Selasa, September 27, 2011

NEKROMANSI: MEMANGGIL ARWAH SAMUEL
Jarot Hadianto

“Carilah bagiku seorang perempuan yang sanggup memanggil arwah;
maka aku hendak pergi kepadanya dan meminta petunjuk kepadanya.” (1Sam. 28:7)

Nekromansi. Belum pernah mendengar kata ini? Meski begitu, jika dijelaskan, Anda pasti dengan segera akan sadar bahwa praktik yang melibatkan nekromansi sebenarnya tidak asing dalam masyarakat kita. Zaman memang sudah modern, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, namun anehnya hal-hal berbau mistik tetap saja digemari masyarakat. Buktinya, film-film seram yang dibintangi pocong dan kuntilanak selalu ramai diserbu penonton; kesan angker juga tidak bisa hilang manakala kita melewati kuburan dan rumah tua; selain itu masih banyak orang yang mengunjungi orang-orang pintar guna bertanya tentang jodoh dan nasib mereka di masa depan. Tentang yang disebut terakhir, dukun-dukun itu dengan mudah dapat kita temukan di berbagai tempat. Praktik mereka laris manis diserbu klien yang tidak percaya lagi pada logika dan akal sehat. Si dukun akan komat-kamit membaca mantra, membakar dupa, kalau perlu menyembelih ayam hitam guna menghadirkan arwah mbah ini atau mbah itu yang bisa memecahkan masalah kliennya tersebut. Nah, itulah praktik nekromansi: memanggil arwah untuk dimintai nasihatnya.

Dunia perdukunan yang melibatkan ilmu sihir dan nekromansi ternyata laku juga di Israel. Jejak-jejaknya dapat kita temukan dalam Alkitab, misalnya dalam sebuah kisah yang melibatkan raja Israel pertama, Saul. 1Sam. 28:3-25 menceritakan, dalam situasi terjepit, Saul meminta seorang dukun memanggil arwah Samuel untuk dimintai pertolongan. Inikah bukti bahwa arwah orang mati bisa dipanggil, dan bahwa ada orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu? Sebelum menunjuk 1Sam. 28:3-25 sebagai bukti keabsahan praktik mereka, saya mengajak para dukun sekalian – juga Anda – untuk mendalami perikop ini baik-baik.

Saul di titik nadir
Semenjak Samuel menyatakan bahwa TUHAN “memecat” Saul dari posisinya sebagai raja Israel (1Sam. 15), Saul terus-menerus mengalami kemunduran. 1Sam. 28:3-25 boleh dibilang mengisahkan titik terendah dalam kehidupan sang raja. Hidup dan pemerintahannya memasuki saat-saat akhir. Saul saat itu sedang menghadapi pertempuran yang sulit melawan orang Filistin. Posisinya tampak tidak terlalu menguntungkan karena sempat dikatakan bahwa ia merasa takut dan “hatinya sangat gemetar” (28:5).

Pasukan Filistin berkemah di dekat Sunem, di bagian utara dataran Yizreel, sementara pasukan Israel posisinya ada di sebelah selatan Sunem, di kaki Gunung Gilboa. Kekuatan pasukan Saul sebenarnya tidak dapat dikatakan lemah. Daud saja masih menganggapnya berbahaya sehingga lebih memilih menghindar (27:1). Tapi, sekuat apapun sebuah pasukan, sia-sia belaka jika pemimpinnya belum-belum sudah merasa takut. Entah apa yang membuat Saul gemetaran ketika melihat pasukan Filistin dari kejauhan. Pasukan musuh mungkin jumlahnya jauh lebih besar dan persenjataannya lebih lengkap, sementara Saul telah ditinggalkan pendukung-pendukungnya yang utama, seperti Daud, Samuel, dan TUHAN sendiri. Jadi, ketika balatentara Filistin yang dahsyat menyerbu pasukan Israel, siapa gerangan yang akan membantu raja yang kesepian itu berlaga di medan perang?

Dalam pandangan penyusun kisah ini (tradisi Deuteronomis), posisi Saul memang telah berubah. Dari sosok raja pilihan Allah, ia kini menjadi sosok antagonis yang tidak menarik hati. Orang Benyamin itu tidak lagi punya masa depan; dia adalah penguasa lama yang sudah waktunya diganti. Ini terjadi karena ketidaktaatan Saul pada kehendak Allah (1Sam. 13; 15), sampai akhirnya Samuel sebagai tokoh penting dalam kehidupan agama dan politik Israel menjatuhkan keputusan final, “TUHAN telah mengoyakkan darimu jabatan raja atas Israel pada hari ini dan telah memberikannya kepada orang lain yang lebih baik darimu” (15:28; bdk. 13:14). Samuel memang telah mati, tapi tuah perkataannya selalu menghantui Saul, terutama di saat-saat genting seperti waktu itu.

Hanya, jangan lalu menilai Saul itu seratus persen jahat. Dalam ketakutannya, Saul pertama-tama tetap lari kepada TUHAN. Ia masih menempatkan dirinya sebagai hamba Allah yang berharap mendapat pertolongan dari-Nya. Dicobanya semua sarana legal untuk berkomunikasi dengan Allah: secara pribadi (melalui mimpi), lewat perantaraan imam (dengan membuang undi), dan perantaraan nabi (nubuat). Sayang, TUHAN tak mau memberikan jawaban. Kejamkah Allah karena berlaku demikian? Sebaiknya situasi ini dilihat sebagai buah ketidaktaatan Saul. Dulu ia mengabaikan kehendak Allah, sekarang ia harus menanggung kehancuran sebagai akibatnya.

Didiamkan Allah tidak membuat Saul hilang akal. Ia terus berjuang mendapatkan dukungan dari yang ilahi sebelum maju ke medan perang, kali ini dengan cara yang sama sekali salah: menemui seorang pemanggil arwah.

Praktik nekromansi di Israel
Sejumlah teks Alkitab menunjukkan bahwa praktik nekromansi memang berlangsung di kalangan masyarakat Israel. Bukan hanya itu, dunia perdukunan di sana disemarakkan pula oleh kehadiran tukang tenung, peramal, penyihir, juga pemantra. Padahal Taurat jelas-jelas melarang keberadaan mereka (Ul. 18:10-14; Im. 19:31). Kontak dengan dunia gaib dan mendapatkan manfaat darinya dipandang sebagai sebuah kekejian karena membuat orang Israel berpaling dari TUHAN.

Para pemanggil arwah sebenarnya telah dibasmi oleh Saul (28:3). Hanya, banyak yang melihat bahwa tindakan Saul ini tak lepas dari faktor Samuel. Sebagai nabi yang mengurapi Saul menjadi raja Israel, keberadaan Samuel juga berfungsi sebagai “pengawas” untuk memastikan sang raja memerintah sesuai dengan kehendak TUHAN. Maka, tindakan Saul menyingkirkan para pemanggil arwah itu tampaknya tidak pertama-tama didorong oleh kesalehan dirinya, melainkan karena pengaruh Samuel. Tak heran, setelah Samuel mati, Saul berminat memanfaatkan jasa seorang dukun, suatu hal yang dulu dilarangnya sendiri. Dalam posisi terdesak, ia terkesan mau melakukan apa saja demi keselamatan dirinya.

En-Dor pada suatu malam
Sebelum maju perang, Saul terlebih dulu harus tahu apakah TUHAN berkenan mendukung dirinya atau tidak. Untuk itulah jasa seorang pemanggil arwah dibutuhkan. Saul pun menuju ke sebuah tempat bernama En-Dor. Di sana ada seorang perempuan pemanggil arwah yang lolos dari pembasmian yang dilancarkannya dulu.

Perjalanan ke En-Dor menggambarkan betapa buruknya situasi Saul. Dari awal saja, niat Saul untuk menemui pemanggil arwah sudah merupakan hal yang buruk. Sang raja dengan begitu melanggar ketentuannya sendiri, menunjukkan pribadinya yang plin-plan, imannya yang pudar, dan hidupnya yang gagal. Melengkapi hal itu, perjalanan Saul juga tidak kalah buruknya. Untuk mencapai En-Dor yang terletak di kaki Gunung Tabor di sebelah utara Sunem, Saul mesti menempuh jalan yang berputar-putar agar terhindar dari orang Filistin. Agar aman ia pun menyamar, jangan sampai ketahuan bahwa ia adalah raja. Pertemuan dengan pemanggil arwah itu akhirnya terjadi dalam kegelapan malam. Semua serba sembunyi-sembunyi dan diam-diam, sungguh tidak pantas bagi seorang raja. Tampaknya memang itu yang mau disampaikan: Saul tidak lagi pantas disebut raja. Dia orang yang kacau tanpa pegangan.

Tapi setidaknya niat Saul akhirnya terwujud, ia berhasil menemui si pemanggil arwah. Ritual nekromansi akan segera berlangsung. Tapi sebelumnya Anda perlu tahu bahwa kisah ini lemah dalam detail, tepat di adegan klimaks. Detail-detail yang agak kabur itu antara lain: (1) Karena takut, perempuan itu tadinya menolak ketika diminta memanggil arwah. Ia bersedia setelah Saul memberikan jaminan. Karena Saul sedang menyamar, bagaimana bisa perempuan itu mempercayai jaminan orang biasa?; (2) Tidak digambarkan bagaimana persisnya perempuan itu memanggil arwah Samuel; (3) Tidak diketahui juga bagaimana perempuan itu bisa tahu bahwa yang ia hadapi adalah Saul hanya dengan melihat Samuel.

Maka saran saya, ketika membaca perikop ini jangan buang-buang waktu dengan memperdebatkan detail ritual pemanggilan arwah, kemampuan perempuan itu dalam memanggil arwah, juga apakah arwah orang mati sebenarnya bisa dipanggil atau tidak. Perhatikan saja fokus perikop ini, yakni perkataan Samuel.

Suara dari alam maut
Dengan cara yang tidak dijelaskan, perempuan itu berhasil mendatangkan arwah Samuel (kenapa Samuel? Apa Saul lupa bahwa Samuellah yang memecatnya sebagai raja Israel?). Celaka, Samuel ternyata datang dari dunia orang mati sambil marah-marah, “Mengapa engkau mengganggu aku dengan memanggil aku muncul?” Dengan awal yang buruk seperti ini, harapan Saul untuk mendapatkan bantuan tampaknya segera berubah jadi bencana.

Kepada Samuel, Saul mengungkapkan kesulitan yang tengah dihadapinya. Perang dengan orang Filistin sedang berkecamuk, tapi TUHAN tak membantunya. Karena itulah Saul sungguh membutuhkan bantuan Samuel. Penyusun kisah ini tampak mengolok-olok kebodohan Saul yang berharap Samuel akan menolongnya, padahal TUHAN sudah berpaling darinya. Sebagai hamba TUHAN, mana mungkin Samuel bisa menolong orang yang tidak dikehendaki TUHAN? Tapi setidaknya Samuel tidak keberatan mengungkapkan rahasia masa depan Saul. Jangan dikira kabar baik, berita yang disampaikan Samuel itu benar-benar buruk. Pertama, sudah dinyatakan dari dulu bahwa Saul akan kehilangan takhtanya akibat sikapnya yang tidak menaati TUHAN. Nubuat tersebut akan digenapi hari itu juga. Kedua, dalam pertempuran melawan orang Filistin, pasukan Israel akan kalah, sedangkan Saul dan anak-anaknya akan tewas.

Mendengar nubuat tragis tersebut, Saul langsung ambruk ke tanah. Ia lemas karena divonis mati (tapi juga karena tidak makan seharian). Sebelum dikalahkan pasukan musuh, Saul sudah dikalahkan dirinya sendiri.

Bukan soal memanggil arwah
Jadi tentang apakah 1Sam. 28:3-25? Tentang kesaktian seorang dukun yang bisa memanggil arwah? Bukti bahwa arwah orang mati bisa dipanggil kembali? Bukan, bukan itu. Tak dapat disangkal, adanya ritual nekromansi membuat perikop ini jadi perhatian dan perdebatan banyak orang. Sejumlah orang dengan penuh semangat mendiskusikan kemampuan perempuan pemanggil arwah itu mendatangkan roh Samuel. Sebagian berpendapat bahwa itu terjadi berkat campur tangan Allah, bukan karena kesaktian perempuan itu; yang lain mengatakan bahwa itu pasti pekerjaan Iblis; yang lain lagi mengatakan Samuel tidak benar-benar datang karena perempuan itu menipu Saul. Bolehlah, tapi diskusi demikian kurang berguna.

Beberapa pokok keyakinan Israel tentang kehidupan sesudah mati memang bisa kita tarik dari kisah ini: (1) Diyakini bahwa orang-orang mati beristirahat di bumi bagian bawah dan tidak mau diganggu; (2) Setelah mati, semua orang menuju ke tempat yang sama, tidak peduli ia orang baik atau jahat; (3) Meski praktik pemanggilan arwah dilarang, orang Israel – termasuk penyusun kisah ini – umumnya percaya bahwa itu bisa terjadi.

Namun, perikop ini tidak punya minat pada praktik pemanggilan arwah, dan tidak bisa dijadikan bukti bahwa arwah orang mati bisa dipanggil datang ke dunia ini. Paling jauh dapat disimpulkan, perikop ini menunjukkan keyakinan orang waktu itu bahwa arwah orang mati dapat dipanggil kembali. Penyusun sendiri sekadar menjadikan ritual pemanggilan arwah ini sebagai latar belakang kisahnya tentang akhir kejayaan Raja Saul. Sesaat lagi Saul akan mati secara tragis (1Sam. 31), dan TUHAN telah menetapkan penggantinya, yakni Daud.

Maka alih-alih soal mistik, fokus kisah ini adalah perkataan Samuel, yang mengajak kita merenungkan hubungan antara kekuasaan raja dan kekuasaan TUHAN. Raja punya kekuasaan yang besar, tapi ia tidak boleh lupa bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan TUHAN. Saul mengabaikan hal itu. Kejatuhan sang raja semakin dalam dengan ulahnya mendatangi seorang pemanggil arwah. TUHAN mau digantikan dengan roh-roh gaib? Orang yang berani-beraninya melakukan itu pasti akan berakhir dengan kehancuran. Tepat inilah yang terjadi pada diri Saul. Dia mestinya bertobat, bukannya mendatangi dukun!***

Kepustakaan
Bergant, Dianne, dan Robert J. Karris (ed.). 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius.
Brueggemann, Walter. 1990. First and Second Samuel. Louisville: John Knox Press.
Conroy, Charles. 1983. 1-2 Samuel 1-2 Kings. Delaware: Michael Glazier, Inc.
Groenen, C. 1992. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius.
Robinson, Gnana. 1993. Let Us Be Like The Nations: 1 & 2 Samuel. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company.


Jumat, September 23, 2011












Mutiara Iman 2012 (Tahun B/II) New Book!
Para Imam & Suster

Nihil Obstat: P. Hendrik Nijolah, Pr
(Makasar, 10 Agustus 2011)
Imprimatur: Pius Riana, Vikjen KAS
(Semarang, 14 Agustus 2011)

Cet. 1. 2011, 153 x 223 mm, - hlm, Yayasan PUSTAKA NUSANTARA
Harga Rp 45.000,-
Harga Member Rp. 40.500,- (disc 10%)
Kategori : Rohani

Serahkanlah segala kekuatiranmu
kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.
(1 Petrus 5:7)

©

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428
Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org


Rabu, September 21, 2011











Tak Berbatas, Tak Bermegah (Warisan Rasul Paulus) New Book!
Punjung Tulis Prof. Dr. Martin Harun, OFM
Y.M. Seto Marsunu (editor)

Cet. 1. 2011, 145 x 210 mm, - 274 hlm, Lembaga Alkitab Indonesia
Harga Rp 40.000,-
Harga Member Rp. 36.000,- (disc 10%)
Kategori : Kitab Suci

Lembaga Alkitab Indonesia menerbitkan punjung tulis ini dalam rangka menghargai Prof. Dr. Martin Harun, OFM, atau banyak dikenal sebagai Romo Martin. Mengapa Paulus, karena kiranya warisan Rasul Paulus itu pulalah yang segera tampak mengemuka dalam sosok Romo Martin, seorang imam Fransiskan, yang memperlihatkan karakter: Tak Berbatas, Tak Bermegah.

©

Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428
Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org

Rabu, September 14, 2011










Ziarah Batin (Renungan dan Catatan Harian) 2012!
Para Imam

Nihil Obstat: Martin Harun OFM
(Jakarta, 2 Agustus 2011)
Imprimatur: Yohanes Subagyo, Vikjen KAJ
(Jakarta, 6 Agustus 2011)

Cet. 2011, 155 x 229 mm, - hlm, OBOR
Harga Rp 50.000,-
Harga Member Rp. 45.000,- (disc 10%)
Kategori : Rohani
ISBN:978-979-565-590-9

Bacaan dan Renungan harian sepanjang tahun yang selalu setia mendampingi penziarahan hidup Anda sejak tahun 1996

©


Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 - 93692428
Daftar menjadi Member : kbr@biblikaindonesia.org









“YAKOBUS, SAUDARA YESUS”

RINGKASAN WB VOL.11

NO. 4, OKTOBER-DESEMBER 2011New

Harga Rp. 9.000,-

Artikel Utama
YAKOBUS:SAUDARA YESUS & PEMIMPIN JEMAAT KRISTEN PERDANA DI YERUSALEM
(F.X. Didik Bagiyowinadi, Pr)


Yakobus adalah salah satu dari saudara Tuhan Yesus, yang agaknya belum percaya kepada perutusan Yesus semasa Dia hidup. Kapan ia menjadi percaya? Kapan pula ia mulai menjadi pemimpin jemaat di Yerusalem?


YAKOBUS DALAM TRADISI TULISAN-TULISAN NON-KANONIK
(Albertus Purnomo, OFM)


Perjanjian Baru kurang banyak mengulas sosok Yakobus. Meskipun begitu, ini tidak berarti ia “tersingkirkan” dalam tradisi Kristen lainnya. Menariknya, tradisi mengenai Yakobus malah terungkap dalam tulisan-tulisan yang dianggap non-kanonik. Seperti apakah Yakobus yang dilukiskan dalam tradisi tersebut?


SURAT YAKOBUS: WEJANGAN TENTANG IMAN & PERBUATAN
(A. Hari Kustono, Pr)


Surat Yakobus adalah sebuah surat dengan gaya wejangan yang tajam. Pilihan kata yang dipakai dalam surat ini terasa provokatif dengan berbagai pertimbangannya yang masuk akal. Benarkah penulisnya adalah Yakobus, saudara Yesus?


Kerasulan Kitab Suci
MENGAPA (TAKUT) MEMBACA KITAB SUCI
(Y.M. Seto Marsunu)


Sebagian umat Katolik dan pemimpin Gereja masih berpandangan bahwa Kitab Suci hanya untuk mereka yang sudah tahu saja, yakni para rohaniwan dan para ahli. Umat cukup mendengarkan pengajaran mereka. Pandangan semacam itu membuat umat takut membaca Kitab Suci karena takut salah tafsir.


Perikop-perikop Sulit
DAUD BERDOSA, TUHAN MURKA, RAKYAT SENGSARA
(Jarot Hadianto)


Nyawa ribuan orang dipertaruhkan, tapi Daud dan Tuhan malah kelihatannya bermain-main saja…


Apa Kata Kitab Suci tentang…
PENGAKUAN & PENGAMPUNAN DOSA
(Alfons Jehadut)


Apakah praktik pengakuan dosa kepada seorang imam dalam Gereja Katolik memiliki dasar dalam Kitab Suci?




Pemesanan : 021 - 8318633, 8290247
Fax : 021 – 83795929
SMS Center : 021 – 93692428
Email : pks@biblikaindonesia.org

Senin, September 12, 2011

PENGANTAR DAN TAFSIR TEMATIS SURAT-SURAT KATOLIK

Istilah surat-surat Katolik
Sebutan “surat-surat katolik” secara tradisional dipakai untuk menunjuk kepada suatu kelompok tulisan dalam Perjanjian Baru yang mencakup surat Yakobus, 1-2 Petrus, 1-3 Yohanes, dan Yudas. Kelompok tujuh surat ini sering disebut sebagai surat-surat katolik karena tidak dialamatkan untuk gereja lokal tertentu, tetapi untuk gereja secara keseluruhan. Di sini kata “katolik” berasal dari kata Yunani katholikos (καθολικός) yang artinya umum, universal. Kata Yunani ini merupakan gabungan dari dua kata, yakni kata (κατά) yang artinya menurut atau mengenai dan holos (όλος) yang artinya keseluruhan. Maka, kata katholikos secara harafiah berarti mengenai keseluruhan atau bisa juga hanya diartikan sebagai universal, umum.

Sebutan lain untuk kelompok tujuh surat ini adalah “surat-surat kanonik.” Kata “kanonik” dipahami dalam arti bahwa surat-surat itu diterima dan diakui sebagai kitab-kitab yang diinspirasi oleh Allah sendiri sehingga dipakai sebagai bahan bacaan dalam liturgi gereja di seluruh dunia kristiani. Dengan demikian, istilah surat-surat katolik dapat dipahami dalam pengertian umum dan kanonik.

IMAN DAN PERBUATAN: Surat Yakobus
Selama berabad-abad surat yang ditempatkan pada urutan pertama dalam daftar “surat-surat Katolik” ini tidak banyak dibaca dan diuraikan, baik di lingkungan Katolik maupun di lingkungan Protestan. Hal ini barangkali disebabkan karena surat ini lebih banyak berbicara tentang masalah-masalah sosial daripada doktrin.

Namun, menjelang abad XX, surat ini menarik perhatian banyak orang. Perhatian ini seiring dengan meningkatnya perhatian orang kristiani pada masalah-masalah sosial. Bagi orang kristiani yang konsern pada masalah-masalah sosial, surat ini memiliki arti yang sangat penting. Surat ini dapat dilihat sebagai sebuah koreksi terhadap orang kristiani yang tidak peka terhadap masalah¬-masalah sosial.

Gaya Sastra
Dalam manuskrip Yunani yang paling tua (sekitar tahun 350 M), judul yang diberikan untuk tulisan ini adalah surat Yakobus. Namun, satu-satunya indikasi yang menunjukkannya sebagai sebuah surat adalah ayat pertama (Yak. 1:1), yang memperlihatkan rumus pembuka yang biasa muncul dalam dunia Yunani pada abad pertama. Sementara ucapan syukur, tubuh surat, dan penutup yang biasanya muncul setelah rumus pembuka tidak muncul secara jelas.

Maka, surat Yakobus tampaknya bukan sebuah surat dalam arti yang ketat. Surat ini bukan sebuah surat pribadi seperti yang kita kenal dalam tulisan Perjanjian Baru lainnya. Surat ini juga berbeda dari surat-surat Paulus yang membela otoritasnya sebagai seorang rasul, injil yang wartakannya, dan implikasi-implikasinya. Surat ini lebih berbentuk nasihat dan perintah yang berhubungan dengan masalah moral dan etika. Maka, surat ini lebih baik dilihat sebagai sebuah homili yang berisikan nasihat dan perintah etis.

Penulis Surat
Dalam ayat pertama, penulis memperkenalkan dirinya sebagai “Yakobus, hamba Allah dan Tuhan Yesus Kristus” (1:1). Meski nama penulis disebutkan secara jelas, namun identitas masih menjadi sebuah persoalan sebab ada beberapa orang yang bernama Yakobus dalam kitab suci. Yakobus manakah yang menulis surat ini?

Nama Yakobus - Yunani: Iakōbos, yang berasal dari kata Ibrani “Yakob” - itu sangat umum. Tidaklah mengherankan jika kita menemukan tidak kurang dari tiga orang yang menggunakan nama Yakobus dalam Perjanjian Baru. Ini berarti ada tiga kandidat sah, yakni Yakobus anak Zebedeus, Yakobus anak Alfeus, dan Yakobus saudara Tuhan.

Yakobus Anak Zebedeus
Yakobus, anak Zebedeus, adalah saudara dari Yohanes dan salah seorang rasul. Ia cukup sering disebutkan dalam injil (Mat. 4:21, 10:2, 17:1; Mrk. 1:19, 29; 3:17, 5:37, 9:2, 10:35, 41, 13:3, 14:33; Luk. 5:10, 6:14, 8:51; 9:28, 54; Kis. 1:13, 12:2). Ia termasuk seorang yang ada di lingkaran dalam murid Yesus bersama dua murid lain, yakni Petrus dan Yohanes (bdk. Mrk. 1:29-31; Luk. 8:51; Mat. 17:1, 26:37). Yesus memilih tiga orang murid untuk berada lebih dekat dengan-Nya. Sangat mungkin Yesus memilih mereka untuk tidak hanya mewartakan injil tetapi juga untuk menulisnya.

Yakobus anak Alfeus
Dari dua belas rasul Yesus, ada dua orang yang bernama Yakobus, yakni Yakobus anak Zebedus dan Yakobus anak Alfeus (Mat. 10:3). Ia sering disebut sebagai Yakobus muda atau Yakobus kecil untuk membedakannya dari Yakobus yang Yakobus tua.

Yakobus saudara Tuhan
Yakobus lain yang disebutkan dalam Perjanjian Baru adalah Yakobus saudara Tuhan. Ia ditempatkan pada urutan pertama dalam daftar saudara-saudara Yesus (Mat. 13:55; Mrk. 6:3). Apa arti kata “saudara” di sini? Apakah hal ini berarti dia saudara kandung Yesus, yang berarti anak dari perkawinan Yosef dan Maria, atau setidaknya saudara tiri Yesus, yakni anak-anak Yosef dari perkawinan sebelumnya seperti dikatakan kitab apokrif Proto Injil Yakobus 9:2?

Untuk memahami kata “saudara”, kita harus melihat pemakaiannya dalam teks-teks kanonik. Pertama, kata “saudara” yang dalam bahasa Ibrani disebut akh dan diterjemahkan menjadi adelphos dalam bahasa Yunani memiliki cakupan arti yang luas. Kata itu bisa berarti saudara kandung (Kain-Habel), bisa saudara tiri (Raja Filipus dengan saudara tirinya, yakni Raja Herodes) ataupun kerabat yang lebih luas. Abraham berkata kepada Lot, keponakannya, “Kita ini kerabat/saudara” (PL Ibrani: akh; PL Yunani, LXX= adelphos; Kej. 13:8). Contoh lain teks Perjanjian Lama yang bermakna kerabat, bukan sekadar saudara kandung adalah Kej. 14:16; 29:15; Im. 10:14; dan 1Taw. 23:22.

Kedua, saat disalibkan Yesus menyerahkan Maria, ibu-Nya, kepada murid yang dikasihi-Nya dan sejak saat itu Maria tinggal bersama dia (Yoh. 19:26-27). Pernyataan demikian agak janggal seandainya Yakobus yang kelak akan menjadi salah satu saka guru jemaat Yerusalem itu (Gal. 2:9) adalah saudara kandung Yesus. Mengapa ia begitu saja membiarkan ibunya sendiri mengikuti orang lain?

Ketiga, Mrk. 15:40,47 menyebut Yakobus Muda dan Yoses yang kiranya identik dengan Yakobus dan Yoses dalam Mrk. 6:3. Ibu kedua orang ini bernama Maria juga, yang tentunya berbeda dengan Maria ibu Yesus yang disebut Markus secara eksplisit (Mrk. 3:31). Yoh. 19:25 memberi penjelasan bahwa Maria, istri Klopas, ini adalah saudari dari Maria ibu Yesus. Dari sini bisa disimpulkan bahwa ikatan famili antara Yesus dan Yakobus, saudara Tuhan, ini bukanlah saudara kandung, melainkan lebih sebagai saudara sepupu.

Ada dua pandangan yang muncul
Dari tiga kandidat di atas, Yakobus, saudara Tuhan, uskup Yerusalem, dianggap sebagai penulis. Anggapan ini banyak dianut oleh bapa-bapa gereja dan para penulis gereja awal karena didukung oleh adanya keserupaan antara surat Yakobus dengan Kisah Para Rasul. Misalnya, kata Yunani chairein yang artinya salam digunakan baik dalam Yak. 1:1 maupun dalam surat Yakobus yang dialamatkan kepada beberapa gereja dalam Kisah (Kis. 15:23). Kesejajaran lain muncul dalam kata-kata yang jarang digunakan, seperti episkeptesthe yang artinya menjaga, menunjukkan (Yak. 1:27, Kis. 15:14), epistrephein yang artinya berbalik (Yak. 5:19-20, Kis 15:19), terein heauton yang artinya menjaga diri sendiri (Yak. 1:27; Kis. 15:29), dan agapetos yang artinya yang dikasihi (Yak. 1:16, 19; 2:5, Kis. 15:25).

Namun, anggapan ini ditolak oleh kebanyakan ahli tafsir modern karena kualitas bahasa Yunani yang digunakan dalam surat ini sangat baik. Hal ini mengindikasikan bahwa surat ini tidak mungkin ditulis oleh seorang Palestina. Itulah sebabnya para ahli tafsir modern berpendapat bahwa surat itu ditulis oleh seorang yang tidak dikenal yang memakai nama Yakobus untuk memperkuat otoritasnya. Seorang yang tidak dikenal itu mungkin seorang murid atau pengagum Yakobus, saudara Tuhan. Murid atau pengagum itu menulis surat dengan maksud untuk meneruskan pikiran gurunya atau idolanya berhadapan situasi jemaat yang dihadapinya.

Alamat Surat
Surat Yakobus dialamatkan kepada “kedua belas suku di perantauan” (1:1). Ungkapan “dua belas suku” ini memunculkan dua pertanyaan yang saling terkait. Pertama, apakah ungkapan ini dipahami sebagai indikasi bahwa tujuannya adalah orang kristiani Yahudi ataukah dipahami sebagai sebuah kiasan untuk semua orang kristiani sebagai umat Allah? Kedua, apakah istilah “perantauan” dipahami secara harafiah sebagai orang yang tersebar di antara bangsa-bangsa lain ataukah kiasan untuk menyatakan bahwa rumah dan tempat tinggal orang kristiani sesungguhnya adalah surga dan mereka tinggal di dunia ini sebagai perantau (bdk. 1Ptr. 1:1; 2:11; Ibr. 11:13)?

Di sini ungkapan “dua belas suku Israel di perantauan” dipahami sebagai sebuah kiasan untuk semua orang kristiani, baik kristiani Yahudi yang tinggal di diaspora maupun orang kristiani bukan Yahudi. Baik orang kristiani Yahudi, maupun bukan Yahudi dilukiskan sebagai “perantau” dan “peziarah” (bdk. 1Ptr. 1:1; 2:11; Ibr. 11:13). Maka, surat ini tidak ditujukan secara khusus untuk orang kristiani Yahudi yang tinggal di luar Palestina, tetapi untuk semua orang kristiani yang dianggap sebagai perantau dan peziarah di dunia ini.

Alasan surat ditulis
Surat ditulis bukan karena adanya ajaran sesat, melainkan karena kelakuan jemaat yang tidak terlalu menggembirakan dan kurang terpuji. Iman mereka hanya sebatas ucapan bibir saja. Mereka mengutamakan orang kaya daripada orang miskin (2:1-13; 5:1-6), iri hati, tamak, dan bersungut-sungut (3:13-16; 4:1-3; 5:9). Maka, Yakobus meminta jemaatnya untuk menyelaraskan iman mereka dengan perbuatan sehari-hari (2:14-26).

Waktu Penulisan Surat
Ada dua kemungkinan untuk mempertimbangkan waktu penulisannya. Pertama, bagaimana kita menjelaskan relasi antara Yakobus dan Paulus sebab keduanya berbicara topik yang sama, yakni iman dan perbuatan (Yak 2:14-26; Gal. 2:16; Rm. 4:2). Siapakah yang pertama kali membicarakannya?

Beberapa penafsir berpendapat bahwa Yakobuslah yang pertama kali berbicara tentang iman dan perbuatan ketika berhadapan dengan persoalan orang bukan ¬Yahudi yang mau menjadi kristiani. Persoalan itu dibicarakannya dalam sebuah konferensi di Yerusalem sekitar tahun 49/50 M. Jika benar demikian, surat ini dianggap sebagai surat yang paling awal dalam Perjanjian Baru. Beberapa lain berpendapat bahwa Yakobus telah berkenalan dengan surat Paulus kepada umat di Galatia dan di Roma yang ditulis sekitar tahun 54 M dan 59 M. Jika benar demikian, Yakobus sangat mungkin menulis suratnya sekitar tahun 60-an untuk meluruskan kesimpulan jemaat yang salah terhadap apa yang dikatakan oleh Paulus.

Kedua, siapa yang menulis surat. Jika surat ini dianggap berasal dari tangan seorang yang tidak dikenal, namun memakai nama Yakobus gurunya untuk memperkuat otoritasnya, maka sangat mungkin surat ini ditulis sekitar akhir atau awal abad kedua setelah semua rasul meninggal.

Struktur Surat
Surat ini bukanlah sebuah tulisan yang memiliki struktur yang sistematis. Model surat ini sama dengan tulisan kebijaksanaan Yahudi seperti Amsal, Pengkotbah, dan Kebijaksaan Salomo. Seperti tulisan kebijaksaan, surat ini tidak memiliki struktur pemikiran yang sistematis.

Namun, kita dapat membagi surat ini dalam empat bagian utama. Dalam bagian pertama, penulis memulainya dengan memperkenalkan diri dan memberitahukan alamat suratnya (1:1). Setelah itu surat dilanjutkan dengan serangkaian perintah yang sangat sulit untuk diketahui di mana sebuah perintah berakhir dan perintah yang baru dimulai. Perintah-perintah itu mengajarkan nilai penderitaan (1:2-12); memberi tekanan bahwa satu¬-satunya yang baik berasal dari Allah dan Allah tidak pernah mencobai manusia (1:13-18); memberi nasihat untuk melaksanakan firman Allah yang telah disampaikannya (1:19-27); dan tidak memandang muka dengan mengutamakan orang kaya (2:1-13). Semua perintah ini menekan bahwa iman harus dipraktekan dalam hidup sehari-hari.

Bagian kedua (2:14-26) mengembangkan gagasan iman yang tidak diterjemahkan ke dalam perbuatan-perbuatan yang baik adalah iman yang mati. Gagasan ini diulang-ulang seperti refrein. Gagasan ini didasarkan pada contoh dan teladan tokoh-tokoh biblis yang terkenal (2:20-26).

Bagian ketiga (3:1-5:6) memuat aplikasi praktis atas gagasan iman tanpa perbuatan adalah mati. Orang kristiani dinasihatkan untuk mengontrol lidah mereka (3:1-12), mencari kebijaksanaan yang benar dan menolak kebijaksaan yang salah (3:13-18), menyadari pokok perselisihan (4:13-17), percaya pada penyelenggaraan ilahi, dan tidak hanya sibuk dengan usaha menumpuk kekayaan pribadi karena hal itu dapat menimbulkan ketidakadilan yang keji (5:1-6). Nasihat-nasihat ini diberikan dengan maksud supaya jemaat memahami bahwa iman harus diaplikasikan dalam perbuatan nyata.

Bagian keempat (5:7-20) merupakan kesimpulan yang berisikan serangkaian nasihat yang ringkas dan tajam. Serangkaian nasihat itu menegaskan perlunya mempertahankan iman yang benar dengan sabar dan berkesinambungan (5:7-11); mengajarkan nilai doa (5:13-18); berbicara tentang sakramen pengurapan orang sakit (5:14-15); dan akhirnya mendorong jemaat untuk memperhatikan satu sama lain (5:19-20)