Rabu, September 29, 2010

Mazmur 6

AIR MATA DI ATAS RANJANG

Jarot Hadianto


“Setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku.”
(Mzm. 6:7)

Ya Tuhan, janganlah menghukum aku dalam murka-Mu

00.00. Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, dan kini tanpa terasa hari baru telah tiba. Suasana senyap senantiasa mengiringi pergantian hari di kampung kecil ini, tak terkecuali malam ini. Semua orang telah terlelap di rumahnya masing-masing. Yang terdengar hanyalah desiran angin malam, juga suara jangkrik yang menyanyi bersahut-sahutan dari tengah sawah. Bagiku yang sedang gelisah dan tak bisa memejamkan mata, merekalah penghibur malam yang sejati.

00.05. Kalau ada yang berkata, “Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari,” baiklah ia tahu bahwa nasihat itu mudah untuk diucapkan, tapi sulit untuk menjadi kenyataan. Ranjang tempatku berbaring adalah saksinya. Sudah sejak senja aku merebahkan diri di situ, tapi sampai tengah malam tiba jiwaku tak kunjung terbang ke alam mimpi. Ini sudah berlangsung berhari-hari! Ya, hari-hari belakangan ini aku memang susah tidur. Badanku hanya terbolak-balik di atas ranjang, kadang ke kanan, kadang ke kiri, persis yang dilakukan oleh tukang martabak. Ranjang kayu yang tua ini berderak-derak sepanjang malam sebagai akibatnya. Kalau ia bisa ngomong, pasti ia sudah protes dan menyuruhku pindah ke lantai saja.

00.10. Tiba-tiba air mataku mengalir. Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi aku menangis. Hari baru ini aku awali dengan air mata, tanda bahwa bagiku hari ini akan sama saja dengan hari-hari sebelumnya yang penuh dengan duka dan kepedihan. Anakku, anakku, ini gara-gara aku memikirkan dirimu. Mengapa anakku, mengapa engkau membuatku seperti mendapat murka dari Yang Kuasa? Mengapa engkau membuat ibumu yang sudah tua ini jadi begini?


Sembuhkanlah aku Tuhan, sebab tulang-tulangku gemetar

00.15. Terbayang-bayang wajahnya, aku makin terisak-isak. Dia adalah anakku yang bungsu. Dulu dialah matahari keluarga ini. Keberadaannya, juga sikap dan tingkah lakunya, senantiasa mengharumkan nama seisi rumah. Dialah satu-satunya anak yang bisa kubanggakan. Bagaimana tidak, melihat si sulung, aku lebih sering mengelus dada. Anak itu berandalan dan suka membuat onar. Susah payah disekolahkan, eh ujung-ujungnya jadi preman pasar. Adiknya sama saja. Dia tak sempat sekolah tinggi karena SD saja tidak lulus-lulus. Kini ia masih tinggal bersamaku. Kerjanya makan, tidur, dan main remi bersama teman-temannya. Tapi si bungsu ini sungguh berbeda. Tidak seperti kakak-kakaknya, ia rajin, cerdas, dan punya pendirian. Selepas SMA, dengan berani ia menentukan jalan hidupnya: masuk seminari, ingin jadi imam.

00.30. Kubalikkan badan ke sebelah kanan sambil mengingat-ingat perjalanan anakku tersayang dalam menanggapi panggilan Tuhan. Jalan yang ditempuhnya sangat panjang. Sepuluh tahun! Teman-temannya sudah berguguran laksana daun di musim kemarau, tapi ia tetap bertahan. Pada akhirnya, ia mengundangku hadir dalam upacara tahbisan yang tak mungkin pernah bisa kulupakan. Begitu besar, begitu megah, begitu meriah! Tergetar hatiku melihat Bapak Uskup meletakkan tangan di atas kepalanya. Tergetar jiwaku melihat begitu banyak umat yang hadir memberinya dukungan. Tergetar jantungku melihat makanan dan minuman yang melimpah ruah, yang pastinya cukup untuk orang satu kecamatan. Luar biasa! Betapa besar harapan dan kepercayaan diletakkan di pundak anakku yang bungsu ini. Air mata bahagia mengalir dari kedua mataku. Ayahnya yang sudah beristirahat di surga sana pasti merasakan hal yang sama.

00.45. Tapi lima tahun kemudian, hal-hal aneh terjadi. Dia mulai sering pulang ke rumah, katanya untuk berlibur. “Libur kok sebulan sekali? Seperti orang gajian saja,” tanyaku. Ia tertawa saja, dan malah ganti menanyakan kesehatanku, apakah aku kira-kira punya penyakit jantung, atau darah tinggi, atau mungkin stroke. Tentu saja aku jadi heran mendengarnya, apalagi ketika ia mulai berbicara dengan bahasa-bahasa filsafat yang tidak aku mengerti, tentang perubahan, tentang pencarian jati diri, tentang pergulatan memahami panggilan Tuhan, juga tentang jalan hidup yang lain. Dua minggu lalu, keheranan itu mendapat jawabannya. Selembar surat datang darinya suatu siang, mengabarkan bahwa ia mengundurkan diri dari imamatnya. Tubuhku gemetar hebat dibuatnya. Saat itu juga aku jatuh pingsan.


Mataku rabun karena semua lawanku

01.00. Sampai saat ini, aku tetap tidak mengerti mengapa ia mengambil keputusan itu. Anakku, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa engkau merasa bahwa jalan Tuhan itu bukan panggilanmu? Apakah hatimu kini terpikat pada hal-hal duniawi? Ataukah dirimu sekarang telah pindah ke lain hati? Apa mungkin engkau mundur karena telah melanggar kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan yang dulu engkau janjikan? Ah, sakit hatiku memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Bukan hanya itu, badanku lalu ikut-ikutan sakit. Dulu aku darah rendah, sekarang jadi darah tinggi. Keadaanku menurun drastis. Kini tak banyak yang bisa kulakukan, selain melamun sambil tidur-tiduran di atas ranjang.

01.30. Erangan si manis dari pojok kamar sejenak mengagetkanku. Kucing hitam itu rupanya merasakan kegelisahan majikannya. Ya, bagaimana aku tidak gelisah? Segudang pertanyaan memenuhi kepalaku, tak satu pun ada jawabannya. Aku berharap anakku itu segera pulang untuk menemuiku dan menjelaskan segalanya. Tapi hal itu tidak terjadi. “Ibu, untuk pulang, aku perlu waktu,” tulisnya dalam surat yang terakhir. Menurutnya, ia harus mempersiapkan batin terlebih dahulu, sebab banyak orang – apalagi di kampung kecil seperti kampung kami ini – belum bisa menerima kehadiran mantan pastor.

02.00. Alasan itu tampaknya ada benarnya. Mendengar anakku tak lagi jadi imam, cerita ini dan itu mulai tersebar ke seluruh penjuru desa. Panas telingaku mendengarnya, sebab tak ada hal bagus di dalamnya. “Dengar-dengar ada skandal rahasia lo,” bisik si tukang gosip saat doa rosario lingkungan. “Katanya sih, dia kurang kuat menghadapi godaan,” sambung yang lain memeriahkan suasana. Kejengkelanku semakin memuncak ketika orang-orang mulai menyoroti rumahku, “Wah Bu, kok rumahnya tiba-tiba diperbaiki? Ada yang rusak ya? Waduh, gentengnya juga baru nih?” Meski dilontarkan dengan nada ramah, batinku teriris-iris mendengarnya. Pertanyaan atau sindirankah itu? Di depanku orang-orang itu tersenyum, tapi aku yakin di belakangku mereka mengolok dan menghina diriku. Tuhan, kasihanilah kami…


(Semoga) Tuhan mendengar tangisku

04.00. Kokok ayam jantan di kejauhan membangunkan diriku. Untuk beberapa saat rupanya aku terlelap, mungkin karena terlalu lelah memikirkan beban yang luar biasa berat. Tapi lumayan, badanku jadi terasa agak segar. Ini bekal berharga bagiku untuk menjalani hari-hari kelabu selanjutnya. Aku akan berhadapan lagi dengan tatapan sinis para tetangga; aku akan mendengar lagi mereka berbisik-bisik membicarakan anakku. Tuhan, aku putuskan untuk menyerahkan ini semua kepada-Mu. Kupercayakan diriku pada belas kasih-Mu, kupercayakan pula anakku pada kemurahan-Mu. Dampingilah dia, Tuhan. Jangan biarkan ia sedih sendirian. Mungkin Engkau kecewa karena ia telah meninggalkan jalan-Mu, tapi percayalah Tuhan, ia akan menemui-Mu lagi di jalan yang lain.

04.30. Perlahan-lahan hari mulai terang. Dengan susah payah, aku beranjak dari ranjangku. Kubuka jendela kamar, dan kutatap fajar yang mulai menyingsing. Wajah anakku tersayang terbayang di sana. Pulanglah, Nak. Aku menantimu, aku ingin memelukmu. Ceritakanlah semua, berkeluh-kesahlah, aku akan mendengarkannya. Jangan merasa sendirian, apalagi terbuang. Kita akan menghadapi masa-masa sulit ini bersama. Banyak pintu mungkin tertutup untukmu, tak bisa kaumasuki. Tapi satu hal kukatakan kepadamu: pintu rumah ini akan selalu terbuka bagimu.***


Kepustakaan

Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.

Tidak ada komentar: