Jumat, Januari 06, 2012

AJARAN TENTANG PAROUSIA BUKANLAH DONGENG (2 Ptr. 1:16-21)
Alfons Jehadut

Jemaat kristiani menghadapi para pengajar sesat yang mempersoalkan kebenaran ajaran tentang parousia Tuhan. Mereka menganggap dan menuduh pewartaan tentang kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai Raja hanya sebagai dongeng isapan jempol manusia (ay. 16). Bagi mereka, ajaran ini tidak sesuai dengan kenyataan. Mereka memang sudah lama menunggunya, tetapi tidak pernah terealisasi.

Menghadapi anggapan dan tuduhan para pengajar palsu, Petrus membela ajarannya tentang parousia Tuhan. Ia menyatakan bahwa ajarannya bukanlah dongeng isapan jempol manusia belaka (ay. 16). Ajarannya didasarkan pada saksi mata pewahyuan Allah pada waktu peristiwa transfigurasi (ay. 17-18). Ajaran tentang parousia diteguhkan oleh nubuat para nabi. Namun, nubuat itu “tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (ay. 19-21).

Ajaran tentang parousia bukan cerita isapan jempol (ay. 16)
Petrus membela ajaran ketika diserang oleh para pengajar palsu. Petrus meminta jemaatnya untuk mengingat bahwa ajarannya tidak berasal dari dirinya sendiri, tetapi benar-benar berasal dari Allah. Meski ditulis dan disampaikannya, namun ajaran-ajarannya tidak menyatakan pemikiran dan kehendaknya sendiri, tetapi pemikiran dan kehendak Allah. Roh Allah yang menuntun dan menginspirasinya ketika menulis dan menyampaikan ajaran kepada jemaat (2 Tim. 3:16; bdk. 2 Ptr. 1:21).

Petrus selanjutnya menyatakan bahwa ajarannya bukanlah sebuah dogeng isapan jempol yang dibuat-buat oleh manusia seperti yang biasa ditampilkan oleh para pengajar palsu. Pada waktu mewartakan tentang kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai Raja, Petrus bersama dua rasul lainnya – Yakobus dan Yohanes – menyaksikan kebesaran dan kemuliaan-Nya. Di sini Petrus menafsirkan peristiwa transfigurasi sebagai ungkapan kehormatan dan kemuliaan Yesus dan antisipasi kedatangan-Nya kembali dalam keadaan yang mulia pada waktu parousia. Kehormatan dan kemuliaan itu tidak hanya dinyatakan melalui perubahan rupa-Nya, tetapi juga melalui suara Allah yang menafsirkan perubahan tersebut.

Peristiwa transfigurasi Yesus (ay. 17-18)
Bagaimana peristiwa transfigurasi diceritakan oleh Petrus? Peristiwa itu tidak diceritakannya secara terperinci seperti yang dikisahkan oleh injil sinoptik (Mat. 17:1-8; Mrk. 9:2-8; Luk. 9:28-36). Ia tampaknya tidak tertarik untuk menceritakannya secara terperinci. Penampakan dan gambaran tentang pakaian Yesus tidak dikisahkannya. Ia lebih memusatkan perhatian pada suara yang datang dari dalam awan. Fokus perhatian ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa ajarannya berwibawa, bukan sebuah dongeng isapan jempol.

Sumber yang datang dari dalam awan diidentifikasikan oleh Petrus sebagai suara Allah, sementara dalam injil sinoptik sumber suara itu tidak diidentifikasikan secara jelas. Suara Allah itu menyatakan identitas Yesus sebagai Anak Allah. “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (bdk. Mat. 17:5; Mrk 9:7; Luk. 9:35). Kata-kata Allah ini serupa dengan suara surgawi pada waktu baptisan Yesus (bdk. Mrk 1:11; Mat 4:17; Luk 3:22). Suara Allah itu tidak hanya didengar oleh Petrus, tetapi juga oleh Yakobus dan Yohanes.

Petrus, Yakobus, dan Yohanes mendengar suara Allah yang menyingkapkan identitas Yesus yang berubah rupa ketika bersama-sama dengan Yesus ada di atas gunung yang kudus. Gunung itu disebut kudus karena apa yang terjadi di sana, yakni kemuliaan Allah dinyatakan dalam diri Yesus. Secara natural gunung memang dianggap sebagai tempat pewahyuan ilahi. Allah berbicara dengan Musa di gunung Sinai ketika memberikan hukum-Nya (Kel. 19:23) dan dengan Elia ketika meneguhkan dan menugaskannya kembali (1Raj. 19:8-18).

Sesuai dengan nubuat para nabi (ay. 19-21)
Petrus selanjutnya menyatakan bahwa ajarannya diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Melalui pernyataan ini ia ingin mengungkapkan bahwa ajarannya sungguh-sungguh didasarkan pada nubuat para nabi. Namun, sayangnya tidak ada kutipan tertentu yang ditampilkan. Ia mengandaikan begitu saja bahwa pembaca atau pendengarnya mengetahui nubuat yang dirujuknya. Itulah sebabnya, para penafsir berasumsi bahwa Petrus sedang merujuk pada kitab Dan. 7:13-14 yang menubuatkan tentang kedatangan “seorang seperti anak manusia” yang diterapkan kepada kedatangan Yesus yang kedua dalam Perjanjian Baru.

Meski tidak dikutip secara jelas, namun Petrus memberi nasihat kepada jemaatnya untuk memperhatikan nubuat para nabi seperti memperhatikan “pelita yang bercahaya di tempat yang gelap” (ay. 19a). Di sini nubuat dipahaminya sebagai pelita yang bercahaya di tempat yang gelap. Pemahaman ini mungkin didasarkannya pada gagasan pemazmur yang berkata, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm. 119:105). Nubuat dipahami sebagai terang yang akan memberi petunjuk, fokus, dan harapan kepada jemaat tentang bagaimana harus hidup di dunia yang gelap ini.

Nasihat untuk memperhatikan nubuat para nabi diakhiri dengan sebuah peringatan tentang bagaimana harus menafsirkan nubuat. “Nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (ay. 20-21). Nubuat para nabi tidak boleh ditafsirkan semata-mata berdasarkan perasaan dan keinginan pribadi. Sebab, nubuat tidak pernah dihasilkan oleh kehendak manusia tetapi dihasilkan dari inspirasi Roh Kudus.

Kata-kata nubuat para nabi harus diperhatikan sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar. Dalam Bil. 24:17, “bintang terbit dari Yakub” dipahami sebagai suatu acuan bagi kedatangan Mesias. Bagi Petrus, kedatangan Mesias itu terpenuhi dalam diri Yesus sebagai pembawa terang. Yesus digambarkan sebagai “Surya pagi dari tempat yang tinggi” (Luk. 1:78) dan “bintang timur yang gilang-gemilang” (Why. 22:16).

Tidak ada komentar: