Kamis, Juli 23, 2009

YESUS GEMBALA YANG BAIK

YESUS GEMBALA YANG BAIK (Yoh: 10:11-18)
Alfonsus Jehadut

Refleksi hubungan antara Yesus sebagai gembala yang baik dengan domba-domba-Nya sangat membantu kita untuk merefleksi tugas perutusan kita sebagai gembala, pemimpin di tengah-tengah lingkungan hidup kita. Melalui pola relasi Yesus dengan domba-domba-Nya, kita diundang untuk membangun pola relasi yang serupa dengan orang lain yang kita layani, yang kita pimpin. Oleh karena itu, kita akan melihat pola relasi itu secara lebih dekat dengan pertama melihat latar belakang teks dan dilanjutkan dengan memperhatikan secara khusus gambaran tentang Yesus sebagai seorang gembala yang baik. Akhirnya, gambaran Yesus itu dijadikan sebagai model bagi tugas penggembalaan kita.

1) Latar belakang teks

Untuk memahami pentingnya tema gembala dalam Kitab Suci, kita harus merefleksikan sejenak konteksnya. Orang-orang Israel menggembalakan kawanan domba mereka di padang rumput. Sang gembala dan kawanan dombanya melewati hari demi hari secara bersama-sama di padang rumput yang sepi. Hampir tidak ada sesuatu yang lain di sekitar mereka. Mereka saling menatap satu sama lain. Maka, sang gembala tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengenal dan dikenal oleh domba-dombanya.
Hubungan para gembala dengan kawanan domba peliharaan mereka tidak semata-mata hubungan ekonomis. Hubungan itu tidak semata-mata didasarkan pada produksi yang dihasilkan oleh kawanan dombanya. Dengan rumusan lain, hubungan itu tidak semata-mata hubungan kepemilikan yang memanfaatkan domba demi menafkahi diri dan keluarga mereka dengan cara memeras susunya; memanfaatkan bulu-bulunya; menikmati dagingnya; dan menjualnya jika mereka membutuhkan uang.
Hubungan antara gembala dengan kawanan domba menampilkan suatu relasi yang sangat erat. Relasi itu dapat diamati dengan mudah oleh orang Israel dalam kehidupan mereka sehari-harinya. Tidaklah susah bagi mereka untuk memahami mengapa Allah menggunakan simbol ini untuk melukiskan hubungan-Nya dengan umat pilihan-Nya dan juga dengan seluruh bangsa manusia. Salah satu mazmur yang melukiskan paling bagus keyakinan seorang kepada Allah karena Allah dilihatnya sebagai gembalanya adalah Mazmur 23: 1: “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.”
Gambaran gembala tidak hanya dipakai untuk melukiskan hubungan antara Allah dengan umat pilihan-Nya tetapi juga dipakai untuk melukiskan hubungan antar sesama manusia. Gelar itu diterapkan secara luas pada semua orang yang membaktikan diri kepada kehendak Allah untuk kesejahteraan umat-Nya. Para raja, misalnya, disebut sebagai gembala seperti para imam dan semua orang yang berada pada posisi sebagai pemimpin umat. Namun, perlu disadari bahwa sebutan ini tidak selalu berkaitan dengan peran positif mereka untuk menyediakan keamanan dan perlindungan bagi rakyatnya. Kepada pemimpin yang tidak memberikan rasa aman dan perlindungan itulah nabi Yehezkiel menghakimi mereka karena melepaskan tanggung jawab mereka untuk memperhatikan kawanan domba.
Yehezkiel menubuatkan penghakiman Allah bagi gembala Israel yang jahat yang hanya mereka memperhatikan diri mereka sendiri. Dikatakan bahwa Allah sendiri yang akan menjadi lawan gembala-gembala itu dan Allah akan menuntut kembali domba-domba-Nya dari mereka dan akan memberhentikan mereka menggembalakan domba-domba-Nya. Gembala-gembala itu tidak akan terus lagi menggembalakan dirinya sendiri; Allah akan melepaskan domba-domba-Nya dari mulut mereka, sehingga tidak terus lagi menjadi makanannya” (Yeh 43: 10-11). Para gembala Israel akan diberhentikan dan Allah sendiri akan menggembalakan domba-domba (Yeh. 34:15). Allah akan mencari domba yang hilang dan mengumpulkan mereka di dalam satu kawanan untuk mendapatkan kembali gembala yang baik (Yeh 34:11-16). Nubuat ini berakhir dengan kata-kata Tuhan, “Dan mereka akan mengetahui bahwa Aku, TUHAN, Allah mereka, menyertai mereka dan mereka, kaum Israel, adalah umat-Ku, demikianlah firman Tuhan ALLAH. Kamu adalah domba-domba-Ku, domba gembalaan-Ku, dan Aku adalah Allahmu, demikianlah firman Tuhan ALLAH" (Yeh 34:30-31).

2) Yesus gembala yang baik

Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengangkat kembali gambaran tentang gembala yang baik dan yang jahat dengan nada yang baru. Yesus menampilkan diri-Nya sebagai gembala yang baik (ay. 11, 14). Kisah tentang diri-Nya sebagai gembala yang baik terbagi atas dua bagian utama. Pertama, ay. 11-13 tentang pertentangan antara gembala yang baik dengan yang jahat. Kedua, ay 14-18 tentang ikatan yang erat antara gembala yang baik dan domba-domba-Nya. Ikatan ini memperlihatkan Yesus sebagai gembala yang luar biasa.

Gembala yang baik: Mempertaruhkan nyawa sendiri (ay. 11-13)

Berbeda dengan semua yang lain yang mengklaim diri sebagai gembala kawanan Allah, hanya Yesuslah yang menyebut diri-Nya sebagai “gembala yang baik” (ay, 11, 14). Yes 34 mungkin menjadi latar belakang perbandingan antara Yesus dan gembala-gembala Israel. Gembala-gembala Israel dikecam karena mereka melepaskan tanggung jawab untuk memperhatikan domba. Mereka rupanya lebih memperhatikan diri mereka sendiri. Mereka menikmati susunya, dari bulunya mereka buat pakaian, yang gemuk mereka sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak mereka gembalakan. Mereka bertindak seperti pencuri yang datang hanya untuk mencuri, membunuh dan merusak. Yang lemah tidak mereka kuatkan, yang sakit tidak mereka obati, yang luka tidak mereka balut, yang tersesat tidak mereka bawa pulang, yang hilang tidak mereka cari. Mereka meninggalkan kawanan domba sehingga kawanan domba itu menjadi makanan bagi binatang buas.
Yesus sebagai seorang gembala yang baik memberikan nyawanya bagi kawanan dombanya (ay 11, 15, 17, 18). Sebagai gembala yang baik, Yesus melakukan apa yang mungkin tidak akan pernah dilakukan oleh seorang gembala, yakni memberikan nyawa-Nya bagi kawanan domba-Nya (ay. 11, 15, 17, 18). Penyerahan nyawa itu tidak ada kesejajarannya dengan teks Perjanjian Lama yang berbicara tentang gembala mesianik. Yesus adalah gembala mesianik yang akan menjalankan kemesiasan-Nya dengan memberikan diri-Nya secara bebas sampai mati bagi domba-domba-Nya. Hanya di dalam injil Yohanes, kisah tentang salib dikaitkan dengan pemberian diri gembala mesianik yang baik.
Penyerahan nyawa bagi domba-domba itu terkait dengan perasaan ikut memiliki. Jika sang gembala mempunyai rasa ikut memiliki maka dia akan memenuhi kewajiban untuk menjaganya. Pada zaman Yesus, para gembala adalah mereka yang memang dilahirkan untuk menjadi gembala. Kita dapat mengatakan bahwa mereka menggembalakan domba sebagai suatu panggilan dan bukan sebagai sebuah pilihan. Gembala semacam itu tidak memiliki perhatian yang lain. Domba-dombanya adalah satu-satunya perhatian yang mereka curahkan. Ketika bangun pagi, mereka pergi menggembalakan kawanan domba mereka dengan senang hati.
Berbeda dengan gembala yang baik, orang-orang upahan menjalankan tugas karena mereka digaji. Mereka kurang mempunyai rasa ikut memiliki sehingga mereka kurang memiliki rasa tanggung jawab atas domba-domba yang mereka gembalakan. Jika tidak mendapatkan upah atau kompensasi atas pekerjaan, mereka akan berhenti bekerja. Hal itu berbeda dengan para gembala yang menjalankan tugas karena mempunyai rasa ikut memiliki seperti pemilik domba itu sendiri. Seperti sang pemilik, mereka mempunyai rasa ikut memiliki dan karena itu mereka tidak terlalu mengharapkan gaji atas pekerjaannya. Di mana ada rasa ikut memiliki, di sana juga ada rasa cinta dan di mana ada cinta, orang bahagia menjalankan tugasnya meski tidak mendapatkan upah.
Motivasi dasar seorang gembala yang baik adalah cinta. Cinta membuat orang ingin memberi daripada berharap untuk menerima. Cinta yang benar berarti rela berkorban bahkan nyawa sendiri dipertaruhkan: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Gembala yang baik tidak ragu-ragu mengambil resiko, mempertahuhkan hidupnya sendiri untuk menyelamatkan domba-dombanya dari bahaya apapun yang mengancam kawanan dombanya. Dalam sikap berani mengambil resiko itu sang gembala memperlihatkan cintanya kepada kawanan dombanya lebih daripada mencintai dirinya sendiri. Cinta yang rela mempertaruhkan nyawa itulah yang menjadi sumber dari segala sesuatu yang dilakukan oleh Yesus, sang gembala yang baik, bagi kita kawanan domba-Nya.

Gembala yang baik: Mengenal dan dikenal oleh domba-dombanya

Relasi Yesus, sang gembala yang baik, dengan kawanan domba-Nya mengambil bentuk relasi pribadi antara Bapa dan Anak (Yoh. 1:1-3, 18). Seperti Bapa mengenal Anak-Nya, gembala yang baik mengenal domba-dombanya dan domba-dombanya mengenal gembalanya. Relasi Bapa-Anak yang terjalin dalam kiasan gembala yang baik tidak hanya mengembangkan tema kesatuan dan kesetiaan tetapi juga menyediakan dasar bagi keintiman hubungan antara Yesus dan para pengikut-Nya. Yesus memanggil mereka dengan nama dan mereka mendengarkan dan mengikuti suara-Nya (Yoh 10:3-5, 16, 27). Karena Yesus adalah gembala yang baik, Dia mengenal kisah hidup kita, mengenal masalah-masalah kita, dan kelemahan-kelemahan kita. Singkatnya, Yesus mengenal karakter dan kualitas diri dan hidup kita masing-masing. Yesus mencintai dan menerima kita sebagaimana adanya kita dan membawa kita sepenuh ke dalam persekutuan dengan Yesus sendiri. Sebagai gembala yang baik, Yesus tidak membiarkan kita berada jauh dari-Nya; tidak menginginkan kita tetap kecil dan tidak dewasa. Dia menginginkan kita berkembang menjadi dewasa sampai kita bisa masuk ke dalam relasi persekutuan pribadi dengan-Nya.
Tidak semua kawanan domba itu milik Yesus. Di antara kawanan domba itu ada orang luar, yakni mereka yang tidak mengenal suara Yesus dan tidak percaya kepada-Nya (Yoh 10:6, 25-26). Yesus berkata, “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” Siapakah domba-domba lain tersebut? Domba-domba yang lain itu mungkin mengacu kepada kaum non-yahudi yang akan beriman kepada-Nya. Mereka ini akan bergabung dengan orang Yahudi kristiani dalam satu kawanan kristiani (bdk Yoh 11:52). Pembaca pertama mungkin juga memahami domba-domba yang lain itu sebagai orang kristiani di luar komunitas Yohanes. Komunitas Yohanes akan bergabung dengan orang kristiani yang lain dengan satu gembala sehingga memenuhi apa yang dikatakan oleh Yoh. 10:16. Yesus datang untuk menyatukan semua kaum beriman dengan Allah dan satu sama lain.
Semangat dan perhatian Yesus, sang gembala yang baik, tidak terbatas pada umat Israel. Yesus ditugaskan oleh Bapa-Nya untuk memperhatikan seluruh bangsa manusia sehingga mereka menjadi satu kawanan, satu komunitas umat beriman. Tidak seorangpun yang bebas dari perhatian-Nya. Perhatian yang menjangkau semua orang itu memperlihatkan cinta Allah sendiri. Cinta Allah itu tidak hanya menjangkau orang-orang yang percaya kepada-Nya tetapi juga menjangkau orang-orang yang tidak percaya kepada-Nya. Melalui Yesus yang adalah satu-satunya gembala yang baik dan melalui persekutuan dengan-Nya semua orang dari berbagai komunitas dipanggil untuk menjadi satu di dalam suatu komunitas yang besar. Persatuan yang mungkin tidak akan pernah tercapai atas usaha kita sendiri itu hanya mungkin terjadi atas karya Yesus sendiri. Kita bisa tinggal di dalam satu komunitas sejauh kita bersekutu dengan Yesus sang gembala yang baik.

3) Menjadi seorang gembala yang baik seperti Yesus

Tidak hanya Yesus yang menyatakan diri sebagai gembala yang baik, tetapi kita juga dipanggil untuk menjadi seorang gembala yang baik, seorang pemimpin yang melayani orang lain. Supaya bisa menjadi seorang gembala yang baik, kita harus pertama-tama belajar menjadi pengikut atau murid yang baik. Yesus menyatakan diri-Nya sebagai “Anak Domba Allah” (Yoh. 1:19, 36) sebelum dia menyatakan diri-Nya sebagai gembala yang baik. Yesus mendengarkan dan mentaati perintah-perintah Bapa-Nya sebelum memberitahukan kepada kita apa yang harus kita lakukan. Dapatkah kita membimbing dan mengajar orang lain jika kita tidak pernah dibimbing dan belajar dari orang lain? Bagaimana kita mencintai, jika kita tidak dicintai?
Yesus, sang gembala yang baik, memanggilkan kita untuk menggembalakan kawanan domba-Nya yang dipercayakan kepada kita. Sebagai seorang gembala yang baik, kita harus mengenal dan memahami kepribadian orang-orang yang kita tuntun. Keunikan, kelemahan, dan misi hidup mereka harus kita kenal dan pahami dengan baik. Hal itu berarti kita perlu waktu untuk ada bersama dan mendengarkan mereka. Di atas semuanya itu kita harus memperlihatkan bahwa kita mencintai mereka, mengakui bahwa mereka bernilai dan berharga. Sikap-sikap ini bisa terlaksana kalau kita menanggalkan keinginan untuk memiliki, menguasai, dan memanipulasi orang lain. Jika semangat saling percaya, saling menghormati, saling mencintai itu dibangun secara baik, kita bisa menjadi gembala yang baik.
Menjadi seorang gembala yang baik tidak berarti menjadi sempurna karena tidak ada seorang pun yang sempurna. Yang sangat diperlukan adalah semangat kerendahan hati dan keterbukaan. Kita harus mengakui kesalahan dan kelemahan kita sendiri dan memohon pengampunan ketika kita bertindak tidak adil. Kita harus meminta pengampunan dari orang-orang yang kita lukai. Orang tua harus meminta pengampunan dari anak-anaknya jika mereka terlalu marah dan berlaku tidak adil kepada anak-anaknya. Kita yang berperan sebagai pemimpin dipanggil untuk menjadi model pengampunan. Kita tidak bisa membantu orang lain untuk bertumbuh di dalam kedewasaan jika kita sendiri tidak berupaya untuk bertumbuh dan berkembang menjadi orang yang dewasa, sabar, menerima diri, dan orang lain apa adanya.

Sumber-sumber Bacaan
Beasley-Murray, George R. John. WBC; Thomas Nelson: Colombia, 1999.
Kysar, Robert. John. ACNT; Minneapolis: Augsburg, 1986.
Moloney, Francis J. The Gospel of John. Collegeville: The Liturgical Press, 1998.
_______________, Signs and Shadows: Reading John 5-12. Minneapolis: Fortress Press, 1996.
Marrow, Stanley B. The Gospel of John: A Reading. New York: Paulist Press, 1995
Onoro, Fidel “The Excellence of the Sheperd: An interpretation of John 10:1-18” dalam Bulletin Dei Verbum, no 68/69, 2003.
Vanier, Jean. Drawn into the Mystery of Jesus through the Gospel of John. New York: Paulist Press, 2004.

Tidak ada komentar: