Kamis, Maret 08, 2012

PERJALANAN PAULUS MENUJU KE ROMA (Kis. 27:1-28:16)
Alfons Jehadut

Lukas tampaknya memiliki alasan mengapa pelayaran Paulus dari Kaisarea menuju Roma diceritakan secara panjang lebar (Kis. 27:1-28:15). Cerita panjang lebar ini mirip dengan kisah perjalanan Yesus ke Yerusalem dan hari-hari terakhir-Nya di sana yang diceritakan oleh penginjil Lukas (Luk. 9:51-23:49). Di sini cerita panjang lebar ini tampaknya dimaksudkan untuk memperlihatkan dua hal. Pertama, memperlihatkan bahwa Paulus tidak bersalah dari sudut pandang Allah. Kedua, melukiskan bahwa pembebasan Paulus dari berbagai bahaya dan kedatangannya di Roma merupakan pemenuhan rencana Allah.

Kecuali dua hal yang telah disampaikan di atas, kisah panjang lebar selama pelayaran menuju Roma itu dimaksudkan juga untuk menciptakan kesan bahwa Lukas, seperti seorang pen-cerita yang baik, sedang berupaya untuk membangun klimaks dari kisahnya. Upaya itu dilakukan dengan cara menampilkan banyak peristiwa yang menghalangi dan merintangi perjalanan Paulus. Banyak halangan itu memungkinkannya tidak bisa sampai ke Roma. Namun, kelegaan dan kepuasan tercipta da-lam diri pembaca dan pendengar ketika ia akhirnya bisa sampai juga di sana.

Dari pelabuhan Adraminitium ke pelabuhan indah, Lasea (27:1-8)
Setelah diputuskan untuk berlayar ke Roma, Gubernur Festus menyerahkan Paulus dan beberapa tahanan lain kepada se-orang perwira dari pasukan Kaisar yang bernama Yulius. Tidak hanya Paulus dan beberapa tahanan lain, Festus juga menyerahkan sebuah surat laporan yang meringkas dakwaan orang Yahudi untuk melawan Paulus, pandangannya terhadap dakwaan itu, dan penjelasannya tentang mengapa Paulus dibawa kepada kaisar Roma.

Bersama seorang perwira dan beberapa prajurit, Paulus dan beberapa tahanan lainnya naik sebuah kapal dari pelabuhan Adraminitium yang terletak di sebelah barat-laut dari Kaisarea. Pengarang kisah yang diidentifikasikan sebagai Lukas ikut serta dalam pelayaran. Dengan menggunakan kata ganti orang pertama jamak, “kami” (Kis. 16:10-17; 20:5-15; 21:1-18; 27:1-28:16), pengarang secara halus memperkenalkan diri sebagai rekan seperjalanan Paulus. Keikutsertaan pengarang dalam pelayaran menciptakan kesan bagi para pembaca bahwa kisah pelayaran itu didasarkan pada kisah seorang saksi mata.

Dari pelabuhan Adraminitium, Paulus, Lukas, dan Aristarkhus yang tampaknya tinggal bersama Paulus selama ditahan di Kaisarea (bdk. Kis. 19:29) tiba di Sidon keesokan harinya. Perwira Yulius memperlakukan Paulus dengan ramah. Ia memperbolehkan sahabat-sahabat Paulus mengunjunginya. Ungkapan “sahabat-sahabat” (philoi) itu di sini menunjuk kepada orang kristiani Sidon (Kis. 11:19; 15:9). Mengapa Yulius bersikap ramah? Ia sangat mungkin telah diberitahukan oleh Gubernur Festus bahwa Paulus tidak melakukan sebuah kejahatan (Kis. 26:31-32). Melalui sikap keramahan Yulius, kita dapat memahami bahwa Allah melakukan karya kebaikan bukan hanya melalui kaum beriman, melainkan juga melalui bangsa-bangsa lain. Paulus tidak hanya mendapatkan keramahan dari komunitas kristiani yang diwakili oleh Lukas, Aristarkhus, dan orang kristiani di Sidon, tetapi juga dari bangsa lain melalui Yulius.

Dari Sidon, mereka berlayar menyusuri pantai utara pulau Sip-rus karena angin sakal. Setelah mengarungi laut di depan Kilikia dan Pamfilia, sampailah mereka di Mira (Kis. 21:1). Di Mira, perwira menemukan sebuah kapal dari Aleksandria, ibu kota Mesir, yang mengangkut gandum dari Mesir ke Italia untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk Roma. Kapal itu sedang berhenti di pelabuhan Mira sehingga Paulus dan rom-bongannya dipindahkan ke kapal pengangkut gandum. Patut disadari bahwa pada waktu itu tidak ada kapal yang dikhusus-kan untuk mengangkut penumpang. Kapal itu kemudian ber-layar lagi tetapi hampir tidak bisa bergerak maju. Dengan su-sah payah kapal berlayar mendekati Knidus karena angin ba-rat. Namun, kapal akhirnya sampai di Pelabuhan Indah, dekat kota Lasea.

Peringatan Paulus tentang bahaya besar (27:9-20)
Sewaktu berlabuh di pelabuhan Indah, Paulus mengingatkan bahaya yang sangat besar jika mereka terus berlayar. Melalui peringatan ini Paulus menampilkan diri sebagai seorang nabi kristiani. Diingatkan bahwa pelayaran sangat berbahaya sebab waktu puasa sudah berlalu. Di sini waktu puasa menunjuk pa-da hari pendamaian (Im. 16:29-31) yang dirayakan sekitar bu-lan September dan Oktober. Berlalunya masa puasa berarti berakhir pula musim pelayaran yang aman. Jika memaksakan diri untuk terus berlayar, pelayaran akan mengalami banyak kesulitan dan kerugian besar, bukan saja bagi muatan dan ka-pal, melainkan juga bagi keselamatan jiwa.

Namun, peringatan itu diabaikan oleh para pendengarnya. Perwira, nahkoda, pemilik kapal, dan awal kapal berbeda pen-dapat dengan Paulus. Mereka mengabaikannya karena pelabuhan Indah tidak cocok untuk berlabuh selama musim dingin. Mereka kemudian terus berlayar untuk mencapai pelabuhan kota Feniks di pulau Kreta dan tinggal di situ selama musim dingin. Pelayaran awalnya tidak menemukan kesulitan sebab angin hanya bertiup sepoi-sepoi. Akan tetapi, angin tofan tiba-tiba bertiup kencang sehingga kapal tidak bisa dikendalikan. Kapal terombang-ambing dan terseret ke pulau kecil bernama Kauda sehingga sebagian muatan kapal dan alat-alatnya harus dibuang ke laut untuk mengurangi berat kapal.

Apa upaya para penumpang kapal membuang sebagian muat-an dan alat-alat kapal berhasil mempercepat laju kapal? Upaya itu tidak banyak berpengaruh karena angin badai terus-menerus mengancam. Mereka tetap saja terombang-ombang selama beberapa hari. Bahaya semakin besar ketika matahari dan bin-tang-bintang tidak kelihatan sehingga harapan mereka untuk bisa menyelamatkan diri akhirnya pupus. Pupusnya harapan ketika matahari dan binatang tidak kelihatan itu dapat dipahami karena kompas dan alat navigasi lainnya belum ada pada waktu itu. Para pelayar hanya mengandalkan matahari dan bin-tang sebagai penentu arah. Situasi sulit dan bahaya ini menya-darkan kita bahwa peringatan Paulus secara perlahan-lahan terbukti kebenarannya.

Janji dan nasihat penghiburan (27: 22-26)
Pada saat para penumpang kapal mengalami keputusasaan dan tidak makan selama beberapa hari, Paulus kembali mengingat-kan nasihatnya. “Saudara-saudara, sekiranya nasihatku dituruti supaya kita jangan berlayar dari Kreta, kita pasti terhindar dari kesukaran dan kerugian ini” (ay. 21; bdk. ay. 10). Apa yang te-lah dinasihatkannya di pelabuhan Indah itu terbukti benar.
Di sini nasihat itu diingatkan kembali dengan maksud supaya mereka percaya kepada apa yang akan dikatakannya. Apa yang akan dikatakannya? Ia memberi mereka sebuah nasihat untuk tetap bersemangat. Nasihat itu diikuti dengan sebuah janji kepada mereka bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang akan binasa kecuali kapal yang mereka tumpangi. Janji itu didasarkan pada penglihatannya. Ia melihat seorang malaikat berdiri di sisinya dan menyampaikan sebuah pesan supaya ti-dak takut.

Para penumpang kapal dan rekan-rekan seperjalanannya tidak perlu takut karena perjalanannya menghadap kaisar di Roma itu sesuai dengan kehendak Allah. Yesus yang bangkit telah berkata kepadanya bahwa ia harus bersaksi di Roma dengan berani seperti yang telah dilakukannya di Yerusalem (Kis. 23:11). Semua orang yang ada dalam kapal akan selamat. Janji ini pasti terjadi meski tidak segera terealisasi. Mereka tetap saja terombang-ambing di Laut Adria, laut antara Yunani dan Italia setelah 14 hari berlalu sejak mereka berangkat dari pelabuhan Indah. Namun, kira-kira tengah malam para awak kapal me-rasa bahwa mereka telah mendekati daratan. Mereka mungkin mendengar deburan ombak yang menghempas pantai. Na-mun, mereka belum bisa melihat apa-apa sehingga harus dipastikan dengan mengukur kedalaman laut dengan batu duga. Setelah memastikan kebenaran dugaan, mereka kemudian membuang empat sauh di buritan untuk menjaga agar ka-pal itu jangan kandas.

Nasihat terakhir dan kapal Karam (27:27-44)
Ketika mendekati daratan, para awak kapal berusaha untuk melarikan diri. Mereka menurunkan sekoci untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Namun, gelagat mereka diketahui oleh Paulus sehingga ia memberitahukan nasib hidup mereka kepada perwira dan para prajuritnya. Diberitahukan bahwa mereka tidak akan selamat dari angin badai jika tidak tinggal dalam kapal (ay. 31). Dengan pemberitahuan ini kita disadarkan bahwa janji Allah membutuhkan kerja sama dari pihak manusia.

Tanpa membuang-buang waktu, perwira kini memperhatikan kata-kata Paulus. Ia meminta para prajurit untuk segera memotong tali sekoci serta membiarkan kapal hanyut. Setelah 14 hari terombang-ambing, mereka kehilangan nafsu makan. Da-lam situasi ini Paulus lagi-lagi tampil di hadapan rekan-rekan-nya bagaikan seorang pemimpin pelayaran untuk mengingat-kan mereka tentang janji seorang malaikat yang telah menampakkan diri kepadanya. Dijanjikan bahwa “tidak seorang pun di antara kamu akan kehilangan sehelai pun dari rambut kepalanya” (ay. 34). Namun, mereka harus makan supaya mereka memiliki tenaga untuk bisa terus bertahan hidup.

Nasihat untuk makan itu diikuti dengan sebuah contoh konkret. Ia mengambil roti, mengucap syukur kepada Allah, memecah-mecahkannya, dan makan. Nasihat itu diikuti oleh seluruh penumpang dan awal kapal. Mereka makan kenyang se-hingga mereka kembali bersemangat. Setelah kenyang, me-reka meringankan kapal dengan membuang sisa muatan gandum ke laut supaya kapal dengan mudah sampai ke tepi pantai sebelum menyentuh dasar laut.

Ketika hari mulai siang, mereka melihat sebuah teluk dengan pantai yang rata. Mereka merencanakan untuk melabuhkan kapal ke situ walaupun mereka tidak mengenal tempat itu. Mereka juga terpaksa menempuh jarak yang cukup jauh supaya dapat sampai ke pantai karena kapal tidak bisa berlabuh dengan mulus. Dalam situasi itu para prajurit yang mengawal Paulus dan para tahanan lainnya memutuskan untuk membunuh semua tahanan agar mereka tidak melarikan diri. Hukum Roma memang menetapkan bahwa prajurit yang membiarkan tahanan meloloskan diri akan menerima hukuman yang sama dengan yang diterima oleh seorang tahanan (bdk. Kis. 12:19; 16:27).

Namun, perwira mencegah para prajurit untuk melaksanakan keputusan mereka. Perwira memerintahkan supaya orang yang pandai berenang lebih dahulu terjun ke laut dan naik ke darat. Sementara yang tidak pandai berenang menyusul dengan memakai papan atau pecahan-pecahan kapal. Mereka akhirnya semua selamat naik ke darat di pulau Malta. Dengan demikian, janji malaikat utusan Allah melalui Paulus itu terpenuhi atau terbukti benar (ay. 25). Para awak kapal dan penumpang sela-mat dari ancaman alam dan para tahanan juga selamat dari ancaman pembunuhan para prajurit.

Paulus di pulau Malta (28:1-10)
Kisah tentang Paulus dan rekan-rekannya berada di pulau Malta ini dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, pandangan penduduk asli tentang Paulus (ay. 1-6). Kedua, pandangan pen-duduk asli tentang Paulus dikoreksi melalui mukjizat penyembuhannya (ay. 7-10).
Pandangan penduduk asli tentang Paulus (ay. 1-6)

Penduduk asli (Yunani: barbaroi) pulau Malta itu tidak berbicara bahasa Yunani (bdk. Rm. 1:14). Mereka keturunan Fenisia dan berbicara dialek Fenisia. Mereka sangat ramah terhadap Paulus dan rekan-rekannya. Keramahan itu diungkapkan melalui tindakan sederhana menyalakan api karena sudah mulai hujan dan hawanya dingin dan mengajak Paulus dan rekan-rekannya ke situ.
Dari kisah keramahan penduduk asli, kisah selanjutnya memfokuskan diri pada figur Paulus. Diceritakan bahwa tangan Paulus digigit ular berbisa ketika memungut seberkas ranting dan meletakkannya di atas api (Luk. 10:19; Mrk. 16:18). Gigitan ular berbisa itu dijelaskan oleh penduduk asli Malta dari sudut pandang keyakinan teologis mereka. Mereka percaya bahwa hal buruk hanya terjadi pada orang jahat. Badai, kapal ka-ram, dan gigitan ular mereka pandang sebagai bentuk hukum-an dari dewi keadilan Yunani. Itulah sebabnya mereka meyakini Paulus sebagai “seorang pembunuh, sebab, meskipun ia telah luput dari laut, ia tidak dibiarkan hidup oleh Dewi Keadilan” (ay. 4).

Namun, gigitan ular berbisa itu tidak berdampak apapun bagi Paulus. Kenyataan itu mengubah pandangan penduduk asli Malta. Mereka tidak lagi memandangnya sebagai pembunuh, tetapi dewa. Di sini kita melihat adanya kemiripan pandangan antara penduduk asli pulau Malta dengan penduduk kota Listra. Penduduk asli Listra memandangnya sebagai dewa Hermes ketika menyembuhkan seorang lumpuh. Pandangan yang salah ini dikoreksinya dalam sebuah kotbah (Kis. 14:11-19).

Pandangan penduduk asli dikoreksi (ay. 7-10)
Pandangan penduduk asli Malta yang salah tentang Paulus tidak dikoreksinya secara eksplisit. Koreksi dilakukannya secara implisit ketika menyembuhkan ayah Publius, pejabat pulau Malta, yang sakit demam dan disentri. Paulus berdoa dan me-numpangkan tangan ke atas ayah Publius sehingga sembuh se-ketika itu juga. Dengan berdoa dan menumpangkan tangan, Paulus secara tidak langsung menunjukkan bahwa dirinya bu-kanlah dewa sebab dewa menganggap penyembuhan itu lahir dari kekuatan dan kekuasaannya sendiri sehingga tidak perlu berdoa. Paulus tidak menganggap bahwa penyembuhan yang dilakukan terhadap ayah Publius berasal dari kekuatan dan kekuasaannya sendiri. Berdoa dan menumpangkan tangan memperlihatkan ketergantungan totalnya pada kepada Allah sewaktu melakukan mukjizat penyembuhan.

Mukjizat penyembuhan Paulus menunjukkan bahwa dirinya bukan seorang pendosa yang telah melakukan kejahatan pembunuhan seperti yang disangkakan oleh penduduk asli Malta, tetapi seorang yang benar dan adil karena doanya dijawab oleh Allah. Doanya untuk memohon penyembuhan bagi ayah Publius dijawab oleh Allah. Jawaban Allah itu menjadi indikasi bahwa ia bukan pendosa melainkan seorang yang benar dan saleh. Ia dinyatakan tidak bersalah oleh Allah sekalipun digigit ular dan diambang-ombingkan oleh badai di laut. Indikasi ini diperkuat oleh dua perikop yang berbicara tentang kuasa doa. Pertama, Yak. 5:16-18 memakai figur Elia sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa doa orang benar sangat besar kuasanya dan ada hasilnya. Kedua, Yoh. 9:31 menampilkan keyakinan se-orang yang sebelumnya buta. Orang buta itu meyakini bahwa Allah tidak mendengarkan orang berdosa melainkan orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya.

Apa dampak mukjizat penyembuhan bagi penduduk asli pulau Malta dan bagi Paulus sendiri? Meski berstatus sebagai tahanan, namun mukjizat penyembuhan Allah melalui dirinya te-lah membawa berkat bagi banyak orang (bdk. Mat. 6:33; Flp. 4:19). Banyak orang sakit yang datang dan semua berhasil disembuhkannya. Pelayanan ini berdampak pula bagi Paulus sendiri dan rekan-rekannya. Mereka dihormati dan segala sesuatu yang diperlukan ketika melanjutkan pelayaran menuju Roma disediakan oleh penduduk asli pulau Malta.

Kisah penyembuhan Paulus di pulau Malta itu mirip dengan kisah penyembuhan Yesus di Kapernaum pada awal karya pe-layanan-Nya (Luk. 4:38-40). Dari kedua kisah itu kita menemukan sebuah pola yang sama. Penyembuhan seorang indivi-du diikuti dengan penyembuhan semua atau beberapa orang lain di suatu wilayah. Kedua kisah penyembuhan itu juga melibatkan penumpangan tangan. Dari beberapa keserupaan itu terungkap sebuah fakta bahwa pelayanan penyembuhan Yesus masih berlanjut terus melalui para saksi-Nya.

Dari Malta ke Roma (28:11-16)
Paulus dan rekan-rekannya menghabiskan musim dingin selama tiga bulan di pulau Malta. Setelah itu mereka berangkat lagi dengan naik kapal lain dari Aleksandria yang sedang berlabuh selama musim dingin di pulau Malta. Kapal yang mengangkut gandum ke Roma itu memakai lambang Dioskuri yang terbuat dari kayu dan diletakkan di depan kapal. Lambang Dioskuri, anak kembar dewa Zeus dan Leda, ratu Sparta yang ditransformasi sebagai dewi oleh Zeus. Anak kembar itu bernama Kastor dan Pollux dan dikaitkan dengan pelindung para pelayar dalam mitologi Yunani. Di sini Lukas mungkin menyebut lambang Dioskuri dengan maksud untuk mempertentangkannya dengan perlindungan Allah yang nyata sebagaimana di-perlihatkan oleh kisah sebelumnya.

Dari Malta, mereka singgah di Sirakusa dan tinggal di situ sela-ma tiga hari. Mereka kemudian menyusur pantai sampai ke Regium. Sehari kemudian bertiuplah angin selatan dan pada hari kedua mereka tiba di pelabuhan Putioli yang sekarang disebut Pozzuoli. Di kota pelabuhan itu Paulus dan rekan-rekannya bertemu dengan saudara-saudara seiman. Mereka ting-gal selama sepekan karena diminta oleh jemaat di kota pelabuhan itu. Permintaan dan keramahan mereka menunjukkan semangat kesatuan dan keramahan gereja dalam bentuk yang kelihatan.

Kabar tentang kehadiran Paulus dan rekan-rekannya sampai ke telinga orang kristiani di Roma. Mereka lalu mengutus dua orang untuk datang menjumpai mereka sampai ke Forum Apius dan Tres Taberne. Ditemani oleh para utusan itu, Paulus dan rekan-rekan kemudian pergi ke Roma. Janji Tuhan kepada Paulus untuk bersaksi di Roma sekarang terpenuhi (Kis. 23:11; 27:24). Di Roma Paulus diperbolehkan tinggal di rumah sewaannya sendiri bersama seorang prajurit kaisar yang mengawalnya. Ia juga diperbolehkan untuk menerima para pengunjungnya.

Tidak ada komentar: