni gereja. 

Hubungan suami-istri tidak hanya mengungkapkan hubungan Kristus-Gereja tetapi juga mengungkapkan tujuan Allah menciptakan pria dan wanita sejak semula. Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (ay. 31; Kej. 2:24). Kesatuan eksklusif suami-istri yang dilukiskan dengan ungkapan “satu daging.” Ungkapan kesatuan itu mungkin sengaja ditampilkan oleh Paulus untuk melawan pemikiran zamannya yang menganggap istri hanya sebagai salah satu dari harta milik yang mereka miliki dan gunakan. Melawan anggapan itu Paulus menegaskan bahwa istri adalah perluasan dari kepribadian suami dan karena itu harus dilihat bagian yang tak terpisahkan dari seorang suami. 

Kesatuan eksklusif suami-istri yang diungkapkan dalam ungkapan “satu daging” itu memperlihatkan kesatuan yang eksklusif antara Kristus-Gereja. Relasi kesatuan eksklusif itu dilihat sebagai suatu misteri besar. Misterinya besar itu tidak terletak pada kesatuan suami-istri yang menjadi satu daging dalam hubungan seksual, tetapi pada hubungan kesatuan eksklusif antara Kristus dengan Gereja. Dengan demikian, misteri besar itu terletak pada kesatuan eksklusif Kristus dengan Gereja yang menjadi prototipe atau model bagi relasi perkawinan kristiani. 

Mengasihi dan mentaati 
Setelah menyapa dan memberi nasihat secara terpisah kepada istri dan suami, Paulus kini mengakhiri nasihatnya dengan menekan tuntutan yang paling esensial kepada kedua belah pihak. Suami pertama-tama diminta untuk mengasihi istrinya dan istri diminta untuk menghormati suaminya. Nasihat kepada suami pada dasarnya hanya berfokus pada satu hal saja, yakni mengasihi (ay. 25, 28, 33a). Kualitas kasih yang dituntut dari suami dijelaskan melalui teladan kasih Kristus terhadap gereja (ay. 25b-27) dan melalui cinta seorang terhadap tubuhnya sendiri (ay. 28-29). 

Nasihat kepada isteri untuk tunduk kepada suami dalam segala hal telah menimbulkan reaksi negatif bagi pembaca modern yang peka akan kesederajatan pria dan wanita. Pembaca modern mengangapnya sebagai sumber penderitaan bagi istri. Anggapan ini tentu saja keliru karena nasehat itu tidak diberikan secara terisolir sebab suami juga dituntut untuk mengasihi isterinya. Tuntutan kepada suami jauh lebih panjang dibandingkan (ay. 25-32). Tuntuan itu tampil sebagai prasyarat ketaatan istri bagi suami. Dengan prasyarat ini ketaatan istri kepada suami bukan lagi sebagai suatu yang tuntutan yang memaksa dan merendahkan, tetapi sebagai suatu jawaban atas kasih yang diberikan oleh suami.

Tidak ada komentar: