NEKROMANSI: MEMANGGIL ARWAH SAMUEL
Jarot Hadianto
Jarot Hadianto
“Carilah bagiku seorang perempuan yang sanggup memanggil arwah;
maka aku hendak pergi kepadanya dan meminta petunjuk kepadanya.” (1Sam. 28:7)
maka aku hendak pergi kepadanya dan meminta petunjuk kepadanya.” (1Sam. 28:7)
Nekromansi. Belum pernah mendengar kata ini? Meski begitu, jika dijelaskan, Anda pasti dengan segera akan sadar bahwa praktik yang melibatkan nekromansi sebenarnya tidak asing dalam masyarakat kita. Zaman memang sudah modern, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, namun anehnya hal-hal berbau mistik tetap saja digemari masyarakat. Buktinya, film-film seram yang dibintangi pocong dan kuntilanak selalu ramai diserbu penonton; kesan angker juga tidak bisa hilang manakala kita melewati kuburan dan rumah tua; selain itu masih banyak orang yang mengunjungi orang-orang pintar guna bertanya tentang jodoh dan nasib mereka di masa depan. Tentang yang disebut terakhir, dukun-dukun itu dengan mudah dapat kita temukan di berbagai tempat. Praktik mereka laris manis diserbu klien yang tidak percaya lagi pada logika dan akal sehat. Si dukun akan komat-kamit membaca mantra, membakar dupa, kalau perlu menyembelih ayam hitam guna menghadirkan arwah mbah ini atau mbah itu yang bisa memecahkan masalah kliennya tersebut. Nah, itulah praktik nekromansi: memanggil arwah untuk dimintai nasihatnya.
Dunia perdukunan yang melibatkan ilmu sihir dan nekromansi ternyata laku juga di Israel. Jejak-jejaknya dapat kita temukan dalam Alkitab, misalnya dalam sebuah kisah yang melibatkan raja Israel pertama, Saul. 1Sam. 28:3-25 menceritakan, dalam situasi terjepit, Saul meminta seorang dukun memanggil arwah Samuel untuk dimintai pertolongan. Inikah bukti bahwa arwah orang mati bisa dipanggil, dan bahwa ada orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu? Sebelum menunjuk 1Sam. 28:3-25 sebagai bukti keabsahan praktik mereka, saya mengajak para dukun sekalian – juga Anda – untuk mendalami perikop ini baik-baik.
Saul di titik nadir
Semenjak Samuel menyatakan bahwa TUHAN “memecat” Saul dari posisinya sebagai raja Israel (1Sam. 15), Saul terus-menerus mengalami kemunduran. 1Sam. 28:3-25 boleh dibilang mengisahkan titik terendah dalam kehidupan sang raja. Hidup dan pemerintahannya memasuki saat-saat akhir. Saul saat itu sedang menghadapi pertempuran yang sulit melawan orang Filistin. Posisinya tampak tidak terlalu menguntungkan karena sempat dikatakan bahwa ia merasa takut dan “hatinya sangat gemetar” (28:5).
Pasukan Filistin berkemah di dekat Sunem, di bagian utara dataran Yizreel, sementara pasukan Israel posisinya ada di sebelah selatan Sunem, di kaki Gunung Gilboa. Kekuatan pasukan Saul sebenarnya tidak dapat dikatakan lemah. Daud saja masih menganggapnya berbahaya sehingga lebih memilih menghindar (27:1). Tapi, sekuat apapun sebuah pasukan, sia-sia belaka jika pemimpinnya belum-belum sudah merasa takut. Entah apa yang membuat Saul gemetaran ketika melihat pasukan Filistin dari kejauhan. Pasukan musuh mungkin jumlahnya jauh lebih besar dan persenjataannya lebih lengkap, sementara Saul telah ditinggalkan pendukung-pendukungnya yang utama, seperti Daud, Samuel, dan TUHAN sendiri. Jadi, ketika balatentara Filistin yang dahsyat menyerbu pasukan Israel, siapa gerangan yang akan membantu raja yang kesepian itu berlaga di medan perang?
Dalam pandangan penyusun kisah ini (tradisi Deuteronomis), posisi Saul memang telah berubah. Dari sosok raja pilihan Allah, ia kini menjadi sosok antagonis yang tidak menarik hati. Orang Benyamin itu tidak lagi punya masa depan; dia adalah penguasa lama yang sudah waktunya diganti. Ini terjadi karena ketidaktaatan Saul pada kehendak Allah (1Sam. 13; 15), sampai akhirnya Samuel sebagai tokoh penting dalam kehidupan agama dan politik Israel menjatuhkan keputusan final, “TUHAN telah mengoyakkan darimu jabatan raja atas Israel pada hari ini dan telah memberikannya kepada orang lain yang lebih baik darimu” (15:28; bdk. 13:14). Samuel memang telah mati, tapi tuah perkataannya selalu menghantui Saul, terutama di saat-saat genting seperti waktu itu.
Hanya, jangan lalu menilai Saul itu seratus persen jahat. Dalam ketakutannya, Saul pertama-tama tetap lari kepada TUHAN. Ia masih menempatkan dirinya sebagai hamba Allah yang berharap mendapat pertolongan dari-Nya. Dicobanya semua sarana legal untuk berkomunikasi dengan Allah: secara pribadi (melalui mimpi), lewat perantaraan imam (dengan membuang undi), dan perantaraan nabi (nubuat). Sayang, TUHAN tak mau memberikan jawaban. Kejamkah Allah karena berlaku demikian? Sebaiknya situasi ini dilihat sebagai buah ketidaktaatan Saul. Dulu ia mengabaikan kehendak Allah, sekarang ia harus menanggung kehancuran sebagai akibatnya.
Didiamkan Allah tidak membuat Saul hilang akal. Ia terus berjuang mendapatkan dukungan dari yang ilahi sebelum maju ke medan perang, kali ini dengan cara yang sama sekali salah: menemui seorang pemanggil arwah.
Praktik nekromansi di Israel
Sejumlah teks Alkitab menunjukkan bahwa praktik nekromansi memang berlangsung di kalangan masyarakat Israel. Bukan hanya itu, dunia perdukunan di sana disemarakkan pula oleh kehadiran tukang tenung, peramal, penyihir, juga pemantra. Padahal Taurat jelas-jelas melarang keberadaan mereka (Ul. 18:10-14; Im. 19:31). Kontak dengan dunia gaib dan mendapatkan manfaat darinya dipandang sebagai sebuah kekejian karena membuat orang Israel berpaling dari TUHAN.
Para pemanggil arwah sebenarnya telah dibasmi oleh Saul (28:3). Hanya, banyak yang melihat bahwa tindakan Saul ini tak lepas dari faktor Samuel. Sebagai nabi yang mengurapi Saul menjadi raja Israel, keberadaan Samuel juga berfungsi sebagai “pengawas” untuk memastikan sang raja memerintah sesuai dengan kehendak TUHAN. Maka, tindakan Saul menyingkirkan para pemanggil arwah itu tampaknya tidak pertama-tama didorong oleh kesalehan dirinya, melainkan karena pengaruh Samuel. Tak heran, setelah Samuel mati, Saul berminat memanfaatkan jasa seorang dukun, suatu hal yang dulu dilarangnya sendiri. Dalam posisi terdesak, ia terkesan mau melakukan apa saja demi keselamatan dirinya.
En-Dor pada suatu malam
Sebelum maju perang, Saul terlebih dulu harus tahu apakah TUHAN berkenan mendukung dirinya atau tidak. Untuk itulah jasa seorang pemanggil arwah dibutuhkan. Saul pun menuju ke sebuah tempat bernama En-Dor. Di sana ada seorang perempuan pemanggil arwah yang lolos dari pembasmian yang dilancarkannya dulu.
Perjalanan ke En-Dor menggambarkan betapa buruknya situasi Saul. Dari awal saja, niat Saul untuk menemui pemanggil arwah sudah merupakan hal yang buruk. Sang raja dengan begitu melanggar ketentuannya sendiri, menunjukkan pribadinya yang plin-plan, imannya yang pudar, dan hidupnya yang gagal. Melengkapi hal itu, perjalanan Saul juga tidak kalah buruknya. Untuk mencapai En-Dor yang terletak di kaki Gunung Tabor di sebelah utara Sunem, Saul mesti menempuh jalan yang berputar-putar agar terhindar dari orang Filistin. Agar aman ia pun menyamar, jangan sampai ketahuan bahwa ia adalah raja. Pertemuan dengan pemanggil arwah itu akhirnya terjadi dalam kegelapan malam. Semua serba sembunyi-sembunyi dan diam-diam, sungguh tidak pantas bagi seorang raja. Tampaknya memang itu yang mau disampaikan: Saul tidak lagi pantas disebut raja. Dia orang yang kacau tanpa pegangan.
Tapi setidaknya niat Saul akhirnya terwujud, ia berhasil menemui si pemanggil arwah. Ritual nekromansi akan segera berlangsung. Tapi sebelumnya Anda perlu tahu bahwa kisah ini lemah dalam detail, tepat di adegan klimaks. Detail-detail yang agak kabur itu antara lain: (1) Karena takut, perempuan itu tadinya menolak ketika diminta memanggil arwah. Ia bersedia setelah Saul memberikan jaminan. Karena Saul sedang menyamar, bagaimana bisa perempuan itu mempercayai jaminan orang biasa?; (2) Tidak digambarkan bagaimana persisnya perempuan itu memanggil arwah Samuel; (3) Tidak diketahui juga bagaimana perempuan itu bisa tahu bahwa yang ia hadapi adalah Saul hanya dengan melihat Samuel.
Maka saran saya, ketika membaca perikop ini jangan buang-buang waktu dengan memperdebatkan detail ritual pemanggilan arwah, kemampuan perempuan itu dalam memanggil arwah, juga apakah arwah orang mati sebenarnya bisa dipanggil atau tidak. Perhatikan saja fokus perikop ini, yakni perkataan Samuel.
Suara dari alam maut
Dengan cara yang tidak dijelaskan, perempuan itu berhasil mendatangkan arwah Samuel (kenapa Samuel? Apa Saul lupa bahwa Samuellah yang memecatnya sebagai raja Israel?). Celaka, Samuel ternyata datang dari dunia orang mati sambil marah-marah, “Mengapa engkau mengganggu aku dengan memanggil aku muncul?” Dengan awal yang buruk seperti ini, harapan Saul untuk mendapatkan bantuan tampaknya segera berubah jadi bencana.
Kepada Samuel, Saul mengungkapkan kesulitan yang tengah dihadapinya. Perang dengan orang Filistin sedang berkecamuk, tapi TUHAN tak membantunya. Karena itulah Saul sungguh membutuhkan bantuan Samuel. Penyusun kisah ini tampak mengolok-olok kebodohan Saul yang berharap Samuel akan menolongnya, padahal TUHAN sudah berpaling darinya. Sebagai hamba TUHAN, mana mungkin Samuel bisa menolong orang yang tidak dikehendaki TUHAN? Tapi setidaknya Samuel tidak keberatan mengungkapkan rahasia masa depan Saul. Jangan dikira kabar baik, berita yang disampaikan Samuel itu benar-benar buruk. Pertama, sudah dinyatakan dari dulu bahwa Saul akan kehilangan takhtanya akibat sikapnya yang tidak menaati TUHAN. Nubuat tersebut akan digenapi hari itu juga. Kedua, dalam pertempuran melawan orang Filistin, pasukan Israel akan kalah, sedangkan Saul dan anak-anaknya akan tewas.
Mendengar nubuat tragis tersebut, Saul langsung ambruk ke tanah. Ia lemas karena divonis mati (tapi juga karena tidak makan seharian). Sebelum dikalahkan pasukan musuh, Saul sudah dikalahkan dirinya sendiri.
Bukan soal memanggil arwah
Jadi tentang apakah 1Sam. 28:3-25? Tentang kesaktian seorang dukun yang bisa memanggil arwah? Bukti bahwa arwah orang mati bisa dipanggil kembali? Bukan, bukan itu. Tak dapat disangkal, adanya ritual nekromansi membuat perikop ini jadi perhatian dan perdebatan banyak orang. Sejumlah orang dengan penuh semangat mendiskusikan kemampuan perempuan pemanggil arwah itu mendatangkan roh Samuel. Sebagian berpendapat bahwa itu terjadi berkat campur tangan Allah, bukan karena kesaktian perempuan itu; yang lain mengatakan bahwa itu pasti pekerjaan Iblis; yang lain lagi mengatakan Samuel tidak benar-benar datang karena perempuan itu menipu Saul. Bolehlah, tapi diskusi demikian kurang berguna.
Beberapa pokok keyakinan Israel tentang kehidupan sesudah mati memang bisa kita tarik dari kisah ini: (1) Diyakini bahwa orang-orang mati beristirahat di bumi bagian bawah dan tidak mau diganggu; (2) Setelah mati, semua orang menuju ke tempat yang sama, tidak peduli ia orang baik atau jahat; (3) Meski praktik pemanggilan arwah dilarang, orang Israel – termasuk penyusun kisah ini – umumnya percaya bahwa itu bisa terjadi.
Namun, perikop ini tidak punya minat pada praktik pemanggilan arwah, dan tidak bisa dijadikan bukti bahwa arwah orang mati bisa dipanggil datang ke dunia ini. Paling jauh dapat disimpulkan, perikop ini menunjukkan keyakinan orang waktu itu bahwa arwah orang mati dapat dipanggil kembali. Penyusun sendiri sekadar menjadikan ritual pemanggilan arwah ini sebagai latar belakang kisahnya tentang akhir kejayaan Raja Saul. Sesaat lagi Saul akan mati secara tragis (1Sam. 31), dan TUHAN telah menetapkan penggantinya, yakni Daud.
Maka alih-alih soal mistik, fokus kisah ini adalah perkataan Samuel, yang mengajak kita merenungkan hubungan antara kekuasaan raja dan kekuasaan TUHAN. Raja punya kekuasaan yang besar, tapi ia tidak boleh lupa bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan TUHAN. Saul mengabaikan hal itu. Kejatuhan sang raja semakin dalam dengan ulahnya mendatangi seorang pemanggil arwah. TUHAN mau digantikan dengan roh-roh gaib? Orang yang berani-beraninya melakukan itu pasti akan berakhir dengan kehancuran. Tepat inilah yang terjadi pada diri Saul. Dia mestinya bertobat, bukannya mendatangi dukun!***
Kepustakaan
Bergant, Dianne, dan Robert J. Karris (ed.). 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius.
Brueggemann, Walter. 1990. First and Second Samuel. Louisville: John Knox Press.
Conroy, Charles. 1983. 1-2 Samuel 1-2 Kings. Delaware: Michael Glazier, Inc.
Groenen, C. 1992. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius.
Robinson, Gnana. 1993. Let Us Be Like The Nations: 1 & 2 Samuel. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar