Senin, Februari 21, 2011

PELAKU REKONSILIASI : PERSPEKTIF BIBLIS[1]

Alfons Jehadut

Dari hari ke hari kita dihadapkan dan menghadapi aneka bentuk kekerasan dan kekejaman. Darah segar tercecer sia-sia dan air mata ratapan kesedihan terus mengalir sampai-sampai kelenjar yang memproduksi air mata menjadi kering. Pembantaian, penculikan, intimidasi, teror, dan provokasi seakan-akan menjadi santapan harian kita. Relasi antarsesama diwarnai oleh permusuhan. Orang melihat sesamanya sebagai saingan, orang asing, bukan orang kami, yang menganggu kemapanan. Semuanya itu mencerminkan citra kemanusiaan kita tengah tercabik-cabik. Rasa hormat terhadap keluhuran martabat sesama manusia semakin memudar.


Di tengah-tengah citra kemanusiaan yang tercabik-cabik itu kita diundang untuk mencari cara untuk mengatasi situasi semacam itu. Kita diundang untuk memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi. Komitmen semacam ini tampak telah mulai terlihat di dalam berbagai bentuk perlawanan tanpa kekerasan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan perwujudannya yang telah dilakukan di berbagai belahan dunia. Upaya seperti itu sering menghadapi berbagai kendala dan bayaran yang sangat mahal. Namun, upaya seperti itu harus berakar pada komitmen pada perdamaian, toleransi, dan semangat hidup untuk menerima semua orang. Kita semua diharuskan untuk memujukan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupan nyata.


Tulisan singkat ini berupaya untuk merefleksikan tradisi biblis iman kristiani tentang kesalahpahaman, konflik, dan kekerasan dan juga contoh rekonsiliasi dan upaya-upaya untuk menciptakan keadilan dan keharmonisan di dalam hidup bersama. Untuk itu saya akan mengangkat beberapa topik berikut: kisah Yakub dan Esau; Korban yang memaafkan; Yusuf dan saudara-saudaranya; Perubahan hati; Mencintai musuh; dan Pelaku rekonsiliasi


Yakub dan Esau

Kisah penipuan Yakub telah dikenal oleh orang banyak. Ia memperdaya Esau yang mempunyai hak sebagai anak sulung. Setelah itu ia melarikan diri ke negeri pamannya, saudara ibunya yang bernama Laban. Setelah bertahun-tahun ia kemudian kembali ke negeri kelahirannya dan siap menemui saudaranya (Kej 33: 1-17)[2]. Ia mengatur dan mempersiapkan rombongannya dalam satu barisan dengan cara menempatkan orang-orang pentingnya pada tempat yang terlindungi. Tempat yang terlindung itu ada pada barisan yang paling belakang.



Ketika Yakub bersama dengan keempat ratus orang yang ikut mengiringinya mendekati Esau, ia berani menempatkan dirinya pada tempat yang sangat berbahaya dengan berlangkah menuju baris terdepan. Ia tidak tahu apa yang ada dalam benak Esau. Namun, Ia meminta kebaikan hatinya dengan bersujud sampai ke tanah tujuh kali, hingga ia sampai ke dekat saudaranya. Bersujud sama artinya dengan mengakui sesorang sebagai raja atau kaisar[3]. Ia tidak peduli apa yang ada di dalam benak dan hati saudaranya. Ketika melihat kebaikan hati terpancar di wajah saudaranya, ia teringat akan kebaikan wajah Allah yang telah menampakkan dirinya pada malam sebelumnya. Dengan demikian, Yakub telah siap berekonsiliasi.


Akan tetapi, bagaimana dengan saudaranya? Sikap dan tindakan saudaranya sangat dramatis. Esau menunjukkan perasaan persaudaran terhadap Yakub, tetapi ia juga bersikap sangat bijaksana. “Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka” (33:4). Ini merupakan suatu adegan kemurahan hati saudaranya. Saudaranya tidak hanya mendekatinya, tetapi ia berlari mendekatinya dengan kerinduan yang sangat besar. Ia memeluknya sebagai saudara yang telah lama hilang; ia tidak menyerang sebagaimana layaknya seorang musuh yang mencuri haknya sebagai anak sulung Ishak dan karena itu berhak memperoleh dua bagian warisan. Ia mencium Yakub dan tidak menamparnya. Bahkan, ia menangis karena sangat gembira dapat bersatu kembali dengan adiknya yang sama-sama berada di dalam kandungan Rebeka. Masa lalu bukannya dilupakan, tetapi dimaafkan.


Korban yang memaafkan

Dalam tradisi biblis yang lebih luas Yakub digambarkan sebagai orang yang dikasihi Allah. Namun, ia tidak menganggapnya sebagai suatu previlese yang harus dipertahankan. Maka, ia tetap memperlihatkan rasa hormatnya kepada saudaranya dengan memberi salam kepada saudaranya. Esau menyebut Yakub “saudara” [(33:9) dan Yakub menyapa Esau dengan sapaan yang hormat “tuanku“ (33:8). Selanjutnya ia menaruh hormat kepada Esau. Rasa hormat itu terungkap dalam jawaban salamnya: “Jikalau aku telah mendapat kasihmu, terimalah persembahanku ini dari tanganku, karena memang melihat mukamu adalah bagiku serasa melihat wajah Allah, dan engkau pun berkenan menyambut aku” (33:10). Ucapan ini mengandung arti bahwa Yakub menyadari sepenuhnya kesalahan yang telah dilakukannya terhadap Esau. Yakub yang telah bergumul dengan Tuhan pada malam sebelum bertemu dengan saudaranya telah dipersiapkan dengan baik untuk proses rekonsiliasi.


Kisah ini memperlihatkan esensi dari proses rekonsiliasi. Antara pelaku kejahatan dan korban kejahatan ada satu kerinduan untuk memulihkan mereka yang telah retak. Rekonsiliasi sejati sebenarnya diawali oleh pihak yang menderita[4]. Si korban yang memaafkan pelaku kejahatan telah membuka kemungkinan terciptanya suatu relasi yang baru atau relasi yang diperbarui. Sementara itu pelaku kejahatannya harus menyesal dan berkeinginan kuat untuk berekonsiliasi. Gagasan ini menantang kita untuk melihat secara teliti dinamika dalam proses rekonsiliasi. Jika kita menjadi korban, maka tantangan bagi kita adalah menolak setiap keinginan untuk membalas dendam dan memaafkan pelaku pelanggaran. Sebaliknya, jika kita menjadi pelaku kejahatan, maka tantangan bagi kita adalah menyesali perbuatan dan menungu dengan rendah hati dan dengan sabar pintu maaf dari pihak korban.


Yusuf dan Saudara-saudaranya

Contoh kedua mengenai rekonsiliasi di antara sesama saudara ditemukan dalam kisah Yusuf. Yusuf - anak yang dikasihi Yakub - dijual untuk dijadikan budak oleh saudara-saudaranya yang membencinya karena diperlakukan sebagai “anak emas” oleh ayahnya. Agaknya Yusuf merasa tersanjung dengan perlakuan ayahnya sebagai anak emas sehingga ia jatuh ke dalam kesombongan (Kej 37]. Akibatnya, anak yang paling disayangi itu dijual sebagai budak karena tidak disenangi oleh saudara-saudaranya.


Setelah bertahun-tahun menjalani kerja paksa sebagai seorang budak Yusuf mendapat posisi yang istimewa di dalam istana kerajaan Mesir. Ia memangku jabatan kedua setelah Raja Firaun. Pada saat inilah saudara-saudaranya tertimpa krisis dan bencana kelaparan yang hebat. Krisis dan bencana itu memaksa saudara-saudaranya pergi ke Mesir untuk mencari makanan. Kedatangan mereka di istana Mesir merupakan kesempatan emas bagi Yusuf untuk melampiaskan dendam kesumatnya bagi saudara-saudaranya. Namun ia memilih cara lain. Kerinduan dan rasa haru bagi ayahnya dan adik bungsunya mengalahkan dendam kesumatnya. Secara jujur dan tulus ia memberitahukan kepada saudara-saudaranya yang datang akan identitasnya yang sebenarnya (Kej 45:1-8). "Akulah Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir. Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu (Kej 45:4-5). Dari kisah ini terlihat jelas bahwa pelaku rekonsiliasi adalah si korban.


Perubahan Hati

Hal lain yang perlu disadari oleh semua orang kristiani berkaitan dengan rekonsiliasi adalah bahwa rekonsiliasi bukanlah hanya sebuah strategi dalam memulihkan relasi yang retak, melainkan sebuah spiritualitas hidup. Spiritualitas itu menuntut metánoia atau perubahan hati. Ukuran utama metánoia ialah memaafkan mereka yang telah bersalah kepada kita. Salah satu nilai ajaran Yesus yang paling mengagumkan adalah memaafkan. Yesus memberi banyak contoh untuk mengilustrasikan pengampunan: “Kamu telah mendengar yang difirmankan: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari kamu” (Mat 5:38-42). Dalam perikop ini termuat etika dari pemberi hukum baru[5]. Etika ini merupakan suatu bagian yang sangat luar biasa bukan hanya karena etika itu telah membentuk pemahaman orang kristiani akan nilai-nilai kristiani yang ditawarkan oleh Yesus tetapi juga berimplikasi kristologis. Pengarang Injil Mateus memperlihatkan bahwa Yesus menghadirkan tuntutan Allah tidak hanya dengan mengabaikan hukum tetapi dengan meminta suatu ketaatan yang lebih dalam dengan suatu alasan yang dirumuskan secara jelas: menjadi sempurna seperti Bapa di surga.


Perintah “mata ganti mata“ memang merupakan suatu ganti rugi yang adil. Ganti rugi ini merupakan batas tingkatan ganti rugi yang dapat dihitung secara pasti ketika hak seseorang dilangar. Perintah Yesus yang melarang kita untuk melawan orang yang berbuat jahat kepada kita nampaknya bertentangan dengan ganti rugi yang adil. Tetapi kita perlu sadari bahwa perintah itu tidak dimaksudkan agar kita bersikap pasif. Maksud utamanya adalah membuka kemungkinan untuk menolak segala bentuk permusuhan dan balas dendam. Sikap dan tingkah laku itu sang korban akan mempermalukan pelaku kejahatan dan dapat membawanya pada suatu perubahan hati (metánoia), sama seperti kisah rekonsiliasi Esau dan Yusuf.


Mencintai Musuh

Ajaran Injil mengenai permusuhan diikuti oleh perintah mencintai musuh: “Kamu telah mendengar yang difirmankan: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga sempurna” (Mat 5:43-48)


Ajaran mencintai musuh menunjukkan kepada kita bahwa rekonsiliasi itu lebih merupakan spiritualitas daripada sekedar suatu strategi atau rangkaian tindakan terencana saja. Kendati juga diperlukan langkah-langkah tertentu dalam suatu proses yang terencana, namun yang lebih menentukan adalah keterbukaan orang terhadap aksi pendamaian Allah dalam hidup pribadi atau kelompok. Spiritualitas itu menuntut agar kita menjadi manusia baru dalam Kristus. Rekonsiliasi sering kita bayangkan sebagai pemulihan kembali kepada keadaan sebelumnya. Tapi rekonsiliasi kristiani lebih daripada menghentikan penderitaan korban dan kejahatan pelaku. Pendamaian kristiani membawa kita pada suatu ciptaan baru. Bukan hanya si pelaku kejahatan yang harus berubah menjadi manusia baru, tetapi khususnya si korban menjadi sungguh baru dan berbeda dengan sebelumnya. Rekonsiliasi kristiani membawa kita kepada suatu ciptaan baru. Lebih daripada pelaku menghentikan kejahatannya, sang korban diperbaharui menjadi orang yang akan membantu penindasnya menjadi manusia baru.


Pelaku Rekonsiliasi

Memiliki keinginan untuk memaafkan dan berekonsiliasi dengan mereka yang telah menyakiti atau melukai perasaan kita tidak berarti tantangan sudah selesai. Sebagai orang kristiani kita berkewajiban untuk bertindak sebagai pelaku rekonsiliasi bagi orang lain. Kita yang telah bersekutu dengan Kristus adalah ciptaan baru, bukan lagi manusia sebagaimana biasanya – manusia yang dipenuhi dengan rasa permusuhan, kebencian, dendam, dan berkecenderungan untuk melakukan kekerasan. Kita tidak hanya diminta mencintai musuh, tetapi juga dituntut untuk memprakarsai rekonsiliasi. Sebagai ciptaan baru, kita dipanggil untuk mengikuti teladan Kristus dalam pelayanan rekonsiliasi. Kristuslah yang bertindak sebagai perantara pendamaian Allah dengan kita manusia. Jadi, kita pun harus berperan sebagai perantara rekonsiliasi Allah dengan dunia.


Bagaimana kita melakukannya? Kita melakukannya dengan cara yang sama seperti Allah melakukan rekonsiliasi melalui putera-Nya dan sama seperti Esau dan Yusuf melakukan rekonsiliasi. Maka, kita harus menyingkirkan perasaan dan keinginan untuk membalas dendam supaya sakit hati kita terbalas. Hal ini tidak berarti bahwa kita membiarkan tindakan kejahatan yang menimbulkan banyak darah yang tercecer sia-sia. Yang kita perjuangkan bukan hanya mengubah tindakan kejahatan itu sendiri melainkan juga hati orang yang melakukan kejahatan itu. Kita harus mencari upaya untuk mengubah kejahatan si penindas. Mengubah kejahatan si penindas hanya dapat terlaksana melalui pemberian maaf dari si korban. Pemberian maaf itu memungkinkan si penindas menyadari betapa besarnya akibat tindakan kejahatannya dan kemudian menyesalinya. Pemberian maaf mendahului penyesalan.


Jelaslah bahwa dalam perspektif teologi biblis proses rekonsiliasi yang sungguh-sungguh hanya mungkin dimulai kalau sang korban rela mengampuni pelakunya. Pengampunan itu semacam itu lebih mampu mengantar penjahat kepada penyesalan daripada sistem pengadilan, hukum, dan denda. Tetapi, kerelaan itu hanya mungkin terjadi kalau sang korban mengalami belas kasih dan pengampunan Allah. Kita tidak menemukan daya rekonsiliasi itu dalam diri kita sendiri, tetapi mengalami sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Maka, pertanyaannya bukan “bagaimana saya sebagai korban bisa menggerakkan diri untuk mengampuni mereka yang telah melakukan kekerasan terhadap saya dan masyarakat saya? Sebaliknya, “bagaimana saya dapat menemukan belas kasih Allah timbul dalam diri saya dan menggerakkan saya ke situ?” Kita menemukan pendamaian dalam diri kita sebagai suatu kegiatan Allah melalui Yesus. Prakarsa Allah ini memiliki implikasi menarik, yakni proses rekonsiliasi mulai dari korban. Pengalamannya akan belas kasih Allah memberi korban keberanian untuk kembali membuka diri dengan penuh kepercayaan.


Kalau rekonsiliasi memang bukan prestasi kita, tetapi suatu pekerjaan ilahi yang oleh sang korban ditemukan dalam dirinya, maka bayangan kita yang lazim tentang rekonsiliasi dijungkirbalikkan. Kita lazimnya mengira bahwa bahwa pihak yang jahat harus menyesal dan minta maaf sebelum proses rekonsiliasi sunguh dapat dimulai. Tetapi pengalaman krisitiani justru terbalik. Kita mengalami belas kasih dan pengampunan Allah dan itulah yang mendorong kita untuk menyesal dan mengampuni. Kalau dalam proses rekonsiliasi sang korban oleh rahmat pengampunan Allah digerakkan lebih dulu untuk mengampuni penyiksanya, si penyiksa itu digerakkan oleh korbannya untuk menyadari kejahatannya, menyesalinya, dan membangun kembali kemanusiaannya.




[1] Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Dianne Bergant C.S.A yang berjudul Agents of Reconsiliation, dalam Bible Today, edisi Maret-April, 2004. Bergant adalah seorang professor bidang studi Perjanjian Lama pada Fakulas Teologia Katolik di Chicago. Dia juga terlibat sebagai editor The Collegeville Bible Commentary [Old Testament]; buletin The Bible Today sejak 1986 –1990. Bidang yang diminatinya antara lain Tafsir Alkitab, Spiritualitas Alkitabiah, dan masalah-masalah sosial seperti dunia wanita, lingkungan hidup, dan perdamaian.

[2] Penting dicatat untuk bahwa cerita ini didahului oleh kisah pergumulan Yakub dengan malaikat (Kej 32: 23-33). Dikatakan bahwa "Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!" (Kej 32:31). Jika ia telah bergumul dengan Allah dan diselamatkan, tentu saja ia sekarang memiliki kekuatan dan integritas untuk menghadapi saudara yang telah ditipunya.


[3] Lih, Navarre Bible, Pentateuch, Text and Commentaries, Four Courts Press, Dublin, 1999, hlm 168-169.

[4] Bergant, Dianne, Agents of Reconciliation, dalam Bible Today, edisi Maret-April 2004, hlm 103-104.

[5] Brown, Raymond, E., An Introduction To The New Testament, Doubleday, New York, 1997, hlm 179.

Tidak ada komentar: