AKU SESAMA BAGI SIAPA?
Jarot Hadianto
Jarot Hadianto
Yesus pastilah orang yang pintar bercerita. Dalam rangka mengajar umat yang tentu memiliki pola pikir yang sederhana, Ia banyak mengisahkan perumpamaan yang menarik. Beberapa di antaranya dapat kita golongkan sebagai masterpiece karena begitu terkenal, populer, dan tertancap demikian mendalam di hati para pencinta Kitab Suci. Perumpamaan “orang Samaria yang murah hati” adalah salah satu contohnya. Meskipun “hanya” merupakan kisah fiktif, tidak ada yang menolak bahwa perumpamaan ini begitu indah, mengharukan, dan membangkitkan sebuah kesadaran baru.
Bukan sekadar menjelaskan tentang siapa yang disebut sebagai “sesama”, perumpamaan yang hanya ada dalam Injil Lukas ini sebenarnya tergolong sebagai perumpamaan yang radikal, mengingat betapa buruknya relasi orang Yahudi dan orang Samaria waktu itu. Mungkin kita bahkan bisa menyejajarkan maksud perumpamaan ini dengan ajaran Yesus ten tang “mengasihi musuh” (Luk. 6:27-36).
Yesus yang memiliki pandangan terbuka kali ini berhadapan dengan seorang ahli Taurat yang berpandangan picik, yang bertanya hanya dengan maksud mencobai Dia. Perhatikan bahwa perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati dengan jelas memperlihatkan “kecerdasan” Yesus yang mengubah pertanyaan “siapakah sesamaku manusia” menjadi “siapakah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu”.
LUKAS 10:25-37
25 Kemudian berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya, “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” 26 Jawab Yesus kepadanya, “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di dalamnya?” 27 Jawab orang itu, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” 28 Kata Yesus kepadanya, “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” 29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus, “Dan siapakah sesamaku manusia?” 30 Jawab Yesus, “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi juga memukulnya dan sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 35 Keesokan harinya ia mengeluarkan dua dinar dan memberikannya kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. 36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” 37 Jawab orang itu, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya, “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Struktur Teks
Perikop panjang Luk. 10:25-37 dapat kita bagi dalam dua bagian besar, ay. 25-28 dan ay. 29-37. Ternyata dua bagian ini isinya sama, yaitu perdebatan antara Yesus dan seorang ahli Taurat, dan memiliki pola yang sejajar, sebagai berikut:
• Ay. 25 = ay. 29 = Ahli Taurat bertanya kepada Yesus, tapi tidak dengan maksud yang tulus.
• Ay. 26 = ay. 30-36 = Yesus memberikan tanggapan, termasuk dengan mengisahkan suatu perumpamaan. Tanggapan Yesus itu pada dasarnya berbentuk “pertanyaan balik”.
• Ay. 27 = ay. 37a = Ahli Taurat menanggapi pertanyaan Yesus.
• Ay. 28 = ay. 37b = Perintah Yesus: “perbuatlah demikian”, yang sekaligus merupakan penutup perdebatan.
Ulasan Teks
Cara memperoleh hidup yang kekal
Semua orang tahu, hidup di dunia ini hanya sementara. Pada masa Yesus, konsep kehidupan abadi pasca kematian sudah dikenal. Tentunya setiap orang berharap agar dalam kehidupan abadi itu ia mendapatkan tempat yang nyaman (dalam istilah sekarang: surga), bukan sebaliknya, menderita di tempat gelap yang penuh “ratapan dan kertak gigi” (maksudnya neraka). Kehidupan kekal nan bahagia juga menjadi kerinduan seorang ahli Taurat, yang kali ini bertanya kepada Yesus, bagaimana cara memperolehnya. Sayang, ia bertanya tidak dengan maksud yang tulus, semata-mata “untuk mencobai Yesus”.
Namun, itu jelas bukan hal yang mudah. Selain cukup peka menangkap isi hati seseorang, Yesus juga suka menjawab pertanyaan dengan suatu pertanyaan (bdk. Luk. 20:21-24). Kali ini Yesus menyuruh si ahli Taurat mencari sendiri jawabannya dalam hukum Taurat. Orang ini tentu saja mengetahui hukum Taurat sampai sekecil-kecilnya. Maka, dengan senang hati ia “menjelaskan” kepada Yesus bahwa menurut Taurat Musa, cara memperoleh hidup kekal adalah “kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu” (Ul. 6:5) dan “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Im. 19:18).
Meski hubungan antara “mengasihi Tuhan” dan “mengasihi sesama” tidak dijelaskan (apakah berjalan sendiri-sendiri ataukah ada hubungannya, misalnya mengasihi Tuhan dengan mengasihi sesama?), kiranya cukup diterima bahwa mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati dan mengasihi sesama dengan sungguh-sungguh akan membuat seseorang hidup dengan “seimbang”. Ia hidup di dunia ini sebagai orang yang benar dan karenanya nanti layak menerima kehidupan kekal. Tanpa pikir panjang, tidak juga memberi tambahan komentar dan penjelasan, Yesus menyetujui jawaban ahli Taurat itu dan berkata pendek, “... Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.”
Sesama manusia adalah...
Mestinya jawaban itu sudah cukup menyadarkan ahli Taurat untuk segera “berbuat” sesuatu, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama manusia secara konkret. Namun, mungkin karena maksudnya memang hanya untuk mencobai Yesus, orang itu masih sibuk “berteori” dan malah meminta Yesus mendefinisikan siapakah yang disebut “sesama manusia” itu. Dengan begitu, ahli Taurat itu melebarkan tema pembicaraan dari cara memperoleh hidup kekal kepada definisi sesama manusia.
Baginya Yesus pun lalu mengisahkan perumpamaan (yang juga diakhiri dengan sebuah pertanyaan!) tentang seorang yang sekarat dihajar para penyamun. Sebagaimana kita, ahli Taurat itu mestinya mula-mula mengira bahwa cerita Yesus itu pasti biasa-biasa saja, yang paling-paling – sesuai dengan pertanyaan: siapakah sesamaku manusia – mau mengatakan bahwa “orang malang itu adalah sesama bagimu”. Kalau itu kesimpulannya mah, setiap orang juga tahu...
Celaka bagi si orang pintar, cerita Yesus ternyata bergulir di luar dugaan. Siapa pun yang mendengar perumpamaan itu rupanya harus mengidentifikasikan diri sebagai korban perampokan, bukan sebagai salah satu dari tiga orang yang lewat di tempat itu. Saya adalah orang yang dirampok dan hampir mati: siapakah yang sudi menolong saya; siapa yang sudi menganggap saya sebagai sesama? Bukan orang-orang dari bangsa sendiri (tokoh imam dan orang Lewi) yang menolong saya, melainkan orang Samaria! Orang Samaria yang saya pandang rendah, najis, tidak murni, berkeyakinan sesat, dan bukan umat Tuhan yang sejati ternyata adalah sesamaku.
Terkejut dengan ending perumpamaan Yesus, dengan rasa segan ahli Taurat itu terpaksa menjawab pertanyaan: “siapakah sesama manusia dari korban perampokan itu?” atau dengan ungkapan lain: “siapakah sesama manusia bagimu?” Mempertahankan egonya, ia tidak mau terang-terangan menyebut “orang Samaria itu” dan hanya berkata, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Si ahli Taurat masih tidak terima orang Samaria dikatakan sebagai sesamanya!
Amanat
Menutup perumpamaan-Nya, sekaligus mengakhiri perdebatan dengan ahli Taurat itu, Yesus mengatakan “perbuatlah demikian”. Sampai dua kali Yesus mengatakan hal itu dalam pembicaraan ini, menunjukkan bahwa bagi-Nya, teori dan definisi tentang sesama manusia bukan merupakan hal yang utama dan tidak terlalu penting. Yang penting adalah mempraktikkan kasih itu. Banyak orang tahu ajaran tentang “mengasihi sesama manusia”, tetapi perang, kebencian, kerusuhan, dan perselisihan yang sekarang ini terjadi di mana-mana dengan jelas membuktikan bahwa ajaran itu baru sebatas diketahui, belum dilaksanakan.
Bagi kita, kenyataan ini cukup ironis, sebab dengan semboyan bhinneka tunggal ika mestinya bangsa ini memandang keragaman sebagai berkat, bukannya pangkal masalah. Nyatanya, masyarakat terbagi dalam kelompok-kelompok kecil, yang satu sama lain saling memusuhi dan merendahkan. Dengan perumpamaan “orang Samaria yang murah hati”, Yesus mau mengajarkan bahwa orang yang berasal dari kelompok lain adalah manusia seperti kita juga. Dalam diri mereka ada belas kasih, kebaikan, dan kasih sayang. Terbukti, mereka mau mengulurkan tangan ketika seseorang berada dalam kesusahan, meski orang itu bukanlah anggota kelompok mereka.
Lukas menyajikan perumpamaan itu dalam injilnya untuk menyampaikan gagasannya tentang kasih Allah kepada seluruh manusia, tanpa kecuali, tanpa pandang bulu. Meneladani Allah, hendaknya manusia pun bersikap demikian. Kasih yang tidak membeda-bedakan itu akan membuat manusia hidup rukun satu sama lain, bumi pun menjadi damai. Semoga dengan begitu, jalan menuju ke hidup yang kekal terbuka lebar-lebar bagi semua orang.***
Pertanyaan Pendalaman
1. Sebagai siapa kita mengidentifikasikan diri kita dalam perumpamaan “orang Samaria yang murah hati” ini?
2. Apa maksud Yesus mengatakan “perbuatlah demikian” sampai dua kali dalam perikop ini?
3. Jadi, siapakah yang Anda sebut sebagai “sesama manusia” itu?
4. Apa yang secara konkret Anda lakukan “untuk memperoleh hidup yang kekal”?
Bukan sekadar menjelaskan tentang siapa yang disebut sebagai “sesama”, perumpamaan yang hanya ada dalam Injil Lukas ini sebenarnya tergolong sebagai perumpamaan yang radikal, mengingat betapa buruknya relasi orang Yahudi dan orang Samaria waktu itu. Mungkin kita bahkan bisa menyejajarkan maksud perumpamaan ini dengan ajaran Yesus ten tang “mengasihi musuh” (Luk. 6:27-36).
Yesus yang memiliki pandangan terbuka kali ini berhadapan dengan seorang ahli Taurat yang berpandangan picik, yang bertanya hanya dengan maksud mencobai Dia. Perhatikan bahwa perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati dengan jelas memperlihatkan “kecerdasan” Yesus yang mengubah pertanyaan “siapakah sesamaku manusia” menjadi “siapakah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu”.
LUKAS 10:25-37
25 Kemudian berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya, “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” 26 Jawab Yesus kepadanya, “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di dalamnya?” 27 Jawab orang itu, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” 28 Kata Yesus kepadanya, “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” 29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus, “Dan siapakah sesamaku manusia?” 30 Jawab Yesus, “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi juga memukulnya dan sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 35 Keesokan harinya ia mengeluarkan dua dinar dan memberikannya kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. 36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” 37 Jawab orang itu, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya, “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Struktur Teks
Perikop panjang Luk. 10:25-37 dapat kita bagi dalam dua bagian besar, ay. 25-28 dan ay. 29-37. Ternyata dua bagian ini isinya sama, yaitu perdebatan antara Yesus dan seorang ahli Taurat, dan memiliki pola yang sejajar, sebagai berikut:
• Ay. 25 = ay. 29 = Ahli Taurat bertanya kepada Yesus, tapi tidak dengan maksud yang tulus.
• Ay. 26 = ay. 30-36 = Yesus memberikan tanggapan, termasuk dengan mengisahkan suatu perumpamaan. Tanggapan Yesus itu pada dasarnya berbentuk “pertanyaan balik”.
• Ay. 27 = ay. 37a = Ahli Taurat menanggapi pertanyaan Yesus.
• Ay. 28 = ay. 37b = Perintah Yesus: “perbuatlah demikian”, yang sekaligus merupakan penutup perdebatan.
Ulasan Teks
Cara memperoleh hidup yang kekal
Semua orang tahu, hidup di dunia ini hanya sementara. Pada masa Yesus, konsep kehidupan abadi pasca kematian sudah dikenal. Tentunya setiap orang berharap agar dalam kehidupan abadi itu ia mendapatkan tempat yang nyaman (dalam istilah sekarang: surga), bukan sebaliknya, menderita di tempat gelap yang penuh “ratapan dan kertak gigi” (maksudnya neraka). Kehidupan kekal nan bahagia juga menjadi kerinduan seorang ahli Taurat, yang kali ini bertanya kepada Yesus, bagaimana cara memperolehnya. Sayang, ia bertanya tidak dengan maksud yang tulus, semata-mata “untuk mencobai Yesus”.
Namun, itu jelas bukan hal yang mudah. Selain cukup peka menangkap isi hati seseorang, Yesus juga suka menjawab pertanyaan dengan suatu pertanyaan (bdk. Luk. 20:21-24). Kali ini Yesus menyuruh si ahli Taurat mencari sendiri jawabannya dalam hukum Taurat. Orang ini tentu saja mengetahui hukum Taurat sampai sekecil-kecilnya. Maka, dengan senang hati ia “menjelaskan” kepada Yesus bahwa menurut Taurat Musa, cara memperoleh hidup kekal adalah “kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu” (Ul. 6:5) dan “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Im. 19:18).
Meski hubungan antara “mengasihi Tuhan” dan “mengasihi sesama” tidak dijelaskan (apakah berjalan sendiri-sendiri ataukah ada hubungannya, misalnya mengasihi Tuhan dengan mengasihi sesama?), kiranya cukup diterima bahwa mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati dan mengasihi sesama dengan sungguh-sungguh akan membuat seseorang hidup dengan “seimbang”. Ia hidup di dunia ini sebagai orang yang benar dan karenanya nanti layak menerima kehidupan kekal. Tanpa pikir panjang, tidak juga memberi tambahan komentar dan penjelasan, Yesus menyetujui jawaban ahli Taurat itu dan berkata pendek, “... Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.”
Sesama manusia adalah...
Mestinya jawaban itu sudah cukup menyadarkan ahli Taurat untuk segera “berbuat” sesuatu, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama manusia secara konkret. Namun, mungkin karena maksudnya memang hanya untuk mencobai Yesus, orang itu masih sibuk “berteori” dan malah meminta Yesus mendefinisikan siapakah yang disebut “sesama manusia” itu. Dengan begitu, ahli Taurat itu melebarkan tema pembicaraan dari cara memperoleh hidup kekal kepada definisi sesama manusia.
Baginya Yesus pun lalu mengisahkan perumpamaan (yang juga diakhiri dengan sebuah pertanyaan!) tentang seorang yang sekarat dihajar para penyamun. Sebagaimana kita, ahli Taurat itu mestinya mula-mula mengira bahwa cerita Yesus itu pasti biasa-biasa saja, yang paling-paling – sesuai dengan pertanyaan: siapakah sesamaku manusia – mau mengatakan bahwa “orang malang itu adalah sesama bagimu”. Kalau itu kesimpulannya mah, setiap orang juga tahu...
Celaka bagi si orang pintar, cerita Yesus ternyata bergulir di luar dugaan. Siapa pun yang mendengar perumpamaan itu rupanya harus mengidentifikasikan diri sebagai korban perampokan, bukan sebagai salah satu dari tiga orang yang lewat di tempat itu. Saya adalah orang yang dirampok dan hampir mati: siapakah yang sudi menolong saya; siapa yang sudi menganggap saya sebagai sesama? Bukan orang-orang dari bangsa sendiri (tokoh imam dan orang Lewi) yang menolong saya, melainkan orang Samaria! Orang Samaria yang saya pandang rendah, najis, tidak murni, berkeyakinan sesat, dan bukan umat Tuhan yang sejati ternyata adalah sesamaku.
Terkejut dengan ending perumpamaan Yesus, dengan rasa segan ahli Taurat itu terpaksa menjawab pertanyaan: “siapakah sesama manusia dari korban perampokan itu?” atau dengan ungkapan lain: “siapakah sesama manusia bagimu?” Mempertahankan egonya, ia tidak mau terang-terangan menyebut “orang Samaria itu” dan hanya berkata, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Si ahli Taurat masih tidak terima orang Samaria dikatakan sebagai sesamanya!
Amanat
Menutup perumpamaan-Nya, sekaligus mengakhiri perdebatan dengan ahli Taurat itu, Yesus mengatakan “perbuatlah demikian”. Sampai dua kali Yesus mengatakan hal itu dalam pembicaraan ini, menunjukkan bahwa bagi-Nya, teori dan definisi tentang sesama manusia bukan merupakan hal yang utama dan tidak terlalu penting. Yang penting adalah mempraktikkan kasih itu. Banyak orang tahu ajaran tentang “mengasihi sesama manusia”, tetapi perang, kebencian, kerusuhan, dan perselisihan yang sekarang ini terjadi di mana-mana dengan jelas membuktikan bahwa ajaran itu baru sebatas diketahui, belum dilaksanakan.
Bagi kita, kenyataan ini cukup ironis, sebab dengan semboyan bhinneka tunggal ika mestinya bangsa ini memandang keragaman sebagai berkat, bukannya pangkal masalah. Nyatanya, masyarakat terbagi dalam kelompok-kelompok kecil, yang satu sama lain saling memusuhi dan merendahkan. Dengan perumpamaan “orang Samaria yang murah hati”, Yesus mau mengajarkan bahwa orang yang berasal dari kelompok lain adalah manusia seperti kita juga. Dalam diri mereka ada belas kasih, kebaikan, dan kasih sayang. Terbukti, mereka mau mengulurkan tangan ketika seseorang berada dalam kesusahan, meski orang itu bukanlah anggota kelompok mereka.
Lukas menyajikan perumpamaan itu dalam injilnya untuk menyampaikan gagasannya tentang kasih Allah kepada seluruh manusia, tanpa kecuali, tanpa pandang bulu. Meneladani Allah, hendaknya manusia pun bersikap demikian. Kasih yang tidak membeda-bedakan itu akan membuat manusia hidup rukun satu sama lain, bumi pun menjadi damai. Semoga dengan begitu, jalan menuju ke hidup yang kekal terbuka lebar-lebar bagi semua orang.***
Pertanyaan Pendalaman
1. Sebagai siapa kita mengidentifikasikan diri kita dalam perumpamaan “orang Samaria yang murah hati” ini?
2. Apa maksud Yesus mengatakan “perbuatlah demikian” sampai dua kali dalam perikop ini?
3. Jadi, siapakah yang Anda sebut sebagai “sesama manusia” itu?
4. Apa yang secara konkret Anda lakukan “untuk memperoleh hidup yang kekal”?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar