Selasa, November 08, 2011


SIKAP TERHADAP PENDERITAAN: Surat 1 Petrus
Alfons Jehadut

Sepanjang sejarah kekristenan surat ini dipuji banyak orang. Martin Luther, misalnya, berkata bahwa surat ini mengajarkan segala sesuatu diperlukan untuk memperoleh keselamatan, meski kita tidak pernah mendengar kitab-kitab yang lain. Alasannya, surat ini memberi gambaran yang menarik tentang iman, dosa, kematian, neraka, hidup, kebenaran, dan keselamatan. Uskup Polikarpus dari Smirna juga sangat terinspirasi oleh kata-kata penghiburan, nasihat, dan harapan yang ada di dalamnya.

Meski diterima dan disambut hangat sepanjang sejarah, namun diskusi tentang siapa penulis, pendengar, dan bagaimana situasi jemaat masih menjadi diskusi hangat di antara para ahli tafsir. Di sini diskusi itu akan diperlihatkan sebelum masuk ke dalam penafsiran salah satu perikop intinya.

Penulis surat
Surat ini mengidentifikasi penulisnya sebagai “Petrus, rasul Yesus Kristus” (1:1), “teman penatua dan saksi penderitaan Kristus” (5:1). Tradisi tua menganggap identifikasi ini menunjuk kepada rasul Petrus, pemimpin dua belas rasul, dan saksi penderitaan Kristus. Anggapan ini diperkuat oleh adanya kesejajaran antara apa yang dikatakan dalam 1 Petrus dengan kotbah Petrus dalam Kisah Para Rasul. Kesejajaran itu terlihat dalam beberapa gagasan seperti Allah tidak memandang muka (1 Ptr 1:17; Kis. 10:34), penyucian hati (1 Ptr. 1:22; Kis. 15:9), saksi mata Kristus (1 Ptr. 5:1; Kis. 1:22; 5:32; 10:39); Allah sebagai hakim atas orang yang hidup dan yang mati (1 Ptr. 4:5; Kis. 10:42).

Namun, sejak studi kritik teks semakin populer beberapa ahli tafsir modern mulai meragukan rasul Petrus sebagai penulisnya. Keraguan itu didasarkan pada fakta berikut ini. Pertama, kualitas bahasa Yunani yang dipakai dalam surat ini sangat bagus.[3] Donald P. Senior, 1 Peter (The Liturgical Press: Collegeville, Minnesota, 2003), 3-7 Tidak mungkin seorang nelayan Galilea yang bahasa ibunya bukan Yunani dan tidak berpendidikan (Kis. 4:13) bisa menulis dengan kualitas bahasa Yunani sangat bagus. Kedua, surat ini mengutip Perjanjian Lama versi terjemahan Yunani (Septuaginta) daripada versi Ibrani. Ketiga, surat ini tidak menyebut sedikitpun kehidupan Yesus dan pengalaman rasul Petrus bersama-Nya. Identifikasi diri Petrus sebagai “saksi penderitaan Kristus” itu bersifat umum dan tidak persis menunjuk pada peristiwa hidup Yesus pada saat-saat terakhir hidup-Nya. Keempat, tidak ada data yang memperlihatkan bahwa Petrus pernah berkenalan dengan komunitas kristiani di Asia Kecil yang menjadi alamat suratnya. Kelima, struktur kepemimpin yang terlihat dalam surat ini mengisyaratkan suatu struktur organisasi yang telah berkembang jauh setelah zaman rasul Petrus meninggal (1Ptr. 5:1-11). Keenam, gagasan teologi surat ini memiliki keserupaan dengan gagasan teologi Paulus.[4] Dua keberatan ini bisa dikesampingkan jika rasul Petrus tidak menulisnya sendiri, tetapi dibantu oleh seorang sekretaris yang pandai bahasa Yunani. Namun, sekretaris dan penerjemah yang berbakat bahasa Yunani itu menulis berdasarkan pesan, persetujuan, dan pengawasan rasul Petrus sendiri. Sekretaris atau penerjemah itu sangat mungkin Silwanus yang dianggapnya sebagai seorang saudara seiman yang dapat dipercayai (1Ptr. 5:12). Beberapa ungkapan khas Paulus muncul seperti “dalam Kristus” (1Ptr. 3:16; 5:10, 14); dan “melayani” (1Ptr. 1:12; 4:10). Penekanan Paulus pada pentingnya kematian dan kebangkitan Yesus itu juga direfleksikan dengan baik oleh penulis 1 Petrus.

Jika benar surat ini tidak ditulis secara langsung oleh rasul Petrus, lantas siapa yang menulisnya? Kita sebaiknya menempatkannya dalam kategori surat pseudonim. Artinya, surat ini ditulis oleh seorang yang tidak dikenal, tetapi memakai nama rasul Petrus. Sangatlah mungkin penulisnya seorang penatua yang mahir Perjanjian Lama dan tradisi kristiani. Di sini nama rasul Petrus dicantumkan dengan maksud supaya bisa diterima baik oleh komunitasnya. Para ahli modern berhipotesa bahwa surat ini ditulis oleh kelompok murid atau pengagum rasul Petrus di Roma dan dibantu oleh Silwanus dan Markus (1Ptr. 5:12-13) yang bertanggung jawab atas beberapa tema yang terkait dengan pemikiran Paulus.

Sekelompok murid atau pengagum rasul Petrus itu menulis surat dari Babilon (1Ptr. 5:13). Patut dicatat[5] Pheme Perkins, Interpretation First and Second Peter, James, and jude: a Bible Commentary for Teaching and Preaching (John Knox Press, Louisville, 1995), 12.
bahwa kota Babilon pada waktu itu sudah menjadi nama samaran atau ejakan untuk kota Roma. Mereka agaknya menyebut Roma sebagai Babilon karena kemerosotan moralnya. Babilon sudah menjadi simbol untuk segala kejahatan melawan Allah dan hukum-hukum-Nya. Menjelang akhir abad pertama, masyarakat Roma memang tidak terlalu simpatik kepada umat Kristiani. Maka, sangatlah mungkin surat ini ditulis antara tahun 80 dan 90 M.

Alamat Surat
Surat ini dialamatkan kepada para pendatang, yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil, dan Bitinia. Kata “pendatang” (Yunani: parepidemo) itu dikatakan “tersebar” (Yunani: diaspora) di daerah Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia. Mengingat kata diaspora dipakai untuk menunjuk kepada orang Yahudi yang tinggal di antara yang bukan Yahudi, maka kaum pendatang yang tersebar di lima kota di Asia kecil itu sangat mungkin menunjuk kepada orang kristiani Yahudi yang tersebar di luar Palestina.

Surat ini ditujukan kepada orang kristiani Yahudi di daerah diaspora. Hal ini diperkuat oleh banyaknya pemakaian kutipan kitab Perjanjian Lama (1Ptr. 1:16 = bdk. Im.11:44-45; 19:2; 20:7; 1:24= Yes. 40:6-8; 2: 4-10 =bdk. Ul. 32:4, 15, 18, 30-31; Mzm. 18:3, 32, 47;62:3, 7; 2: 22-25=Ul. 21:23; 3:10-12 =Mzm. 34:12-16; 4:18 = Ams. 11:31; 5:5 =Ayb. 32:4); penyebutan tokoh-tokoh Israel yang terkenal seperti Abraham dan Sara (3:6); para nabi (1:10-12); peristiwa penting dalam sejarah Israel seperti Paskah (1:13); Keluaran (1:18-19), pembuangan Babilon (5:13). Hal itu terlihat juga dalam pemakaian istilah yang biasanya diterapkan kepada umat Allah seperti kudus (1:14-16; 3:5), umat pilihan (1:1; 5:13).

Namun, ada sejumlah indikasi lain yang menunjukkan bahwa surat ini dialamatkan juga kepada jemaat kristiani bukan Yahudi. Hal ini termuat dalam sebutan kebodohan mereka sebelum mengenal Allah (1:14) yang telah memanggil mereka keluar dari kegelapan dan masuk ke dalam terang-Nya yang ajaib (2:9), sehingga mereka yang sebelumnya bukanlah umat Allah sekarang telah menjadi “umat Allah” (bdk. 2:10).

Maka, kaum pendatang yang tersebar di lima kota di wilayah Asia kecil ini menunjuk kepada jemaat kristiani yang baru saja bertobat, baik yang berlatar belakang Yahudi maupun bukan Yahudi. Hal ini dapat menjelaskan mengapa Petrus sering mengingatkan mereka pada baptisan yang telah mereka terima (bdk. 1:3, 23; 2:2; 3:21). Sebagai orang-orang yang baru saja bertobat, mereka menghadapi banyak permusuhan dari teman-teman dan sanak keluarga yang tidak beriman kepada Yesus sebagai Tuhan. Permusuhan ini menyebabkan mereka sulit untuk mempertahankan dan memelihara iman mereka.

Alasan surat ditulis
Situasi hidup jemaat yang baru saja bertobat di atas menjadi alasan mengapa seorang yang menyebut dirinya rasul Petrus menulis sebuah surat. Surat ini ditulisnya untuk memperkuat iman jemaat yang baru saja bertobat dan percaya kepada Yesus sebagai Tuhan. Ia memulainya dengan mengingatkan kembali harapan jemaat kristiani untuk menerima warisan yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan tidak dapat layu yang tersimpan di surga. Harapan ini didasarkan pada kebangkitan Yesus dari antara orang mati (1:3-7). Penderitaan Yesus ditampilkan sebagai sebuah model bagi jemaat yang sedang mengalami permusuhan dan penderitaan. Sebagaimana penderitaan Yesus telah membawa-Nya kepada kemuliaan, demikian pula mereka yang menderita karena iman kepada Yesus Kristus akan mengalami kemuliaan (1:11).

Penulis surat juga menggunakan beberapa gambaran istimewa untuk melukiskan identitas orang kristiani seperti “batu hidup” (2:5), “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat Allah sendiri” (2:9). Gambaran ini membantu mereka untuk menghadapi tantangan-tantangan hidup dalam sebuah dunia yang tidak simpatik dengan penghayatan iman mereka. Dengan melukiskan peraturan rumah tangga yang sudah terkenal pada zamannya, penulis memberi petunjuk bagi orang kristiani tentang bagaimana harus hidup pada zamannya.

Struktur Surat
Meski surat ini tidak memiliki struktur yang jelas, namun kita dapat membacanya dengan menggunakan struktur berikut ini.

 Prolog (1:1-12) memuat identitas penulis, si teralamat, salam pembuka yang biasa digunakan pada zamannya (1:1-2), dan nyanyian pujian dan syukur (1:3-12)

 Tubuh surat (1:13-5:11) memuat empat hal pokok.

 Bagian pertama (1:13-2:10) memuat undangan untuk hidup suci. Undangan ini didasarkan pada kesucian Allah yang telah memanggil mereka (1:13-16) dan darah Kristus yang telah menebus kita dari dosa (1:17-21). Kesucian itu harus dihayati dalam perbuatan kasih (1:22¬-25), dalam upaya untuk bertumbuh dalam hidup kekristenan (2:1-3), dan dalam membangun hidup menggereja (2:4-10).

 Bagian kedua (2:11-3:12) memuat kewajiban orang kristiani dalam hidup bermasyarakat, misalnya kewajiban untuk memberi teladan bagi orang yang tidak beriman (2:11-12); kewajiban warga negara untuk taat kepada penguasa pemerintahan (2:13-17); kewajiban budak-budak untuk taat kepada tuan mereka (2:18-25); kewajiban suami dan isteri dalam hidup berkeluarga (3:1-7); dan kewajiban orang kristiani untuk menghayati persaudaraan yang lebih luas dengan semua orang (3:8-12).

 Bagian ketiga (3:13-4:19) berbicara tentang cara hidup orang kristiani dalam menghadapi penganiayaan dan pencobaan. Ketika mereka menderita secara tidak adil, mereka harus menganggapnya sebagai sebuah berkat (3:3-17), sebab Kristus juga menderita sampai mati sebelum dimuliakan oleh Allah (3:18-22). Orang kristiani harus berhenti berbuat dosa (4:1-6) tetapi berbuat kasih (4:7-11). Bagian ini diakhiri dengan pembicaraan tentang nilai penderitaan karena penganiayaan yang tidak adil (4:12-19).

 Bagian keempat (5:1-11) memuat serangkaian nasihat bagi para penatua untuk menggembalakan kawanan domba dengan suka rela sesuai dengan kehendak Allah (5:1-4) dan bagi semua umat beriman untuk bersikap saling mentaati dan rendah hati (5:5-11).

 Epilog (5:12-14) memuat salam penutup dari jemaat Roma dan rekan-rekan penulis seperti yang lazim juga dalam surat-surat Perjanjian Baru lainnya dan diakhiri dengan berkat penutup.







Tidak ada komentar: