Selasa, Agustus 10, 2010

LATAR BELAKANG PAULUS
Alfons Jehadut

Paulus adalah salah seorang tokoh penting dalam Perjanjian Baru dan kehidupan kristiani. Pengaruhnya tak terhitung sehingga ada yang menyebutnya sebagai pendiri kekristenan yang kedua.1 Sebutan itu mungkin terlalu berlebihan sebab mengabaikan dan merendahkan peran para rasul yang lain.2 Namun, tidaklah diragukan bahwa Paulus memiliki pengaruh dan peran yang sangat besar dalam membangun dan menumbuhkan iman jemaat kristiani.

Meski diakui sebagai salah seorang figur penting, namun kita tetap tidak mudah mengenal latar belakangnya. Paulus sendiri hanya sedikit memberi kesaksian tentang siapa dirinya. Kesaksian itu tersebar dalam surat-suratnya dan Kisah Para Rasul. Bagaimana kita harus merangkai kesaksian yang tersebar-sebar sehingga bisa mendapat gambaran latar belakang kehidupan Paulus? Kita pertama-tama menjadikan surat-suratnya sendiri sebagai sumber utama dan kalau surat-suratnya tidak menyediakan kesaksian yang dibutuhkan, barulah kita mempertimbangkan kesaksian Kisah Para Rasul sebagai sumber lain yang dapat diandalkan untuk melengkapinya.3

Paulus seorang Yahudi

Dalam surat-suratnya sendiri, Paulus beberapa kali menyebutkan hal-hal seputar latar belakang keyahudiannya seperti Flp. 3:4-6, Gal. 1:13-17; 2 Kor. 11:22 and Rom. 11:1. Latar belakang keyahudian itu ditekankan juga dalam Kisah Para Rasul khususnya dalam dua pidatonya di sekitar halaman bait Allah di depan orang Yahudi dan raja Agripa (Kis. 22:3-5; 26:4-5).

Dari beberapa perikop yang menekankan latar belakang keyahudian Paulus, Flp. 3:4-6 dianggap sebagai sebuah perikop yang memuat kesaksian yang lebih lengkap. Dalam perikop ini disebutkan beberapa unsur keyahudian yang sangat penting, yakni “disunat pada hari ke delapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.” Unsur-unsur penting inilah yang akan menjadi fokus perhatian kita.

Unsur keyahudian yang pertama-tama diungkapkan oleh Paulus adalah disunat pada hari yang ke delapan (Flp. 3:5). Sesuai dengan ketentuan hukum Taurat, Paulus disunat ketika berumur delapan hari (Kej. 17:12; Im. 12:3). Ia mengikuti ketetapan perjanjian yang dilakukan oleh Allah dan Abraham yang berbunyi, “Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun: baik yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang dari salah seorang asing, tetapi tidak termasuk keturunanmu” (Kej 17:12). Dengan melaksanakan ketetapan perjanjian sunat, Paulus masuk ke dalam persekutuan umat perjanjian.

Asal-usul keyahudian Paulus diungkapkan secara lebih lanjut dalam pernyataan, “dari bangsa Israel” (Flp. 3:5; 2Kor. 11:22; Rom. 11:1). Kata, “Israel” terkait erat dengan gambaran diri sebagai umat pilihan Allah. Dengan menyebut diri sebagai seorang Israel, Paulus memahami dirinya sebagai seorang yang dipilih dan dibenarkan di hadapan Allah karena berkat perjanjian yang diadakan oleh Allah dengan Abraham dan seluruh keturunannya (Kej. 17:7; 22:18).

Gambaran diri Paulus sebagai seorang yang berasal dari suku Benyamin (Flp. 3:5; Rom. 11:1) menegaskan asal usul keyahudiannya. Benyamin adalah anak Yakub yang paling kecil, suku yang paling kecil di antara dua belas suku Israel. Paulus mungkin menyinggung garis keturunannya ini ketika menyebut dirinya sebagai orang yang terakhir dan paling hina dari semua rasul yang menerima penampakan Tuhan yang bangkit (1 Kor. 15:8-9).4

Asal-usul keyahudian Paulus dipertegas lagi dalam gambaran dirinya sebagai “orang Ibrani asli” (Flp. 3:5). Gambaran diri ini dianggap tumpang tindih dengan gambaran sebagai seorang yang berasal dari bangsa Israel. Akan tetapi, kedua gambaran itu mungkin dimaksudkan untuk memperkuat satu sama lain. Dengan menggambarkan diri sebagai seorang Ibrani, Paulus menegaskan identitas dirinya sebagai seorang yang mempertahankan budaya Yahudi di tengah godaan budaya Yunani.5 Kebudayaan Yahudi yang ingin dipertahakannya tidak hanya berkaitan dengan aspek religiusnya tetapi juga bahasanya. Paulus memakai bahasa ibrani dan karena itu berbeda dari orang Yahudi diaspora yang memakai bahasa Yunani.


Seorang Yahudi dari kelompok Farisi

Asal-usul keyahudian Paulus terungkap juga dalam gambaran dirinya sebagai seorang farisi (Flp. 3:5; bdk. Kis. 23:6; 26:5). Kata “farisi” berasal dari kata Ibrani perush yang berarti “yang dipisahkan” dari kelompok yang lain. Orang farisi memisahkan diri dari semua bentuk etika dan ritus yang dianggap haram. Pemisahan itu tidak hanya berkaitan dengan benda dan hewan yang dianggap haram tetapi juga dengan orang yang dianggap tidak bersih, seperti perempuan yang melahirkan, yang menderita penyakit kusta, yang cacat (Im. 12-14), dan yang telah meninggal (Bil. 19). Mereka juga memisahkan diri dari kelompok lain yang tidak menjaga ketaatan pada hukum Taurat secara ketat. Ketaatan inilah yang menyebabkan mereka terpisah dari kelompok Yahudi yang lain dan yang kadang-kadang memicu mereka untuk bertindak secara kejam (Gal. 1:13-14; Flp. 3:4-6; bdk. Rom. 10:2-3).

Pemisahan diri orang farisi dari kelompok Yahudi lainnya dimaksudkan untuk menjaga kesucian diri mereka. Dalam menjaga kesucian diri, mereka menjadikan YHWH sebagai sumber dan model kesucian. Aspek kesucian sangat ditekanan pada zaman Paulus sehingga tidak seorang Israel pun yang tidak mengenal perintah Tuhan kepada Musa, “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus” (Im. 19:2; 20:7-8, 26; 21:6, 8). Perintah inilah yang mendorong mereka untuk memisahkan diri dari ibadat berhala dan pola laku duniawi. Mereka menghormati dan tidak menodai tempat kudus-Nya, menghormati dan tidak menajiskan nama-Nya yang kudus, dan menyembah-Nya sebagai satu-satunya yang kudus dan tidak bercela.

Ciri lain yang membedakan orang farisi dari kelompok Yahudi lainnya adalah posisi mereka terhadap kitab Taurat. Di samping kitab Taurat, mereka menerima kitab para nabi dan tulisan ahli kitab. Mereka bahkan juga menerima tradisi lisan. Kewibawaan tradisi lisan dianggap sama dengan yang tertulis karena tradisi lisanlah yang memungkinkan mereka menafsirkan dan menyesuaikan kata-kata kitab Taurat dengan situasi dan lingkungan hidup yang baru. Tradisi lisan dilihat sebagai penjelasan lanjutan dari hukum yang tertulis. Mereka juga berpegang pada keyakinan lain yang tidak tertulis dalam hukum Taurat seperti kedatangan Mesias, kebangkitan badan, keberadaan dan peran malaikat, dan persekutuan seluruh umat Israel pada akhir zaman (Kis. 23:8).

Sebagai seorang Yahudi, Paulus mendapat pendidikan di Yerusalem dari seorang guru yang sangat terkenal pada zamannya, yakni Gamaliel (Kis 22:3). Gamaliel terkenal dengan nasihat bijaknya ketika Petrus dan Yohanes diseret ke hadapan Mahkamah Agama karena mengajar dalam nama Yesus (Kis 5:27-28). Pada saat Mahkamah Agama memutuskan untuk menghukum mereka sampai mati, Gamaliel, salah seorang anggota Mahkamah Agama, melawan keputusan rekan-rekannya. Ia mengatakan biarkanlah para rasul berbicara dan mengajarkan dalam nama Yesus sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, mereka tidak akan dapat dilenyapkan (Kis 5:34-39).


Seorang penganiaya jemaat

Gambaran diri Paulus sebagai seorang farisi terlihat jelas dalam kegiatannya, “tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat” (Flp. 3:6). Kegiatan penganiayaan itu disebutkan beberapa kali di dalam suratnya (Flp. 3:6; Gal. 1:13; 1Kor 15:9). Namun, keterangan lebih terperinci mengenai bentuk penganiayaan ini tidak diberikan.


Gambaran seputar penganiayaan

Surat-surat Paulus sendiri tidak melukiskan secara rinci bagaimana bentuk penganiayaannya. Gal 1:13, misalnya, hanya memberi keterangan bahwa Paulus menganiaya jemaat Allah dan berusaha membinasakannya dengan tanpa batas. Kata “menganiaya” (diw,kein) ditemukan juga dalam sapaan Yesus kepada Paulus di jalan ke Damsyik (Kis 9:4, 5; 22:7, 8; 26:14, 15). Kata itu memperlihatkan adanya kekerasan fisik. Kekerasan fisik itu diperlihatkan lagi dalam kata “membinasakan” (Yunani: porqein). Kata ini akan diucapkan lagi oleh orang Yahudi di Damsyik yang terheran-heran mendengarkan Paulus memberitakan Yesus sebagai Anak Allah di rumah-rumah ibadat (Kis. 9:21).

Berbeda dengan surat-surat, Kisah Para Rasul melukiskan dengan sangat hidup bagaimana Paulus menganiaya dan membinasakan jemaat kristiani. Dilukiskan bahwa “ia memasuki rumah demi rumah dan menyeret laki-laki dan perempuan ke luar dan menyerahkan mereka untuk dimasukkan ke dalam penjara” (Kis. 8:3). Ia mendukung hukuman mati bagi jemaat kristiani (Kis. 22:4; 26:10) dan memaksa mereka untuk menyangkal imannya (Kis. 26:11). Tindakan penganiayaan ini dikisahkan kembali ketika ia memberi kesaksian kepada orang banyak di Yerusalem: “Aku telah menganiaya pengikut-pengikut Jalan Tuhan sampai mereka mati” (Kis. 22:4)

Demi memuluskan aksinya, Paulus meminta surat kuasa dari Imam besar (Kis. 9:2). Surat itu memungkinkannya untuk bertindak secara kejam terhadap orang Yahudi yang beralih menjadi pengikut jalan Tuhan baik yang tinggal di Yerusalem maupun di kota-kota asing (Kis. 26:11). Seberapa besar pengaruh surat kuasa imam besar tersebut? Legasse berpendapat bahwa sulit dijelaskan bahwa Imam Besar memiliki wewenang untuk memberi izin penangkapan terhadap para pengikut jalan Tuhan di Damsyik dan membawa mereka pulang ke Yerusalem karena hak dan kuasa Imam sebenarnya terbatas pada wilayah Yudea walaupun 1Mak. 15:16-21 mengindikasikan bahwa penguasa Roma bisa memberi kuasa kepada imam besar Yahudi untuk mengejar buronan dengan surat ekstradisi.6 Surat kuasa itu mungkin tidak banyak efeknya untuk menangkap para pengikut jalan Tuhan yang tinggal di diaspora. Maka, surat kuasa itu barangkali bukan sebuah fakta sejarah tetapi sebuah gagasan teologi Lukas untuk menunjukkan bahwa tindakan penganiayaan dan pembinasaan itu sah secara hukum.7

Siapakah yang menjadi target utama penganiayaan Paulus? Pertanyaan ini dijawab secara berbeda-beda oleh ahli tafsir. Menurut Hengel, penganiayaan itu tidak diarahkan kepada semua pengikut jalan Tuhan tetapi hanya kepada yang berlatar belakang Yunani karena pandangan teologis mereka yang menentang bait Allah secara terbuka seperti yang dilakukan oleh Stefanus (Kis. 6:8-8:1a). 8 Stefanus menolak bait Allah sebagai tempat sentral kehadiran Allah sebab sejarah bangsa Israel sebelum pembangunan Bait Allah di Yerusalem memperlihatkan dengan jelas kehadiran Allah yang tidak terbatas pada satu tempat dan bangunan tertentu. Pandangan inilah yang membangkitkan permusuhan dan penganiayaan yang terbuka terhadap orang kristiani yang tinggal di luar Yerusalem.9
Penganiayaan yang semula diarahkan hanya bagi para pengikut jalan Tuhan yang berlatar belakang Yunani yang tinggal di Yerusalem kemudian diperluas. Kisah 8:1 memberi isyarat adanya suatu penganiayaan yang lebih menyeluruh setelah kematian Stefanus, “Pada waktu itu mulailah penganiayaan yang hebat terhadap jemaat di Yerusalem. Mereka semua, kecuali rasul-rasul, tersebar ke seluruh daerah Yudea dan Samaria.” Para rasul selanjutnya tidak lagi dikecualikan dari penganiayaan (Kis. 9: 26-30). Pemimpin penganiayaan itu tidak lain daripada Paulus yang menyaksikan dan menyetujui Stefanus dihukum mati dengan cara dilempari batu sampai mati.


Motivasi yang mendorong penganiayaan

Apa motivasi yang mendorong Paulus melakukan tindakan penganiayaan secara keji bagi para pengikut jalan Tuhan? Schnabel berpendapat bahwa keyakinan dan pewartaan tentang Yesus yang tersalib sebagai Mesias yang telah dijanjikan kepada orang Israel dianggap sebagai suatu penghinaan dan kesalahan fatal bagi Paulus.10 Bagi Paulus, seperti juga bagi setiap orang Yahudi yang lain, keyakinan dan pewartaan tentang Yesus yang tersalib sebagai Mesias yang tersalib bukan hanya sebuah penghinaan bagi harapan mesanik secara politis dan nasional orang Yahudi melainkan juga dianggap keyakinan dan pewartaan yang tidak masuk akal karena Mesias itu seorang yang berkenan bagi Allah sementara orang tergantung pada salib itu seorang yang terkutuk oleh Allah (bdk. Ul. 21:23).11
Penganiayaan Paulus terhadap para pengikut jalan Tuhan harus dipahami dari perspektif “seorang yang giat bekerja bagi Allah” (Kis. 22:3). Semangat religius ini terungkap jelas dalam komitmennya untuk melakukan hukum Taurat. Dalam surat-suratnya, Paulus menunjukkan bukti semangatnya yang berkobar-kobar untuk mengikuti tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhurnya (1Kor. 15:9; 1Tim. 1:13). Dalam Kis. 22:3-4 dan 23:6 Paulus mengklaim bahwa dirinya sebagai seorang penganiaya yang giat bekerja bagi Allah dan yang berkomitmen melakukan seluruh hukum Taurat yang diberikan kepada bapa leluhurnya. Semangat bekerja untuk Allah dan hukum Taurat-Nya itu dimaksudkan untuk memulihkan kemurniaan Israel, memulihkan iman dan Bait Allah.

Sebagai seorang yang memiliki semangat yang berkobar-kobar untuk membela hukum Taurat dan tradisi leluhurnya, Paulus mungkin memiliki keyakinan bahwa penganiayaan terhadap para pengikut jalan Tuhan itu sesuai dengan kehendak Allah. Keyakinan semacam ini memiliki akar biblis yang kuat. Dalam tradisi Yahudi, ada beberapa contoh klasik seperti Simon dan Lewi yang tidak hanya membela kehormatan saudari mereka tetapi juga membela integritas Israel sebagai bangsa pilihan Allah melawan orang-orang asing dan kaum kafir (Ydt. 9:2-4); Pinehas, cucu laki-laki Harun, yang tergerak hatinya untuk menikam seorang Israel yang berhubungan dengan seorang perempuan Midian karena semangatnya untuk menghayati hukum Taurat (Bil. 25:11-13); Elia yang karena semangatnya untuk melaksanakan hukum Taurat melawan sinkretisme yang dilindungi oleh Ahab dan Izebel (1Raj. 18; Sir 48:2; 1Mak. 2:58). Semangat untuk melaksanakan hukum Taurat inilah yang sering muncul dalam sejarah pertempuran Makabe melawan upaya orang-orang Siria menghancurkan etnis dan identitas religius Israel (1Mak. 2:19-27; 50; 58; 2 Mak. 4:2).


Paulus seorang Yahudi diaspora

Untuk memahami kata-kata Paulus secara akurat kita harus mempertimbangkan juga warisan kulturalnya, bukan hanya asal-usul keyahudiannya. Secara kultural, Paulus bukanlah seorang Yahudi Palestina tetapi seorang Yahudi diaspora. Kata diaspora biasanya dipakai untuk menunjukkan penyebaran orang Yahudi di antara bangsa yang bukan Yahudi. Mengapa orang Yahudi tinggal di luar tanah Palestina? Alasannya berbeda-beda. Ada yang terpaksa pindah dari tanah kelahiran karena tahanan perang tetapi ada juga yang keluar dari daerah kelahirannya secara suka rela karena alasan ekonomi dan politik seperti kepadatan penduduk, ketidaksuburan tanah, dan persoalan internal lainnya di Palestina. Kendati pindah dari Palestina, namun mereka tetap mempertahankan simbol-simbol religius mereka. Banyak orang yang Yahudi diaspora yang pulang ke Yerusalem untuk merayakan perayaan religius mereka sampai pada waktu bait Allah dihancurkan oleh orang Romawi pada tahun 70 M. Hal ini digambarkan secara jelas dalam Kis. 2:9-11. Banyak orang Yahudi diaspora yang tetap mempertahankan identitas religius mereka dan menolak untuk berasimilasi dengan budaya Yunani.

Latar belakang diaspora Paulus itu jelas terungkap dalam surat-suratnya yang mengutip Perjanjian Lama terjemahan Yunani, Septuaginta (LXX).12 Hal ini memperlihatkan pengaruh bahasa dan budaya Yunani yang besar. Pengaruh besar itu terlihat baik dalam pola pikirnya maupun dalam misinya kepada orang yang bukan Yahudi.13 Melalui bahasa dan budaya Yunani, Paulus mampu mengatasi persoalan dan kesulitan dalam mewartakan injil keluar dari linkungan Yahudi Palestina ke lingkungan kekaisaran Romawi. Pengalaman Paulus hidup di lingkungan kekaisaran Romawi dan perjumpaannya dengan orang Yahudi diaspora dan yang bukan Yahudi memberi kontribusi bagi perjalanan rohaninya sebagai rasul bangsa bukan Yahudi.


Seorang warga Tarsus

Surat-surat Paulus tidak pernah berbicara tentang kota kelahirannya. Kisah yang bersifat otobiografis dalam Gal. 1-2 mencatat bahwa Paulus pertama-tama menyebut Damsyik dan kemudian Arabia. Paulus lalu berbicara tentang Yerusalem, Syria, dan Kilikia dan kembali lagi ke Yerusalem dalam kaitannya dengan konsili apostolik. Tarsus sama sekali tidak disebut. Hal ini menunjukkan bahwa kesaksian surat-surat tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk mengetahui asal-usul Paulus sebagai warga Tarsus, ibu kota provinsi Kilikia.

Darimanakah kita mendapatkan informasi bahwa Paulus berasal dari Tarsus? Kisah Para Rasul menginformasikan bahwa Paulus berasal dari Tarsus, ibu kota provinsi Kilikia (Kis 9:11, 30; 11:25; 21:39; 22:3) tetapi dibesarkan di Yerusalem (Kis 22:3). Istilah “dibesarkan” (avnateqramme,noj) memunculkan suatu pertanyaan, “apakah tahun-tahun awal hidup Paulus dihabiskan di Tarsus ataukah di Yerusalem?” Pertanyaan ini menarik perhatian banyak ahli tafsir karena terkait erat dengan dunia pemikiran Paulus. Apakah Paulus lebih banyak dipengaruhi oleh alam pemikiran Yunani ataukah Yahudi?

Istilah “dibesarkan”, menurut Fitzmyer, mengacu pada masa kanak-kanak Paulus dan bukan pada masa-masa pendidikan formalnya.14 Paulus dibesarkan di Yerusalem sejak fase-fase awal kehidupannya dan dia tidak menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di Tarsus. Ia datang ke Yerusalem ketika masih anak-anak. Kis 23:16 menginformasikan bahwa Paulus memiliki seorang saudara yang tinggal di Yerusalem. Meski pindah sejak fase-fase awal hidupnya, Paulus kiranya tetap mempertahankan tali persaudaraan dengan sanak keluarganya (Kis. 9:30; 11:25; Gal. 1:21-2:1). 15

Carson, pada sisi lain, memahami bahwa istilah “dibesarkan” terkait erat dengan ungkapan “dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel” yang mengacu pada pendidikan rabinik Paulus.16 Dalam pengertian ini, Paulus menghabiskan fase-fase awal kehidupannya di Tarus dan kemudian pindah ke Yerusalem ketika melanjutkan sekolahnya. Paulus menghabiskan masa kanak-kanak di Tarsus daripada di Yerusalem. Maka, ungkapan “dibesarkan di Yerusalem” mungkin perlu dipahami sebagai sebuah teologi Lukas yang ingin menggambarkan kesinambungan Paulus dengan Yudaisme.17

Orang Yahudi yang tersebar di diaspora tidak kebal terhadap pengaruh bahasa dan budaya Yunani. Mereka sama sekali tidak terisolasi dari ruang bahasa dan budaya tempat tinggalnya. Mereka menyampaikan pesan pewartaan melalui bahasa dan kebudayaan lingkungan hidupnya. Pola pikir mereka sangat dipengaruhi oleh pola pikir Yunani. Mereka mengunakan kitab suci terjemahan Yunani. Paulus sebagai seorang Yahudi diaspora tidak terlepas dari pengaruh budaya Yunani. Perjumpaannya dengan orang Yahudi diaspora dan orang bukan Yahudi di Tarsus memiliki pengaruh penting bagi panggilannya sebagai rasul bangsa yang bukan Yahudi dan bagi pandangannya tentang tentang kekristenan.


Seorang warga negara Roma

Surat-surat Paulus sendiri tidak pernah berbicara tentang statusnya sebagai warga Roma. Kisah Para Rasullah yang memberi informasi tentang status Paulus sebagai warga negara Roma ketika ia ditangkap dan dipukul karena dituduh sebagai pemberontak bangsa Israel dan hukum Taurat (Kis. 21:27-36). Penangkapan yang disertai tindakan anarkis itu mendorong Paulus untuk mengajukan keberatan kepada perwira Roma, “Bolehkah kamu menyesah seorang warga negara Roma, apalagi tanpa diadili?” (Kis. 22:25). Keberatan ini lalu disampaikan kepada kepala pasukan yang kemudian mengingatkan sidang pengadilan dengan berkata, “Apakah yang hendak engkau perbuat? Orang itu warga negara Roma.” Atas peringatan itu sidang pengadilan meminta klarifikasi langsung dari Paulus, “Katakanlah, benarkah engkau warga negara Roma?” (Kis 22:27). Paulus menjawab bahwa dirinya benar-benar warga negara Roma dan status itu diperoleh karena kelahirannya (Kis 22:28).

Pengkauan Paulus tentang statusnya sebagai warga negara Roma karena kelahiran telah memunculkan banyak diskusi. Jika Paulus berstatus warga Roma karena kelahiran, bagaimana ayahnya mendapatkan status tersebut dan bagaimana Paulus sendiri membuktikannya? Polhill berasumsi bahwa keluarga Paulus mendapat status sebagai warga Roma melalui pelayanan yang mereka berikan untuk kegiatan militer karena mereka berprofesi sebagai pembuat tenda.18 Sebagai pembuat tenda, keluarga Paulus berurusan dengan tentara-tentara Roma yang sering memakai tenda-tenda untuk kepentingan militer mereka. Mungkin juga status itu diperoleh karena ayahnya atau kakeknya telah dibebaskan dari perbudakan oleh majikannya.19 Inilah cara yang paling umum pada waktu itu untuk mendapat status warga Roma.

Kebenaran historis klaim Paulus sebagai warga negara Roma sulit dibuktikan. Roetzel berkeratan dengan klaim tersebut karena memberi status warga negara kepada orang Yahudi pada zaman itu sesuatu yang sangat jarang. Status itu biasanya hanya diberikan kepada orang kaya, orang yang pengaruh, dan orang yang telah memberikan pelayanan yang luar biasa bagi Roma.20 Keberatan itu didukung oleh Legasse yang berpendapat bahwa ketaatan Paulus dan keluarganya pada hukum Taurat tidak dapat didamaikan dengan kewajiban warga negara Roma untuk berpartisipasi dalam ibadat pemujaan kepada kaisar dan memberikan persembahkan kepada dewa-dewi Roma.21 Oleh karena itu, status Paulus sebagai warga Roma mungkin lebih baik dilihat sebagai suatu gagasan teologis Lukas yang mau menunjukkan bahwa Paulus dan ajarannya tidak bersalah; ia tidak sedang melakukan kegiatan untuk mengulingkan kekuasaan yang ada.
1 W. Wrede, Paul (London: Philip Green, 1970), 180.
2 D. A. Carson, An Introduction to the New Testament (England: Apollos 2005), 354.
3 Calvin J. Roetzel, Paul: the Man and the Myth (Columbia: University of South Carolina Press, 1998), 11-12.
4 Klaus Haacker, ‘Paul’s life’ dalam James D. G. Dunn, The Cambridge Companion to St Paul (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 21.
5 John McRay, Paul: His Life and Teaching (Grand Rapids: Baker Academic, 2003), 28.
6 Simon Legasse, Paul’s Pre-Christian Career According to Acts, in Richard Bauckham (ed.), The Book of Acts in its First Century Setting, pp. 388-389.
7 Joseph A. Fitzmyer, The Acts of the Apostles: A New Translation with introduction and Commentary (New York : Doubleday, 1998), 423.
8 Martin Hengel, Earliest Christianity: Containing Acts and the History of Earliest Christianity and Property and Riches in the Early Church (London: SCM Press, 1979), 75.
9 N. T. Wright, Jesus and the Victory of God (Minneapolis: Fortress Press, 1996), pp. 405-427.
10 Eckhard J. Schnabel, Early Christian Mission: Paul and the Early Church, Vol. 2. Downers Grove: InterVarsity Press, 2004), 928.
11 Ronald Y. K. Fung, The Epistle to the Galatians (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1998),59.
12 Terjemahan kitab Taurat dalam bahasa Yunani dilakukan pada pertengahan abad ke-3 SM. Terjemahan itu diberi nama Septuaginta (LXX). Nama itu berasal dari sebuah legenda yang mengisahkan bahwa ada tujuh puluh penatua yang masing-masing melakukan terjemahan secara sendiri-sendiri. Meski dikerjakan sendiri-sendiri, hasil terjemahan itu identik satu sama lain. Makna dan nilai terjemahan itu sangat penting sebab hasil terjemahan itulah yang memungkinkan misi pewartaan kepada orang Yahudi diaspora dan orang bukan Yahudi yang menggunakan bahasa Yunani sebagai bahasa percakapan.
13 Joseph A. Fitzmyer, According to Paul: Studies in the Theology of the Apostle, 7-8.
14 Fitzmyer, The Acts of the Apostles: A New Translation with introduction and Commentary, 704.
15 I. Howard Marshall, The Acts of the Apostles: Tyndale New Testament Commentaries (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1994), 353-354.
16 Carson, An Introduction to the New Testament, 356.
17 Hengel, The Pre-Christian Paul, 21-25.
18 John B. Polhill, Paul and His Letters (Nashville: Broadman and Holman, 1999), 16.
19 Hengel, The Pre-Christian Paul, 6-15.
20 Calvin J. Roetzel, Paul: the Man and the Myth, 19-22; Udo Schnelle, Apostle Paul: His Life and Theology, 60-62.
21 Simon Legasse, Paul’s Pre-Christian Career According to Acts, in Richard Bauckham (ed.), The Book of Acts in Its Palestinian Setting, 371.

Tidak ada komentar: