Selasa, Februari 01, 2011

Mazmur 51

LEBIH PUTIH DARIPADA SALJU

Jarot Hadianto

“Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku,
dan tahirkanlah aku dari dosaku!”
(Mzm. 51:4)


Di depan rumah ini, aku berdiri terpaku. Siang ini, suasana begitu sepi. Matahari bersinar terik, tapi untunglah panasnya tersapu oleh semilir angin yang bertiup sepoi-sepoi. Aku menghela nafas panjang sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Benar-benar tak ada orang. Penghuni kompleks perumahan ini pasti sedang sibuk di tempat kerjanya masing-masing.

Meski begitu aku tahu, beberapa rumah sebetulnya ada penghuninya. Rumah yang terletak di ujung sana, misalnya. Tuan dan nyonya rumah itu memang pergi ke kantor, tapi di situ ada pembantu yang bertugas bersih-bersih rumah, memasak, sekaligus menjaga anak mereka yang masih kecil. Rumah yang ada di sampingnya juga tidak sama sekali kosong. Mereka mempekerjakan seorang tukang kebun yang masih muda, yang tampaknya lebih bersemangat menggoda pembantu rumah sebelah daripada menyabit rumput.

Setahuku, rumah yang terletak persis di sebelah rumah ini juga ada penghuninya. Mereka adalah suami-istri yang telah berusia lanjut. Karena umurnya itu, pasangan ini lebih sering tidur-tiduran dan menyaksikan drama di layar kaca daripada pergi keluar rumah.

Pendek kata, setiap siang, perumahan ini hanya berisi orang-orang yang sibuk dengan urusannya sendiri. Aku tersenyum kecil. Suasana siang ini ternyata persis sama seperti tahun yang lalu, tidak berubah sama sekali.


Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu

Kembali aku memperhatikan rumah yang ada di hadapanku. Rumah ini tidak lebih istimewa daripada rumah-rumah yang ada di sekitarnya, bahkan boleh dibilang kalah bagus dan kalah besar. Penghuninya adalah seorang ibu tua. Suaminya telah lama meninggal, sedangkan anak-anaknya tersebar di tempat lain. Karena tinggal seorang diri, si ibu tampaknya kerepotan merawat halaman rumah yang cukup luas. Lihat saja, aneka macam tanaman tumbuh dengan sendirinya di situ, berjejalan dan tak terawat.

Rumah ini sekarang sedang kosong. Aku tahu itu, sebab – selain sudah memperkirakan sebelumnya – dari tadi aku mengamati-amatinya dengan saksama dan tidak kutemukan tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Maka dari itu, aku berani mendekat dan berdiri berlama-lama di sini, tepat di depan pintu.

Sambil melihat-lihat, perlahan-lahan aku mengulurkan tangan, meraba temboknya yang berwarna cokelat muda. Warnanya terasa tak cerah lagi karena memang dicat sudah lama. Aku mendesah sembari mengusap-usap tembok itu. Ya, akulah yang mengecatnya. Setahun yang lalu, aku memang bekerja di sini selama seminggu.

Ibu tua itu sendiri yang memanggilku dan meminta bantuanku untuk mengecat rumahnya. “Catnya sudah banyak mengelupas. Warnanya sudah kusam!” demikian katanya. Aku yang tak punya pekerjaan mensyukuri kesempatan itu karena dengan demikian aku akan mendapat upah sekadar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tetapi ketika aku mulai bekerja, aku mulai mengamati segala sesuatunya, dan tiba-tiba saja gagasan kriminal mulai menguasai pikiranku. Ah Tuhan, aku memang tak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.


Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku…

Tugas mengecat beres dalam seminggu. Bulan berikutnya aku kembali ke situ berbekal pengetahuan lengkap tentang situasi rumah dan lingkungan sekitarnya: kapan perumahan itu sepi, kapan rumah itu kosong ditinggal pergi, mana pintu yang mudah dijebol, di mana ibu itu menaruh kunci-kunci lemari, dan sebagainya. Semuanya telah kupelajari, sebab saat mengecat, mataku rajin melirik ke sana-kemari. Karena itu, aku berani beraksi di siang bolong. Menurut pengamatanku, tengah hari justru merupakan saat yang paling cocok!

Maka demikianlah, aku mulai dari titik lemah rumah itu, yakni pintu belakang. Pintu ini terbuat dari kayu yang lunak, sehingga bisa kucongkel dengan mudah. Dengan segera, ruang dapur terhampar di hadapanku. Sejenak aku mengamati-amati ruangan itu. Hmmm … panci, dandang, bawang dan lombok satu plastik … tak ada yang menarik untuk diambil. Memang di situ ada kompor gas dan tabungnya yang rasanya bisa dijual. Tapi aku takut membawa tabung gas berwarna hijau tersebut. Dengar-dengar tabung itu suka meledak sendiri! Aku bergegas meninggalkan dapur tanpa mengambil apapun.

Sampailah aku di ruang makan. Di situ ada kulkas, ada lemari berisi piring dan sendok, ada juga televisi. Si ibu rupanya suka makan sambil nonton sinetron yang ceritanya mendayu-dayu. Aku meneliti ruangan itu sambil menimbang-nimbang. Piring, sendok, dan garpu jelas tak akan kuambil. Untuk apa? Di rumah sudah banyak. Lagi pula zaman sekarang beli sabun cuci saja hadiahnya piring, jadi tak perlu repot-repot nyolong lagi.

Mengenai televisi dan kulkas … ah, ingin sekali aku menggondol dua barang itu! Sayang, keduanya besar dan berat. Orang akan curiga melihatku memanggul barang sebesar itu. Sudahlah, lupakan saja. Tapi mungkin isi kulkas bisa sedikit kunikmati untuk sekadar mengganjal perut. Maklum, sejak kemarin aku belum makan. Kubuka kulkas itu … dan aku kecewa. Isinya cuma sayuran dan air mineral!

Pintu kulkas kubanting karena jengkel. Mau makan sedikit saja susah! Dasar!

… dan tahirkanlah aku dari dosaku!


Sambil meringis menahan lapar, aku beralih ke kamar tidur. Rumah ini punya dua kamar. Yang kumasuki pertama adalah kamar yang berada tepat di sebelah ruang makan. Menurut si ibu, ini adalah kamar tidur anaknya. Kalau datang saat musim liburan, anak itu selalu tidur di ruangan ini. Anak mana yang ia maksud, aku tidak peduli. Yang penting, aku harus cepat-cepat beraksi.

Segera saja aku membongkar meja belajar. Di rak atas ada buku; di rak bawah ada buku; laci kujebol, buku juga yang kutemukan. Buku, buku, buku, yang ada cuma buku, mana laptopnya? Bukannya ibu itu bercerita kalau laptop anaknya itu suka ditinggal di sini? Aku jadi geram. Lemari kaca kugebrak. Pintunya sampai retak dan terbuka dengan sendirinya. Isi lemari itu ternyata baju dan celana. Sial, aku tak butuh baju dan celana! Kuobrak-abrik pakaian yang ada di situ dan kulempar-lemparkan keluar. Lemari itu habis kuaduk-aduk, siapa tahu ada uang atau barang berharga diselipkan di tempat tersembunyi. Sayangnya, aku tetap tidak menemukan apa-apa. Parah!

Aku mengumpat-umpat karena kesal. “Usaha” hari ini terancam gagal total. Buru-buru aku beralih ke kamar yang lain, yakni kamar ibu itu. Inilah satu-satunya harapanku. Kalau di kamar ini ternyata juga tidak ada barang berharga, benar-benar aku meninggalkan rumah ini sambil gigit jari.

Pintu kamar dapat kubuka dengan mudah karena tidak di kunci. Aku langsung disambut oleh salib berwarna kuning emas yang dipasang di tembok. Sejenak aku terperanjat. Patung Yesus yang tergantung di situ seakan memperhatikan dan memperingatkan aku supaya membatalkan kejahatanku. Ah, tidak masalah. Biar Tuhan melihat, dosa jalan terus! Kuhirup nafas dalam-dalam, kubulatkan tekad, dan sesudah itu, aksiku pun berlanjut.

Kamar ini hanya berisi tempat tidur dan lemari kayu. Setelah menggulingkan kasur dan tidak menemukan apa-apa di bawahnya, aku mulai mengacak-acak lemari kayu tersebut. Betul-betul aku nyaris putus asa. Lemari ini sama benar dengan lemari yang tadi! Isinya hanya rok dan baju-baju perempuan, yang tidak ada gunanya bagiku karena tidak bisa aku pakai. Kesal benar aku jadinya. Dengan gusar, aku lalu menarik laci lemari kuat-kuat. Nah, ini dia! Aku berhasil menemukan kalung, bros, dan banyak perhiasan lainnya! Setengah histeris aku meraup benda-benda berharga itu, menghirup baunya dalam-dalam, dengan penuh syukur mendekatkannya pada mukaku, dan ahhh … tiba-tiba aku sadar: perhiasan itu imitasi semua!

Aku hampir-hampir menangis karena kecewa. Karena sudah cukup pakar dalam dunia curi-mencuri, aku kurang lebih bisa membedakan perhiasan yang asli dan yang imitasi. Ini jelas palsu! Kalung ini palsu, bros ini juga palsu, harganya di pasar paling cuma lima ribu. Satu per satu barang-barang kodian itu kucampakkan ke lantai. Apes benar hari ini, aku merasa sedang dikerjai.

Tiba-tiba sebuah cincin menarik perhatianku. Cincin ini sederhana, tapi … ya, Tuhan … terbuat dari emas asli! Cincin ini asli! Mataku kembali berbinar-binar penuh semangat.

Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku

Demikianlah setidaknya aku meninggalkan rumah itu tidak dengan tangan kosong. Sebuah cincin ada di saku celanaku, harganya kutaksir sekitar sejuta. Lumayan! Selain itu, apa boleh buat, tak ada lagi barang berharga yang bisa kurampok. Di kamar tamu memang ada sejumlah lukisan dan sofa yang harganya mahal. Tapi masak aku sendirian mengangkut sofa? Alamat ketahuan dan digebuki banyak orang!

Aku keluar meninggalkan rumah itu dengan tenang, lewat pintu depan. Seperti yang kuperkirakan, beberapa orang yang kutemui sama sekali tidak menaruh curiga. Tukang kebun dan pembantu itu malah senyum-senyum melihatku. Mereka malu karena ketahuan sedang berduaan di bawah pohon jambu.

Hari-hari kemudian ternyata tidak terjadi apa-apa. Tidak ada polisi yang mendatangiku, ibu tua itu juga tidak mencariku. Nah, itu artinya aman! Aku rasa, ibu itu tahu bahwa akulah yang memasuki rumahnya. Ia tidak melaporkan peristiwa itu ke polisi mungkin karena tak mau repot, mungkin karena toh yang hilang hanya sebuah cincin, mungkin juga karena pasrah dan sudah ikhlas. Aku tersenyum senang. Kepercayaan diriku semakin bertambah, hingga dua minggu kemudian aku beraksi lagi di rumah orang lain. Saat itulah aku ketahuan, babak belur dihajar massa, dan akhirnya masuk penjara sembilan bulan lamanya.


Basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju

Sekarang aku bertobat. Berbulan-bulan di balik terali besi telah mengubah hidupku seratus delapan puluh derajat. Aku mengakui kesalahanku dan menyesal telah menyusahkan banyak orang yang harta bendanya kubawa lari. Setiap malam tak putus-putusnya kupanjatkan doa kepada Tuhan, “Tuhan, ampuni aku. Aku menyesali kesalahanku. Ampunilah dosa-dosaku. Buatlah hatiku yang hitam ini menjadi putih, lebih putih daripada salju.”

Maka demikianlah, aku datang kembali ke rumah ini sebagai bukti pertobatanku. Aku hendak mengembalikan cincin yang dulu aku ambil secara tidak sah. Tapi, maafkan aku, aku tetap tidak berani menemui ibu itu. Aku tak sanggup melihat wajahnya yang pasti penuh duka akibat kelakuanku. Cincin itu telah kubungkus rapi dalam selembar amplop putih. Kuambil amplop itu pelan-pelan dari saku bajuku, lalu kusisipkan di bawah pintu. Setelah itu, dengan batin yang terasa ringan, aku pun melangkah pergi.

Saat itu, aku melihat bapak tua yang tinggal di sebelah melangkah keluar dari rumahnya. Tampaknya ia hendak membersihkan taman, sebab tangannya menggenggam sapu lidi yang agak besar. Sejenak aku berbasa-basi dengan dia, menanyakan ke mana perginya ibu tua, tetangganya itu.

“Oh, ibu itu sudah lama meninggal,” katanya.

Aku sangat terkejut mendengarnya. “Oh, ya? Kapan itu? Apa yang terjadi?” tanyaku bertubi-tubi.

“Kira-kira setahun yang lalu. Saat itu rumahnya dimasuki pencuri. Si pencuri hanya sempat mengambil sebuah cincin. Tapi cincin itu adalah cincin kesayangannya, hadiah dari suami tercinta yang telah pergi mendahului dia. Ibu itu begitu sedih dan terus menyalahkan dirinya sendiri. Tak lama kemudian, ia jatuh sakit, lalu meninggal. Benar-benar terkutuk pencuri itu!”

Mulutku menganga, wajahku pacat pasi. Aku tak tahu lagi mesti berkata apa. Buru-buru aku pergi meninggalkan tempat itu. Aku menyesal, sangat menyesal, sangat-sangat menyesal.

“Ya Tuhan, aku bukan saja mengambil cincin, tapi juga nyawa perempuan tua itu…”***

Bacaan Pendukung

Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Bergant, Dianne, dan Robert J. Karris (ed.). Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.

Tidak ada komentar: