Apa kata kitab suci tentang Jalan Salib
Alfons Jehadut
Alfons Jehadut
Menjadi pengikuti Yesus berarti mengikuti jejak langkah-Nya. Para murid Yesus yang pertama bisa melakukannya secara harfiah. Mereka mengikuti jejak langkah Yesus selama ada bersama mereka. Namun, kita yang hidup setelah kematian-Nya tidak mungkin bisa melakukannya secara harfiah. Kita hanya bisa menampak tilas jejak langkah-Nya, terutama penderitaan-Nya, dengan berziarah ke Yerusalem. Banyak peziarah datang ke Yerusalem untuk menampak tilas jejak penderitaan-Nya.
Namun, ziarah ke Yerusalem untuk menampak tilas jalan penderitaan Yesus (Latin: via crucis atau via dolorosa), baik pada masa lalu maupun pada masa kini, itu tidak mudah dan murah. Tidak semua orang bisa pergi ziarah ke sana. Itulah sebabnya, sejak abad ke-15 dan 16 muncul sejumlah replika jalan salib seperti di Yerusalem. Praktek menggambar stasi jalan salib di dinding gereja telah mulai muncul menjelang akhir abad ke-17. Penggambaran stasi jalan salib itu dilakukan dengan maksud supaya orang kristiani dapat mengikuti jejak langkah penderitaan Yesus secara rohani dengan tanpa harus pergi jauh ke Yerusalem.
Patut dicatat bahwa jumlah stasi jalan salib yang digambar atau dibentuk untuk tujuan devosi di dalam gereja itu tidak sama. Masing-masing kelompok menawarkan jumlahnya secara berbeda-beda. Empat belas stasi jalan salib yang kita gunakan sekarang berasal dari Eropa Barat pada akhir abad pertengahan. Namun, empat belas stasi itu juga tidak semuanya disebutkan dalam Kitab Suci. Stasi yang tidak disebutkan itu tampaknya lahir dari penghayatan religius para peziarah awal di Yerusalem. Dalam tulisan singkat ini kita diajak untuk lebih memfokuskan diri pada stasi jalan salib yang disebutkan oleh kitab suci.
Yesus dihukum mati
Perhentian pertama mengenang peristiwa Yesus dihukum mati. Masing-masing penginjil menggambarkan keterlibatan para pemimpin religius Yahudi di Yerusalem dan penguasa Roma dalam menghukum mati Yesus. Kisah Yesus dihukum mati itu diceritakan hampir serupa oleh injil sinoptik. Penginjil Markus dan Lukas menceritakan bahwa setelah ditangkap oleh para serdadu pada sore hari, Yesus kemudian dibawa ke rumah Imam Besar (Mrk. 14:15; Luk. 22:54). Kisah serupa diceritakan oleh penginjil Matius dengan menambahkan keterangan bahwa Imam Besar itu bernama Kayafas (Mat. 26:57).
Di hadapan Imam Besar Kayafas, imam-imam kepala, tua-tua, dan ahli Taurat mengumpulkan semua kesaksian untuk melawan Yesus (Mrk. 14:53-65; Mat. 26:57-68). Mereka mengumpulkan kesaksian palsu yang berbeda-beda satu sama lain. Beberapa orang memberikan kesaksian bahwa “kami sudah mendengar orang ini berkata: Aku akan meruntuhkan Bait Suci buatan tangan manusia ini dan dalam tiga hari akan Kudirikan yang lain, yang bukan buatan tangan manusia” (Mrk. 14:58). Kesaksian ini didukung oleh semua anggota Mahkamah Agama yang terdiri dari 71 anggota yang dipilih dari tiga kelas sosial yang berbeda, yakni imam-imam kepala, ahli Taurat, dan kaum tua-tua. Mereka menyatakan bahwa Yesus pantas dihukum mati karena telah menghujat Allah dengan membenarkan diri-Nya sebagai Anak Allah dan Mesias (Mrk. 14:64; Mat. 26:66). Hukum yang pantas bagi seorang penjahat adalah dirajam dengan cara dilempari batu sampai mati oleh seluruh komunitas (Im. 24:15-16; bdk Bil. 15:35-36).
Setelah memutuskan untuk menghukum mati Yesus, Mahkamah Agama membawa Yesus ke hadapan Pilatus, gubernur yang mewakili kaisar Roma di Yudea. Mengapa Yesus dibawa ke hadapan Pilatus? Mengapa Mahkamah Agama Yahudi sendiri tidak melakukan eksekusi hukuman mati bagi Yesus? Penginjil Yohanes memberikan sebuah jawaban melalui mulut orang-orang Yahudi yang ingin meniadakan-Nya. “Kami tidak diperbolehkan menghukum mati seseorang” (Yoh. 8:31). Alasannya adalah mereka tidak mempunyai kuasa untuk melaksanakan hukuman mati.
Di hadapan Pilatus, orang-orang Yahudi menyampaikan tuduhan yang lain sama sekali. Tuduhan mereka murni politis. “Kami mendapati bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya Ia mengatakan bahwa Dialah Kristus, yaitu Raja” (Luk. 23:2). Di sini mereka mengajukan tiga tuduhan, yakni menyesatkan banyak orang, menentang pembayaran pajak kepada kaisar, dan memproklamirkan diri-Nya sebagai raja. Namun, setelah diinterogasi, Pilatus menyatakan bahwa ia tidak mendapati kesalahan apapun pada diri Yesus.
Pilatus kemudian mengirimkan Yesus kepada raja Herodes yang menjabat sebagai raja wilayah Galilea pada waktu itu (Luk. 23:6-11). Apa maksud Pilatus mengirim Yesus kepada Herodes? Maksudnya mungkin untuk mengetahui bagaimana sikap Herodes terhadap tuduhan dan tuntutan orang Yahudi. Ternyata sikap Herodes tidak berbeda dengan sikapnya. Keduanya tidak melihat Yesus sebagai ancaman politis. Baik Herodes maupun Pilatus tidak menemukan kesalahan pada diri Yesus yang membuat-Nya pantas untuk dihukum mati (Luk. 23:4, 14, 22). Akan tetapi, Pilatus pada akhirnya menyerah kepada tuntutan orang Yahudi untuk menyalibkan Yesus (Luk. 23:24).
Gambaran tentang tahap penyelidikan Yesus dalam injil Sinoptik di atas sedikit berbeda dengan penginjil Yohanes. Menurut penginjil Yohanes, Imam Besar Hanas yang menyelidiki Yesus untuk pertama kalinya setelah ditangkap. Dalam penyelidikan itu Imam Besar Hanas menanyai Yesus tentang murid-murid-Nya dan ajaran-Nya (Yoh. 18:19-24). Baru setelah diselidiki oleh Imam Besar Hanas, Yesus dibawa ke hadapan Imam Besar Kayafas (18:24) dan selanjutnya ke istana gubernur Romawi, Pilatus (18:28). Pilatus pertama-tama menginginkan orang Yahudi sendiri mengambil dan mengadili Yesus menurut hukum mereka sendiri, tetapi mereka menanggapi bahwa mereka tidak mempunyai hak untuk menghukum mati seseorang (Yoh.18:31). Itulah sebabnya Pilatus menyelidiki dan pada akhirnya menyerahkan Yesus untuk dihukum mati.
Yesus memanggul salib
Yesus dipaksa untuk memikul sendiri palang salib-Nya dan disesah selama perjalanan menuju tempat penyaliban di Kalvari yang letaknya dekat kota sehingga banyak orang bisa melihat dan menjadi takut. Namun, injil sinoptik tidak pernah menyebutkan secara eksplisit bahwa Yesus membawa kayu palang salib-Nya sendiri. Menurut penginjil Markus, Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota dipaksa oleh para serdadu Romawi untuk memikul kayu palang salib Yesus (Mrk. 15:21; Mat. 27:32; Luk. 23:26). Simon dari Kirene yang terletak di Afrika utara (sekarang Libia) itu mungkin seorang Yahudi yang telah menetap di Yerusalem atau mungkin juga Yahudi diaspora yang sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem untuk merayakan pesta Paskah. Ia dipaksa oleh para prajurit Roma untuk melakukan apa yang telah diajarkan oleh Yesus tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang murid, yakni memikul salib dan mengikuti-Nya (Mrk. 8:35).
Para prajurit Roma tampaknya berhak untuk memaksakan penduduk sipil untuk melakukan tugas yang mereka inginkan sebagaimana diindikasikan oleh penginjil Matius (Mat. 5:41). Namun, tindakan pemaksaan itu berlawanan dengan adat-istiadat Romawi seperti yang tertulis oleh seorang penulis Romawi yang bernama Plutarchus. Plutarchus mencatat bahwa setiap penjahat yang pergi menuju ke tempat hukumannya harus membawa sendiri palang salibnya. Maka, tindakan memaksa orang lain untuk memikul salib Yesus itu boleh dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak biasa. Jika tidak biasa, mengapa para pasukan Roma memaksa Simon dari Kirene untuk memikul salib Yesus? Menurut Brown alasan yang paling mungkin adalah Yesus berada dalam kondisi yang sangat lemah dan para prajurit takut jika Ia akan mati sebelum sampai di tempat penyaliban sehingga tidak bisa melaksanakan perintah gubernur Roma. Jika alasan ini benar, maka Yesus pasti memikul sendiri salibnya sekurang-kurangnya selama beberapa waktu.
Kesimpulan bahwa Yesus pasti memikul sendiri salib-Nya sekurang-kurang selama beberapa waktu itu dibenarkan oleh penginjil Yohanes. Penginjil Yohanes mencatat secara eksplisit bahwa Yesus membawa sendiri salib-Nya tanpa bantuan siapapun ke tempat yang bernama Tempat Tengkorak, yang dalam bahasa Ibrani disebut Golgota (Yoh. 19:17) sebagai bagian dari cawan yang harus diminum-Nya. Namun, patut diingat bahwa Yesus tidak membawa salib lengkap – kayu horizontal dan vertikal sekaligus tetapi hanya kayu palang horizontal saja karena kayu vertikal sudah ada di tempat penyaliban. Biasanya, orang yang menjalani hukuman itu disuruh memikul kayu palang di belakang tengkuk lehernya seperti kuk dengan tangan terentang dan diikat pada kayu palang itu sehingga sulit bergerak. Itulah sebabnya, apa yang dikatakan dalam perhentian ketiga, keenam, dan kesembilan tentang Yesus jatuh ketika memikul kayu palang salib-Nya sungguh-sungguh realistis meski tidak pernah disebutkan dalam injil.
[1] Raymond E. Brown, The Death of the Messiah from Gethsemane to the grave: a Commentary on the Passion narratives in the four Gospel (Doubleday: New York, 1994), 915
Yesus berjumpa dengan ibu-Nya
Perhentian keempat memperingati Yesus berjumpa dengan ibunya. Peristiwa ini tidak pernah diceritakan dalam injil. Dalam injil sinoptik, Ibu Yesus tidak muncul lagi di atas pentas setelah ibu-Nya dan saudara-saudari-Nya datang mencari Yesus (Mrk. 3:31-35; Mat. 12:46-50; Luk. 8:19-21). Siapakah saudara-saudari Yesus yang disebutkan dalam injil sinoptik dan di tempat lain dalam Perjanjian Baru (Yoh. 2:12; 1Kor. 9:5; Gal. 1:19)? Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah saudara-saudari kandung Yesus. Akan tetapi, gereja perdana yang berpegang pada keyakinan bahwa Maria tetap perawan sepanjang hidupnya berpendapat bahwa saudara-saudari Yesus itu bukan saudara-saudari kandung. Hal ini diindikasikan oleh apa yang disebutkan kemudian oleh penginjil Markus bahwa Yakobus dan Yoses adalah anak dari Maria yang berbeda dengan ibu Yesus (Mrk.15:40; Mat. 27:56).
Hanya injil Yohanes yang menyebutkan ibu Yesus secara sekilas dalam kisah sengsara. Maria berdiri di kaki salib dengan murid-Nya yang terkasih (Yoh. 19:25-27). Ketika Yesus yang tersalib melihat ibu-Nya dan murid-Nya yang terkasih, Yesus berkata kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu!” Yesus kemudian berkata kepada murid-Nya, “Inilah ibumu!” Apa arti penting pernyataan Yesus kepada ibu-Nya dan kepada murid-Nya yang terkasih? Yesus meminta ibu-Nya untuk melihat dan menerima murid-Nya yang terkasih sebagai anaknya sendiri. Murid-Nya yang terkasih itu juga diminta untuk melihat dan menerima ibu-Nya sebagai ibunya sendiri sehingga terciptalah keluarga baru yang dibangun oleh Yesus dari atas salib. Itulah sebabnya, ibu Yesus yang ditampilkan sebagai model iman selalu ada bersama sebelas rasul di ruang atas dan mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama menantikan Pentakosta (Kis. 1:14).
Yesus berjumpa dengan perempuan
Berbeda dengan perhentian keempat, perhentian kedelapan “Yesus menghibur perempuan-perempuan yang menangisi-Nya” mengingatkan kita kepada Yesus yang berjumpa dengan perempuan-perempuan Yerusalem. Kisah itu diceritakan secara jelas oleh penginjil Lukas. Diceritakan bahwa “putri-putri Yerusalem” menangisi dan meratapi Yesus sepanjang jalan salib-Nya. Di sini “putri-putri Yerusalem” mewakili kota dan penduduk Yerusalem. Penginjil Lukas tampaknya mengikuti literatur Perjanjian Lama yang menyapa perempuan sebagai representasi dari suatu penduduk atau kota (1Sam. 2:24; Zef. 3:14; Zak. 9:9). Putri-putri Yerusalem yang mewakili kota dan penduduk Yerusalem itu diminta-Nya untuk menangisi dan meratapi kematian kota dan penduduk mereka sendiri karena mereka menolak-Nya. Mereka tidak perlu menangisi dan meratapi jalan salib-Nya. “Janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” (Luk. 23:28; bdk. Yer. 9:16-19).
Selain perempuan-perempuan Yerusalem, kita juga menemukan seorang perempuan yang bernama Veronika. Kisah Veronika mengusap wajah Yesus yang direnungkan dalam perhentian keenam itu tidak pernah disebutkan dalam injil. Namun, ada sebuah legenda menceritakan tentang Veronika sebagai salah seorang perempuan yang mengikuti jalan penderitaan Yesus ke Golgota. Ia mengusap debu dan kotoran dari wajah Yesus dan gambar wajah Yesus ada pada kainnya. Meski kisah ini tidak ditemukan dalam injil, namun apa yang bisa kita temukan kisah kitab suci adalah adanya murid-murid perempuan yang bersedia mendukung karya dan pelayanan Yesus.
Yesus ditelanjangi, disalibkan, dan mati
Perhentian kesepuluh dan kesebelas memperingati Yesus yang ditelanjangi dan disalibkan. Dua peristiwa ini tidak dilukiskan secara terperinci oleh para penginjil sinoptik. Mereka hanya melukiskannya sebagai berikut, “Kemudian mereka menyalibkan Dia, lalu mereka membagi pakaian-Nya dengan membuang undi atasnya untuk menentukan bagian masing-masing” (Mrk. 15:24; Mat. 27:35; Luk. 24:33-34). Tidak satu pun penginjil yang melukiskan peristiwa penyaliban itu secara terperinci. Para penginjil hanya menyebut bahwa Yesus disalib. Tidak dikisahkan bahwa Yesus ditelentangkan dan kemudian dipaku pada tangan dan kaki-Nya. Kita tahu bahwa Yesus dipaku di kayu salib hanya dari kisah penampakan kepada Tomas ketika Yesus memintanya untuk mencucukkan jarinya pada bekas luka di tangan dan lambung-Nya. Hal itu mungkin karena peristiwa itu terlalu mengerikan untuk dilukiskan atau mungkin karena semua orang pada abad pertama mengetahui apa yang terjadi.
Namun, penginjil Yohanes mencatat bahwa sesudah para prajurit menyalibkan Yesus, mereka mengambil pakaian-Nya lalu membaginya menjadi empat bagian, untuk tiap-tiap prajurit satu bagian. jubah-Nya yang ditenun dari atas ke bawah itu tidak dibagi menjadi beberapa potong sehingga mereka mengundinya untuk menentukan siapa yang mendapatkannya (Yoh. 19:24). Tindakan para prajurit ini ditafsirkan dalam terang Mzm 22:19: “Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku.” Jubah yang ditenun dari atas ke bawah itu melambangkan status Yesus sebagai seorang imam dan sekaligus sebagai simbol kesatuannya di antar para pengikut Yesus.
Kematian Yesus di salib adalah fokus dari perhentian kedua belas. Masing-masing penginjil menceritakannya dengan cara yang sedikit berbeda. Dalam Injil Markus, Yesus yang hampir mati ditinggalkan oleh sebagian besar murid-Nya (14:50), beberapa perempuan (15:40), dan bahkan oleh Allah sendiri. Seruan terakhir yang keluar dari mulut Yesus yang dicatat oleh penginjil Markus adalah “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?", yang berarti Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (15:34; bdk. Mzm 22:1). Seruan terakhir ini juga dikutip oleh penginjil Matius (Mat. 27:46). Di sini penginjil Matius menempatkan Mazmur 22:1 pada bibir Yesus. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa engkau meninggalkan Aku.” Seruan ini mengungkapkan sebuah permintaan dari seorang saleh yang menderita supaya Allah turun tangan. Kalimat ini bukanlah seruan seorang yang merasa ditinggalkan oleh Allah, melainkan seruan seorang yang menaruh kepercayaan kepada Allah.
Menurut penginjil Lukas, Yesus berdoa mohon pengampunan bagi para eksekutornya (Luk. 23:34) dan memberi jaminan bagi salah orang yang disalibkan karena melakukan kejahatan (23:43) sebelum berseru dengan suara keras: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku" (Mzm. 31:6) dan menghembuskan nafas terakhir (Luk. 23:46). Jika Markus dan Matius merasa cocok untuk menempatkan kata-kata Mazmur 22 pada mulut Yesus menjelang wafat-Nya, Lukas lebih suka menempatkan Mazmur 31:6 pada mulut Yesus yang tersalib. “Ke dalam tangan-Mulah kuserahkan nyawa-Ku” (Luk. 23:46). Lukas menonjolkan penyerahan yang pasti dan penuh kepercayaan. Penginjil Yohanes yang menggambarkan Yesus sebagai seorang yang mengetahui dan menguasai segala sesuatu menampilkan kata-kata terakhir-Nya “sudah selesai” sebelum menundukkan kepala dan menyerahkan nyawa-Nya (19:30).
Yesus dimakamkan tetapi dibangkitkan
Perhentian ketiga belas dan keempat belas merenungkan peristiwa tentang tubuh Yesus diturunkan dari atas salib dan dikuburkan. Masing-masing penginjil menyinggung tindakan Yusuf dari Arimatea dengan sedikit variasi dalam detailnya. Dari beberapa variasi yang akan ditampilkan di bawah ini terlihat jelas bahwa masing-masing penginjil berupaya untuk menunjukkan bahwa Yesus dikuburkan secara terhormat dan bahwa tempat di mana Ia dikuburkan itu dikenal. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Yesus berbeda dari kebanyakan orang yang dieksekusi mati karena melakukan tindakan kriminal. Yesus tidak dikuburkan di pekuburan umum dan mayat-Nya tidak dibiarkan begitu saja dimakan oleh binatang-binatang liar.
Penginjil Markus melukiskan Yusuf, orang Arimatea, sebagai “seorang anggota Majelis Besar yang terkemuka, yang juga menanti-nantikan Kerajaan Allah” (15:42). Setelah meminta mayat Yesus kepada Pilatus dan membeli kain lenan, Yusuf menurunkannya dari salib dan mengapaninya dengan kain lenan itu. Ia selanjutnya membaringkan-Nya di dalam kubur yang digali di dalam bukit batu dan menggulingkan sebuah batu ke pintu kubur itu (15:46). Penginjil Matius melukiskan Yusuf sebagai seorang murid Yesus yang kaya (27:57). Lukisan ini terkait erat dengan pemilikan kubur baru (27:60) yang dijadikan sebagai tempat jenazah Yesus dibaringkan. Penginjil Lukas juga melukiskan Yusuf sebagai “seorang yang baik lagi benar” (23:50). Lukisan ini mempertahankan gambaran tentang Yusuf sebagai seorang yang saleh, seorang Yahudi yang taat pada hukum Taurat. Meski termasuk seorang anggota Mahkamah Agama, namun Yusuf tidak setuju dengan putusan dan tindakan Mahkamah Agama yang memutuskan bahwa Yesus bersalah karena menghujat Allah dan pantas dihukum mati (Luk. 23:51). Menurut penginjil Yohanes, Yusuf adalah seorang murid Yesus, tetapi sembunyi-sembunyi karena takut kepada para penguasa Yahudi (Yoh. 19:39).
Secara tradisional, stasi jalan salib berakhir dengan merenungkan peristiwa Yesus dikuburkan. Namun, misteri Paskah yang menjadi inti iman kristiani itu tidak berakhir dengan catatan tragis semacam ini. Itulah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II menekankan perlunya penambahan stasi kelima belas, yakni Yesus bangkit dari mati. Penekanan ini tentu saja memiliki landasan biblis yang sangat kuat. Masing-masing penginjil mencatat tentang kesaksian perempuan yang pergi melihat tempat di mana Yesus dikuburkan (Mrk. 15:47; Mat. 27:61; Luk. 23:55-56) tetapi mereka mendapati kubur-Nya kosong (Mrk. 16:1-8; Mat. 28:1-10; Luk. 24:1-11; Yoh. 20:1-18). Kubur kosong itu menunjukkan bahwa Yesus tidak ada dikubur. Ia telah bangkit. Dalam injil Markus (Mrk. 16:1-8) dan Lukas (Luk. 24:1-11), seorang malaikat menugaskan mereka untuk mewartakan kabar gembira bahwa Yesus tidak ada di kubur – Ia telah bangkit! Dalam injil Matius (Mat. 28:1-10) dan Yohanes (Yoh. 20:1-18), kebangkitan itu diperlihatkan oleh kisah bahwa Yesus sendiri menampakkan diri-Nya kepada perempuan-perempuan dan berbicara dengan mereka secara langsung.
Sumber-sumber Bacaan
Brown, Raymond E. The Death of the Messiah from Gethsemane to the grave: a Commentary on the Passion narratives in the four Gospel. Doubleday: New York, 1994.
_____, Kristus Yang Tersalib dalam Pekan Suci. Kanisius: Yogyakarta,1992
Reid, Barbara E. What’s Biblical about…the Stations of the Cross? The Bible Today, Vol. 44, no. 3, 2006.
LeÍ´gasse, Simon, The Trial of Jesus, SCM Press: London, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar