Senin, Februari 01, 2010

Senandung Mazmur

Mazmur 137

MEMECAHKAN ANAK-ANAK PADA BUKIT BATU?1
Jarot Hadianto

“Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu!” (Mzm. 137:9)

Kelompok Boney M dengan penuh semangat menyanyikan lagu By the River of Babylon. Beberapa dekade lalu, lagu berirama disko ini begitu populer. Sampai sekarang pun, orang masih saja gemar mendengarnya sambil menggoyang-goyangkan kepala dan bertepuk tangan. Dalam sebuah acara lagu-lagu kenangan di televisi, bapak ibu berusia lanjut bahkan tampak mengikuti iramanya sambil berdansa! Mungkin banyak yang lupa bahwa syair By the River of Babylon sebenarnya diambil lurus-lurus dari Mzm. 137. Kiranya juga tidak banyak yang menyadari bahwa syair Mzm. 137 itu pahit dan penuh dengan kesedihan. Bila dijadikan lagu, tentu saja tidak cocok jika dipilih irama yang gembira sehingga para pendengar terdorong untuk bergoyang cha-cha-cha...

Betapa pahitnya isi Mzm. 137 kelihatan nyata dalam bunyi tiga ayat terakhir, yaitu ay. 7-9, yang begitu kejam. Penulis lagu By the River of Babylon tidak mengambil tiga ayat tersebut. Alkitab memuatnya lengkap. Namun, dalam doa-doa yang memakai Mazmur (misalnya Ibadat Harian) dan dalam Mazmur Tanggapan yang Anda dengar waktu mengikuti perayaan Ekaristi, jangan harap ay. 7-9 ini dijumpai. Bagian tersebut telah “disensor” sehingga mazmur yang sangat terkenal ini akan senantiasa disudahi dengan ay. 6. Mengingat isi ay. 7-9 yang demikian kejam dan penuh dengan nafsu balas dendam, pemotongan ini dirasa perlu dan tampaknya juga tidak ada yang memprotesnya. Tepatnya, tiga ayat itu berbunyi demikian:

Ingatlah, ya TUHAN, kepada bani Edom, yang pada hari pemusnahan Yerusalem mengatakan: “Runtuhkan, runtuhkan sampai ke dasarnya!”
Hai putri Babel, yang suka melakukan kekerasan, berbahagialah orang yang membalas kepadamu perbuatan-perbuatan yang kaulakukan kepada kami!
Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu!


Lihatlah kalimat terakhir yang mampu membuat bulu kuduk kita berdiri karena ngeri. Para pembaca Kitab Suci pasti lalu bertanya-tanya: Bagaimana mungkin gagasan sadis seperti itu dapat termuat dalam Alkitab? Bagaimana mungkin perbuatan “memecahkan anak-anak pada bukit batu” mendapat pujian “berbahagialah”? Berkaitan dengan nilai religius kitab Mazmur, bagaimana mungkin ayat-ayat seperti ini dapat membuat manusia semakin dekat relasinya dengan Allah?

Ayat-ayat bermasalah tersebut adalah baris terakhir dari sebuah puisi yang singkat, namun isinya sangat kuat, yang sekarang disebut sebagai Mzm. 137 tadi. Penggubah Mzm. 137 mengawali ungkapan hatinya dengan syair indah yang dikenal oleh banyak orang:

Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion.
Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita...


Dari situ terlihat bahwa mazmur ini menunjuk pada waktu, tempat, dan kejadian tertentu, yaitu runtuhnya Yerusalem di tangan bangsa Babel dan sekutunya, bangsa Edom, pada tahun 586 SM. Serbuan besar-besaran Nebukadnezar, raja Babel (2Raj. 25:1-21), telah menghancurkan segala-galanya. Tempat yang paling dibanggakan bangsa Yehuda, yang dianggap paling sakral, yaitu Bait Allah, juga mereka buat jadi timbunan puing belaka. Umat kekasih Allah sekarang harus tinggal di tanah asing. Mereka menjadi bangsa yang ditaklukkan, dan sebagai akibatnya harus rela dibuang ke Babel. Maka, mazmur ini sebenarnya adalah jeritan hati orang-orang yang terbuang. Pengalaman dihina orang-orang Babel terasa sangat segar; pengkhianatan orang-orang Edom itu, bangsa tetangga yang berkerabat dengan mereka (Edom adalah bangsa keturunan Esau, saudara Yakub), seperti luka yang belum kering.

Bagaikan menabur garam di atas luka, hati orang-orang Yehuda semakin perih manakala orang Babel menyuruh mereka menyanyikan “nyanyian dari Sion”. Bagaimana mungkin puji-pujian akan kehebatan Allah dan kejayaan Kota Yerusalem dilantunkan padahal mereka sudah kalah? Masakan mereka bernyanyi: “Kota Allah, kediaman Yang Mahatinggi, disukakan oleh aliran-aliran sebuah sungai” (Mzm. 46:5), sementara Yerusalem dalam keadaan hancur lebur? Orang Babel tentu bermaksud mengejek mereka. Apalagi, mazmur-mazmur itu adalah lagu kudus yang dinyanyikan dalam kesempatan ibadat. Sekarang, orang Babel membuatnya menjadi lagu hiburan belaka! Penggubah Mzm. 137 yang kesal hati itu agaknya adalah seorang musisi Bait Allah yang ikut dibuang ke Babel. Dia dan rekan-rekan sejawatnya tepat sekali jika dijadikan sasaran lelucon sadis seperti itu.

Mengangkat tema kenangan akan Yerusalem, sang musisi mengubah Mzm. 137 dengan penuh rasa pahit dan luka yang mendalam. Tidak berhenti di situ, ia juga meluapkan hasratnya akan balas dendam. Ia terkenang pada musuh yang dengan kejam menjarah Yerusalem. Dalam penaklukan kerajaan Yehuda, bangsa Babel plus orang Edom melakukan kekejaman yang waktu itu umum dilakukan oleh pemenang perang. Mereka merampas harta benda, juga membantai penduduk Yerusalem tanpa pandang bulu (bdk. 2Raj. 8:12; Yes. 13:16). Sasaran utama pembantaian adalah anak laki-laki karena merekalah yang “berpotensi” melakukan balas dendam di waktu mendatang. Mengenang hal itu, sang penggubah Mzm. 137 seakan berseru, “Kiranya Allah mengingat kekejaman yang mereka lakukan itu!”

Meski ia dibakar dendam, patut diingat bahwa seruannya itu didasari oleh prinsip keadilan yang diyakini waktu itu, yaitu pembalasan yang setimpal. Selain itu, ia berpendapat bahwa hanya Allah saja yang dapat membalaskan dendam itu. Karenanya, pemazmur berseru kepada Allah agar sungguh terjamin bahwa mereka yang dulu melakukan tindakan kejam itu (orang Babel dan Edom) akan ganti mengalaminya di masa depan.

Mempertimbangkan hal itu, para pembaca Kitab Suci, khususnya para pencinta mazmur, tidak perlu gerah menjumpai kalimat keras seperti “berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu” dalam Alkitab. Tradisi Israel kuno memang tidak pernah segan mengungkapkan perasaan hati yang meluap-luap dalam doa-doa mereka, sekalipun itu adalah rasa marah dan dendam. Bandingkan dengan kenekatan mereka memuat kisah perselingkuhan Daud-Batsyeba dalam Alkitab (2Sam. 11:1-27). Begitulah sikap yang disebut jujur dan apa adanya. Maka, kita perlu menerima seruan penutup Mzm. 137 itu sebagai ungkapan jujur perasaan seorang manusia yang berada dalam keputusasaan dan situasi yang menyakitkan. Pemazmur tidak menganjurkan agar Anda memiliki hati penuh dendam seperti itu. Tetapi, seandainya Anda berada dalam situasi seperti yang dialaminya, ungkapkan saja isi hati Anda apa adanya. Justru dengan begitu, Anda akan beroleh kesembuhan. Lagi pula, seruan itu ditujukan kepada Allah. Itu berarti pemazmur tidak berniat melakukan balas dendam dengan tangannya sendiri. Ia hanya ingin meluapkan amarahnya dan tidak berniat melukai orang lain.

Dapat disimpulkan bahwa Mzm. 137:7-9 memang suatu ungkapan yang sama sekali tidak berbelas kasihan. Orang Kristen yang biasa mendengar kata “berbahagialah” dengan nada yang menyejukkan dalam khotbah Yesus di bukit (Mat. 5:1-12; Luk. 6:20-23) kemungkinan besar dibuat tidak nyaman olehnya. Meskipun demikian, inilah sebuah pernyataan iman yang konkret dan nyata. Seruan kejam sang pemazmur sekaligus menunjukkan bahwa dalam setiap situasi dan dalam berbagai cara, seorang manusia tetap dapat menghadap Allah. Di hadapan-Nya, doa dan jeritan hati kita dihargai dan ditanggapi dengan semestinya. Maka, janganlah menyempitkan Mzm. 137 dengan memandangnya sebagai suatu hasrat pribadi untuk balas dendam dengan cara yang biadab. Meskipun dihapus dari daftar bacaan rohani dan tidak akan pernah diucapkan dalam doa-doa orang Kristen, makna terdalam Mzm. 137:7-9 tetap perlu dipahami karena ternyata membantu perkembangan rohani kita.***

Daftar Pustaka
Bergant, Dianne (ed.). Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Groenen, C. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Lenchak, Timothy A. The Bible Today. September 1997, hlm. 311.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.

1 Dimuat di rubrik “Perikop-perikop Sulit”, Wacana Biblika, Vol. 5, No. 2, April-Juni 2005, hlm. 76-80.

Tidak ada komentar: