Rabu, Juli 27, 2011

SERIAL DAUD 02

KASIH SETIA TUHAN TIDAK AKAN HILANG DARINYA
Kisah Hidup Daud, Raja Israel yang Kedua
Jarot Hadianto

Sosok Daud menurut Perjanjian Lama

Lebih dari tokoh-tokoh yang lain, kisah tentang Daud boleh dibilang sangat lengkap dan melimpah. Dalam Perjanjian Lama, kita dapat menemukannya dalam kitab 1-2 Samuel dan 1 Tawarikh. Daud di sini benar-benar dijadikan tokoh utama. Ia ditampilkan sebagai sosok yang menegakkan kejayaan kerajaan umat Allah. Ketika masih belia, Allah berkenan memilih Daud menjadi raja atas umat-Nya, menggantikan Saul, raja yang pertama. Saul perlu diganti, sebab ia ternyata lebih suka memerintah seturut keinginannya sendiri dan mengabaikan perintah-perintah Allah.

Berbeda halnya dengan Daud. Menaati kehendak Allah merupakan prioritas baginya. Di bawah pemerintahan Daud, perjanjian Allah dengan umat-Nya digambarkan terjalin dengan sangat kokoh. Perjanjian ini hadir dalam bentuk lain, yakni berupa perjanjian antara Allah dan Daud serta keturunannya (2Sam. 7:1-17). Kepada Daud, Allah berfirman, “Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya” (2Sam. 7:16). Firman ini menggambarkan sosok Daud sebagai hamba Allah yang imannya luar biasa teguh, sampai-sampai Allah sendiri mengaguminya. Karena itulah Ia menjanjikan kelestarian pemerintahan Daud dan keluarganya. Melalui dinasti Daud, Allah akan menghadirkan keselamatan bagi umat-Nya. Bukan hanya itu, Mesias, Juru Selamat yang kelak akan datang, juga dipikirkan sebagai keturunan Daud atau malah Raja Daud yang baru.

Alkitab memang menggambarkan iman Daud kepada Allah seolah tak bercacat. Sementara raja-raja lain mendua hati dengan berpaling kepada dewa-dewi bangsa asing, Daud tidak melakukan hal itu. Sebab itulah Allah berkenan kepadanya dan memberinya berkat melimpah. Umat juga mengagumi sang raja. Meski tak lepas dari dosa dan kelemahan, mereka memandang Daud sebagai pahlawan iman yang sejati dan raja ideal yang diidam-idamkan. Daud mereka lihat pula sebagai peletak dasar bagi perkembangan kerajaan selanjutnya. Raja-raja lain hanya mengikuti dan melanjutkan apa yang telah dimulai olehnya. Dalam hal pembangunan Bait Allah, misalnya. Meski dibangun oleh Salomo, Daudlah yang dipandang sebagai penggagas dibangunnya tempat suci itu, termasuk tata ibadat yang dilaksanakan di dalamnya. Selain itu, Daud juga dijadikan standar untuk menilai baik-buruknya seorang raja. Jika raja itu setia kepada Allah sebagaimana ditelandankan oleh Daud, ia akan dipuji sebagai raja yang benar. Jika yang terjadi sebaliknya, dengan segera kecaman akan dijatuhkan padanya. Ia akan dinilai sebagai raja yang jahat.

Sejarah yang mengajar

Pembedaan antara “gambaran” dan “kenyataan” di atas mungkin membuat banyak orang merasa bingung, termasuk kita sendiri. Jika sebagian dari yang digambarkan Alkitab tentang Daud ternyata melenceng atau tidak sesuai dengan kenyataan, bagaimana kita dapat yakin tentang sosok Daud yang sebenarnya? Lebih lanjut, bagaimana pula kita dapat berkata bahwa Alkitab mewartakan kebenaran?

Titik tolak paling tepat untuk menjelaskan masalah tersebut kiranya dengan memahami makna Alkitab itu sendiri. Alkitab sebaiknya tidak lagi kita mengerti sebagai kitab yang turun dari surga, yang didiktekan Allah sendiri kata demi kata. Sebaliknya, terinspirasi oleh Allah, para pendahulu kita menyusun Alkitab sebagai sarana mengajar, sekaligus mewartakan iman dan keyakinan mereka. Alkitab dengan demikian merupakan kesaksian iman umat Israel (untuk Perjanjian Lama) dan jemaat Gereja Perdana (untuk Perjanjian Baru). Jenis sastra kesaksian itu ada beraneka macam, antara lain sejarah, puisi, nubuat, maupun apokaliptik.

Jenis sastra kisah-kisah tentang Daud jelas sejarah. Namun, sejarah di sini tidak boleh dimengerti secara modern sebagai “kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau” atau “pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau” (demikian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, tahun 2001). Sudah pasti bahwa para penyusun kisah itu tidak terutama bermaksud melaporkan peristiwa-peristiwa sejarah kepada kita. Sebagaimana Alkitab, sejarah dalam hal ini sekadar dipakai sebagai sarana untuk mengajar dan bersaksi. Karena itulah sejarah dalam Alkitab disebut sebagai “sejarah yang mengajar” atau “kisah-kisah sejarah yang berfungsi sebagai sarana untuk mengajar umat”. Kita yang membacanya diharapkan lebih berfokus pada ajaran atau pesan-pesan yang hendak disampaikan, bukan pada fakta-fakta sejarah yang dipaparkan di situ.

Kesimpulan

Kisah-kisah seputar Daud sebagian besar dikumpulkan oleh Tradisi Deuteronomis (D), tradisi yang menyusun kitab Yosua, Hakim-hakim, Samuel, dan Raja-raja. Berkaitan dengan hal ini, John A. Grindel menulis, “Sejarah Deuteronomis tidak ditulis untuk menyimpan ingatan akan masa lalu, tetapi bertujuan untuk memberikan penjelasan teologis mengenai kekalahan kedua kerajaan Israel dan Yehuda, dan untuk menyajikan suatu dasar teologis bagi pengharapan akan masa depan.”

Benar sekali. Tradisi D menghimpun dan menyusun kisah-kisah tersebut ketika kerajaan Israel-Yehuda telah musnah, sementara umat Allah tercerai-berai, dibuang di tanah asing. Mereka berada dalam situasi sulit, situasi yang juga mengancam iman mereka kepada Tuhan. Dalam keadaan semacam ini, yang penting bagi mereka bukanlah kisah-kisah dari masa lalu, melainkan harapan bagi terwujudnya pemulihan di masa depan. Kisah-kisah tentang Daud memainkan peran pentingnya tepat di sini. Dalam perjalanan hidup sang raja, ada saatnya ia meraih keberhasilan, ada saatnya pula ia jatuh dalam kegelapan. Kisah-kisah tentang Daud disajikan bagi orang Israel bukan sekadar untuk diketahui, melainkan agar mereka belajar darinya, dari segala keberhasilan, juga kegagalan yang dialaminya.

Pada akhirnya bagi kita, pembaca Alkitab masa kini, kisah-kisah itu mengajak kita untuk melihat hidup kita sendiri. Seperti Daud, perjalanan iman kita pun naik turun. Kadang iman kita kepada Tuhan kokoh seteguh batu karang, namun di lain kesempatan, tak jarang pula kita merasa jauh dari-Nya. Mari kita jadikan Daud sebagai cermin bagi pergulatan iman kita dalam memahami Tuhan. Dari pengalaman keberhasilannya, kegagalannya, juga perjuangannya untuk bangkit dari kegagalan itu, semoga kita menemukan pencerahan betapa Tuhan itu baik dan setia menjadi hidup kita sepanjang waktu.***

Daftar Pustaka

1.Bergant dan Karris (ed.), 2002:231.
Auld, Graeme A. Kings Without Privilege: David and Moses in The Story of The Bible’s Kings. Edinburgh: T & T Clark, 1994.
Bruggemann, Walter. David’s Truth in Israel’s Imagination & Memory. Minneapolis: Fortress Press, 1985.
Fourman, Larry. The Life of David. Illinois: Brethren Press, 1990.
Groenen C. Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Manney, Jim. Raja Daud. Malang: Pertapaan Karmel.

Tidak ada komentar: