Kamis, Mei 12, 2011

PENGLIHATAN TUJUH SANGKAKALA (why. 8:2-11:19)
Alfons Jehadut

Serangkaian penglihatan tujuh sangkakala itu jelas dalam susunannya (8:2-11:19). Setelah sebuah perikop yang bersifat transisi tentang para malaikat dan dupa emas (8:2-6), kemudian ditampilkan empat penglihatan sangkakala yang pertama secara singkat (8:7-12) seperti penglihatan empat meterai yang pertama (6:1-8). Penglihatan sangkakala yang kelima (9:1-12) dan keenam (9:13-21) ditampilkan sedikit lebih terperinci sehingga lebih panjang dibandingkan dengan empat yang pertama. Seperti sebelum meterai yang ketujuh dibuka (8:1), ada dua kisah penglihatan yang berfungsi sebagai sisipan (7:1-17), demikian juga sebelum penglihatan bunyi sangkakala yang terakhir (11:15-19), ada dua kisah sisipan yang cukup panjang (10:1-11 dan 11:1-14).

Tujuh Malaikat dan pedupaan emas (8:2-6)

Dengan dibukanya meterai yang ketujuh, pembaca berharap isi gulungan kitab yang terakhir dibuka. Harapan itu tampaknya tidak terpenuhi sebab Yohanes melihat ketujuh malaikat yang diberi tujuh sangkakala (ay.2). Setelah gambaran singkat tentang seorang malaikat lain yang mengambil dupa dari altar surgawi dan melemparkannya ke bumi (ay. 3-5), tujuh malaikat bersiap-siap untuk meniup sangkakala mereka (ay, 6). Gambaran seorang malaikat lain dengan sebuah pedupaan emas (ay. 2-6) ini berfungsi sebagai jembatan antara tujuh kisah tujuh meterai dengan kisah tujuh sangkakala.

Tujuh Malaikat dengan tujuh sangkakala (ay. 2)

Yohanes melihat “tujuh malaikat yang berdiri di hadapan Allah”. Menurut tradisi Yahudi, tujuh malaikat ini dianggap sebagai para pemimpin ikatan malaikat surgawi dan pengantara pesan Allah yang terkemuka. Beberapa dari malaikat ini disebutkan dengan namanya dalam kitab suci seperti Gabriel (Dan. 8:16; 9:21; Luk. 1:19), Rafael (Tob. 12:15), dan Mikhael (Dan. 10:13, 21; 12:1; Yud. 9; Why. 12:7). Tradisi di luar kitab suci menyebutkan beberapa nama lain seperti Uriel, Yermiel, Sariel, dan Raguel, (Henokh 20:1-7). Ketujuh malaikat itu berdiri di hadapan Allah untuk melayani di takhta surgawi.

Ketujuh malaikat yang berdiri di hadapan Allah itu diberikan masing-masing tujuh sangkakala oleh Allah sendiri. Dalam Perjanjian Lama, bunyi sangkakala itu dilihat sebagai tanda yang mendahului penampakan (Kel. 19:16, 19), atau tanda hari Tuhan (Yl. 2:1; Zef. 1:16). Tradisi apokaliptik kristiani juga melihat bunyi sangkakala sebagai tanda yang mendahului akhir zaman, kedatangan kembali Kristus, dan kebangkitan orang mati (Mat. 24:31; 1Tes. 4:16-17; 1Kor. 15:52). Hal ini dikatakan dalam kata-kata profetis Paulus dalam 1Kor. 15:51-52, “Kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah, dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah.” Di sini Yohanes kemungkinan meminjam gagasan tentang tiupan tujuh sangkakala sebelum hari penghakiman.

Malaikat lain dan pedupaan (ay. 3-5)

Sebelum tujuh malaikat itu meniup sangkakala mereka, Yohanes melihat seorang malaikat lain datang dan berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas yang diberikan banyak dupa. Gambaran ini mengingatkan kita pada gambaran mezbah pedupaan yang di atasnya para imam membakar dupa (Kel. 30:1-8; bdk Im. 6:12). Namun, di sini altar atau mezbah itu ada di surga.

Dupa yang ada di tangan malaikat itu diberikan banyak dupa. Asap dupa dari tangan malaikat itu naik bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu ke hadapan Allah. Di sini kita melihat gagasan tentang pelayanan mediasi dari para malaikat (Tob. 12:12). Mereka membawa doa-doa orang kudus di bumi di hadapan Allah. Kita tidak diberitahukan apapun tentang isi doa-doa tersebut. Isi doa itu mungkin terkait dengan permohonan para martir yang meminta Allah menghukum orang-orang yang menganiaya mereka (6:10).

Doa-doa orang kudus yang naik bersama dengan asap dupa yang dibawa oleh seorang malaikat. Doa-doa mereka didengarkan oleh Allah. Doa para martir mohon pembalasan dari Allah bagi orang-orang yang menganiaya mereka didengarkan oleh Allah. Malaikat mengambil dupa dan mengisinya dengan api dari mezbah, dan melemparkannya ke bumi. Dampaknya bunyi guruh disertai halilintar dan gempa bumi meledak sehingga kesunyian surgawi terpecahkan. Melemparkan api adalah sebuah simbol kemurkaan ilahi (Mat. 3:10-11; 2Tes. 1:7-8). Tindakan malaikat ini berfungsi sebagai pengantar berbagai hukuman ilahi yang akan dilemparkan ke bumi untuk membuat para pendosa melihat dan menyadari kesalahan mereka. Tindakan ini ditampilkan sebagai persiapan bagi kisah tentang tujuh malaikat meniup sangkakala dan mendatangkan berbagai hukuman atas bumi.

Empat sangkakala yang pertama (8:7-13)

Empat sangkakala yang pertama sejajar dalam strukturnya. Tiupan sangkakala itu secara berturut-turut menandai suatu peristiwa surgawi yang membawa dampak yang mengerikan bagi alam semesta dan manusia. Dampak dari tiupan sangkakala ini mengingatkan kita pada tulah-tulah yang digambarkan dalam kitab Keluaran (Kel. 7:14-12:30).

Tiupan sangkakala pertama membawa dampak bagi daratan karena terjadi hujan es, dan api, bercampur darah (ay. 7). Semuanya itu dilemparkan ke bumi. Kombinasi antara hujan es dan api dalam sebuah tindakan penghukuman itu berasal dari gambaran Perjanjian Lama (Kel. 9:23-25; Yeh. 38:22; Keb. 16:22; Sir. 36:29). Darah dan api digabungkan dalam kitab Yl. 2:30 sebagai tanda-tanda akhir zaman (bdk. Kis. 2:19). Akibat dari api yang dilemparkan ke bumi adalah sepertiga dari pohon-pohon di seluruh bumi terbakar dan seluruh rumput hijau terbakar sehingga mengancam sumber-sumber alam yang menyokong hidup manusia.

Pembatasan dampak bencana ini mengingatkan kita pada apa yang termuat dalam meterai yang keempat. Maut dan kerajaan maut diberikan kuasa atas seperempat dari bumi untuk membunuh dengan pedang, dan dengan kelaparan dan sampar, dan dengan binatang-binatang buas yang di bumi (6:8). Apakah peningkatan dari seperempat menjadi sepertiga mengisyaratkan suatu penghukuman yang semakin meningkat? Tiupan sangkakala yang kedua membawa dampak bagi lautan (ay. 8-9). Sesuatu seperti gunung besar yang dinyalakan dengan api dilemparkan ke dalam laut. Dampaknya berlipat-lipat ganda. Pertama, sepertiga dari laut itu menjadi darah (ay. 8; bdk. 16:3; Kel. 7:20-21). Kedua, sepertiga dari segala makhluk yang bernyawa di dalam laut mati (ay. 9; bdk 16:3). Ketiga, sepertiga dari semua kapal hancur, yang menyebabkan suatu gangguan dalam perdagangan laut (bdk. 18:19).

Tiupan sangkakala yang ketiga membawa dampak bagi sungai dan mata air (ay. 10-11; bdk. 16:4). Sebuah bintang besar yang menyala-nyala seperti obor jatuh dari langit dan menimpa sepertiga dari sungai-sungai dan mata-mata air sehingga sepertiga dari semua air pun menjadi pahit (Kel. 15:23). Akibatnya, banyak orang mati karena air minum air tersebut. Inilah pertama kali tiupan sangkakala menyebabkan manusia mati. Menarik bahwa Yohanes menggambarkan banyak orang yang mati bukan hanya sepertiga.

Tiupan sangkakala keempat membawa dampak bagi benda-benda angkasa, yakni matahari, bulan, dan bintang (ay. 12, 16:8). Sepertiga dari matahari dan sepertiga dari bulan dan sepertiga dari bintang-bintang dibenturkan. Dampaknya sepertiga dari terangnya menjadi gelap (bdk. Yes. 13:10; Yeh. 32:7-8; Yl. 2:10, 31; 3:15; Am. 8:9). Sepertiga dari siang hari tidak terang dan demikian juga malam hari (bdk. Kel. 10:21). Kegelapan ini mengingatkan kita pada kegelapan di Mesir dalam tulah yang kesembilan (Kel. 10:21-23). Kegelapan terkait erat dengan penghukuman dan bencana (Am. 8:9; Mrk. 13:24; Mat. 27:45).

Penglihatan seekor burung nasar (ay. 13)

Tiupan trompet yang kelima tidak langsung disusul setelah tiupan trompet yang keempat tetapi dengan disisipi dengan kisah penglihatan seekor burung nasar terbang tinggi di langit. Sisipan ini sekurang-kurangnya memiliki empat tujuan . Pertama, memisahkan empat tiupan sangkakala yang pertama dari tiga tiupan sangkakala berikutnya. Kedua, menciptakan jeda dan rasa penasaran bagi para pembaca sehingga mereka harus menunggu sedikit lebih lama untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada waktu tiupan tiga sangkakala terakhir. Ketiga, memberi ciri pada tiga tiupan sangkakala terakhir dengan kata “celaka”, sebuah kata yang menubuatkan malapetaka-malapetaka yang akan segera terjadi (bdk. Bil. 21:29; 1Sam 4:8; Yes. 3:11; Yer. 48:1; Hos. 9:12; Yud. 16:7). Keempat, mengindikasikan bahwa malapetaka-malapetaka yang terjadi pada waktu tiupan tiga sangkakala terakhir diarahkan kepada orang-orang yang tinggal di bumi.

Dalam sisipan ini diceritakan bahwa Yohanes melihat dan mendengar kata-kata seekor burung nasar. Burung nasar adalah burung pemangsa dan karena itu sering ditampilkan sebagai simbol bencana (Mat. 24:28). Dalam Perjanjian Lama, burung itu juga sering dipakai untuk melambangkan invasi tentara yang digunakan sebagai instrumen Allah untuk mendisiplinkan umat-Nya (Hab. 1:8; Ul. 28:49). Penafsiran ini kontras dengan apa yang dikatakan dalam Kel. 19:4 di mana Allah berkata kepada orang Israel, “Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku.”

Burung nasar yang ditampilkan di sini memberitahukan bahwa masih akan ada tulah yang lebih keras atas orang-orang yang tidak taat kepada Allah. Burung nasar itu membawa pesan “celaka” dan hukuman. Dengan suara nyaring burung itu berkata, "Celaka, celaka, celakalah mereka yang tinggal di bumi oleh karena bunyi sangkakala ketiga malaikat lain, yang masih akan meniup sangkakalanya.” Ungkapan “mereka yang tinggal di bumi” mengingatkan kita pada hari pencobaan yang akan datang atas seluruh dunia untuk mencobai mereka yang tinggal di bumi tetapi orang-orang yang menuruti firman Allah dan tekun menantikan-Nya akan dilindungi (3:10). Kita juga teringat pada seruan jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan karena kesaksian yang mereka miliki bagi untuk meminta pembalasan dari Allah bagi mereka yang tinggal di bumi (6:10). Dengan demikian, mereka yang tinggal di bumi dibedakan dari orang-orang yang tidak taat dan setia kepada Allah.

Sangkakala kelima (9:1-12)

Gambaran tentang tiupan sangkakala yang kelima (9:1-12) dan keenam (9:13-19) itu lebih panjang daripada empat yang pertama. Gambaran tentang malapetaka-malapetaka yang menyertai kedua tiupan sangkakala itu lebih mengerikan dibandingkan dengan empat yang pertama. Malapetaka-malapetaka itu menimpa manusia secara langsung dan eksklusif.

Perikop tentang sangkakala kelima dapat diikuti dengan alur sebagai berikut: belalang muncul di atas bumi (ay. 1-3a); tugas belalang (ay. 3b-5); pengaruh belalang atas manusia (ay. 6), gambaran tentang belalang (ay. 7-10), identifikasi tentang raja dari belalang-(ay. 11).

Belalang muncul di atas bumi (ay. 1-3)

Ketika sangkakala yang kelima ditiup, Yohanes melihat sebuah bintang yang telah jatuh dari langit ke atas bumi. Bintang itu mungkin tidak lain daripada seorang malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk membuka lubang jurang maut yang dipandang oleh orang Yahudi kuno sebagai neraka, tempat roh-roh jahat berada (bdk. 2Ptr. 2:4). Sebab, ada tradisi tentang malaikat yang dilemparkan ke bumi karena memberontak terhadap Allah dalam bentuk sebuah bintang (1Henokh 6-13 – sebuah legenda yang didasarkan pada Kej. 6:1-4). Pernyataan Yesus bahwa Ia melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit (Luk. 10:18) tampaknya mengindikasikan pandangan umum bahwa bintang yang jatuh ke bumi itu disamakan dengan malaikat yang memberontak terhadap Allah dan menjadi iblis. Namun, di sini bintang itu tidak digambarkan sebagai figur setan, tetapi seorang yang melaksanakan kehendak Allah.

Bintang yang jatuh ke bumi itu diberikan kunci untuk membuka lubang jurang maut. Bintang itu kemudian membuka lubang jurang maut. Dari lubang jurang maut itu muncul asap seperti asap perapian besar. Dalam Kitab Wahyu, asap biasanya berhubungan dengan penghakiman, malapetaka, dan siksaan (ay. 17, 18; 18:9; 19:3) meski asap juga memiliki hubungan dengan hal-hal yang suci (8:4; 15:8). Di sini asap itu ditampilkan simbol kemurkaan dan kuasa yang menghancurkan dari Allah (bdk. Kej. 19:28; Kel. 19:18). Asap itu menyerupai asap yang keluar dari kawah gunung berapi yang aktif sehingga menyebabkan matahari dan angkasa menjadi gelap (bdk. Yl. 2:10). Dari asap itu kemudian muncul belalang-belalang ke atas bumi. Gambaran ini mungkin ditarik dari tulah yang kedelapan dalam kitab Keluaran (Kel. 10:12-15) dan nubuat tentang Hari Tuhan yang dilukiskan seperti serbuan belalang-belalang dalam kitab Yoel (Yl. 2:1-11).

Tugas belalang (ay. 3b-5)

Belalang-belalang itu berada di bawah kuasa Allah. Tugas itu diungkapkan dalam tiga kalimat pasif yang memperlihatkan Allah sebagai perancangnya. Pertama, “mereka diberikan kuasa sama seperti kuasa kalajengking-kalajengking di bumi” (ay. 3b). Kalajengking terkenal karena kemampuannya sengatannya yang menimbulkan rasa sakit yang menyiksa bagi manusia (bdk Ul. 8:15; Yeh. 2:6; Sir. 26:7; 39:30).

Kedua, “mereka dipesankan supaya mereka jangan merusak rumput-rumput di bumi atau tumbuh-tumbuhan ataupun pohon-pohon, melainkan hanya manusia yang tidak memakai meterai Allah di dahinya.” Berbeda dengan belalang pada umumnya, belalang ini tidak hinggap pada tumbuh-tumbuhan. Belalang itu secara eksklusif merusak manusia khususnya tidak memakai meterai Allah di dahinya (bdk. 7:1-8).

Ketiga, “mereka diperkenankan bukan untuk membunuh manusia, melainkan hanya untuk menyiksa mereka selama lima bulan” (ay. 5). Seperti empat sangkakala pertama ada pembatasan, demikian juga di sini meski berbeda jenis. Dalam empat sangkakala pertama ada pembatasan angka seperti sepertiga dan seperempat, tetapi di sini tidak ada pembatasan jumlah. Namun, pembatasan itu ditampilkan dalam bentuk larangan untuk membunuh dan jangka waktu yang diperbolehkan untuk disiksa hanya lima bulan. Lima bulan ini mungkin mengacu pada siklus hidup belalang, tetapi kita juga dapat melihatnya sebagai simbol untuk mengatakan singkatnya waktu bagi belalang untuk menyiksa manusia.

Dampak belalang bagi manusia (ay. 6)

Yohanes melukiskan apa dampak siksaan belalang terhadap manusia yang tidak memakai meterai Allah di dahinya. Dampak itu dilukiskan dalam pernyataan berikut, “orang-orang akan mencari maut, tetapi mereka tidak akan menemukannya, dan mereka akan ingin mati, tetapi maut lari dari mereka” (ay. 6). Lukisan ini menekankan dampaknya yang sangat menyiksa sehingga orang ingin mati saja tetapi tidak bisa. Orang yang tidak dimeterai nama Allah di dahinya tidak mungkin bisa meloloskan diri. Lukisan ini mengingatkan kita pada upaya sia-sia untuk meloloskan diri pada waktu Hari Tuhan yang telah disebutkan setelah pembukaan meterai yang keenam (6:15-17).

Karakteristik dari belalang (ay. 7-10)

Yohanes selanjutnya melukiskan belalang-belalang yang dilihatnya dari kepala sampai ekor. Beberapa penafsir melihat makhluk ini sebagai belalang-belalang yang sebenarnya, sementara yang lain percaya bahwa belalang-belalang tersebut mewakili sebuah pasukan bala tentara. Yang lain lagi menafsirkannya sebagai iblis.

Rupa belalang-belalang itu seperti kuda yang disiapkan untuk peperangan. Di atas kepala mereka ada sesuatu yang menyerupai mahkota emas, dan muka mereka sama seperti muka manusia. Mahkota di atas kepala mereka mungkin melambangkan kemenangan mereka atas sasaran penindasan mereka. Keserupaan mereka dengan manusia mengisyaratkan kecerdasan mereka, tetapi mereka jelas bukan manusia (bdk. 9:3-4). Rambut mereka sama seperti rambut perempuan dan gigi mereka sama seperti gigi singa. Gambaran ini mungkin mengungkapkan kebuasan mereka. Dada mereka sama seperti baju zirah. Baju zirah itu terbuat dari besi untuk menutup dada dan punggung pada zaman Yohanes yang membuat mereka kebal terhadap berbagai serangan (bdk. ay. 17). Bunyi sayap mereka bagaikan bunyi kereta-kereta yang ditarik banyak kuda, yang sedang lari ke medan peperangan (bdk. Joel 2:4-5; 2 Raj. 7:6; Yer. 47:3). Bunyi sayap ini menandakan perang terhadap orang-orang yang tinggal di bumi, orang-orang yang tidak dimeterai oleh Allah pada dahinya, orang-orang yang tidak setia dan taat kepada Allah. Ekor mereka sama seperti kalajengking dan ada sengatnya, dan di dalam ekor mereka itu terdapat kuasa mereka untuk menyakiti manusia selama lima bulan. Gambaran ekor ini melukiskan kemampuan mereka dan misi mereka untuk melukai yang luar biasa.

Raja dari belalang-belalang (ay. 11).

Raja yang memerintah belalang-belalang adalah malaikat jurang maut. Informasi ini merupakan konfirmasi lanjutan bahwa belalang-belalang itu merepresentasi iblis. Nama malaikat itu Abadon dalam bahasa Ibrani dan Apolion dalam bahasa Yunani, yang artinya perusak. Tujuan dari malaikat itu merusak manusia. Allah memberikan izin kepada mereka untuk melaksanakan tujuannya sebagai bagian dari tumpahkan kemarahan Allah bagi orang-orang yang tinggal di bumi (bdk. Ayb. 2:6).

Sangkakala yang keenam (9:13-21)

Seperti malapetaka sebelumnya, malapetaka yang menyusul tiupan sangkakala yang keenam juga berpengaruh secara langsung terhadap manusia tetapi dalam suatu bentuk yang lebih besar. Malapetaka ini tidak hanya mendatangkan siksaan, tetapi juga kematian. Dalam hal ini malapeta yang menyusul tiupan sangkakala yang keenam berhubungan dengan malapetaka yang terakhir di Mesir (Kel.12:29-34), meski tidak mengikuti model gambarannya. Di sini instrumen yang dipakai oleh Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya sama seperti dalam tiupan sangkakala yang kelima (9:1-11), yakni melepaskan malaikat ke bumi.

Pada waktu malaikat yang keenam meniup sangkakalanya, Yohanes “mendengar suatu suara keluar dari keempat tanduk mezbah emas yang di hadapan Allah” (ay. 13; bdk. 8:3). Suara itu memerintahkan malakait yang keenam, “Lepaskanlah keempat malaikat yang terikat dekat sungai besar Efrat itu” (ay. 14). Keempat malaikat ini jelas belum pernah dilihat Yohanes sebelumnya. Keempat malaikat itu mungkin malaikat jahat yang dibuang ke bumi karena malaikat-malaikat yang baik tidak pernah diikat (bdk. 20:1-3; 2 Ptr. 2:4; Yud. 6). Kitab suci tidak mencatat kapan atau mengapa Allah mengikat malaikat-malaikat jahat ini. Namun, kiranya jelas bahwa Allah mengikat mereka sebagai suatu bentuk hukuman karena mereka memberontak melawan Allah.

Lokasi tempat empat malaikat diikat diberitahukan oleh Yohanes, yakni dekat sungai besar Efrat. Dalam Perjanjian Lama, sungai besar Efrat dilihat sebagai batas bagian timur tanah yang Allah janjikan kepada Abraham (Kej. 15:18; Ul. 1:7; bdk. Kel. 23:31; Yos. 1:4; 2 Sam 8:3; 1Raj. 4:21). Di waktu kemudian sungai itu dilihat dalam hubungan dengan kekaisaran yang diperintahkan oleh Babilon (2Raj. 24:7; Yer. 46:2, 6, 10; 51:63; bdk. Hak. 1:6). Sungai itu juga menandai batas bagian timur kekasiaran Seleukus (1Mak 3:32) dan pada zaman Yohanes menandai bagian timur kekaisaran Roma. Karena itu, sungai Efrat menjadi simbol standard untuk sebuah batas dan itulah yang digunakan di sini.

Yohanes selanjutnya berkata bahwa keempat malaikat itu “telah disiapkan bagi jam dan hari, bulan dan tahun untuk membunuh sepertiga dari umat manusia” (ay. 15). Kata kerja pasif, “disiapkan” menunjukkan bahwa Allah yang mempersiapkannya. Tanpa izin Allah, keempat malaikat ini tidak bisa melakukan apa-apa. Keempat malaikat itu disiapkan oleh Allah untuk melaksanakan suatu tugas spesifik dalam sejarah (bdk. 12:6; 16:12; Mat. 25:34, 41; Mrk. 10:40; Luk. 2:31; 1 Kor. 2:9). Mereka ditugaskan untuk membunuh sepertiga dari umat manusia yang tinggal di bumi (9:15). Kuasa yang diberikan kepada keempat malaikat jahat itu terbatas. Mereka hanya diperbolehkan untuk membunuh sepertiga dari umat manusia. Tugas untuk “membunuh” ini berbeda dengan tugas yang diberikan kepada belalang-belalang.

Yohanes secara tiba-tiba bergeser dari empat malaikat kepada pasukan berkuda (ay. 16). Tampaknya pasukan berkata ini dijadikan sebagai sarana oleh keempat malaikat jahat untuk melaksanakan tugas mereka. Jumlah pasukan itu dua ratus juta. Jumlah ini mungkin tidak mudah untuk dibayangkan. Namun, kita harus memahami jumlah ini dalam arti simbolis untuk mengatakan jumlahnya sangat banyak. Jumlah pasukan yang sangat banyak ini merepresentasi kekuatan-kekuatan iblis. Yohanes mengetahui jumlah pasukan yang sungguh-sungguh besar itu bukan karena ia menghitungnya sendiri melainkan karena ia mendengarnya.

Yohanes kemudian melukiskan kuda-kuda dan penunggangnya ketika ia melihatnya dalam sebuah penglihatan (9:17). Para penunggangnya memakai baju zirah dengan warna merah api dan biru dan kuning belerang. Kepala kuda-kuda itu sama seperti kepala singa, dan dari mulutnya keluar api, dan asap dan belerang. Gambaran kuda dan penunggangnya ini sangat berbeda dari yang biasa kita ketahui. Kuda yang kita kenal tidak mengeluarkan api, asap, dan belerang dari mulutnya. Maka, kita harus melihat kuda-kudan dan penunggangnya sebagai simbol kekuatan yang diberikan untuk membunuh sepertiga manusia. Yohanes mencatat bahwa pembunuhan dilakukan dengan menggunakan api, asap, dan belerang yang keluar dari mulut kuda-kuda. Api, asap, dan belerang adalah unsur-unsur alam yang Allah gunakan untuk membawa hukuman pada masa lalu (bdk. Kej. 19:24, 28). Allah mungkin menggunakannya lagi atau mungkin unsur-unsur ini merepresentasi alat-alat kehancuran yang lain. Unsur-unsur ini mengingatkan malapetaka di Mesir (bdk. Kel. 11:1; Why. 9:20; 11:6; 13:3, 12, 14; 15:1, 6, 8; 16:9, 21; 18:4, 8; 21:9; 22:18).

Sepertiga manusia dibunuh oleh pasukan tentara berkuda. Bagaimana dengan dua pertiga sisanya? Yohanes melihat bahwa mereka tidak dibunuh oleh malapetaka-malapetaka yang keluar dari mulut kuda-kuda. Namun, mereka tidak bertobat dari perbuatan tangan mereka. Di tempat lain dalam kitab suci, ungkapan “perbuatan tangan mereka” mengacu kepada penyembahan berhala (bdk. Ul. 4:28; 27:15; 31:29; 2 Raj. 19:18; 22:17; 2 Taw. 32:19; 34:25; Mzm. 115:4; 135:15; Yes. 2:8; 17:8; 37:19; Yer. 1:16; 10:3, 9; 25:6, 7, 14; 32:30; 44:8; Hos. 14:3; Mi. 5:13; Hag. 2:14; Kis. 7:41). Mereka tidak berhenti menyembah roh-roh jahat dan berhala-berhala buatan tangan mereka sendiri. Mereka menempatkan barang-barang ciptaan sebagai pencipta padahal barang-barang itu tidak dapat melihat atau mendengar atau berjalan (bdk. Ul. 4:28; Mzm. 115:5-7; 135:15-17; Yes. 44:12-20; Dan. 5:23). Konsekuensinya adalah mereka meneruskan perbuatan-perbuatan mereka yang jahat, seperti pembunuhan, sihir, percabulan, dan pencurian (bdk. 21:8; 22:15). Penyembahan berhala melanggar perintah yang pertama dan kedua dan dampak dari pelanggaran perintah yang pertama dan kedua adalah melanggar perintah keenam, ketujuh, dan kedelapan.

Seperti penglihatan meterai, pertanyaan yang kiranya penting untuk kita ajukan adalah apakah penglihatan sangkakala ini menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara berurutan dalam sejarah manusia? Sama seperti penglihatan tentang meterai yang dibuka, demikian juga penglihatan sangkakala itu tidak menggambarkan peristiwa penghukuman yang terjadi secara berurutan dalam peristiwa sejarah. Tiupan sangkakala-sangkakala itu, seperti meterai-meterai dibuka, tidak mewakili serangkain peristiwa yang terjadi secara berurutan dalam urutan waktu.

[1] Joseph L. Trafton, Reading Revelation, 89.
[2]
Joseph L. Trafton, Reading Revelation, 94.

[3] Seán P. Kealy, The Apocalypse of John, 149

[4]
Jürgen Roloff, Revelation, 114.

[5]
J. B. Smith, A Revelation of Jesus Christ (Scottdale: Herald Press, 1971), 47.

Tidak ada komentar: