ORANG KAYA YANG MENGAMBIL DOMBA ORANG MISKIN
(Bagian 2)
(Bagian 2)
Jarot Hadianto
“Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan.” (2Sam. 12:6)
Power tends to corrupt
Kisah Daud dan Batsyeba tersusun dengan rapi, cukup jelas, dan enak dibaca. Pembaca niscaya akan menikmati kisah ini dan tidak menemukan banyak kesulitan untuk memahaminya. Namun, satu-satunya kesulitan yang ada ternyata menjadi masalah terbesar perikop ini: Mengapa aib yang tidak senonoh itu perlu diceritakan dan dimuat dalam Kitab Suci? Sejumlah pencinta Kitab Suci sungguh menyayangkan hal tersebut. Sambil mengelus dada, mereka berpendapat mestinya cerita-cerita yang saru, tidak pantas, dan tidak suci seperti itu tidak usah dimuat saja. Namanya juga Kitab Suci! Sudah begitu, kisah Daud yang tak bisa menahan nafsunya itu sering membuat umat repot. Gara-gara itu orang lain jadi seenaknya menuduh: “Kitab Suci orang Kristen isinya pornografi semua.” Kalau saja Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi jadi disahkan, bisa-bisa skandal Daud itu membuat Kitab Suci kita dilarang beredar. Malu, kan?
Tapi itu sebenarnya tergantung pada pemahaman kita tentang makna Kitab Suci. Kalau Kitab Suci dipandang sebagai kitab yang berisikan hal-hal yang suci, ya aib Daud sebaiknya disembunyikan saja. Konsekuensinya Alkitab akan jadi tipis, karena kisah-kisah perang, pembunuhan, dan pemerkosaan dengan begitu juga harus disingkirkan. Kiranya akan lebih baik jika kita berpendapat bahwa Alkitab disebut Kitab Suci karena di situ dapat kita temukan ajaran-ajaran tentang keutamaan hidup yang disampaikan melalui pengalaman-pengalaman umat TUHAN di masa lalu, baik itu pengalaman yang menyenangkan maupun pengalaman yang mengerikan. Dengan gagasan demikian, kita bisa mengerti mengapa penyusun kitab Samuel tidak malu-malu mengisahkan skandal Daud dan Batsyeba. Justru kita perlu memujinya, sebab dengan begitu ia jujur menampilkan manusia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Daud tidak terkecuali. Hamba pilihan TUHAN ini hidupnya tidak hanya diisi oleh cerita-cerita sukses. Saat-saat yang kelam juga pernah menaungi perjalanan hidupnya.
Dengan mengingini istri Uria, Daud membuka pintu hatinya bagi kejahatan. Sebagai raja ia mempunyai kekuasaan yang sangat besar, mestinya hal itu membuatnya berhati-hati dalam bertindak. Bukankah ada ungkapan: power tends to corrupt (kekuasaan cenderung disalahgunakan)? Jelas-jelas Daud mengabaikan nasihat bijak itu. Lupa dengan idealismenya saat berjuang dan dikejar-kejar Saul, setelah menjadi raja sekarang gantian Daud yang mabuk kuasa dan menyalahgunakan jabatannya. Diawali dengan zina, kejahatan-kejahatan lain dengan segera datang menyusul. Apa boleh buat, dosa yang satu dilakukan untuk menutupi dosa yang lain. Daud perlu membunuh Uria untuk menyembunyikan skandalnya dengan Batsyeba. Dihitung-hitung, sang raja setidaknya telah melanggar tiga perintah Allah yang paling dasar: ia berzina; mengingini istri orang; dan melakukan pembunuhan (lih. Kel. 20:1-17). Tapi parahnya, sejauh ini tidak ada yang menegurnya, sehingga Daud tenang-tenang saja dan tidak merasa bersalah. Mungkin begitulah tabiat khas para penguasa, tidak ada bedanya zaman dahulu dan sekarang. Sungguh mengesalkan bahwa mereka ini berlagak seolah-olah berada di atas hukum. Kalau saja Daud bukan raja, kejahatannya itu pasti sudah diganjar dengan hukuman mati!
Karena takut, orang-orang di sekitar Daud diam saja melihat kelakuan rajanya. Tapi TUHAN tak bisa diam. Salah besar jika Daud mengira jabatannya bisa membuat dirinya bebas berbuat apa saja sesuka hati. Ia tak kebal hukum, dan TUHAN selaku raja Israel yang sejati siap menghakiminya. Maka, perikop perzinaan Daud dan Batsyeba pun diakhiri dengan sebuah kalimat tegas bernada penghakiman: “Tetapi hal yang telah dilakukan Daud itu adalah jahat di mata TUHAN” (2Sam. 11:27). Hukuman telah menanti sang raja. Sesuai dengan dosa yang dilakukannya, hukuman itu sangat hebat.
Dulu diberkati, sekarang dikutuk
Pantas saja Nabi Natan merasa jengkel melihat ulah sang raja. Kiranya di pundak Daud ia menaruh banyak harapan. Hal itu tidak mengherankan jika kita menilik track record Daud yang sangat positif sebelum ia menjadi raja dan pada masa-masa awal pemerintahannya. Karenanya banyak pihak percaya Daud akan menjadi raja yang berhasil; ia akan memerintah Israel sebagai wakil TUHAN dalam kebenaran dan keadilan. Natan adalah salah seorang pendukung Daud. Terhadap sang raja nada bicaranya pernah sangat optimis. Bacalah tentang hal tersebut selengkapnya dalam 2Sam. 7:1-17. Sebagai penyambung lidah Allah, di situ Natan menubuatkan berkat berlimpah dari-Nya bagi Daud dan keturunannya. Namun, Daud pertama-tama diingatkan bahwa kejayaan yang dialaminya saat ini adalah berkat penyelenggaraan dan kebaikan hati TUHAN.
Berikut petikannya: “Akulah yang mengambil engkau dari padang, ketika menggiring kambing domba, untuk menjadi raja atas umat-Ku Israel. Aku telah menyertai engkau di segala tempat yang kaujalani dan telah melenyapkan segala musuhmu dari depanmu. Aku membuat besar namamu seperti nama orang-orang besar yang ada di bumi. Aku menentukan tempat bagi umat-Ku Israel dan menanamkannya, sehingga ia dapat diam di tempatnya sendiri dengan tidak lagi dikejutkan dan tidak pula ditindas oleh orang-orang lalim seperti dahulu, sejak Aku mengangkat hakim-hakim atas umat-Ku Israel. Aku mengaruniakan keamanan kepadamu dari semua musuhmu. Juga diberitahukan TUHAN kepadamu: TUHAN akan memberikan keturunan kepadamu.” (2Sam. 7:8-11)
Jadi Daud diingatkan bahwa kemuliaan yang diraihnya bukan semata karena usahanya pribadi, tapi pertama-tama dan terutama berkat kasih setia TUHAN. Mengapa TUHAN berkenan memilih Daud? Tidak ada hubungannya dengan ketaatan atau prestasi yang diraih Daud, dengan mengatakan “Akulah yang mengambil engkau” (dan kalimat-kalimat lain yang semuanya diawali dengan “Aku”) Natan menegaskan bahwa pilihan TUHAN itu bersumber dari kehendak bebas-Nya. TUHAN mengasihi Daud dan melimpahinya dengan rupa-rupa karunia karena Ia berkehendak begitu. Terdorong oleh kasih setianya pula TUHAN berkenan mengikat perjanjian dengan Daud. Kepadanya Ia menjanjikan sesuatu yang luar biasa: Takhta Daud akan kokoh untuk selama-lamanya (2Sam. 7:12-16)!
Demikianlah, janji itu ditujukan kepada Daud, tapi cukup jelas bahwa anak cucu Daud akan menikmati dampaknya pula. Bagaimana tidak, TUHAN sendiri yang akan membangkitkan keturunan bagi Daud dan akan “mengokohkan takhta kerajaannya untuk selama-lamanya”. Maka, nubuat itu bukan hanya memberi legitimasi bagi pemerintahan Daud, tapi juga pemerintahan keturunannya. Raja-raja dinasti Daud dengan begitu dapat menunjuk nubuat Nabi Natan 2Sam. 7 sebagai klaim bahwa pemerintahan mereka direstui oleh TUHAN.
Namun jika tidak dicerna dengan tepat, nubuat sang nabi akan kontraproduktif, tidak lebih dari sekadar dukungan membabi buta bagi kekuasaan raja-raja keturunan Daud, dan itu hanya akan mendorong mereka memerintah sesuka hati. Oleh karena itu pendapat sejumlah pakar Kitab Suci berikut patut kita perhatikan. Gnana Robinson dalam bukunya Let Us Be Like the Nations berpendapat bahwa teks 2Sam. 7 dari waktu ke waktu telah mengalami redaksi oleh banyak pihak. Sulitlah bagi kita sekarang ini untuk memilih-milahnya. Tapi setidaknya dalam bentuknya yang terakhir cukup jelas nubuat Natan ini menggambarkan keyakinan penyusun bahwa dinasti Daud adalah manifestasi karya penyelamatan Allah bagi bangsa Israel. Dulu TUHAN memimpin mereka keluar dari Mesir; memberikan Kanaan sebagai tanah terjanji untuk mereka tempati; sekarang Ia menunjuk orang pilihan-Nya untuk memerintah mereka dengan adil. Ia juga menjamin kemuliaan bagi Daud (dengan begitu juga bangsa yang dipimpinnya) di masa depan. Sementara itu, Walter Brueggemann dalam bukunya First and Second Samuel menilai bahwa nubuat Natan dalam 2Sam. 7 merupakan pernyataan teologis yang paling krusial dalam Perjanjian Lama. Menurut Brueggemann, nubuat Natan ini menggambarkan iman – yang bercampur dengan keyakinan ideologis – pihak-pihak pendukung keluarga Daud yang berani mengklaim bahwa Allah sendiri yang mengesahkan pemerintahan dinasti ini untuk selama-lamanya.
Namun, bahkan pendukung keluarga Daud pun akhirnya menyadari bahwa pemerintahan di dunia ini selalu ada kekurangannya. Meski digelari hamba TUHAN yang setia, Daud pernah juga melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Raja-raja keturunannya pun nyatanya nanti banyak yang tingkah lakunya mengecewakan, bahkan merekalah yang akhirnya mengantar kerajaan itu pada perpecahan dan kehancuran. Maka dari itu kita perlu lebih bijak menafsirkan “jaminan memerintah untuk selama-lamanya” dalam nubuat Nabi Natan. Pendapat Brueggemann dapat kita pertimbangkan. Menurutnya, dalam nubuat ini ada ketegangan yang sulit dipecahkan antara janji keabadian pemerintahan dinasti Daud di satu sisi, dengan di sisi lain konsep ganjaran setimpal yang biasanya menjadi keyakinan tradisi D.
Sementara ini ada baiknya kita membatasi diri pada penanganan kasus Daud dan Batsyeba saja. Atas perbuatannya yang keji Daud akan mendapat hukuman yang setimpal dari Allah (sesuai dengan keyakinan tradisi D), tapi hukuman itu tidak akan menghapus janji Allah akan kelestarian pemerintahan keluarganya. Alasannya sederhana (tapi tidak selalu mudah kita terima): karena demikianlah kehendak Allah. Atas dasar kasih setia-Nya, Dia telah mengikat perjanjian dengan Daud. Maka Ia akan setia dengan perjanjian itu, meski Daud telah berbuat dosa. Situasi memang jadi agak sulit: keluarga Daud akan memerintah selama-lamanya (2Sam. 7:16), tapi pada saat yang sama “pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya” (2Sam. 12:10). Ya, hukuman berat segera dijatuhkan kepada Daud. Nabi Natan sudah siap menyampaikan keputusan dari TUHAN, Hakim yang mahatinggi, langsung di hadapan sang raja, pesakitan yang pura-pura tidak berdosa.
Perumpamaan dikira laporan
Dalam 2Sam. 11 Daud tampak dominan dengan menyuruh orang lain melakukan ini dan itu. Dominasi sang raja tak berbekas di 2Sam. 12 karena sekarang hak untuk menyuruh ada di tangan TUHAN, sementara Daud hanya bisa menerima, tak punya pilihan lain. Saatnya tiba bagi TUHAN untuk memainkan peran-Nya sebagai Raja Israel yang sejati. Ia pun menyuruh Natan mendatangi Daud. Sang nabi menunaikan tugasnya dengan berani, lagi cerdik. Ia tidak langsung menegur Daud. Di hadapan Daud, ia terlebih dulu mengisahkan sebuah cerita yang sangat menarik, tentang orang kaya yang merampas domba betina milik orang miskin.
Perumpamaan itu demikian sederhana, namun maksudnya jelas. Tentang si kaya, Natan tidak bicara banyak. Ia lebih fokus pada orang yang miskin, dengan menggambarkan betapa dalam relasi antara orang itu dengan satu-satunya domba betina yang dimilikinya: penuh perhatian, cinta, dan kasih sayang. Singkat kata, orang miskin dan dombanya itu hidup bahagia. Tapi kebahagiaan itu dihancurkan oleh orang kaya yang tanpa perasaan mengambil domba betina itu dari tangan si miskin. Kesan main paksa, tidak jujur, egois, dan rakus dapat kita tangkap dari perbuatan orang kaya itu. Cukup jelas bagi kita – tapi tidak bagi Daud – orang kaya yang dimaksud adalah Daud sendiri, orang miskin itu Uria, dan domba betina yang diambil paksa itu menunjuk pada Batsyeba.
Bodohnya Daud, ia mengira perumpamaan itu kisah nyata. Dikiranya Natan melaporkan terjadinya tindak kriminal pengambilan domba secara paksa, dan memintanya sebagai raja Israel memberikan penghakiman yang tegas. Jadi betapa efektif (dan menjebak) perumpamaan yang dikisahkan Nabi Natan! Menyangka bahwa ini menyangkut orang lain, rasa keadilan Daud langsung terpanggil dan ia pun menjatuhkan hukuman yang tidak kira-kira beratnya: “… Orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan” (2Sam. 12:5-6).
Begitulah sifat manusia pada umumnya: menuntut orang lain berlaku adil, tapi tidak diri sendiri. Natan dengan cerdik memainkan kecenderungan buruk tersebut. Daud dibuatnya lena sedemikian rupa hingga akhirnya ia menjatuhkan hukuman pada dirinya sendiri. Tentunya Daud shock berat ketika tiba-tiba Natan berbalik menudingnya: “Engkaulah orang itu!” (2Sam. 12:7). Hati Daud seketika menciut, jadi rupanya dia sudah ketahuan!
Demikianlah Nabi Natan telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Para raja memang harus selalu diingatkan bahwa kekuasaan politiknya berada di bawah TUHAN, dan bahwa kekuasaan itu juga harus punya etika. Dalam sejarah kerajaan Israel – baik di selatan maupun di utara – pertentangan antara raja dan nabi memang selalu muncul. Saul bertentangan dengan Samuel; Elia melawan Ahab; Yesaya melawan Ahas; Yeremia bahkan berturut-turut menghadapi Raja Yoahas, Yoyakim, Yoyakhin, dan Zedekia. Konflik ini terjadi karena para raja dinilai menjalankan kekuasaannya dengan sekehendak hati “seperti pada segala bangsa-bangsa lain” (bdk. 1Sam. 8:5), sehingga nabi-nabi tampil untuk mengingatkan mereka agar memerintah sesuai kehendak TUHAN, Raja Israel yang sejati. Natan yang berkarya pada masa pemerintahan Daud tak luput dari masalah ini. Ia cukup berhasil, sebab Daud diantarnya pada penyesalan yang mendalam hingga akhirnya muncul pernyataan: “Aku sudah berdosa kepada TUHAN” (2Sam. 12:13). Dalam hal ini Natan sungguh beruntung karena yang dihadapinya adalah Daud. Tidak sia-sia TUHAN menjadikannya hamba pilihan, Daud dengan rendah hati mengakui segala kesalahannya. Nabi-nabi lain – Yeremia misalnya – nasibnya tidak sebaik itu. Raja-raja yang mereka tegur tetap berkepala batu, dan malah berbalik mengejar-ngejar mereka.
Akan halnya Daud, kenekatan Natan tak membuatnya gusar. Ia tenggelam dalam penyesalan diri atas kejahatan yang telah dilakukannya. Bagi dirinya sendiri ia menjatuhkan hukuman mati dan kewajiban untuk memberikan ganti rugi empat kali lipat. Pertobatan Daud membuat Natan memaklumkan pembatalan hukuman mati bagi dirinya (2Sam. 12:13), tetapi ganti rugi tetap harus dibayar, sebab kejahatan Daud “telah sangat menista TUHAN” (2Sam. 12:14). Meski mendapatkan keringanan, hukuman itu nyatanya masih sangat berat: pedang selamanya tidak akan menyingkir dari keturunannya; istri-istrinya akan diambil secara terang-terangan; dan anak hasil hubungan gelapnya dengan Batsyeba akan mati. Betapa mahal harga yang harus dibayar Daud demi kesenangan diri yang enaknya hanya sekejap ia rasakan. Kenikmatan sesaat, hukumannya kekal!
Daud memasuki masa-masa suram
Tradisi D dengan rapi menyusun 2Sam. 11-12 sebagai awal kemunduran pemerintahan Raja Daud. Bagi kita pembaca Alkitab masa kini, membaca perikop ini mungkin menyisakan sejumlah pertanyaan: Bagaimana berkat abadi bisa berjalan beriringan dengan kutuk yang juga berlaku selamanya? Bagaimana pula dengan janji keabadian pemerintahan dinasti Daud, bukankah ratusan tahun kemudian kerajaan itu tamat di tangan kerajaan Babel? Mungkin akan membantu jika diingat kembali bahwa redaksi akhir tradisi D terjadi pada masa pembuangan. Kerajaan Daud telah musnah, Israel bahkan terusir dari tanah terjanji. Namun di hati kaum buangan keyakinan bahwa mereka akan dipulihkan tetap menyala-nyala. Mereka yakin suatu saat bisa kembali ke tanah terjanji dan untuk seterusnya dipimpin lagi turun-temurun oleh keturunan Daud.
Kisah dalam 2Sam. 11-12 dengan demikian merupakan refleksi cikal bakal kemunduran pemerintahan Daud, yang secara teologis diyakini sebagai hukuman TUHAN akibat dosa besar yang dilakukan sang raja. Nubuat Natan dalam 2Sam. 12:1-15a bahkan diperkirakan mula-mula tidak ada dalam kisah ini, ditambahkan kemudian untuk menunjukkan bahwa kemalangan beruntun yang menimpa Daud tidak lain merupakan hukuman dari TUHAN. Secara keseluruhan 2Sam. 11-12 mempersiapkan lengsernya Daud dari takhta kerajaan Israel, dan memberi landasan teologis mengapa keluarga Daud tercerai berai, saling bunuh satu sama lain. “Murid-muridku sekalian,” demikian Guru Deuteronomis mau mengakhiri kuliahnya, “Kemerosotan Daud adalah buah dari dosa yang dilakukannya. Dulu ia begitu jaya dan gilang-gemilang, sayang sang raja kemudian menyimpang dari jalan TUHAN. Kejahatan merasuki hatinya, dan mulai sekarang kegemilangannya pun terjun bebas menuju kehancuran...”***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar