ALLAH MEMBUNUH UZA
Jarot Hadianto
“Ketika mereka sampai ke tempat pengirikan Nakhon, maka Uza mengulurkan tangannya kepada tabut Allah itu, lalu memegangnya, karena lembu-lembu itu tergelincir. Maka bangkitlah murka TUHAN terhadap Uza, lalu Allah membunuh dia di sana karena keteledorannya itu; ia mati di sana dekat tabut Allah itu.”
(2Sam. 6:6-7; bdk. 1Taw. 13:9-10)
Jarot Hadianto
“Ketika mereka sampai ke tempat pengirikan Nakhon, maka Uza mengulurkan tangannya kepada tabut Allah itu, lalu memegangnya, karena lembu-lembu itu tergelincir. Maka bangkitlah murka TUHAN terhadap Uza, lalu Allah membunuh dia di sana karena keteledorannya itu; ia mati di sana dekat tabut Allah itu.”
(2Sam. 6:6-7; bdk. 1Taw. 13:9-10)
Israel, sekitar tahun 1000 SM. Daud telah menjadi raja atas seluruh Israel, telah merebut Yerusalem dan menjadikan kota itu sebagai ibu kota kerajaan, juga telah mendirikan istana yang nyaman untuk dihuni. Namun, bagi Daud, masih ada satu hal lagi yang kurang: tabut Allah belum ada bersamanya, masih “tertinggal” di Baale-Yehuda yang juga disebut Kiryat-Yearim (1Sam. 7:2). Ia pun kemudian memindahkan tabut itu ke Yerusalem dalam suatu prosesi yang sangat meriah (lih. 2Sam. 6:1-5). Pada saat itu, sampai-sampai dikatakan bahwa seluruh kaum Israel – Daud tidak ketinggalan – turut serta sambil menari-nari “dengan sekuat tenaga”. Lagu-lagu pujian dilambungkan dan segala macam alat musik dibunyikan, sehingga bisa kita bayangkan betapa riuhnya suasana perarakan itu.
Namun, belum sampai Yerusalem, keramaian itu ternyata harus berujung pada kesedihan. Sebuah insiden terjadi, nyawa seorang anak manusia melayang, dan nama baik Tuhan menjadi taruhan. Masalahnya, salah seorang yang mengiringi tabut Allah itu melakukan hal yang sangat baik – memegangi tabut agar tidak jatuh – tapi justru karena itu, Allah malah kemudian membunuh dia. Begitu membaca perikop ini, para pencinta Kitab Suci niscaya langsung menggerutu penuh rasa kecewa, “Aneh benar Allah ini!”
Tabut menggenapi kejayaan Daud
Agar rasa kecewa itu tidak berkepanjangan, mari kita melihat duduk masalah yang sebenarnya. Meski menyajikan kisah yang tragis, jika dikaitkan dengan perikop-perikop sebelumnya, penulis melalui 2Sam. 6:1-23 sebenarnya sedang berkisah tentang masa-masa keemasan pemerintahan Raja Daud. Seperti telah disinggung di muka, negeri yang diperintahnya telah memiliki ibu kota yang tepat; situasi politik juga sudah agak stabil; dan Daud sendiri hidup dengan sejahtera bersama istri-istri dan anak-anaknya (poligami, jangan ditiru).
Terasa agak aneh, tiba-tiba saja Daud (atau penulis kisah ini) teringat pada tabut Allah. Sebab, tabut itu sebenarnya sudah sekian lama “tersingkir” dan mungkin juga terlupakan. Sejak dirampas – lalu dikembalikan – oleh orang Filistin dan mendatangkan bencana di tempat-tempat yang disinggahinya, tabut Allah diputuskan untuk “diamankan” di rumah Abinadab di Kiryat-Yearim (1Sam. 7:1-2), lalu sekian lama tidak disebut-sebut lagi. Lebih dari dua puluh tahun sesudah itu, Daud mengingatnya kembali dan sadar bahwa bersama “sang tabut”, legitimasi pemerintahannya akan semakin kokoh. Andai saja tabut Allah ada di Yerusalem, kegemilangan Daud lengkap sudah. Dilihat dari kepentingan politik dan agama, keberadaan tabut Allah di ibu kota negara memang akan sangat menguntungkan. Tidak heran untuk acara pemindahan ini Daud menyelenggarakan prosesi yang sangat meriah, bahkan ikut menari ke sana kemari dengan penuh semangat. Namun, perlu dicatat bahwa dari Alkitab, kita tidak mendapatkan penjelasan yang memadai tentang peran konkret tabut Allah dalam pemerintahan Daud, juga raja-raja sesudahnya.
Misteri kematian Uza
Ada penafsir yang berpendapat bahwa kisah yang memuat insiden tergelincirnya lembu-lembu dan kematian Uza (2Sam. 6:6-8) itu sebenarnya semacam “kisah asal-usul” tempat yang disebut Perez-Uza. Alkisah, Daud dan orang-orang Israel, yang sedang berarak-arak dalam rangka memindahkan tabut Allah ke Yerusalem, sampai di tempat pengirikan Nakhon. Tempat itu dianggap keramat karena biasa dipakai untuk ritual penyembahan berhala terhadap dewa yang disebut Perez.
Roh-roh yang menguasai tempat keramat itu tiba-tiba saja datang mengganggu karena tidak menyukai kehadiran Daud, orang-orang Israel, dan tabut Allah yang mereka bawa itu. Dengan satu dan lain cara, gangguan itu mengagetkan lembu-lembu yang asyik menarik kereta berisi tabut Allah, sehingga hewan-hewan itu pun tergelincir. Akibatnya, tabut Allah nyaris terjungkal ke tanah. “Beruntung” Uza secara spontan mengulurkan tangannya sehingga tabut itu tidak jadi jatuh ke tanah. Sayangnya, Allah tidak berkenan tabut-Nya dipegang-pegang manusia. Ia murka dan langsung membunuh Uza. Demikianlah kisahnya sehingga orang lalu memberi nama tempat itu Perez-Uza.
Legenda yang menarik. Namun, pembaca mungkin masih merasa sedikit penasaran: dengan cara apa Allah membunuh Uza? Atau lebih tepatnya: apa yang menyebabkan Uza tiba-tiba tewas? Perikop 2Sam. 6:6-8 memang tidak memberi penjelasan apa-apa tentang hal itu. Namun, ada yang berpendapat bahwa mungkin saja Uza waktu itu begitu gugup dan tegang melihat tabut Allah hampir jatuh. Begitu tegangnya, sampai-sampai jantungnya “kumat” sehingga ia pun langsung meninggal di tempat. Tafsir lain yang jelas-jelas berusaha menyelamatkan citra Allah menghindari kesan bahwa Uza pernah memegang tabut Allah. Menurut tafsir ini, posisi Uza waktu itu persis di samping kereta. Ketika lembu-lembu itu tergelincir, langsung saja tabut jatuh ke arah samping dan dengan mantap menimpa Uza. Tabut Allah selamat, sedangkan Uza langsung tewas di tempat...
Namun, berdasar kisah dalam kitab 2 Samuel, “fakta” (kalau boleh dikatakan begitu) yang bisa kita pegang adalah (1) Uza memegang tabut Allah dan (2) Uza mendadak mati. Kalimat selanjutnya “maka bangkitlah murka TUHAN terhadap Uza, lalu Allah membunuh dia di sana karena keteledorannya itu...” (ay. 7) tidak bisa disebut sebagai fakta. Sebab, jelas tidak ada orang yang melihat Allah datang sambil marah-marah kepada Uza karena berani pegang-pegang tabut-Nya, lalu membunuh dia. Jika demikian, ungkapan “Allah membunuh Uza” rupanya harus dimengerti dan dilihat dari sudut pandang yang tepat. Sebab, ungkapan itu lebih merupakan suatu tafsir teologis, bukan laporan atas suatu peristiwa yang sungguh terjadi.
YHWH, Allah yang Mahakudus
Maka setelah membaca kisah kematian Uza yang menyedihkan ini, salah sasaran jika pencinta Kitab Suci merasa kecewa terhadap Allah yang tega membunuh orang tidak bersalah. Mestinya pertanyaan yang muncul dalam benak kita adalah: “Mengapa penulis menafsirkan atau menyimpulkan bahwa Uza mati karena dibunuh Allah?” Mendukung perenungan kita, dapat dilihat pula kasus-kasus lain yang mirip dengan kasus Uza, yaitu kematian “beberapa” (tujuh puluh!) penduduk Bet-Semes yang iseng melongok-longok ke dalam tabut (1Sam. 6:19), juga bencana yang menghajar orang-orang Filistin (1Sam. 5). Terhadap siapa saja yang tidak menghargai kekudusan-Nya, Allah tidak segan bertindak keras!
Demikianlah, penulis dengan kisah-kisah itu sebenarnya sedang menguraikan gagasannya tentang “Allah yang Mahakudus”. Kudus saat ini umumnya kita mengerti sebagai kata lain dari suci. Jika seseorang atau sesuatu disebut kudus, itu artinya ia berada dalam keadaan bersih, tanpa cela, bebas dari dosa. Namun, perlu diketahui bahwa kudus pertama-tama berarti “terpisah”. Allah disebut Mahakudus, berarti Dia itu “terpisah” dari manusia. Antara Allah dengan manusia ada jurang perbedaan yang besar. Celakalah orang yang sampai berhadapan muka dengan Allah, sebab maut akan segera mencabut nyawanya (bdk. Kel. 33:20).
Tabut memang hanyalah suatu barang. Namun, bukan sembarang barang, tabut adalah barang yang kudus, sebab melambangkan kehadiran YHWH di tengah-tengah bangsa Israel. Karena itu, tabut tidak boleh diperlakukan secara tidak hormat. Sikap seseorang pada tabut menggambarkan sikapnya pada YHWH sendiri. Termasuk hal yang dilarang adalah menyentuh/memegang tabut Allah. Jika Anda tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang dikuduskan (baca: “dipisahkan” dalam rangka melayani Allah atau peribadatan), jangan berani-beraninya menyentuh barang kudus itu. Anda akan dianggap telah melakukan “tindak pelecehan” dan hukuman mati adalah ganjaran yang paling cocok untuk membayar kesalahan Anda itu. Hanya orang-orang tertentu yang diperkenankan berurusan dengan tabut Allah, orang-orang Lewi misalnya, itu pun dengan berbagai ketentuan yang sangat ketat (bdk. Bil. 4:5,15,20; Kel. 25:15). Apa boleh buat, kehadiran Allah rupanya bisa sangat berbahaya bagi manusia!
Naas bagi Uza. Meski dengan tujuan baik – lagi pula terjadi secara spontan – ia telah memegangi tabut yang nyaris jatuh. Itu namanya pelecehan! Maka, ketika setelah itu Uza mendadak meninggal, langsung saja penulis melihat itu sebagai dampak tindakan Uza yang telah melanggar kekudusan tabut Allah. “Allah murka. Ia pun lalu membunuh Uza,” demikian kira-kira katanya. Entah apa maksudnya dengan menambahi keterangan bahwa Uza telah bertindak “teledor” (ay. 7). Yang jelas, pencinta Kitab Suci disarankan untuk tidak memerhatikan aspek-aspek moral (bahwa Uza sebenarnya melakukan hal yang baik) ketika membaca kisah ini. Seorang penafsir memberi perumpamaan yang menarik tentang hal ini. Tindakan Uza yang memegang tabut Allah itu bagaikan seseorang yang secara tidak sengaja memegang kabel listrik. Entah orang itu berniat baik atau jahat, yang namanya berurusan dengan listrik, tetap saja ia akan hangus terbakar...
Penutup: Allah tak bisa diperalat
Jika pembaca sedih hati melihat nasib malang yang menimpa Uza, masih ada yang lebih menyedihkan lagi: penulis agaknya tidak terlalu peduli dengan Uza. Sebab, meski bercerita tentang Uza, sosok yang lebih ia perhatikan dalam perikop ini sebenarnya adalah Daud.
Daud berniat memindahkan tabut Allah ke Yerusalem. Pembaca jangan buru-buru menilai bahwa hal itu pertama-tama terdorong oleh kesalehan hati Daud. Sebagian besar penafsir meyakini bahwa pemindahan itu sedikit banyak memiliki nuansa politis. Raja Daud ingin memanfaatkan tabut Allah sedemikian rupa agar pemerintahan dan kekuasaannya atas Israel semakin kokoh dan legitimate. Namun, mungkinkah Allah berkenan dikendalikan oleh manusia?
Kematian Uza membuat kaget semua orang, termasuk Daud. Sang raja menyadari bahwa kuasa Allah yang luar biasa besar hadir dalam dan melalui tabut-Nya yang kudus. Dari kematian Uza yang terjadi di depan matanya, Daud tampaknya mengambil pelajaran bahwa Allah tidak mau diperalat oleh manusia. Bukan manusia yang berkuasa mengatur Allah, tapi sebaliknya Allahlah yang berkuasa atas diri manusia. Karena itu, Daud pun menjadi “takut” kepada Allah (ay. 9). Prosesi dihentikan dan untuk sementara, pemindahan tabut Allah ke Yerusalem ditunda. Mungkin agar kegemparan atas kematian Uza terlebih dahulu reda, mungkin juga agar Daud dapat melihat-lihat apakah kehadiran tabut itu membawa berkah atau bencana. Yang jelas ada waktu yang cukup bagi Daud yang (semoga) dimanfaatkannya untuk merenungkan kembali motivasinya mengangkut tabut itu ke Yerusalem. Ah, setidaknya Uza tidak mati sia-sia...***
1.Kalau pembaca tidak mengenal arti “pengirikan”, Mat. 3:12 atau Luk. 3:17 mungkin bisa membantu.
2.Penulis kitab 1 Tawarikh memberi tafsir teologis lain atas kematian Uza. Menurutnya (dititipkan dalam perkataan Daud), Allah murka karena waktu itu yang mengangkut tabut-Nya bukan orang-orang Lewi. Mereka tidak menghadiri prosesi pemindahan tabut Allah itu (lih. 1Taw. 15:11-14).
2.Penulis kitab 1 Tawarikh memberi tafsir teologis lain atas kematian Uza. Menurutnya (dititipkan dalam perkataan Daud), Allah murka karena waktu itu yang mengangkut tabut-Nya bukan orang-orang Lewi. Mereka tidak menghadiri prosesi pemindahan tabut Allah itu (lih. 1Taw. 15:11-14).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar