PANGGILAN DAN PERTOBATAN PAULUS
Di sini kita akan berfokus pada pengalaman istimewa Paulus di jalan menuju ke Damsyik. Dikatakan istimewa karena melalui pengalaman itu arah hidup Paulus diubah. Dia yang sebelumnya menyandang status sebagai seorang penganiaya pengikut jalan Tuhan kini beralih menjadi seorang rasul bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi. Dia yang sebelumnya melihat Yesus sebagai yang terkutuk dan ancaman bagi Yudaisme kini melihat Yesus sebagai pusat hidupnya. Peristiwa istimewa ini akan dibahas dengan pertama-tama melihat bagaimana Paulus sendiri melukiskannya dalam surat-suratnya(1 Kor 9:1; 15:8; Gal. 1:15-17 ). Lukisan ini kemudian dilengkapi dengan apa yang ditampilkan dalam Kisah Para Rasul (Kis 9:1-19a; 22:1-16; 26:9-18).
Melihat Tuhan yang telah bangkit
Panggilan dan pertobatan Paulus terjadi dalam sebuah perjumpaan dengan Kristus di jalan dekat kota Damsyik. Perjumpaan itu dilukiskannya sebagai sebuah penampakan. Kristus menampakkan diri kepadanya (1Kor. 15:8; bdk. Kis 9:17; 26:16) sehingga ia bisa melihat Kristus (1Kor. 9:1). Penampakan Kristus itu dianggap sama seperti penampakan Kristus yang bangkit kepada para murid dan karena itu ia menghitung dirinya sebagai salah seorang di antara para saksi kebangkitan Tuhan (1Kor. 15:5-11).
Pengalaman melihat Kristus yang bangkit memberi jaminan bagi status dan kewibawaan Paulus sebagai seorang rasul. Melihat Kristus yang bangkit merupakan kualifikasi penting bagi seorang rasul. Kualifikasi ini terkait erat dengan tugas seorang rasul untuk menjadi saksi kebangkitan bersama-sama dengan rasul-rasul yang lainnya (Kis. 1:22). Kualifikasi ini dipenuhi oleh Paulus karena ia memperhitungkan dirinya sebagai salah seorang saksi di antara para saksi kebangkitan. “Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku” (1Kor 15:8).
Penampakan Tuhan yang bangkit terjadi ketika Paulus mendekati kota Damsyik (Kis 9:3; 22:6; 26:13). Sekitar tengah hari, tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilinginya. Cahaya itu digambarkan lebih terang dari cahaya matahari (Kis. 26:13; bdk. 2Kor 4:4-6), menyilaukan dan mengelilingi Paulus (Kis. 22:6) dan teman-teman seperjalanannya (Kis. 26:13). Gambaran ini merupakan tanda khas penampakan ilahi seperti yang terjadi ketika Allah memanggil seorang nabi di dalam Perjanjian Lama (Kel. 19: 16; Yeh. 1:4, 7, 13, 28; Dan. 10:6).
Tanggapan Paulus atas penampakan ilahi mirip dengan nabi Yehezkiel ketika mendapat penglihatan kemuliaan Allah (Yeh. 1:28). Ia rebah ke tanah sebagai suatu bentuk persiapan untuk mendengarkan Kristus berbicara mengingat penampakan Tuhan selalu disertai dengan suatu suara (bdk. Kel. 3:4-10; Kej. 31:11-13; Kis. 2:5-13). Suara itu biasanya menyingkapkan masa depan nabi. Namun, seperti Musa yang mendengar suara Allah dari tengah-tengah semak duri yang memperkenalkan diri-Nya, “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub” sebelum menyingkapkan tugas perutusannya (Kel. 3-4), demikianlah juga Paulus mendengar suara Kristus yang memperkenalkan diri-Nya, “Akulah Yesus yang kauaniaya itu” sebelum menyingkapkan tugas perutusannya.
Pengalaman melihat Kristus yang bangkit memberi jaminan bagi status dan kewibawaan Paulus sebagai seorang rasul. Melihat Kristus yang bangkit merupakan kualifikasi penting bagi seorang rasul. Kualifikasi ini terkait erat dengan tugas seorang rasul untuk menjadi saksi kebangkitan bersama-sama dengan rasul-rasul yang lainnya (Kis. 1:22). Kualifikasi ini dipenuhi oleh Paulus karena ia memperhitungkan dirinya sebagai salah seorang saksi di antara para saksi kebangkitan. “Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku” (1Kor 15:8).
Penampakan Tuhan yang bangkit terjadi ketika Paulus mendekati kota Damsyik (Kis 9:3; 22:6; 26:13). Sekitar tengah hari, tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilinginya. Cahaya itu digambarkan lebih terang dari cahaya matahari (Kis. 26:13; bdk. 2Kor 4:4-6), menyilaukan dan mengelilingi Paulus (Kis. 22:6) dan teman-teman seperjalanannya (Kis. 26:13). Gambaran ini merupakan tanda khas penampakan ilahi seperti yang terjadi ketika Allah memanggil seorang nabi di dalam Perjanjian Lama (Kel. 19: 16; Yeh. 1:4, 7, 13, 28; Dan. 10:6).
Tanggapan Paulus atas penampakan ilahi mirip dengan nabi Yehezkiel ketika mendapat penglihatan kemuliaan Allah (Yeh. 1:28). Ia rebah ke tanah sebagai suatu bentuk persiapan untuk mendengarkan Kristus berbicara mengingat penampakan Tuhan selalu disertai dengan suatu suara (bdk. Kel. 3:4-10; Kej. 31:11-13; Kis. 2:5-13). Suara itu biasanya menyingkapkan masa depan nabi. Namun, seperti Musa yang mendengar suara Allah dari tengah-tengah semak duri yang memperkenalkan diri-Nya, “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub” sebelum menyingkapkan tugas perutusannya (Kel. 3-4), demikianlah juga Paulus mendengar suara Kristus yang memperkenalkan diri-Nya, “Akulah Yesus yang kauaniaya itu” sebelum menyingkapkan tugas perutusannya.
Diangkat dan diutus menjadi seorang rasul bangsa-bangsa bukan Yahudi
Pengalaman perjumpaan dengan Kristus yang menampakkan diri sering dibicarakan oleh Paulus sebagai sebuah pengangkatan dan perutusan bagi dirinya untuk menjadi seorang rasul daripada sebuah pertobatan. Kristus yang bangkit menampakkan diri kepada Paulus untuk mengangkatnya menjadi seorang rasul meski ia menganggap dirinya tidak pantas untuk disebut rasul karena telah menganiaya para pengikut jalan Tuhan (1Kor 15:8; 9:1).
Apakah Paulus mendengar suara yang mengangkat dan mengutusnya menjadi seorang rasul di jalan dekat kota Damsyik (Kis. 26:11-18)? Kemungkinan besar suara pengangkatan dan perutusan itu didengarnya pada waktu penampakan Kristus yang bangkit. Kemungkinan itu diperkuat oleh kesaksian Perjanjian Lama yang tidak mengenal penampakan tanpa pewahyuan dengan kata-kata dan Paulus kemungkinan besar menganggap penampakan Kristus kepadanya sama seperti penampakan-penampakan kebangkitan lainnya yang sering disertai dengan kata-kata kesaksian Yesus tentang diri-Nya atau pengangkatan dan perutusan para rasul (Mat. 28:9-10; 28:16-20; Mrk. 16:14-18; Luk. 24:13-35; 36-43; Yoh. 20:19-29; 21:1-23; Kis. 1:3-9).1
Anggapan ini dibenarkan oleh lukisan Paulus sendiri tentang penampakan Kristus di jalan dekat kota Damsyik dalam Gal. 1:16: Allah “berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi” (bdk. 2:7; Rom. 1:5; 15:15). Dari lukisan ini jelas bahwa penampakan Kristus di jalan dekat kota Damsyik menjadi dasar pewartaan injilnya tentang Yesus yang disalibkan sebagai Mesias dan dibangkitkan dari antara orang mati dan dimuliakan sebagai Tuhan (Gal. 1:12) dan kerasulannya kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Kesadaran akan pengangkatan dan perutusannya sebagai seorang rasul bangsa-bangsa lain melekat dalam peristiwa penampakan Kristus. Kesadaran itu tidak lahir dari suatu refleksi atas perkembangan kerasulannya di antara orang Yahudi dan bukan Yahudi. Dengan demikian, Paulus bukan baru menyadari panggilan dan perutusannya karena misinya gagal di antara orang Yahudi dan berhasil di antara orang yang bukan Yahudi di Antiokhia.
Penampakan Kristus di Damsyik itu tidak hanya momen pengangkatan dan perutusannya tetapi juga fondasi dari injil yang akan diwartakannya. “Injil yang kuberitakan itu bukanlah injil manusia. Karena aku bukan menerimanya dari manusia, dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya oleh penyataan Yesus Kristus” (Gal. 1:11-12). Pernyataan ini menekankan bahwa Kristus yang menampakkan diri di jalan dekat kota Damaskus merupakan isi injilnya. Menerima injil tentang Yesus Kristus itu bagian yang tak terpisahkan dari pengangkatan dan perutusannya sebagai seorang rasul bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi. Hal ini tidak hanya menunjukkan bahwa injil yang diwartakannya dan perutusannya sebagai seorang rasul bangsa-bangsa bukan Yahudi tidak dapat dipisahkan satu sama lain tetapi juga menunjukkan bahwa keduanya berakar dalam peristiwa penampakan di jalan dekat kota Damsyik. Tidaklah masuk akal kalau dikatakan bahwa Paulus menerima injilnya pada waktu penampakan Kristus di jalan dekat kota Damsyik dan kesadarannya sebagai rasul bangsa-bangsa bukan Yahudi baru muncul di kemudian hari setelah gagal bermisi di antara orang Yahudi.
Apakah Paulus mendengar suara yang mengangkat dan mengutusnya menjadi seorang rasul di jalan dekat kota Damsyik (Kis. 26:11-18)? Kemungkinan besar suara pengangkatan dan perutusan itu didengarnya pada waktu penampakan Kristus yang bangkit. Kemungkinan itu diperkuat oleh kesaksian Perjanjian Lama yang tidak mengenal penampakan tanpa pewahyuan dengan kata-kata dan Paulus kemungkinan besar menganggap penampakan Kristus kepadanya sama seperti penampakan-penampakan kebangkitan lainnya yang sering disertai dengan kata-kata kesaksian Yesus tentang diri-Nya atau pengangkatan dan perutusan para rasul (Mat. 28:9-10; 28:16-20; Mrk. 16:14-18; Luk. 24:13-35; 36-43; Yoh. 20:19-29; 21:1-23; Kis. 1:3-9).1
Anggapan ini dibenarkan oleh lukisan Paulus sendiri tentang penampakan Kristus di jalan dekat kota Damsyik dalam Gal. 1:16: Allah “berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi” (bdk. 2:7; Rom. 1:5; 15:15). Dari lukisan ini jelas bahwa penampakan Kristus di jalan dekat kota Damsyik menjadi dasar pewartaan injilnya tentang Yesus yang disalibkan sebagai Mesias dan dibangkitkan dari antara orang mati dan dimuliakan sebagai Tuhan (Gal. 1:12) dan kerasulannya kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Kesadaran akan pengangkatan dan perutusannya sebagai seorang rasul bangsa-bangsa lain melekat dalam peristiwa penampakan Kristus. Kesadaran itu tidak lahir dari suatu refleksi atas perkembangan kerasulannya di antara orang Yahudi dan bukan Yahudi. Dengan demikian, Paulus bukan baru menyadari panggilan dan perutusannya karena misinya gagal di antara orang Yahudi dan berhasil di antara orang yang bukan Yahudi di Antiokhia.
Penampakan Kristus di Damsyik itu tidak hanya momen pengangkatan dan perutusannya tetapi juga fondasi dari injil yang akan diwartakannya. “Injil yang kuberitakan itu bukanlah injil manusia. Karena aku bukan menerimanya dari manusia, dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya oleh penyataan Yesus Kristus” (Gal. 1:11-12). Pernyataan ini menekankan bahwa Kristus yang menampakkan diri di jalan dekat kota Damaskus merupakan isi injilnya. Menerima injil tentang Yesus Kristus itu bagian yang tak terpisahkan dari pengangkatan dan perutusannya sebagai seorang rasul bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi. Hal ini tidak hanya menunjukkan bahwa injil yang diwartakannya dan perutusannya sebagai seorang rasul bangsa-bangsa bukan Yahudi tidak dapat dipisahkan satu sama lain tetapi juga menunjukkan bahwa keduanya berakar dalam peristiwa penampakan di jalan dekat kota Damsyik. Tidaklah masuk akal kalau dikatakan bahwa Paulus menerima injilnya pada waktu penampakan Kristus di jalan dekat kota Damsyik dan kesadarannya sebagai rasul bangsa-bangsa bukan Yahudi baru muncul di kemudian hari setelah gagal bermisi di antara orang Yahudi.
Allah telah memilih Paulus sebelum dilahirkan
Dalam Gal. 1:15-21, Paulus menafsirkan panggilannya dalam terang panggilan para nabi (Yes. 49:1-6; Yer. 1:5). Penafsiran ini tidak dimaksudkan untuk melawan pandangan bahwa Paulus menerima panggilan dan perutusannya untuk menjadi rasul bangsa-bangsa bukan Yahudi pada saat Kristus yang bangkit menampakan diri kepadanya di jalan dekat Damsyik. Hampir sulit dipercaya bahwa hanya melalui meditasi atas teks yang berbicara tentang panggilan Yeremia dan Yesaya dalam Perjanjian Lama Paulus sampai pada suatu keyakinan tentang panggilan dan perutusannya sendiri. Namun, sangatlah wajar untuk berpikir bahwa setelah menerima panggilan dan perutusan pada waktu Kristus menampakan diri kepadanya di jalan dekat Damsyik Paulus merenungkan teks panggilan nabi Yeremia dan Yesaya untuk memahami arti penting panggilannya sendiri.
Dalam terang panggilan nabi Yesaya dan Yeremia, Paulus melihat panggilannya sebagai sebuah undangan dari Allah untuk menjalankan misi khusus. Seperti Yesaya dan Yeremia, Paulus dipanggil untuk menjalankan misi khusus sejak dari kandungan ibunya (Yes. 49:1, 5; Jer. 1:5; Gal. 1:15).2 Seperti Yesaya dipanggil untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi (Yes 49:1; 5) dan Yeremia diangkat menjadi seorang nabi bagi bangsa-bangsa (Yer. 1:5), demikianlah juga Paulus dipanggil oleh Allah untuk mewartakan injil di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi (Gal 1:15). Paulus menemukan dalam figur nabi Yesaya dan Yeremia suatu pralambang bagi panggilan apostoliknya untuk mewartakan injil kepada orang-orang bukan Yahudi.
Mengatakan bahwa Paulus dipanggil dan diutus sejak Kristus menampakan diri kepadanya di jalan dekat kota Damsyik itu tidak mengabaikan proses perkembangan kesadaran dan pemahamanan terhadap panggilan dan perutusannya. Gagasan bahwa misi kerasulan kepada bangsa-bangsa memerlukan waktu yang cukup lama supaya bisa terpenuhi tidak diabaikan sama sekali. Tidaklah realistis untuk berargumen bahwa jika Paulus telah dipanggil dan diutus sejak Tuhan menampakkan diri di jalan dekat Damsyik, ia seharusnya segera melaksanakannya. Dikatakan tidak realitis karena ketika menerima tugas perutusan tersebut ia tidak memiliki model untuk berpikir tentang bagaimana cara melaksanakannya. Dalam situasi semacam ini sangatlah wajar jika ia kembali pergi ke sinagoga-sinagoga dan berharap untuk menemukan banyak orang yang bukan Yahudi.
Selama beberapa tahun setelah dipanggil dan diutus, Paulus mengajar dan mewartakan injil di sinagoga-sinagoga (Kis. 9:19-22). Pengajaran dan pewartaan itu sama sekali tidak membantah pandangan bahwa ia telah diangkat dan diutus untuk menjadi rasul bangsa-bangsa bukan Yahudi. Secara reguler, ia memulai kotbah dan pengajarannya di sinagoga (Kis. 13:5-14; 14:1; 17:1, 10, 17; 18:4, 19; 19:8). Kenyataan ini sungguh-sungguh memperlihatkan realitas historis. Secara historis Paulus memang mengajar baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi selama karya misi kerasulannya di kemudian hari (1Kor 9:20, 32; 2 Kor 11:24; 1Tes 2:15). Sinagoga dapat dilihat sebagai suatu tempat yang disediakan oleh Allah untuk mempersiapkan karya misinya kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi karena ada suatu kebiasaan dari pengurus sinagoga untuk mengundang seorang yang dianggap pantas untuk memberikan nasihat atau kata-kata bijak setelah membacakan hukum Taurat dan kitab nabi-nabi (bdk. 13:14-52).
Pada tahun-tahun awal setelah diangkat dan diutus sebagai rasul bagi bangsa-bangsa, Paulus tidak hanya mengajar dan mewartakan injil di sinagoga-sinagoga diaspora tetapi berangkat ke tanah Arab, yakni kerajaan Nabataea, untuk mengajar dan mewartakan injil. Setelah kembali dari Arab, Paulus kembali ke Damsyik dan mungkin langsung mengajar dan mewartakan injil di sinagoga di antara orang yang takut akan Allah, orang-orang Yahudi, dan orang Kristiani Yahudi Helenis (Kis. 9:19b-25). Dari Damsyik Paulus mengunjungi Petrus selama empat belas hari di Yerusalem dan kemudian pergi ke daerah Siria dan Kilikia (Gal 1:21; Kis 9:30) setelah tiga tahun pertobatannya (Gal. 1:18). Di daerah Siria dan Kilikia, ia berkarya selama tiga belas tahun sampai kunjungannya yang kedua ke Yerusalem (Gal. 2:1). Dari beberapa data ini terlihat bahwa Paulus segera mulai mewartakan injil kepada bangsa-bangsa Yahudi meski mungkin sebagian besar pewartaannya dilakukan di sinagoga-sinagoga.
Dalam terang panggilan nabi Yesaya dan Yeremia, Paulus melihat panggilannya sebagai sebuah undangan dari Allah untuk menjalankan misi khusus. Seperti Yesaya dan Yeremia, Paulus dipanggil untuk menjalankan misi khusus sejak dari kandungan ibunya (Yes. 49:1, 5; Jer. 1:5; Gal. 1:15).2 Seperti Yesaya dipanggil untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi (Yes 49:1; 5) dan Yeremia diangkat menjadi seorang nabi bagi bangsa-bangsa (Yer. 1:5), demikianlah juga Paulus dipanggil oleh Allah untuk mewartakan injil di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi (Gal 1:15). Paulus menemukan dalam figur nabi Yesaya dan Yeremia suatu pralambang bagi panggilan apostoliknya untuk mewartakan injil kepada orang-orang bukan Yahudi.
Mengatakan bahwa Paulus dipanggil dan diutus sejak Kristus menampakan diri kepadanya di jalan dekat kota Damsyik itu tidak mengabaikan proses perkembangan kesadaran dan pemahamanan terhadap panggilan dan perutusannya. Gagasan bahwa misi kerasulan kepada bangsa-bangsa memerlukan waktu yang cukup lama supaya bisa terpenuhi tidak diabaikan sama sekali. Tidaklah realistis untuk berargumen bahwa jika Paulus telah dipanggil dan diutus sejak Tuhan menampakkan diri di jalan dekat Damsyik, ia seharusnya segera melaksanakannya. Dikatakan tidak realitis karena ketika menerima tugas perutusan tersebut ia tidak memiliki model untuk berpikir tentang bagaimana cara melaksanakannya. Dalam situasi semacam ini sangatlah wajar jika ia kembali pergi ke sinagoga-sinagoga dan berharap untuk menemukan banyak orang yang bukan Yahudi.
Selama beberapa tahun setelah dipanggil dan diutus, Paulus mengajar dan mewartakan injil di sinagoga-sinagoga (Kis. 9:19-22). Pengajaran dan pewartaan itu sama sekali tidak membantah pandangan bahwa ia telah diangkat dan diutus untuk menjadi rasul bangsa-bangsa bukan Yahudi. Secara reguler, ia memulai kotbah dan pengajarannya di sinagoga (Kis. 13:5-14; 14:1; 17:1, 10, 17; 18:4, 19; 19:8). Kenyataan ini sungguh-sungguh memperlihatkan realitas historis. Secara historis Paulus memang mengajar baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi selama karya misi kerasulannya di kemudian hari (1Kor 9:20, 32; 2 Kor 11:24; 1Tes 2:15). Sinagoga dapat dilihat sebagai suatu tempat yang disediakan oleh Allah untuk mempersiapkan karya misinya kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi karena ada suatu kebiasaan dari pengurus sinagoga untuk mengundang seorang yang dianggap pantas untuk memberikan nasihat atau kata-kata bijak setelah membacakan hukum Taurat dan kitab nabi-nabi (bdk. 13:14-52).
Pada tahun-tahun awal setelah diangkat dan diutus sebagai rasul bagi bangsa-bangsa, Paulus tidak hanya mengajar dan mewartakan injil di sinagoga-sinagoga diaspora tetapi berangkat ke tanah Arab, yakni kerajaan Nabataea, untuk mengajar dan mewartakan injil. Setelah kembali dari Arab, Paulus kembali ke Damsyik dan mungkin langsung mengajar dan mewartakan injil di sinagoga di antara orang yang takut akan Allah, orang-orang Yahudi, dan orang Kristiani Yahudi Helenis (Kis. 9:19b-25). Dari Damsyik Paulus mengunjungi Petrus selama empat belas hari di Yerusalem dan kemudian pergi ke daerah Siria dan Kilikia (Gal 1:21; Kis 9:30) setelah tiga tahun pertobatannya (Gal. 1:18). Di daerah Siria dan Kilikia, ia berkarya selama tiga belas tahun sampai kunjungannya yang kedua ke Yerusalem (Gal. 2:1). Dari beberapa data ini terlihat bahwa Paulus segera mulai mewartakan injil kepada bangsa-bangsa Yahudi meski mungkin sebagian besar pewartaannya dilakukan di sinagoga-sinagoga.
Ekskursus: Pertobatan atau panggilan
Perjumpaan Paulus dengan Tuhan yang bangkit di jalan dekat kota Damsyik umumnya dianggap sebagai sebuah pertobatan. Anggapan ini jelas tidak berdasarkan pada apa yang dikatakan oleh Paulus sendiri. Dia tidak pernah mengacu pada peristiwa Damsyik sebagai sebuah pertobatan. Karena itu, para penafsir surat-surat Paulus dan Kisah bertanya, “apakah pengalaman Paulus di jalan menuju Damsyik itu diidentifikasikan sebagai sebuah pertobatan atau panggilan?”
Ada yang mengidentifikasikan pengalaman di jalan mendekati kota Damsyik itu sebagai sebuah panggilan daripada sebuah pertobatan karena kata pertobatan memiliki beberapa arti yang berbeda.3 Kita biasanya memakai kata pertobatan untuk mengartikan bahwa seseorang telah mengubah agamanya dari satu agama ke agama lain atau seorang telah berubah dari tidak percaya menjadi orang yang percaya. Kita juga biasanya juga mengartikan perubahan hidup seseorang dari yang jahat menuju orang yang baik. Pengalaman Paulus di jalan menuju Damaskus tidak dimengerti sebagai sebuah pertobatan seperti yang kita pahami dalam kehidupan sehari-hari. Paulus tidak pernah mengubah agamanya dan tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang yang jahat.
Meski argumen di atas menyakinkan, namun ada juga yang berpendapat istilah “panggilan” hanya melukiskan salah satu aspek dari perubahan hidup Paulus dari seorang penganiaya kepada seorang rasul. Kata itu tidak mencakup pengakuannya akan Yesus sebagai Mesias dan perubahan radikalnya. Roetzel melihat bahwa pewahyuan Kristus mentransformasi Paulus dari seorang penganiaya menjadi seorang pendukung gereja dan transformasi itu telah menata kembali cara ia melihat asal-usul dan tradisi keyahudiannya.4 Transformasi ini lebih dipahami sebagai suatu pengevaluasian kembali daripada sebuah penolakan terhadap keyahudiannya.
Dari diskusi perbedaan pemahaman dalam mengidentifikasikan peristiwa perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit di jalan menuju Damsyik di atas, kita sebaiknya menggarisbawahi dua aspek penting dari pengalaman tersebut, yakni panggilan dan pertobatan. Berupaya untuk memisahkan panggilan Paulus dari pertobatannya itu sesuatu yang keliru karena dua aspek penting itu tidak dapat dipisahkan. Mungkin tepat kalau kita memahami peristiwa perjumpaan istimewa di jalan menuju Damsyik itu sebagai sebuah panggilan dan pertobatan.
Ada yang mengidentifikasikan pengalaman di jalan mendekati kota Damsyik itu sebagai sebuah panggilan daripada sebuah pertobatan karena kata pertobatan memiliki beberapa arti yang berbeda.3 Kita biasanya memakai kata pertobatan untuk mengartikan bahwa seseorang telah mengubah agamanya dari satu agama ke agama lain atau seorang telah berubah dari tidak percaya menjadi orang yang percaya. Kita juga biasanya juga mengartikan perubahan hidup seseorang dari yang jahat menuju orang yang baik. Pengalaman Paulus di jalan menuju Damaskus tidak dimengerti sebagai sebuah pertobatan seperti yang kita pahami dalam kehidupan sehari-hari. Paulus tidak pernah mengubah agamanya dan tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang yang jahat.
Meski argumen di atas menyakinkan, namun ada juga yang berpendapat istilah “panggilan” hanya melukiskan salah satu aspek dari perubahan hidup Paulus dari seorang penganiaya kepada seorang rasul. Kata itu tidak mencakup pengakuannya akan Yesus sebagai Mesias dan perubahan radikalnya. Roetzel melihat bahwa pewahyuan Kristus mentransformasi Paulus dari seorang penganiaya menjadi seorang pendukung gereja dan transformasi itu telah menata kembali cara ia melihat asal-usul dan tradisi keyahudiannya.4 Transformasi ini lebih dipahami sebagai suatu pengevaluasian kembali daripada sebuah penolakan terhadap keyahudiannya.
Dari diskusi perbedaan pemahaman dalam mengidentifikasikan peristiwa perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit di jalan menuju Damsyik di atas, kita sebaiknya menggarisbawahi dua aspek penting dari pengalaman tersebut, yakni panggilan dan pertobatan. Berupaya untuk memisahkan panggilan Paulus dari pertobatannya itu sesuatu yang keliru karena dua aspek penting itu tidak dapat dipisahkan. Mungkin tepat kalau kita memahami peristiwa perjumpaan istimewa di jalan menuju Damsyik itu sebagai sebuah panggilan dan pertobatan.
1 Seyoon Kim, The Origin of Paul’s Gospel (Tubingen: Mohr, 1981), 57.
2 Thomas R. Schreiner, Paul Apostle of God’s Glory in Christ: a Pauline Theology (Illinois: InterVarsity Press, 2001), 43-49.
3 Thomas H. Tobin, The Spirituality of the Paul (Wilmington: Michael Glazier, 1987), 43-60
4 Calvin J. Roetzel, Paul: a Jew on the Margins (Louisville: John Knox Press, 2003), 13,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar