Kamis, Juni 28, 2012

Apa kata kitab suci tentang Altar
Alfons Jehadut


Altar memiliki peran yang sangat mendasar dalam ibadat orang Israel. Perannya sangat mendasar sehingga tidaklah mengherankan kata altar sering disebutkan dalam Alkitab Ibrani (sekitar 460 kali). Kata yang digunakan dalam Alkitab Ibrani adalah mizbÄ“akh (muncul sekitar 400X) yang kemudian diterjemahkan dengan thusiasterion dalam Septuaginta (LXX). Kata Ibrani ini dipahami sebagai sebuah tempat persembahan hewan kurban kepada Allah. Pemahaman ini berasal dari akar katanya, yakni zbkh yang artinya “menyembelih”, “mengorbankan.” Arti dari akar kata ini mengindikasikan fungsi altar sebagai sebuah tempat di mana hewan korban disembelih.

Penampakan Allah dan pendirian altar
Dalam periode sejarah Israel paling awal, altar sering dibangun untuk menandai tempat di mana Allah menampakkan diri kepada salah seorang dari nenek moyang bangsa Israel (Kej. 12:7; 26:24-25). Tempat di mana Allah menampakkan diri sering dibangunkan sebuah altar atau kemah. Abraham membangun altar dekat Sikhem dan Betel tempat di mana Allah menampakkan diri kepadanya dan memanggil nama-Nya di sana (Kej. 12:6-8; 13:4). Ia juga membangun altar atau kemah di Hebron dekat pohon tarbantin di Mamre (Kej. 13:18). Tidak hanya Abraham, Ishak dan Yakub juga membangun altar atau kemah. Ishak mendirikan kemah di Bersyeba (Kej. 26:23-25) dan Yakub di Sikhem. Yakub menamai altar itu “Allah Israel ialah Allah” (Kej. 33:18-20) untuk menandai perjumpaannya dengan yang ilahi. Yakub juga membangun altar di Betel yang disebut “El-Betel”, Allah Betel (Kej. 35:7) karena Allah telah menyatakan diri kepadanya di situ ketika lari dari Esau kakaknya (Kej. 35:1).

Sama seperti kepada nenek moyang Israel yakni Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah juga berbicara kepada Musa. Sebagai tanggapannya terhadap kehadiran Allah, Musa membangunkan sebuah altar yang dinamainya, “TUHANlah panji-panjiku!” (Kel. 17:14-16). Altar ini akan mengingatkan bahwa TUHAN berperang melawan suku Amalek yang dianggap sebagai musuh Israel. Allah sendiri melawan orang Amalek karena mereka melawan umat-Nya dan kehendak-Nya yang dinyatakan melalui diri mereka. Allah memberikan kemenangan bagi orang Israel ketika melawan musuh-musuh mereka yang menantang kekuasaan dan kedaulatan-Nya dengan menyerang umat-Nya. Jadi, altar atau mezbah dibangun untuk mengingatkan kemenangan Allah dan pewahyuan diri-Nya.

Musa juga mendirikan altar atau mezbah di kaki gunung Sinai (Kel. 24:4,6) ketika Allah menampakkan diri kepadanya. Musa, Harun, dua anak tertua Harun (Nadab dan Abihu), dan tujuh puluh orang dari para tua-tua Israel diperintahkan untuk naik menghadap Tuhan di atas gunung Sinai untuk sujud dan menyembah-Nya. Namun, Allah hanya mengizinkan Musa untuk mendekati-Nya secara lebih dekat sebab Allah akan memberikan kepadanya loh-loh batu yang di atasnya akan ditulisnya. Musa lalu mendirikan altar atau mezbah dengan dua belas tugu sesuai jumlah suku Israel untuk menandai tempat di mana Allah telah menyatakan diri kepada umat-Nya. Altar dan dua belas tugu itu secara konkret mewakili kehadiran Allah dan dua belas suku Israel.

Setelah membangun altar dan dengan dua belas tugu, orang Israel mempersembahkan kurban bakaran dan menyembelih lembu-lembu jantan. Musa mengambil sebagian dari darah hewan kurban itu lalu ditaruhnya ke dalam pasu, sebagian lagi disiramkan pada mezbah dan dipercikkan kepada orang Israel. Ritus percikan darah hewan kurban secara simbolis menegaskan bahwa orang Israel telah ditebus dan dikuduskan atau disucikan untuk suatu tujuan yang khusus. Umat Israel ditebus dari dosa dan ditahbiskan menjadi pelayan Allah (bdk. Kel. 19:5-6). Dengan demikian, ritus percikan darah kurban ini memiliki dampak ganda, yakni penebusan dan pemilihan umat Israel untuk menjalankan suatu tugas khusus.

Bahan untuk konstruksi altar
Perjanjian Lama menyebutkan tentang adanya berbagai bahan yang digunakan untuk membangun altar. Berbagai bahan yang digunakan itu sebenarnya memperlihatkan adanya perkembangan dan perubahan konstruksi altar atau kemah dari waktu ke waktu. Kel. 20:24-25, misalnya, melukiskan bahwa Musa diperintah oleh Allah untuk membuat altar dari tanah dan mempersembahkan kurban bakaran di atasnya berupa kambing, domba, lembu, atau sapi. Allah datang dan memberkatinya di tempat yang telah ditentukan-Nya menjadi tempat peringatan bagi nama-Nya. Di sini altar atau mezbah dipandang sebagai manifestasi dari kehadiran-Nya.

Di tempat lain, altar atau kemah dilukiskan terbangun dari batu (Kel. 20:25; Yos. 8:31; Ul. 25:5-7). Altar atau kemah batu itu dianggap lebih umum tidak hanya di antara orang Israel, tetapi juga di antara orang Kanaan (bdk. Ul. 12:3). Pendirian altar atau kemah dengan memakai batu itu memiliki syarat khusus, yakni batu yang digunakan tidak boleh dipahat sebab akan mencemarkan kekudusannya (Kel. 20:25). Alasan lain mengapa batu yang digunakan tidak boleh dipahat itu tidaklah jelas. Namun, ada yang berasumsi bahwa larangan itu dimaksudkan untuk membedakannya dari altar yang dibangun oleh suku Kanaan untuk menyembah dewa-dewi yang memakai batu yang telah dipahat. Ide dasar dari asumsi ini adalah altar dan ibadat kepada Allah harus berbeda dari altar dan ibadat kepada dewa-dewa lain. Dengan memakai batu yang tanpa dipahat, Allah mungkin menghendaki agar umat-Nya berfokus pada Allah yang dipuji dan disembah daripada bangunannya.

Selain terbuat dari tanah dan batu, altar itu juga ada yang dibangun dari tembaga. Altar yang terbuat dari tembaga ini dikaitkan dengan tabut perjanjian (Kel. 27:1-8; 38:1-7) yang terbuat dari kayu penaga dan dilapisi dengan tembaga. Altar itu sering disebut sebagai altar kurban bakaran. Kitab Tawarikh percaya bahwa Salomo juga mendirikan altar yang terbuat dari tembaga (2Taw. 4:1). Kecuali altar tembaga, ada juga altar yang terbuat dari kayu penaga yang dilapisi dengan emas. Altar itu dihubungkan dengan tempat pembakaran ukupan (Kel. 30:1-10 dan 37:25). Altar ini mirip dengan altar yang dibangun oleh Salomo yang terbuat dari kayu aras dengan dilapisi emas (1Raj. 6:20, 22).

Aktivitas yang dikaitkan dengan altar
Aktivitas paling umum yang dikaitkan dengan altar atau mezbah dalam Perjanjian Lama adalah penyembelihan dan pembakaran hewan kurban. Kej. 22:9-10 mengindikasikan bahwa kurban persembahan biasanya disembelih di atas altar. Namun, praktek yang umumnya dilakukan adalah penyembelihan kurban dilakukan di samping atau di depan altar. Darah hewan kurban itu sebagian ditaruh ke dalam pasu atau ditaruh pada tanduk-tanduk mezbah dan sisanya disiram pada bagian bawah altar [1] Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: John Knox Press, 1991), 243. (Kel. 24:6; 29:12; 16; Im. 1:11, 15; 3:2, 8, 13; 4:7, 18). Hewan kurban kemudian dibakar di atas altar (Kel. 29:18, 25; Im. 1:12-13; 3:11, 16; 4:10, 19, 26, 31). Di sini altar lebih mirip dengan sebuah tungku perapian daripada sebuah meja dan tidak terletak di dalam bangunan bait Allah. Altar kurban biasanya berada di luar atau di halaman Bait Allah. Fakta ini juga dapat menjelaskan mengapa altar kurban umumnya dibangun dari batu (Kel. 20:25; Ul. 27:5-6; Yos. 8:31), atau tanah (Kel. 20:24), atau kayu yang dilapisi tembaga (Kel. 38:2; 1Raj. 8:64).

Hewan kurban yang dibakar di atas altar itu dipandang sebagai persembahan kepada yang ilahi. Persembahan hewan kurban itu dibenarkan oleh Allah yang menerima kurban persembahan Habel daripada kurban persembahan Kain. Habel mempersembahkan kurban persembahan dari anak sulung kambing dombanya dan TUHAN mengindahkannya serta kurban persembahannya (Kej. 4:4). Melalui kisah Gideon (Hak. 6:11-28), kita juga menyadari bahwa Allah hadir di atas altar untuk menikmati persembahan kurban. Allah hadir baik secara langsung maupun tidak langsung melalui malaikat utusan-Nya. Kehadiran dan partisipasi Allah melalui utusan-Nya di atas altar pada waktu kurban dipersembahkan itu diceritakan juga dalam kisah Manoah (Hak. 13:8-23). Ketika “nyala api itu naik ke langit dari mezbah, maka naiklah Malaikat TUHAN dalam nyala api mezbah itu” (Hak. 13:20).

Kurban persembahan kepada Allah itu biasanya dilakukan oleh para imam dari suku Lewi. Namun, menjadi anggota suku Lewi itu tidak otomatis menjadi imam. Namun, anggota suku Lewi yang tidak bisa menjadi imam dapat membantu di Bait Allah dan memberi dukungan bagi seluruh aktivitas para imam di Bait Allah termasuk menjadi penjaga, pekerja, dan pembantu di Bait Allah. Keturunan suku Lewi yang ingin menjadi imam harus memenuhi kualifikasi tertentu seperti telah berumur dua puluh tahun dan tidak mempunyai kelemahan fisik seperti tidak bisa melihat, menderita penyakit kusta, mengalami kepincangan, dan lain sebagainya. Daftar lengkap tentang kualifikasi itu tercatat dalam Im. 21:18-20. Daftar lengkap kualifikasi ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa Bait Allah tidak tercemar oleh berbagai kenajisan.

Selain altar kurban, orang Israel juga memiliki altar dupa yang dikhususkan untuk pembakaran dupa (Kel. 30:1-10; 37:25-28; 40:26). Altar dupa biasanya dibuat di dalam Bait itu sendiri. Altar itu dibuat dari kayu penaga dan dilapisi emas murni serta diletakkan di depan pintu masuk ruang Maha Kudus (bdk. 1Raj. 6:20-22; 7:48). Di atas altar dupa itu imam Harun “membakar ukupan dari wangi-wangian; tiap-tiap pagi, apabila ia membersihkan lampu-lampu, haruslah ia membakarnya. Juga apabila Harun memasang lampu-lampu itu pada waktu senja, haruslah ia membakarnya” (Kel. 30:7-8). Perintah ini mengindikasikan bahwa pembakaran dupa adalah hak prerogatif para imam. Pembakaran dupa itu dimaksudkan untuk tujuan suci dan bukan untuk tujuan profan (Kel. 30:34-38) sehingga setiap bentuk penyelewengan dikutuk dan dihukum berat.

Apa makna persembahan dupa di altar pedupaan? Untuk bisa memahaminya kita perlu sekilas menengok ritus yang dilakukan pada hari raya pendamaian, Yom Kippur, yang dilukiskan dalam Im. 16. Hari raya ini dirayakan dengan penuh gairah oleh orang Yahudi dengan harapan mendapatkan pengampunan dan penebusan dosa. Dalam perayaan ini imam Harun “mengambil perbaraan berisi penuh bara api dari atas mezbah yang di hadapan TUHAN, serta serangkup penuh ukupan dari wangi-wangian yang digiling sampai halus, lalu membawanya masuk ke belakang tabir. Kemudian ia harus meletakkan ukupan itu di atas api yang di hadapan TUHAN, sehingga asap ukupan itu menutupi tutup pendamaian yang di atas hukum Allah, supaya ia jangan mati” (Im. 16:12–13). Asap dupa melindungi imam Harun dari kematian karena berjumpa langsung dengan yang ilahi yang tinggal di dalam tempat mahakudus di atas tabut perjanjian. Dengan masuk ke tempat maha kudus, imam Harun melanggar batas antara manusia dengan yang ilahi. Jadi, asap melindungi iman dari kemurkaan ilahi atau dari “pancaran sinar” ilahi karena melanggar batas kesucian.

Selain memberikan perlindungan, dupa yang dibakar menghasilkan asap yang berfungsi sebagai sebuah indikasi bahwa Allah sungguh-sungguh hadir di tempat maha kudus. Asap dupa dikaitkan dengan awam di puncak gunung Sinai. Tradisi imamat menekankan bahwa kemuliaan Allah tinggal di tempat maha kudus (bdk. Kel. 24:15-18; 40:34-38). Asap dupa dipandang sebagai simbol kehadiran yang ilahi. Itulah sebabnya, persembahan dupa dilakukan secara rutin pada pagi dan sore hari di Bait Allah (Kel. 30:7-8) untuk menjamin kehadiran-Nya. Maka, bukanlah sebuah kebetulan bahwa imam Zakharia melihat malaikat Allah pada waktu mempersembahkan dupa di bait Allah sebab asap dupa melambangkan kehadiran atau penampakan Allah atau utusan-Nya (Luk. 1:8–13).

Dalam surat-surat Paulus dan kitab Wahyu, dupa dan wewangian digunakan sebagai sebuah kiasan. Dalam 2Kor. 2:14-16, pengenalan akan Allah atau Kristus dilukiskan sebagai bau yang harum dan para rasul sendiri dibandingkan dengan dupa atau wewangian yang dipersembahkan kepada Allah. Kurban Kristus sendiri disebut oleh Paulus sebagai persembahan dan kurban yang harum bagi Allah (Ef. 5:2; bdk. Kej. 8:21). Dalam Why. 5:8 dupa digunakan untuk melukiskan doa kaum beriman.

Makna simbolis Altar dulu dan sekarang
Makna simbolis dari altar dalam gereja pada masa kini masih sama maknanya dengan altar dalam Perjanjian Lama. Altar masih dipandang sebagai tempat perjumpaan dengan yang ilahi dan tempat persekutuan antara Allah dengan umat-Nya. Namun, altar tidak lagi dikaitkan dengan penyembelihan dan pembakaran hewan kurban. Walau begitu, altar dalam gereja saat ini masih dipahami sebagai tempat kurban persembahan sebab perjamuan kudus yang dirayakan di atas altar tidak hanya melambangkan kehadiran Kristus, tetapi juga pemberian diri-Nya kepada Bapa sebagai persembahan dan kurban yang harum bagi Allah (Ef. 5:2).

Sejak Perjamuan Tuhan dirayakan di atas meja di rumah-rumah anggota jemaat (Kis. 2:46), altar itu juga kemudian dipahami sebagai sebuah meja perjamuan Paskah. Jemaat kristiani perdana melukiskan altar sebagai meja perjamuan Tuhan (1Kor. 10:21). Penekanan pada altar sebagai meja perjamuan Tuhan itu lebih tonjolkan ketika perayaan ekaristi dipindahkan dari rumah-rumah anggota jemaat ke dalam bangunan gereja. Meja perjamuan itu melambangkan Kristus dan pada saat yang sama melambangkan imam, altar, dan kurban penebusan Kristus.
Sumber-sumber Bacaan

Chilton, Bruce “Altar” dalam The New Interpreter’s Dictionary of the Bible, Vol. 1. Nashville: Abingdon Press, 2006.

Fretheim, Terence E. Exodus. Louisville: John Knox Press, 1991.

Gorman, Frank H. Divine Presence and Community: a Commentary on the Book of Leviticus. Grand Rapids: Eerdmans, 1997.

Lenchak, Timothy A. “What’s Biblical about…the Altar” dalam The Bible Today (July 2006):249-250.

Notebarart, James, “altar” dalam The New Dictionary of Theology. Collegeville: The Liturgical Press, 1987.


Tidak ada komentar: