Rabu, Juli 22, 2009

PENGANTAR WAHYU

WAHYU YESUS KRISTUS: MENULIS APA YANG DILIHAT
Alfonsus Jehadut1

Salah satu kitab yang banyak memunculkan diskusi dan salah pengertian di dalam Perjanjian Baru adalah kitab Wahyu. Salah satu alasannya ialah kita berpikir bahwa bahasa yang bersifat misterius di dalamnya sebagai sesuatu yang bersifat profetis.2 Akibatnya adalah kita berupaya untuk menyingkapkan dan mengaplikasikan sesuatu yang bersifat misterius pada zaman kita sendiri. Cara pengaplikasian semacam ini sering disebut anakronisme. Masalah lain yang muncul di dalam penafsiran kitab wahyu adalah penafsiran yang bersifat etnosentrisme, yakni mengaplikasikan sesuatu yang berada di luar konteks sosial penulis. Penafsiran yang bersifat anakronistis and etnosentris merupakan salah satu pokok persoalan penafsiran yang tidak ada habis-habisnya di dalam kitab Wahyu.3

Mungkin harus diakui bahwa ada banyak hal yang tidak mungkin bisa dipahami di dalam kitab wahyu karena bentangan waktu yang begitu jauh antara zaman penulisannya dan zaman kita. Bentangan waktu yang begitu jauh itu menyebabkan kita tidak bisa memahami situasi yang sebenarnya. Akan tetapi, kita bisa belajar bagaimana memahaminya. Pertama-tama harus disadar bahwa kitab wahyu itu, sama seperti kitab lain di dalam Perjanjian Baru, bersifat situasional. Maksudnya, kitab itu muncul dan berkembang dari situasi tertentu pada zaman Perjanjian Baru dan dialamatkan kepada para pembaca pada zamannya. Jika penulis kitab Wahyu melukiskan hanya apa yang terjadi pada masanya dan apa yang akan segera terjadi atas dasar apa yang terjadi pada masanya, mengapa kita membaca dan menafsirkan apa yang dikatakan oleh penulis untuk masa yang akan datang? Dengan membaca dan menafsirkannya sebagai nubuat tentang peristiwa yang akan terjadi pada masa yang akan datang, kita mengabaikan dan menganggap penulis dan pendengar pada zamannya sebagai sesuatu yang tidak penting.4 Kita menganggap kitab itu berbicara secara langsung kepada kita dan untuk zaman kita. Anggapan yang keliru itu berlangsung hingga saat ini. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari beberapa pokok pemahaman penting sebelum kita berlangkah lebih jauh ke dalam pertualangan penafsiran.

Gaya sastra Wahyu
Di dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan banyak jenis tulisan yang berbeda-beda bentuknya meski kita mungkin tidak terlalu menyadarinya. Ketika membaca sebuah tulisan, kita secara otomatis masuk ke dalam suatu proses mengidentifikasi jenis tulisan yang sedang kita baca. Istilah teknisnya adalah gaya sastra. Gaya sastra adalah cara penulis mengkomunikasikan apa yang diharapkannya ketika seseorang membaca tulisannya.

Ada dua hal penting yang perlu disadari tentang gaya sastra. Pertama, gaya sastra tidak hanya mempengaruhi harapan kita ketika membaca tetapi juga membentuk cara kita menafsirkan apa yang sedang kita baca. Kedua, kita hanya bisa mengidentifikasikan gaya sastra sebuah tulisan secara benar jika kita familiar dengannya melalui contoh-contoh yang kita temukan sebelumnya. Dengan kata lain, kita bisa mengidentifikasikan gaya sastra sebuah tulisan ketika kita telah melihat dan membaca banyak contohnya. Dengan mengetahui gaya sastra sebuah tulisan, kita bisa memahami apa yang diharapakan oleh penulis ketika kita membaca tulisannya. Di sinilah letakk pentingnya mengetahui gaya sastra yang dipakai oleh penulis kitab Wahyu.

Wahyu sebagai sebuah tulisan apokaliptik
Pada umumnya, penulis zaman kuno memberi petunjuk penting tentang gaya sastra yang digunakannya pada bagian awal tulisannya. Kebiasaan inilah yang juga kita temukan di dalam kitab Wahyu. Ayat-ayat awal kitab Wahyu menunjukkan gaya sastra yang digunakan oleh penulisnya. Why 1:1 berbicara tentang wahyu Yesus Kristus. Kata “wahyu” itu berasal dari kata Yunani: apokalipsis, yang berarti penyingkapan hal-hal yang tersembunyi atau terselubung. Di sini penyingkapan hal-hal yang tersembunyi itu berkaitan dengan Allah.5 Hal ini memenuhi apa yang dikatakan oleh nabi Amos: “Sungguh, Tuhan ALLAH tidak berbuat sesuatu tanpa menyatakan keputusan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, para nabi” (3:7; bdk Dan 2:22, 28). Kata “hamba-hamba” itu tidak hanya mengacu kepada para nabi kristiani tetapi juga kepada semua orang kristiani.

Di dalam keseluruhan kitab Wahyu, kata “apokalipsis” itu hanya muncul sekali (1:1). Hal itu mengisyaratkan fungsinya sebagai judul untuk keseluruhan karyanya.6 Judul itu menghubungkan kitab wahyu dengan tradisi apokaliptik. Namun, ada suatu perbedaan yang menyolok antara kitab wahyu dan apokalips Yahudi.7 Kitab Wahyu, berbeda dengan tulisan apokaliptik yang lain, tidak bersifat pseudonim. Penulis wahyu memperkenalkan dirinya secara jelas sebagai Yohanes. Penulis apokalips Yahudi tidak menulisnya sendiri, tetapi nama tokoh-tokoh biblis yang memiliki kemampuan supranatural tertentu, seperti Enokh, Abraham atau Ezra. Pemakaian nama itu tentu tidak bermaksud untuk berbohong tetapi untuk menegaskan otoritas tokoh-tokoh biblis yang menjadi dasar pijakannya. Dengan memproyeksikan diri kepada tokoh-tokoh besar dan terkenal pada masa lalu, tulisan-tulisan apokaliptik itu memiliki kewibawaan historis yang tidak bisa diragukan.

Ciri yang menonjol dari apokalips Yohanes adalah dualisme sejarah.8 Zaman sekarang yang bersifat sementara ini berada di bawah penguasaan dan kekuatan setan. Kekuatan setan itu terungkap di dalam tindakan-tindakan manusia yang jahat dan yang menganggu orang-orang benar. Akan tetapi, zaman sekarang ini akan segera berakhir ketika Allah turun tangan membangun kerajaan-Nya. Setan dan kekuatannya akan ditaklukkan oleh Allah melalui kedatangan Kristus sebagai hakim. Penaklukan itu menciptakan zaman baru dengan tatanan dunia dan bumi yang baru yang bersifat kekal. Allah akan memerintah dunia yang baru dan semua yang akan terjadi sesuai dengan rencana Allah. Orang-orang benar akan menikmati kebahagiaan kekal. Konsep dualistik sejarah dimaksudkan untuk mendukung dan memperkuat iman umat kepada Allah tatkala mereka mengalami penganiayaan.

Ciri khas lain adalah bahasanya yang sulit dipahami karena adanya banyak simbol. Munculnya banyak simbol itu memperlihatkan bahwa Yohanes dan umat kristiani pada zamannya hidup dalam suatu dunia yang lebih sadar dan tertarik pada dimensi transendensi hidup ini daripada orang-orang zaman kita.9 Sebagai akibatnya, mereka menggunakan banyak simbol untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Simbol-simbol itu mungkin hanya dikenal dan dipahami oleh orang-orang yang hidup sezaman dengan penulisnya. Namun, kita tidak perlu binggung karena ada sejumlah simbol yang dijelaskan oleh penulis secara ekplisit. Misalnya, tujuh kaki dian melambangkan tujuh gereja Asia (Why 1:20); Naga melambangkan setan (Why 12:9); perempuan yang mabuk oleh darah orang-orang kudus dan darah saksi-saksi Yesus melambangkan kota besar yang memerintah atas raja-raja di bumi (Why 17:18).

Sejumlah simbol lain tidak dijelaskan secara eksplisit oleh penulis mungkin karena simbol-simbol tersebut cukup familiar bagi orang-orang sezamannya. Misalnya, tanduk melambangkan kuasa (Why 12:3; 13:1; 17:3); mata melambangkan pengetahuan dan kebijaksanaan (Why 2:18; 4:6); pedang yang tajam melambangkan kata-kata yang keluar dari mulut Allah (Why 2:12, 16; 19:21), jubah putih melambangkan kemuliaan dan kemurniaan (Why 6:11; 7:9); jubah hitam melambangkan bencana dan kematian (Why 6:5, 12), mahkota melambangkan kemenangan dan kerajaan (Why 2:10; 3:11; 14:14), dan kuda berbagai warna melambangkan beranekaragam bencana (Why 6:2-8).

Selain kata dan ungkapan simbolis, kita juga menemukan angka-angka simbolis yang tidak boleh dipahami secara harafiah berdasarkan nilai yang nyata dari angka tersebut.10 Angka satu menyingkapkan gagasan tentang keunikan atau ketidaktergantungan. Angka dua melambangkan pengabungan energi, penguatan, dan penegasan (Why 11:3). Angka tiga simbol untuk yang ilahi (Why 1:4-5). Angka tiga setengah melambangkan waktu yang terbatas (Why 12:14). Angka empat melambangkan dunia, alam semesta yang terdiri dari empat penjuru dunia (Why 7:1; 21:13). Angka enam simbol ketidaksempurnaan sehingga angka 666 melambangkan ketidaksempurnaan dan yang jahat (Why 13:18). Angka tujuh melambangkan kesempurnaan, kepenuhan, dan keuniversalan (Why 1:11; 6:1; 8:6; 15:1). Angka sepuluh, seratus, dan seribu melambangkan keseluruhan. Angka dua belas melambangkan kesempurnaan, kepenuhan, dua belas suku Israel dan dua belas rasul (Why 7:4). Kegagalan memahami makna simbolis yang tidak dijelaskan secara ekplisit ini menyebabkan kita salah membaca dan menafsirkan kitab ini.

Wahyu sebagai nubuat kristiani
Selain berbentuk tulisan apokaliptik, Yohanes juga mengidentifikasikan tulisannya sebagai kata-kata nubuat (1:3). Para pembaca modern seringkali salah memahami arti nubuat di dalam dunia kuno. Mereka menyamakan nubuat dengan ramalan. Dengan mengatakan wahyu itu nubuat, mereka mengaitkan secara langsung wahyu itu dengan kitab yang meramalkan masa depan. Akibatnya, mereka menafsirkan apa yang tertulis di dalamnya terpenuhi di dalam dunia zaman sekarang.

Pandangan dan penafsiran itu tentu keliru. Identifikasi kitab ini sebagai kata-kata nubuat perlu dipahami dalam konteks pemahamanan kenabian kuno, dunia Perjanjian Lama. Di dalam Perjian Lama, nubuat itu meliputi komunikasi pesan dari Allah. Dalam Ul. 18:18 Allah berkata kepada Musa, “seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya.” Seorang nabi berbicara tentang pesan Allah sendiri. Hal ini mirip pada saat mengangkat Harun sebagai juru bicara Musa dalam Kel 7:1-2, Allah berkata kepada Musa, “Lihat, Aku mengangkat engkau sebagai Allah bagi Firaun, dan Harun, abangmu, akan menjadi nabimu. Engkau harus mengatakan segala yang Kuperintahkan kepadamu, dan Harun, abangmu, harus berbicara kepada Firaun, supaya dibiarkannya orang Israel itu pergi dari negerinya.“ Nabi-nabi Perjanjian Lama berfungsi sebagai juru bicara bagi Allah, yang kemudian meneruskan Sabda-Nya kepada orang-orang Israel. Jelas bahwa sabda Allah itu mencakup ramalan-ramalan (misalnya ramalan Yeremia tentang kejatuhan Yerusalem) tetapi ramalan-ramalan semacam itu bagian dari suatu pesan yang lebih besar yang didesain untuk masa kini (misalnya kritikan Yeremiah terhadap orang-orang Israel yang tidak beriman.

Ada dua ciri utama tulisan Yohanes yang mengingatkan kita pada aspek profetisnya.11 Pertama, Yohanes menyebutkan pada bagian awal dan pada bagi akhir kisahnya bahwa maksud tulisannya adalah untuk menyampaikan sebuah pesan profetis. Pada bagian awal dia memberkati orang-orang yang membacakan, mendengarkan, dan menuruti kata-kata nubuatnya. “Berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat” (1:3; bdk 22:7, 10). Pada bagian akhir, Yohanes memperingatkan supaya orang tidak menambahkan atau mengurangi tulisan profetisnya. "Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini" (22:18-19). Kedua, Yohanes menampilkan cerita penglihatan yang menandai awal tugasnya (1:9-20). Cerita itu mengingatkan kita pada nabi-nabi kristiani awal karena memiliki seluruh ciri-ciri cerita panggilan dan pelantikan nabi-nabi Perjanjian Lama. Sama seperti para nabi, demikanlah juga Yohanes mendapat penglihatan, mendengar suara yang memerintahnya untuk menulis, dan merasakan ketidakpantasan, dan kemudian penegasan misi perutusannya.

Kedua ciri profetis di atas mengisyaratkan peran Yohanes sebagai nabi meski dia tidak pernah mengidentifikasikan dirinya sebagai nabi. Dia adalah salah seorang nabi di dalam gereja-gereja di Asia Kecil (Why 1:3; 10-11; 22:9, 18-19), yang menganggap dirinya sebagai nabi yang benar di tengah-tengah nabi-nabi palsu (Why 2:20). Sebagai seorang nabi, dia tidak menulis dan mengkomunikasikan kata-kata atau gagasan-gagasannya sendiri tetapi kata-kata dan gagasan-gagasan yang datang dari Allah. Kata-kata dan gagasan-gagasan yang datang dari Allah itu berbicara tentang penghakiman eskatologis yang akan segera terjadi. Melalui Kristus Yesus, Allah menyatakan penghakiman eskatologis kepada umat beriman. Oleh karena itu, kita perlu memahami wahyu sebagai sebuah nubuat kristiani awal.12

Seperti nabi-nabi kristiani awal umumnya menyampaikan nubuat di dalam pertemuan ibadat (bdk. 1Kor 14:30), demikianlah juga nubuat Yohanes. Nubuat itu dimaksudkan untuk dibacakan secara lantang di dalam konteks ibadat di gereja-gereja sebagai pengganti atas kehadiran pribadinya. Selain berbentuk kata-kata Allah, nabi-nabi kristiani awal juga menerima nubuat yang bersifat penglihatan. Penglihatan itu lalu disampaikan kepada gereja-gereja di dalam bentuk cerita penglihatan (bdk. Kis 10:9-11:18). Secara keseluruhan, kitab Wahyu itu memuat sebuah cerita tentang wahyu yang bersifat penglihatan dan nubuat. Surat-surat yang dialamatkan kepada tujuh gereja di Asia kecil (2:1-3:22) memuat nubuat yang ditulis sebagai sabda atau kata Kristus kepada gereja-gereja.

Sebagai seorang nabi, Yohanes tidak perlu mengutip para pendahulunya, tetapi dia menyesuaikan dan menafsirkan kembali nubuat-nubuat yang mereka telah sampaikan. Salah satu bentuk penyesuaian dan penafsiran kembali nubuat nabi terdahulu itu terungkap di dalam nubuat Yohanes melawan Babilon (Why 18:1-19:8). Nubuat ini mengemakan nubuat melawan Babilon di dalam nabi-nabi Perjanjian Lama (Isa 13:1-14:23; 21:1-10; 47; Jer 25:12-38; 50). Penyesuaian dan penafsiran kembali itu menjelaskan bahwa Yohanes tidak hanya menulis dalam ruang lingkup tradisi nabi-nabi Perjanjian Lama tetapi dia memahami dirinya dan tulisannya berada pada puncak tradisi ketika nubuat eskatologis terpenuhi di dalam wahyu profetisnya sendiri. Yohanes menyampaikan nubuatnya di dalam terang pengharapan nabi-nabi Perjanjian Lama tentang kemenangan Anak Domba, Yesus Mesias.

Wahyu sebagai sebuah surat edaran
Gaya sastra lain yang ditemukan di dalam kitab Wahyu adalah surat edaran yang ditujukan kepada tujuh gereja di Asia kecil. Bentuk ini ditemukan pada bagian awal dan akhir kitabnya (1:4-6; 22:21). Namun, Yohanes tidak pernah menggunakan kata yunani epistole (bdk. 2Kor 7:8; 10:9) atau gramma (Kis 28:21) ketika dia merujuk kepada suratnya, tetapi selalu menggunakan kata biblion, 1:11; 22:7, 9, 10, 18, 19), sebuah kata yang tidak umum dipakai untuk surat. Dengan memakai kata biblion, Yohanes menekankan bahwa tulisannya adalah bagian dari tulisan-tulisan yang suci yang benar-benar diinspirasi oleh Roh Kudus. Jadi, Yohanes menyebut tulisannya sebagai sebuah kitab, tetapi kitab itu dikirim sebagai sebuah surat. Dengan dikirim dalam bentuk surat, Yohanes berharap agar tulisannya dibaca sebagai sebuah tulisan suci yang benar-benar diinspirasi oleh Allah di dalam ibadat komunitas yang menjadi alamatnya sama seperti surat-surat Paulus dibaca di dalam pertemuan ibadat jemaat.

Pada bagian awal-awal kitabnya (Why 1:4-6), Yohanes tanpa ragu-ragu menampilkan tulisannya dalam bentuk sebuah surat kuno yang biasa digunakan oleh Paulus dan para pemimpin kristiani perdana. Rumusan-rumusan yang lazim dipakai di dalam pembukaan sebuah surat: nama pengirim, alamat surat, ucapan salam damai, dan puji syukur itu termuat pada bagian awal tulisannya. Meski tidak terlalu mengikuti bentuk surat yang lazim digunakan oleh Paulus, namun sapaan dan salam pembukaan Yohanes (1:4-5, 9-11) tampaknya mengisyaratkan bahwa kitabnya ditulis dalam bentuk sebuah surat profetis yang ditujukan kepada tujuh gereja di Asia: Efesus, Smirna, Pergamum, Tiatira, Sardis, Filadelfia, dan Laodikia (1:11; bdk 1:4; 22:16).

Bentuk surat itu dimunculkan kembali pada bagian penutup tulisannya (Why 22:21), yang sejajar dengan bagian penutup dari beberapa surat Paulus. Jadi, kitab Wahyu memuat sebuah nubuat apokaliptik di dalam bentuk sebuah surat edaran kepada tujuh gereja di Asia kecil. Apa yang disingkapkan oleh Allah kepada Yohanes atau apa yang dilihatnya di dalam peristiwa pewahyuan itulah yang ditulis dan dikirim kepada gereja-gereja di Asia Kecil (Why 1:11). Melalui surat-surat itu Yohanes mengkomunikasikan wahyu Yesus Kristus kepada jemaatnya dalam bentuk nasehat, kritikan, dorongan, pujian, dan janji yang disertai dengan ancaman hukuman.

Pemahaman tentang wahyu sebagai sebuah surat profetis yang ditujukan kepada tujuh gereja di Asia kecil itu penting dipahami. Kebanyakan orang menganggap wahyu itu tidak diperuntukkan bagi gereja-gereja abad pertama dan hanya bisa dipahami oleh generasi kemudian. Dengan memakai model surat, penulis dimungkinkan untuk mengidentifikasikan secara jelas siapa yang menjadi alamat suratnya dan bagaimana ia menanggapi situasi yang dihadapi oleh si teralamat. Hal ini tentu tidak mengurangi nilainya bagi para pembaca yang lain selain jemaat yang menjadi sasaran suratnya. Surat itu tetap dapat berbicara bagi jemaat di tempat dan zaman lain kalau konteks si teralamat pertama menjadi bagian dari cara kita di dalam membaca dan memahaminya. Akan tetapi, apakah Yohanes sendiri membayangkan jemaat di tempat lain di luar tujuh gereja yang menjadi alamat suratnya?

Kitab Wahyu tentu tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang kristiani di Asia kecil. Yohanes berharap agar kitabnya diteruskan dan diperdengarkan kepada gereja-gereja lain. Harapan itu mungkin diindikasikan oleh angka simbolis tujuh. Angka tujuh adalah simbol kesempurnaan atau kepenuhan. Dengan menyapa tujuh gereja, Yohanes menyapa seluruh gereja. Tujuh gereja yang menjadi alamat suratnya dilihat sebagai perwakilan dari seluruh gereja. Kesimpulan ini perteguh oleh sebuah refrein yang muncul pada tiap-tiap surat: “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat” (2:7, 11, 17, 29; 3:6, 13:22). Refrein ini tampaknya mengundang semua orang untuk mendengakan pesan-pesan yang dialamatkan kepada tujuh gereja di Asia kecil. Undangan itu tentunya tidak mengurangi fakta bahwa apa yang disoroti di dalam surat-surat tersebut terkait erat dengan situasi yang dihadapi oleh gereja tertentu. Dengan menyapa keanekaragaman situasi aktual beberapa gereja, kitab Wahyu menyapa keanekaragaman situasi dan persoalan di dalam gereja-gereja pada akhir abad pertama.

Munculnya beberapa bentuk gaya sastra di atas mengisyaratkan bahwa kita tidak boleh menempatkan kitab ini ke dalam satu jenis gaya sastra saja.13 Unsur-unsur, apokalips, nubuat dan surat digabungkan di dalam suatu cara yang unik. Pengabungan bentuk-bentuk sastra ini menyebabkan kitab ini lebih rumit dan sulit dipahami ketimbang kitab-kitab yang lain dalam Perjanjian Baru.

Penulis Wahyu
Menurut kesaksian yang termuat di dalam kitabnya, Yohanes adalah penulisnya (1:1; 4, 9; 22:8). Dia menyebut dirinya “saudara dan sekutumu dalam kesusahan, dalam Kerajaan dan dalam ketekunan menantikan Yesus, berada di pulau yang bernama Patmos oleh karena firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus.” Dari sana dia menulis berbagai penglihatan dan kata-kata nubuat (Why 1:1; 11, 19, 10:4; 21:5), yang diterimanya atas dasar perintah dari yang ilahi. Yang ilahi itu menasihatkan kepadanya untuk tidak menambahkan atau mengurangi apapun dari penglihatan dan wahyu yang diterimanya (Why 22:18-19).

Fakta bahwa penulis menyebut dirinya Yohanes menyebabkan para penulis kristiani sejak abad kedua menganggap kitab Wahyu berasal dari rasul Yohanes, anak Zebedeus. Namun, Yohanes sendiri tidak mengidentifikasikan dirinya secara lebih jauh. Hal ini mengisyaratkan bahwa dia dikenal baik oleh pendengarnya. Akan tetapi, Yohanes siapakah yang dikenal baik oleh gereja-gereja di Asia kecil pada akhir abad pertama selain rasul Yohanes? Para ahli modern umumnya sepakat bahwa penulisnya bukan seorang rasul. Yohanes tidak pernah menyebut dirinya seraong rasul dan bahkan dia tidak pernah menyinggung satu peristiwa di dalam kehidupan Yesus atau relasi pribadinya dengan Yesus sebagaimana lazimnya terjadi pada orang yang telah mengenal Yesus. Apa yang katakan di dalam Why 18:20 dan 21:14 mengindikasikan bahwa Yohanes tidak termasuk di antara kedua belas rasul karena di sini peran rasul ditampilkan secara sangat signifikan.

Jika penulisnya bukanlah seorang rasul, siapakah yang menyebut dirinya sebagai Yohanes? Kesaksian yang termuat di dalam kitab itu sendiri secara implisit menyebutkan Yohanes sebagai seorang nabi kristiani perdana (1:3, 10-11; 22:9, 18-19). Di sini mungkin kita perlu mencatat bahwa ada dua bentuk nabi-nabi kristiani perdana: 1) nabi yang bekerja dan menetap di satu tempat tertentu (misalnya, 1Kor 11, 14); dan 2) nabi yang berjalan keliling dari satu tempat ke tempat yang lain (Kis 11:27-30). Yohanes yang menulis kitab Wahyu tampaknya bukan seorang nabi yang menetap di satu komunitas tertentu tetapi seorang nabi pengembara yang dikenal baik oleh jemaatnya karena dia telah mengunjungi mereka. Dia menganggap dirinya sebagai seorang nabi yang benar dan yang melawan nabi-nabi palsu.

Yohanes yang dianggap sebagai seorang nabi kristiani perdana itu berada di pulau Patmos yang pada waktu itu dijadikan sebagai tempat pembuangan. Tempat itu dipakai oleh otoritas Romawi sebagai tempat pembuangan bagi narapidana tertentu untuk membungkam ajaran dan kesaksian orang yang dianggap berbahaya (Plinny, Nat. Hist. 4:23). Pembuangan Yohanes di pulau Patmos dimaksudkan untuk membungkam ajaran dan kesaksiannya tentang Kristus. Bapa-bapa gereja awal menyakini bahwa nabi Yohanes berada di sana karena kesaksian kristianinya sebagaimana terungkap di dalam kesaksiannya sendiri. Dia berada di pulau yang bernama Patmos oleh karena firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus (1:9). Di tempat pembuangan inilah dia digerakkan oleh roh (1:9-10) untuk menulis “wahyu Yesus Kristus.”

Waktu Penulisan Wahyu
Yohanes memiliki hubungan khusus dengan tujuh gereja di Asia kecil sehingga dia mengirimkan surat kepada mereka (1:4, 20-3:22). Surat-surat itu dimaksudkan untuk dibacakan di dalam pertemuan ibadat yang diadakan di gereja-gereja yang menjadi alamat suratnya. Surat-surat itu mengindikasikan bahwa gereja sedang berada di dalam suatu ancaman guru-guru palsu yang datang dari dalam jemaat itu sendiri (2:2, 6, 13-15, 20-23; 3:4, 8-10) and penindasan yang datang dari luar jemaat (1:9; 2:10; 6:9; 12:7-8; 17:6). Indikasi-indikasi ini tidaklah mengherankan karena orang-orang kristiani di lingkungan masyarat Romawi abad pertama pada umumnya hidup dalam suatu lingkungan yang tidak bersahabat.14 Nama “Kristus” atau “Kristiani” itu menimbulkan suatu perasaan yang tidak senang dan bahkan bermusuhan dari lingkungan sekitar. Dengan demikian, orang-orang kristiani itu dimusuhi dan dianiaya semata-mata karena mereka orang orang kristiani, mereka mengakui nama Yesus (mis 1:5-6; 2:17; 3:5, 10, 12; 5:9-10; 7:14-17) dan bukan karena mereka melakukan suatu tindakan kriminal.

Di tengah lingkungan yang tidak bersahat dan bahkan bermusuhan inilah Yohanes mendorong umat kristiani untuk tetap sabar, setia, dan berpegang teguh pada imam mereka. Dia memberi nasihat kepada mereka secara berulang-ulang. Dia mendorong dan mengingatkan mereka untuk tetap setia: “Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita! Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari. Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan” (Why 2:10). Kendatipun situasinya mungkin akan menjadi lebih buruk, namun Yohanes menasihatkan supaya mereka tetap setia kepada Allah dan loyal kepada agama yang mereka anut sambil menantikan intervensi Allah sendiri dari tahta surgawi-Nya. Yang paling buruk masih akan datang, kata Yohanes, tetapi pada akhir zaman orang benar akan menang, kekaisaran Romawi akan runtuh, semua yang jahat akan habis, dan orang-orang benar akan diberi ganjaran kekal dan orang-orang jahat akan mendapat hukuman kekal (bdk 1:3; 3:10; 22:10, 12, 20).

Nasihat Yohanes kepada tujuh gereja di Asia kecil untuk tetap sabar, setia, dan berpegang teguh pada iman mereka telah membawa sejumlah asumsi mengenai waktu penulisannya. Ada yang berpendapat bahwa kitab ini ditulis pada zaman Claudius (41-54); Nero (54-68); Domitianus (81-96); dan Trajan (98-117).15 Kebanyakan ahli tafsir modern berpendapat bahwa kitab ini ditulis pada zaman kaisar Dominitianus menjelang akhir pemerintahnya karena terkait dengan penyembahan kepada kaisar.16 Ungkapan “manusia menyembah naga” (13:4; 14:8, 11-18) mungkin mengacu kepada pemujaan dan penyembahan kepada kaisar. Kemungkinan ini diperkuat lagi di dalam ungkapan “jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki” (6:9). Diyakini bahwa ungkapan itu merujuk kepada orang-orang Kristiani yang menolak untuk berpartisipasi dalam pemujaan kaisar. Meski kita tidak mempunyai data yang kuat tentang kapan pemujaan terhadap kaisar itu menjadi sebuah tuntutan wajib, namun ada suatu data yang jelas bahwa Domitianus menekankan keilahiannya dan memerintahkan supaya dirinya disapa sebagai tuhan dan allah (dominus et deus).17 Pemujaan kepada kaisar telah menimbulkan suatu persoalan tersendiri bagi orang-orang kristiani (13:4, 15-16; 14:9-11; 15:2; 16:2; 19:20; 20:4). Sangatlah mungkin bahwa penolakan mereka untuk menyembah kaisar sebagai “allah dan tuan” telah menyebabkan mereka ditindas dan dianiaya.

Sumbangan kitab Wahyu
Kitab wahyu memiliki sumbangan yang signifikan bagi teologi Perjanjian Baru. Pengalaman penglihatan Yohanes tentang Allah yang duduk di atas takhta-Nya membantu kita untuk memahami dan mengimani Allah sebagai Tuhan atas dunia dan atas surga. Melalui penglihatan Allah yang duduk di atas takhta-Nya, kita diingatkan bahwa hanya Allahlah yang pantas dipuji dan disembah. Penglihatan itu berpengaruh positif karena membuka cakrawala pemahanan dan iman kita kepada Allah.18 Perluasan cakrawala itu tidak hanya berkaitan dengan ruang sebab penglihatan itu tidak hanya berkaitan dengan dunia ini tetapi juga berkaitan dengan dunia surgawi. Perluasan cakrawala itu juga berkaitan dengan waktu yang tidak hanya berkaitan dengan masa lalu dan masa kini tetapi juga masa depan yang bersifat eskatologis.

Kitab Wahyu juga menampilkan suatu kristologi yang tinggi. Yesus digambarkan oleh Yohanes dalam suatu terminologi yang hanya cocok untuk Allah. Gambaran-gambaran yang biasanya dipakai untuk melukiskan Allah oleh dipakai oleh Yohanes untuk melukiskan Yesus. Sangatlah penting untuk dicatat dalam hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh Beasley-Murray, bahwa penglihatan yang tercatat di awal kitab ini bukan dari Allah Bapa tetapi dari Yesus Kristus (1:12-20) dan bahwa baik Allah Bapa maupun Kristus Yesus disebut, “Alfa dan Omega” (Yang Awal dan yang Akhir, 1:8, 17; 21:6; 22:13).19 Dengan cara ini Yohanes menegaskan bahwa Allah yang berdaulat itu memenuhi rencana-Nya di dunia ini melalui anak-Nya. yang adalah Allah itu sendiri.

Kitab wahyu berfokus pada kemuliaan, kuasa, dan peran Kristus pada pengadilan terakhir. Peristiwa penyaliban Yesus tidak disorotinya. Namun demikian, kita diingatkan bahwa penunggang yang kuat di atas kuda putih (6:2, 19:11, 19) itu tidak lain daripada “Anak Domba yang dibantai.“ Tanpa memikirkan penyaliban Kristus, Yohanes menginformasikan bahwa semua yang Yesus lakukan untuk merangkul sejarah manusia itu berakar dalam kematian-Nya yang bersifat kurban. Yohanes menata kembali pandangan apokaliptik Yahudi dengan berfokus pada kristologisnya.

Jika kitab Wahyu berfokus pada akhir sejarah, maka hal itu dipahami dalam ruang lingkup eskatologis. Berupaya untuk menemukan tanda-tanda atau simbol-simbol yang mungkin berkaitan dengan akhir zaman secara jauh lebih spesifik di dalam penglihatan-penglihatan Yohanes itu dianggap sebagai upaya yang keliru. Terlalu sempit, menurut Carson, kalau kita berpikir eskatologi di dalam pengertian semata-mata tentang apa yang akan terjadi pada akhir zaman sebab akhir zaman di dalam pemikiran biblis itu membentuk dan melukiskan masa lalu dan masa kini.20 Mengenal bagaimana sejarah berakhir itu membantu kita memahami bagaimana kita harus menyesuaikan diri dengannya untuk masa kini. Tanda-tanda akhir zaman itu dilukiskan oleh Yohanes untuk mengingatkan kita pada realitas dunia yang tidak bersifat abadi, realitas kekejaman orang-orang jahat, dan kekuatan setan yang masih aktif di dalam sejarah.

Penglihatan Yohanes juga menggambarkan realitas penghakiman yang akan dilakukan oleh Allah. Penghakiman itu akan datang pada suatu saat ketika kemurkaan-Nya akan ditumpahkan, ketika dosa-dosa harus dipertanggungjawabkan, ketika nasib setiap individu akan tergantung pada apakah namanya tertulis atau tidak di dalam buku kehidupan. Pada saat itu juga Allah akan mengganjari orang-orang yang memelihara sabda-Nya dengan setia dan rela mempertaruhkan nyawanya sendiri. Melalui kematian dan kebangkitan Yesus, kemenangan atas pemberontakan dan dosa manusia tercapai. Allah dan Anak-Nya akan menang dan pada akhirnya semua ciptaan mengakui-Nya sebagai Tuhan di dalam Yerusalem baru dengan langit yang baru dan bumi yang baru (Why 21:1).

1 Alumnus Trinity Theological College, Singapore.
2 Edwin D. Freed, The New Testament: A Critical Introduction (London: SCM Press, 1991), 365.
3 Bruce, J. Malina, The New Jerusalem in the Revelation of John: The City as Symbol of Life with God (Collegeville: Liturgical Press, 2000), 3-6
4 Malina, The New Jerusalem in the Revelation of John, 6
5 Leonard L. Thompson, Revelation (ANTC; Nashville: Abingdon Press, 1989), 48.
6 Elisabeth Schssler Fiorenza, Revelation: Vision of a Just World (Minneapolis: Fortress Press, 1991), 39.
7 Richard Bauckham, Theology of the Book of Revelation (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 3-5.
8 Freed, The New Testament: A Critical Introduction, 366
9 Laurin J. Wenig, The Challenge of the Apocalypse: Embracing the Book of Revelation with Hope and Faith (New York: Paulist Press, 2002), 22.
10 Charles H. Talbert, The Apocalypse: A Reading of the Revelation of John (Louisville: Westminster John Knox Press, 1994), 6-7.
11 Jean-Pierre Prévost, How to Read the Apocalypse (London: SCM Press, 1993),13.
12 Bauckham, Theology of the Book of Revelation, 3-5.
13 Bauckham, The Theology of the Book of Revelation, 1-17; J. Ramsey Michaels, Interpreting the Book of Revelation (Grand Rapids: Baker, 1992), 29-33.
14 Thomas B. Slater, Christ and Community: A Socio-Historical Study of the Christology of Revelation (JSNTSup; Sheffield: Sheffield Academic Press, 1999), 18-22.
15 D.A. Carson & Douglas J. Moo, An Introduction to the New Testament (Leicester: Apollos, 2005), 708
16 Freed, The New Testament: A Critical Introduction, 370
17 Bdk Suetonius, Domitian 13; Charlesworth, “Flavian Dynasty”, 41-42.
18 Bauckham, The Theology of the Book of Revelation, 7.
19 Beasley-Murray, Revelation, 24.
20 Carson, An Introduction to the New Testament, 722.

Tidak ada komentar: