Jumat, Agustus 27, 2010

Mazmur 69

HANGUS KARENA CINTA
Jarot Hadianto

“Sebab cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku…” (Mzm. 69:10)

Pintu gereja kubanting dan kukunci dengan terburu-buru. Setelah itu, aku bersandar di situ sambil terengah-engah. Di luar sana, teriakan-teriakan penuh kemarahan semakin membahana. Mereka mengumpat, mencaci, anehnya sambil tak henti-henti memuliakan kebesaran Tuhan. Ngeri. Keringatku mengalir deras mendengarnya. Ya Tuhan, apa yang bisa kuperbuat? Sayangnya tidak ada, tidak ada lagi yang bisa kuperbuat. Aku tidak berdaya, dan keadaanku sungguh-sungguh gawat.

Tiba-tiba saja batu pertama terlontar. Kaca jendela jebol dan pecah berantakan dibuatnya. Mulutku ternganga, sementara nafasku makin memburu. Segera sesudah itu, batu-batu lain datang menyusul. Prrraang! Prrrraaang!! Prrraaaaang!!! Kiamat seakan telah tiba, dan aku hanya mampu memandangnya sambil terduduk di balik pintu. Badanku bergetar hebat, ketakutan melanda diriku, dan hatiku rasanya seperti disayat-sayat. Rumah yang kucintai, rumah yang kusayangi, rumahku yang kujunjung tinggi … hancur lebur seluruhnya tak bersisa!


Mengabdi di rumah Tuhan

Pertama-tama, baiklah aku memperkenalkan diri terlebih dulu. Aku ini seorang pemuda desa yang hidupnya sederhana dan biasa-biasa saja. Ketika teman-temanku pindah ke kota untuk meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, aku terpaksa bertahan di desa yang sunyi dan terpencil ini. Apa boleh buat, biaya untuk sekolah tak ada lagi. Aku harus puas hanya memegang ijazah sekolah menengah pertama. Sedih? Pasti. Tapi sudahlah. Ijazah sering kali hanya selembar kertas yang tak ada hubungannya dengan kualitas hidup seseorang, bukan?

Ketika pastor paroki datang ke stasi kami, aku memberanikan diri menemuinya untuk meminta pekerjaan. Kebetulan di stasi ini memang baru saja didirikan sebuah gereja kecil. Aku dengar pastor sedang mencari-cari orang yang tepat untuk menjaganya. Mula-mula pastor merasa ragu menerimaku. Apakah aku tidak terlalu muda untuk menjadi penjaga gereja? Apakah aku bisa memikul tanggung jawab yang besar? Apakah aku cukup bisa dipercaya? Syukurlah, melihat semangat dan kesungguhanku, akhirnya ia berkenan memberiku kesempatan.

Tanpa terasa, sudah setengah tahun lamanya aku mengabdi di rumah Tuhan ini. Tugasku macam-macam, bahkan sebenarnya aku mengerjakan semuanya: menjaga gereja siang-malam, merawatnya agar selalu bersih, menjadi koster saat ada misa, termasuk melaksanakan pesan khusus pastor, “Jangan lupa mencabuti rumput di halaman gereja!” Gaji? He… he… kata orang, bekerja di kebun anggur Tuhan tak pantas berbicara soal gaji. Yang jelas, diberi berapa pun selalu aku terima, lalu aku cukup-cukupkan untuk memenuhi kebutuhanku.

Pastor tampak gembira melihatku bekerja dengan penuh semangat. Dia sendiri hanya sebulan sekali mengunjungi stasi ini. Itu karena banyaknya urusan yang harus ia tangani di pusat paroki, juga di Jakarta, sebuah tempat yang dari namanya saja sudah ketahuan kalau letaknya jauh. Kalau kutanya ada apa gerangan di Jakarta, ia selalu menjawab, “Mau ketemu Bapak Uskup.” Suatu ketika aku bertanya, bukankah Bapak Uskup kita tinggal di ibu kota provinsi, bukan di Jakarta? Seketika matanya mendelik dan aku pun terdiam. Dia memang agak galak, jadi sejak itu aku lebih banyak diam, tidak pernah bertanya-tanya lagi.


Karena Engkaulah aku menanggung cela

Meskipun sudah dipakai misa bulanan, gereja kecil ini sebenarnya belum sepenuhnya jadi. Temboknya belum dicat, lantainya juga masih berupa tanah. Penyelesaian dilakukan sedikit demi sedikit, tergantung banyaknya sumbangan yang masuk. Meski situasinya masih serba terbatas, aku sudah merasa cukup senang. Rumah Tuhan ini kucintai dengan sepenuh hati, aku merawatnya seperti merawat rumahku sendiri.

Tapi ada satu hal yang membuatku gelisah. Keberadaan gereja ini sebenarnya membuat murka sejumlah pihak. Sudah sejak rencana pembangunan dulu, mereka tidak terima dan melancarkan penolakan. “Ini jelas upaya kristenisasi!” tuduh seorang yang berbakat jadi provokator. “Hati-hati, kita sedang menghadapi gerakan pemurtadan!” timpal yang lain memanaskan suasana. “Nanti kami dikasih mi instan dan dibujuk jadi Kristen!” kata seorang ibu tak mau kalah.

Aku mengeluh dalam hati, apa sih maunya orang-orang ini? Kami berdoa rosario bersama di rumah-rumah, mereka marah; kami latihan kor, katanya berisik; sekarang kami beribadah di tempat yang khusus pun mereka masih protes. Alhasil, ibadah kami senantiasa diiringi kecemasan. Desa ini terletak di pegunungan yang sejuk dan asri, tetapi aroma kebencian merebak di mana-mana!

Lebih dari yang lain, rasanya aku paling sering menjadi sasaran pelampiasan kebencian mereka. Ketika gereja dilempari batu malam-malam, tak jarang batu-batu itu mampir ke kamarku yang terletak tepat di sampingnya. Aku pikir, ini risiko pekerjaan menjadi seorang penjaga gereja. Yang jelas, tak sedikit pun aku bersalah terhadap mereka. Mereka membenci aku hanya karena aku punya keyakinan yang berbeda. Sungguh alasan yang tak masuk akal.


Aku tersesak, segeralah menjawab aku!

Entah bagaimana ceritanya, kemarahan mereka suatu ketika memuncak sampai ke ujung kepala. Mereka panas dan tak sudi lagi melihat ada gereja berdiri di desa ini. Pasti ada peran satu dua penghasut dalam hal ini. Maka terjadilah, pada hari itu, segerombolan besar orang datang berbondong-bondong mengepung gereja kami. Masing-masing menggenggam sesuatu di tangannya: batu, parang, kayu, bambu runcing, seperti zaman perang kemerdekaan saja.

Celakanya, di gereja hanya ada aku seorang diri. Isu penyerbuan memang sudah beredar kencang sejak kemarin. Umat sudah bubar, menjauh dari desa ini untuk sementara, masing-masing mencari tempat yang aman. Aku bisa saja ikut pergi. Tapi, masa rumah Tuhan kutinggalkan begitu saja? Mana tanggung jawabku? Tadi malam aku menelepon ke gereja paroki untuk minta nasihat pastor, tapi rupanya ia sedang berkunjung ke Bapak Uskupnya yang ada di Jakarta. Jadi sudahlah, aku putuskan untuk tetap bertahan. Siapa tahu, keadaan akan membaik.

Tapi keadaan justru makin buruk. Siang itu, di bawah terik matahari yang panas menyengat, massa yang beringas sudah bersiaga di sekeliling gereja, siap meruntuhkannya. Karena di situ hanya ada aku seorang, mereka segera menyeretku ke tengah-tengah kerumunan. Aku disidang, dituduh sebagai penyembah patung, penyembah Allah yang jumlahnya tiga, dan macam-macam hal lainnya. Tak lupa mereka menuding-nuding aku dengan parang dan mendorong aku ke sana-kemari. Semua berjalan begitu cepat, aku tak bisa berbuat apa-apa.

Puas menyengsarakan diriku, mereka berkata bahwa gereja ini harus dirobohkan. Aku disuruh pergi kalau mau selamat. Tapi aku bergeming tak bergerak. Kubulatkan tekadku untuk tidak melangkah pergi satu tapak pun. Aku tak rela Tuhan sendirian manakala rumah-Nya dihancurkan. Aku akan menemani-Nya.

Melihat aku tidak memedulikan perintah mereka, orang-orang itu jadi marah. Seorang yang tampaknya kepala gerombolan itu segera maju, mencengkeram kerah bajuku, dan berteriak persis di depan mukaku, “Hai, Kafir! Jangan cari mati! Darahmu itu halal untuk ditumpahkan, tahu? Pergi sana!”

Mendengar itu, emosiku langsung membara. Aku beriman kepada Tuhan dengan sepenuh hati. Aku bukan orang kafir! Jari-jari tanganku mendadak mengepal dengan sendirinya, lalu – tanpa disuruh – tinjuku melayang, menghantam muka orang itu dengan derasnya, “Jebreeeetttt…….!!!”

Aku teringat, Yesus pernah berkata, “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Tuhan, maafkan aku. Aku terlalu muda untuk memahami perintah itu. Lagi pula, semuanya terjadi begitu saja, aku tak sempat berpikir panjang. Ya, aku mungkin telah bertindak bodoh. Tapi itu belum seberapa. Yang lebih bodoh lagi, begitu orang yang kutinju itu jatuh berguling-guling dan menjerit-jerit kesakitan, aku segera meloloskan diri dari kerumunan, lalu lari masuk ke dalam gereja!

Jadi, begitulah asal mula diriku terkurung di tempat ini. Tentu saja tinjuku tadi membuat kemarahan mereka makin meluap-luap. Mereka langsung saja memburuku, berusaha mendobrak masuk. Sambil terengah-engah di balik pintu, aku berharap Tuhan menyingkirkan mereka, seperti Ia menyingkirkan pasukan Mesir yang mengejar Musa, tapi itu tidak terjadi. Aku juga berharap Tuhan membuat mata mereka buta, seperti yang dilakukan-Nya pada orang-orang yang mengepung rumah Lot, tapi itu pun tidak terjadi. Yang terjadi, orang-orang di luar sana makin lama makin kalap. Mereka melemparkan aneka jenis bebatuan dan mulai menumbuk-numbuk tembok gereja. Lalu tiba-tiba saja, aku menyadari diriku sudah dikepung api…


Penutup: Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku

Bumi diliput senja, matahari mulai terbenam. Gereja yang tadinya berdiri tegak kini telah menjadi timbunan puing. Tidak satu batu pun yang dibiarkan terletak di atas batu yang lain. Semuanya telah diruntuhkan, rata dengan tanah.

Amuk massa telah berakhir. Orang-orang itu telah kembali ke rumahnya masing-masing dengan rasa puas karena hasratnya telah terpenuhi. Umat yang tercerai-berai belum berani datang berkunjung, mereka menunggu sampai situasi benar-benar aman. Pastor yang berada di Jakarta sangat terkejut mendengar tragedi itu. Ia ingin segera pulang, namun kehabisan tiket pesawat. Sunyi. Yang tersisa sore itu hanyalah kepalan asap dan kesunyian yang mencekam.

Aku memandangi diriku yang tertelungkup ditimpa pintu gereja. Tubuhku sekarang hitam legam seperti arang, hangus dibakar api. Mati dengan cara demikian pastinya tidak menjadi cita-cita banyak orang, termasuk aku. Tapi, apa boleh buat? Suatu ungkapan dari kitab Mazmur terlintas dalam ingatanku, “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku.” Itulah yang terjadi pada diriku. Aku mencintai rumah Tuhan, dan cinta itu membuatku hangus, benar-benar hangus.

Kemudian aku menengok ke atas, menanti-nanti malaikat Tuhan datang menjemputku. Apakah aku akan dibawanya ke surga? Ataukah tinjuku tadi akan mengantarku ke neraka? Atau mungkin aku akan dibawa dulu ke api penyucian untuk dimurnikan? Hmmm, kita lihat saja nanti…***


Kepustakaan

Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.

Tidak ada komentar: