Senin, Januari 24, 2011

PERJALANAN MISI KERASULAN PETRUS
Alfons Jehadut


Kematian Stefanus dan penganiayaan terhadap komunitas kristiani di Yerusalem telah memaksa mereka meninggalkan Yerusalem. Mereka semua, kecuali rasul-rasul, tersebar ke seluruh daerah Yudea dan Samaria. Mereka menjelajah seluruh negeri itu sambil memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah. Mereka tetap menjalankan tugas yang telah diberikan oleh Yesus yang bangkit, yakni menjadi saksi-Nya di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8), meski mereka dianiaya.

Kisah penyebaran injil di luar Yerusalem dimulai dengan kisah perjalanan dan kegiatan misi kerasulan Filipus ke beberapa kota di Samaria (Kis. 8:4-25). Perjalanan dan kegiatan misi ini tidak perlu dianggap sebagai awal pewartaan injil kepada orang yang bukan Yahudi sebab orang Samaria masih dianggap sebagai keturunan Abraham dan menaati hukum Taurat meski mereka saling bermusuhan.

Meski Filipus adalah orang pertama yang memulai langkah perjalanan dan kegiatan misi kerasulan di Samaria, Lida, dan Yope, namun kita tidak boleh melupakan peran penting Petrus. Bagaimana Lukas melukiskan peran Petrus dalam kegiatan misi kerasulan di Samaria, Lida, dan Yope? Bab ini akan berfokus pada perjalanan dan kegiatan misi kerasulan Petrus di Samaria, Lida, dan Yope. Perjalanan dan kegiatan misi di tempat-tempat ini dilihat sebagai suatu bentuk persiapan dan langkah awal misi kerasulannya kepada orang-orang yang bukan Yahudi.

1. Misi kerasulan Petrus di Samaria (Kis. 8:14-25)

Alur kisah perjalanan dan kegiatan misi kerasulan Petrus di Samaria (8:14-25) dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, kisah seputar kedatangan Petrus dan Yohanes dari Yerusalem dan kegiatan penumpangan tangan mereka di atas kepala orang-orang Samaria yang belum menerima Roh Kudus (ay. 14-17). Kedua, kisah tentang upaya Simon untuk membeli kuasa pencurahan Roh Kudus (ay. 18-25).

1.1. Petrus menumpangkan tangannya atas orang-orang Samaria

Para rasul di Yerusalem mendengar informasi bahwa orang Samaria telah menerima firman Allah. Ungkapan “menerima firman Allah” mungkin berarti bahwa mereka telah menjadi pengikut jalan Tuhan. Mereka menjadi pengikut jalan Tuhan berkat pewartaan Filipus yang bukan salah seorang rasul (Kis. 1:3), tetapi salah seorang dari tujuh diakon (6:5).

Filipus mewartakan Mesias kepada orang-orang Samaria (Kis. 8:5-13). Perwartaannya ini membangkitkan daya tarik para pendengarnya. Mereka tertarik karena pengharapan akan kedatangan seorang pembebas pada masa yang akan datang merupakan bagian dari teologi mereka (Yoh. 4:25). Daya tarik mereka dibangkitkan juga oleh apa yang mereka lihat. Mereka melihat tanda-tanda ajaib yang dilakukan oleh Filipus. Seperti Petrus (Kis. 5:16), Filipus mengusir roh-roh jahat, menyembuhkan orang lumpuh dan timpang di Samaria.

Dampak pewartaan Filipus yang disertai tanda-tanda ajaib adalah banyak orang memperhatikan apa yang diwartakannya dengan sepenuh hati. Mereka percaya pada pewartaan injilnya tentang kerajaan Allah dan nama Yesus. Mereka lalu memberi diri mereka untuk dibaptis, baik laki-laki maupun perempuan. Simon yang sejak lama telah melakukan sihir sekalipun menjadi percaya dan dibaptis. Ia takjub ketika melihat tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat besar yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Filipus ia senantiasa bersama-sama dengan Filipus setelah dirinya dibaptis.

Menanggapi informasi bahwa orang Samaria telah menerima firman Allah, para rasul di Yerusalem mengutus Petrus dan Yohanes untuk mengamati peristiwa pertobatan tersebut. Tanggapan serupa diberikan ketika mereka mendengar informasi keberhasilan pewartaan injil di antara orang Yunani di Antiokhia (Kis. 11:20). Mereka mendengar bahwa ada sejumlah besar orang menjadi percaya dan berbalik kepada Tuhan berkat perwartaan yang dilakukan oleh beberapa murid yang tidak disebutkan namanya. Maka, para rasul mengutus Barnabas untuk mengamati dan mengevaluasi peristiwa tersebut (Kis. 11:22).

Tanggapan para rasul di Yerusalem dengan mengirim utusan di atas barangkali mau menegaskan peran kepemimpinan dan pengawasan mereka. Sebagai pemimpin dan pengawasan, para rasul kadang-kadang didatangi oleh jemaat untuk melaporkan dan mendapatkan persetujuan atas pewartaan dan pengajaran (Kis. 9:27; 11:2; 15:2). Para rasul kadang-kadang juga mengirim utusan untuk menyelidiki pewartaan para murid di luar Yerusalem (8:14; 11:22-24). Mengirim utusan mungkin harus dipandang sebagai suatu cara lain untuk mengatakan bahwa para rasul memiliki peran untuk memberi pembenaran dan pengesahan bagi perkembangan dan perluasan misi pewartaan di tempat yang baru.

Ketika tiba di Samaria, Petrus dan Yohanes berdoa supaya orang Samaria beroleh Roh Kudus. Mereka menyadari bahwa karunia Roh Kudus hanya datang dari Allah. Karunia Roh Kudus dijanjikan oleh Allah bagi orang yang memintanya dalam doa (Luk. 11:13). Yesus sendiri menerima Roh Kudus ketika sedang berdoa (Luk. 3:21-22), para rasul menantikan Roh Kudus dalam doa (Kis. 1:14), dan para murid dipenuhi oleh Roh Kudus sebagai jawaban atas doa mereka (Kis. 4:31). Sambil berdoa, mereka menumpangkan tangan atas orang Samaria. Penumpangan tangan di sini dilihat sebagai sebuah gerakan liturgis yang dimaksudkan untuk memohon karunia Roh Kudus dan pada saat yang sama mencurahkannya kepada orang-orang Samaria yang telah percaya pada pewartaan Filipus dan dibaptis dalam nama Yesus.

Penumpangan tangan sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan pencurahan Roh Kudus, tetapi juga dengan pelayanan dan kegiatan misi kerasulan khusus. Ketika mengangkat tujuh orang untuk suatu tugas pelayanan khusus kepada orang kristiani yang berbicara bahasa Yunani di Yerusalem, para rasul berdoa dan menumpangkan tangan (Kis 6:6). Di sini penumpangan tangan mungkin memiliki dua makna. Pertama, suatu bentuk sikap doa untuk mohon karunia dan rahmat khusus supaya bisa melayani komunitas dengan baik. Kedua, suatu tanda persekutuan antara para rasul dengan tujuh orang yang dipilih secara khusus untuk melakukan tugas dan tanggung jawab bagi kesejahteraan komunitas kristiani. Dengan menumpangkan tangan, para rasul mau membawa orang-orang yang baru saja terpilih ke dalam relasi persekutuan yang istimewa dengan mereka dan memberi mereka suatu bagian pelayanan pastoral bagi kawanan umat Kristus.

Penumpangan tangan juga terjadi ketika Roh Kudus meminta gereja Antiokhia untuk mengkhususkan Barnabas dan Saulus bagi tugas misi kerasulan yang akan ditentukan-Nya (Kis 13:2-3). Menanggapi permintaan ini jemaat Antiokhia berdoa dan berpuasa. Mereka lalu menumpang tangan di atas kepala Barnabas dan Saulus. Penumpangan tangan ini tidak boleh dilihat secara anakronistik sebagai suatu bentuk tahbisan, tetapi sebagai suatu pengangkatan dan pengutusan untuk menjalankan karya misi pewartaan yang khusus. Semua jemaat Antiokhia terlibat dalam pengutusan Barnabas dan Saulus. Karena telah diangkat dan diutus oleh gereja Antiokhia, maka mereka disebut “rasul” yakni utusan resmi yang mewakili gereja Antiokhia untuk suatu misi yang khusus (Kis. 14:4, 14).

Mengapa Petrus dan Yohanes berdoa dan menumpangkan tangan atas orang Samaria supaya mereka menerima Roh Kudus? “Sebab Roh Kudus belum turun di atas seorang pun di antara mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus” (ay. 16). Alasan ini tampaknya aneh karena baptisan dalam nama Yesus biasanya disertai dengan penerimaan Roh Kudus (Kis. 2:38). Kisah pertobatan orang Samaria memperlihatkan bahwa baptisan dalam nama Yesus tidak otomatis menerima Roh Kudus. Bagaimana kita bisa menjelaskan penundaan penerimaan Roh Kudus atas orang Samaria meski mereka telah dibaptis dalam nama Yesus?
Shepherd menjelaskan penundaan penerimaan Roh Kudus dari sudut pandang inkonsistensi Lukas dalam menggambarkan hubungan antara baptisan, penumpangan tangan, dan penerimaan Roh Kudus. Inkonsistensi ini memperlihatkan bahwa cara kerja Roh Kudus tidak bisa dirumuskan dalam suatu pola kerja tertentu. Roh Kudus memiliki pola kerjanya sendiri dan bertindak secara bebas tanpa terpaku dalam satu pola yang bisa dijelaskan secara logis. Pola kerja dan tindakan Roh Kudus itu amat kompleks sehingga tidak bisa dirumuskan secara jelas dan tegas.

Penjelasan Shepherd di atas terkait erat dengan pandangan Talbert yang mengatakan bahwa tidak ada rangkaian prosedural yang baku untuk menerima karunia Roh Kudus. Pandangan ini ditarik dari sejumlah kisah penerimaan karunia Roh Kudus. Dalam Kis. 2:38, karunia Roh diterima secara bersamaan pada waktu baptisan dalam nama Yesus. Hal ini berbeda dengan kisah baptisan orang Samaria (Kis. 8:15-17). Roh Kudus tidak langsung diterima pada waktu baptisan. Roh Kudus baru diterima setelah Petrus dan Yohanes menumpangkan tangan. Di tempat lain, Roh Kudus diterima oleh Paulus pada saat Ananias menumpangkan tangan atasnya sebelum dibaptis dalam nama Yesus (Kis. 9:17-18). Orang-orang yang mendengarkan pewartaan Petrus di rumah Kornelius juga menerima Roh Kudus sebelum mereka dibaptis dalam nama Yesus (Kis. 10:44-48). Dari kisah-kisah terlihat jelas bahwa karunia Roh Kudus tidak dapat dibingkai dan dirumuskan dalam rangkaian prosedur tertentu.

Berbeda dengan kedua penjelasan di atas, Tannehill menjelaskan penundaan pencurahan Roh Kudus dari sudut pandang hubungan timbal balik antara Filipus sebagai pemrakarsa (initiator) dan Petrus sebagai penguji kebenaran (verifier) kegiatan misi kerasulan. Hubungan timbal balik ini memperlihatkan adanya jalinan kerja sama dalam kegiatan misi kerasulan antara Filipus sebagai pemrakarsa dan Petrus sebagai penguji kebenaran kegiatan misi kerasulan.

Hubungan timbal balik antara Filipus dan Petrus itu dijelaskan secara lebih lanjut oleh Spenser dengan model relasi antara seorang yang mempersiapkan jalan (forerunner) dengan seorang yang akan datang lebih kemudian (culminator). Model relasi ini mungkin mengadopsi relasi Yohanes Pembaptis dengan Yesus. Yohanes Pembaptis adalah seorang yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Yesus dengan mewartakan dan membaptis orang yang bertobat dengan baptisan air. Yesus yang datang lebih kemudian akan membaptis mereka dengan baptisan Roh Kudus.

Dalam model relasi Yohanes Pembaptis dan Yesus, Filipus dilihat sebagai seorang yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Petrus dengan mewartakan injil dan membaptis orang Samaria yang percaya dengan baptisan air. Petrus yang datang lebih kemudian akan berdoa dan menumpangkan tangan untuk mencurahkan Roh Kudus kepada mereka yang telah dibaptis. Pola relasi ini lebih menekankan hubungan timbal balik yang seimbang daripada hubungan subordinasi sebab Filipus dan Petrus menjalankan misi kerasulan yang berbeda-beda. Maka, tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa penumpangan tangan untuk mencurahkan Roh Kudus yang dilakukan oleh Petrus lebih penting daripada pewartaan dan baptisan yang dilakukan oleh Filipus.

Dari beberapa penjelasan di atas kita bisa simpulkan bahwa tidak ada tahap baku yang harus dilalui sebelum menerima Roh Kudus. Penundaan penerimaan Roh Kudus yang dialami oleh orang Samaria bukan karena Filipus lupa menumpangkan tangannya atas mereka. Penumpangan tangan bukanlah syarat mutlak untuk menerima karunia Roh Kudus (Kis. 2:38). Kuasa untuk mencurahkan Roh Kudus itu juga bukanlah monopoli para rasul. Ananias yang bukan seorang rasul menumpangkan tangannya atas Paulus sehingga bisa melihat lagi dan dipenuhi dengan Roh Kudus (Kis. 9:17). Peran penting Filipus dalam mewartakan injil dan membaptis orang Samaria yang percaya pada pewartaannya sama sekali tidak berkurang karena tidak menumpangkan tangan untuk mencurahkan Roh Kudus.

1.2. Tanggapan Petrus atas permintaan Simon

Simon, seorang yang memiliki kekuatan dan kuasa sihir, telah bertobat dan memberikan dirinya untuk dibaptis. Ia telah percaya, dibaptis, dan membaktikan dirinya secara lebih dekat dengan Filipus. Pewartaan dan tanda-tanda yang dilakukan Filipus telah membuatnya bertobat dari masa lalunya. Namun, apakah Simon sungguh-sungguh telah bertobat?

Melihat Petrus dan Yohanes menumpangkan tangan untuk mencurahkan Roh Kudus kepada orang-orang Samaria yang telah percaya dan dibaptis, Simon meminta kepada Petrus kuasa untuk mencurahkan Roh Kudus dengan menumpangkan tangannya. Simon tidak meminta karunia Roh Kudus, tetapi kuasa untuk mencurahkan Roh Kudus kepada orang lain. Untuk mendapatkan kuasa itu ia menawarkan uang.

Mengapa Simon menawarkan sejumlah uang untuk mendapatkan kuasa untuk mencurahkan Roh Kudus? Alasan karena ia berpikir bahwa Roh Kudus dapat dibeli dengan uang. Pola pikir ini terlihat jelas dalam tanggapan Petrus, “engkau menyangka, bahwa engkau dapat membeli karunia Allah dengan uang” (ay. 20). Pola pikir ini masih mencerminkan pola pikirnya sebagai seorang tukang sihir yang biasanya meminta bayaran atas jasa kekuatan sihirnya. Di sini ia mungkin bercita-cita untuk menjadi seorang tukang sihir kristiani melalui kuasa untuk mencurahkan Roh Kudus kepada orang lain.

Pola pikir Simon di atas mendatangkan teguran keras dan kutukan dari Petrus, “Binasalah kiranya uangmu itu bersama dengan engkau!” (ay. 20). Teguran keras ini menunjukkan bahwa Roh Kudus tidak dapat dibeli dengan uang. Uang sebagai salah satu simbol kekuasaan manusiawi tidak bisa mengontrol kekuasaan untuk mencurahkan Roh Kudus. Allah sendirilah yang mengontrol karunia Roh Kudus. Para rasul sekalipun tidak memiliki kuasa untuk mengontrol Roh Kudus. Dengan berdoa mohon pencurahan Roh Kudus, mereka mengakui bahwa mereka sendiri tidak bisa mencurahkan Roh Kudus dengan kekuatan dan kuasa mereka sendiri. Mereka hanya dapat meminta Allah untuk memberikan Roh Kudus-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Roh Kudus diberikan secara bebas dan cuma-cuma kepada orang yang berkenan kepada-Nya.

Teguran keras Petrus disertai dengan sebuah dakwaan kepada Simon. “Tidak ada bagian atau hakmu dalam perkara ini, sebab hatimu tidak lurus di hadapan Allah” (ay. 21). Simon tidak bisa mengambil bagian dalam tugas kerasulan seperti yang dipercayakan kepada para rasul. Ia juga tidak bisa berpartisipasi dalam tawaran keselamatan yang dijanjikan kepada semua orang meski telah beriman dan dibaptis sebagai seorang kristiani. Dakwaan ini sejajar dengan dakwaan yang diberikan kepada Yudas Iskariot yang telah berkhianat (Kis 1:17). Faktor keuangan ada dibalik kehilangan statusnya sebagai orang rasul dan tugas pelayanannya bersama dengan para rasul.

Simon kemudian diminta untuk bertobat dan berdoa kepada Tuhan sebab hatinya telah seperti “empedu yang pahit dan terjerat dalam kejahatan” (ay. 23). Baik ungkapan “seperti empedu yang pahit” maupun “terjerat kejahatan” dipakai untuk memperlihatkan bahwa hati Simon berada di bawah pengaruh kuasa Setan. Pertobatan adalah satu-satu jalan yang harus dilakukan supaya terlepas dari pengaruh kuasa setan dan dosanya diampuni. Di sini pertobatan dengan jelas mengacu pada suatu perubahan cara berpikir dan bertindak berkaitan dengan penggunaan uang yang benar.

Tawaran pertobatan di atas ditanggapi oleh Simon dengan meminta Petrus dan Yohanes berdoa bagi dirinya supaya bebas dari semua dakwaan. Permintaan ini memperlihatkan bahwa Simon menolak untuk bertindak demi kepentingannya sendiri. Simon meletakkan tanggung jawab untuk menyelamatkan jiwanya kepada Petrus dan Yohanes. Simon ingin bebas dari hukuman atas dosa yang telah dilakukannya, tetapi tidak mau bertanggung jawab bagi pertobatannya sendiri.

Akhir perikop ini menyisakan sebuah masalah yang tidak terpecahkan karena tidak menceritakan tanggapan Petrus atas permintaan Simon. Perikop ini berakhir dengan sebuah catatan tentang bagaimana para rasul sendiri bersaksi dan mewartakan injil di desa-desa di Samaria pada waktu mereka pulang ke Yerusalem. Kegiatan misi kerasulan kepada orang-orang Samaria yang telah dimulai oleh Filipus diteruskan oleh para pemimpin gereja di Yerusalem. Catatan akhir ini menegaskan bahwa para rasul mengambil bagian dalam memperluas misi kerasulan kepada orang-orang Samaria. Dengan berbuat demikian, mereka telah memenuhi tugas yang diberikan oleh Yesus Kristus yang bangkit (Kis. 1:8).

2. Perjalanan misi Petrus ke Lida dan Yope (Kis. 9:32-43)

Perjalanan misi Petrus ke Lida dan Yope mengindikasikan bahwa secara geografis injil telah diwartakan di Yerusalem, Yudea, dan Samaria sehingga injil berada di ambang pintu keluar menuju ke “ujung bumi” (Kis. 1:8). Maka, perjalanan Petrus ke daerah pesisir pantai ini dilihat sebagai sebuah persiapan bagi perjalanan dan kegiatan misi kepada seorang yang bukan Yahudi, Kornelius, seorang perwira pasukan, di Kaisarea.

Lukas mempersiapkan kisah pertobatan Kornelius dengan menceritakan dua kisah mukjizat Petrus, yakni penyembuhan Eneas di Lida (Kis. 9:32-35) dan kebangkitan Tabita di Yope (Kis. 9:36-42). Kedua kisah mukjizat ini menggemakan peristiwa yang pernah dilakukan oleh Yesus (Kis. 9:32-35//Luk. 5:18-26; Kis. 9:36-42//Luk 8:40-56). Dengan demikian, kuasa penyembuhan Yesus hadir secara berkesinambungan dalam diri para rasul.

2.1. Penyembuhan Eneas di Lida (Kis. 9: 32-35)

Kisah penyembuhan Eneas dibuka dengan pernyataan bahwa “Petrus berjalan keliling, mengadakan kunjungan ke mana-mana” (ay. 32). Perjalanan keliling itu dapat dilihat baik sebagai perjalanan misi maupun penyelidikan atas kehidupan gereja yang telah dibangun oleh orang lain. Dalam perjalanan keliling itu Petrus singgah kepada orang-orang kudus di Lida, sebuah kota di Yudea (1Mak. 11:34), yang terletak di antara Yerusalem dan Yope. Ungkapan “orang-orang kudus” mengisyaratkan bahwa sudah ada umat kristiani di Lida karena umat kristiani sering disebut sebagai orang-orang kudus dalam berbagai kesempatan (Kis. 9:13, 32, 4217, 20:32; 26:10).

Siapa yang mewartakan injil di Lida? Meski perikop ini tidak memberitahukan siapa yang melakukan misi kerasulan di sana, namun ada yang berasumsi bahwa gereja di sana muncul sebagai hasil dari misi kerasulan Filipus. Asumsi itu masuk akal karena kita telah diinformasikan bahwa Filipus meneruskan perjalanannya ke daerah-daerah pesisir dari Asdod sampai ke Kaisarea sambil mewartakan injil di semua kota yang dilaluinya (Kis. 8:40).

Di antara umat kristiani di Lida, Petrus bertemu dengan Eneas yang telah delapan tahun terbaring di tempat tidur karena lumpuh. Memberitahukan lamanya waktu sakit barangkali mau menunjukkan bahwa Eneas sakit serius dan penyembuhan tampaknya tidaklah mudah. Walau tidak mudah, Petrus ternyata bisa menyembuhkannya dengan mudah. Mukjizat penyembuhan itu terjadi pada waktu ia berkata, “Eneas, Yesus Kristus menyembuhkan engkau” (ay. 34). Kata-kata ini diikuti dengan sebuah perintah, “bangunlah dan bereskanlah tempat tidurmu!” (ay. 34). Perintah ini menekankan bahwa penyembuhan benar-benar telah terjadi.

Mukjizat penyembuhan Eneas berdampak luas. Semua penduduk Lida dan Saron berbalik kepada Tuhan. Lukas sering menggunakan istilah “berbalik” untuk mengacu pada pertobatan orang Yahudi (Kis. 3:19; 9:35; 26:20; bdk. 2Kor. 3:16) dan bukan Yahudi (Kis. 11:21; 14:15; 15:19; 26:18, 20; bdk. 1Tes 1:19). Klaim bahwa “semua penduduk” berbalik kepada Tuhan mungkin perlu dilihat sebagai sebuah gaya bahasa hiperbola atas fakta bahwa ada banyak orang yang bertobat di antara penduduk Lida dan Saron. Banyaknya orang yang bertobat itu bukan karena mereka menyaksikan sendiri peristiwa mukjizat melainkan karena mereka melihat Eneas telah sembuh dan berpartisipasi kehidupan bermasyarakat. Diandaikan bahwa mukjizat penyembuhan Eneas tidak disaksikan oleh orang banyak tetapi hanya oleh sebagian kecil anggota komunitas kristiani di Lida.

2.2. Kebangkitan Tabita (Kis. 9: 36-42)

Selain di Lida, orang kristiani sudah ada di Yope. Kota Yope disebutkan secara berulang-ulang kali dalam Kisah Para Rasul (9:36, 38, 42, 43, 10:5, 8, 23, 32; 11:5, 13). Sebutan berulang-ulang itu dimaksudkan untuk menekankan pentingnya kota tersebut. Kota itu penting mungkin karena penduduknya didominasi oleh orang-orang bukan yang Yahudi. Dengan demikian, kisah ini dipersiapkan Lukas untuk membaca kisah perjumpaan Petrus dengan Kornelius yang bukan seorang Yahudi di Kaisarea (Kis. 10:1-11:18).

Salah seorang murid yang disebutkan secara khusus di Yope adalah seorang perempuan yang bernama Tabitha. Tabita digambarkan sebagai seorang murid yang mengabdikan hidupnya pada karya kebaikan dan kasih dengan memberi sedekah. Ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Jenazahnya lalu dimandikan dan ditempatkan di ruang atas.

Menempatkan jenazahnya di ruang atas merupakan tindakan yang tidak lazim dalam tradisi Yahudi. Jenazah yang telah dimandikan biasanya diletakkan di tempat yang lebih umum di dalam rumah atau di luar rumah. Tindakan yang tidak lazim ini mungkin perlu dilihat dari sudut pandang Lukas tentang ruang atas sebagai tempat untuk berdoa (Luk. 22:12; 1:13-14; Kis. 10:9). Ruang atas dilihat sebagai sebuah tempat yang biasa dipakai oleh orang-orang kristiani untuk berkumpul dan berdoa.

Pada saat Tabitha meninggal, para murid lain mendengar bahwa Petrus berada di Lida. Para murid itu mengirim dua orang utusan untuk mengundangnya agar segera datang. Tekanan pada aspek waktu yang tidak boleh ditunda-tunda (ay. 38) mungkin terkait dengan praktek penguburan orang Yahudi yang dilangsungkan pada hari yang sama dengan hari kematian seseorang (Ul. 21:23). Undangan ini mengisyaratkan adanya sebuah pengakuan secara tidak langsung bahwa Petrus dianugerahi kemampuan untuk membangkitkan orang mati.

Petrus lalu datang bersama dengan dua orang utusan dan dibawa ke ruang atas tempat jenazah Tabitha dibaringkan. Ruangan tempat jenazah Tabitha dibaringkan itu dipenuhi oleh para pelayat yang secara khusus disebutkan para janda. Para janda itu menunjukkan kepada Petrus pakaian yang dibuat oleh Tabitha. Memperlihatkan baju sebagai barang bukti merupakan sesuatu yang umum dalam Kitab Suci. Saudara Yusuf membawa pakaian Yusuf yang ternoda darah kepada Yakub sebagai bukti kematiannya (Kej. 37:31-33); Istri Potifar memperlihatkan kepada suaminya mantel Yusuf sebagai barang bukti bahwa ia telah bersetubuh dengannya (Kej. 39:11-20). Dengan memperlihatkan pakaian yang dibuat oleh Tabitha, para janda mungkin mau menunjukkan bukti perbuatan baik yang telah dilakukannya kepada mereka.

Ketika sampai di ruang atas, tempat jenazah Tabita dibaringkan, Petrus meminta semua orang yang melayatnya untuk meninggalkan ruangan (bdk. Mrk. 5:40, Luk. 8:54). Permintaan ini mungkin dimaksudkan supaya ia bisa berdoa seorang diri. Dengan berdoa, ia memperlihatkan bahwa kebangkitan Tabitha terjadi tidak terjadi karena kekuatan dan kuasanya tetapi karena kekuatan dan kuasa Allah. Setelah berdoa Petrus lalu memanggil nama perempuan yang sudah meninggal tersebut, “Tabita, bangkitlah!” (ay. 40). Panggilan dan perintah ini ditanggapinya dengan membuka mata dan duduk. Petrus lalu memegang tangannya untuk membantunya berdiri. Membuka mata, duduk, dan berdiri adalah tanda-tanda yang jelas bahwa Tabitha hidup lagi.

Dampak mukjizat kebangkitan Tabita sama seperti mukjizat penyembuhan Eneas. Menyaksikan dan mendengar kisah kebangkitan Tabita, banyak orang menjadi percaya kepada Tuhan (ay. 42). Mukjizat kebangkitan Tabitha telah membawa banyak orang percaya kepada Tuhan. Banyaknya orang yang percaya kepada Tuhan ini secara implisit mengungkapkan pengakuan bahwa kekuatan dan kuasa yang bekerja melalui Petrus tidak berasal dari dirinya sendiri, tetapi berasal dari Yesus Kristus.

Kisah mukjizat kebangkitan Tabitha diakhiri dengan informasi bahwa Petrus tinggal di Yope selama beberapa hari di rumah seorang Yahudi yang bernama Simon, penyamak kulit. Profesi sebagai penyamak kulit dianggap najis karena berhubungan dengan darah dan bangkai binatang (Im. 11:39-40). Informasi ini mungkin dimaksudkan sebagai antisipasi untuk kisah selanjutnya (Kis. 10:6, 17).

Ekskursus: Pertobatan Sida-sida Etiopia (Kis. 8:26-40)

Di sini kita tidak akan membicarakan secara detail kisah pertobatan Sida-sida Etiopia. Fokus perhatian hanya diberikan pada status religiusnya karena Lukas tidak menginformasikannya secara jelasnya. Fokus ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi siapakah orang pertama dari orang yang berlatar belakang bukan Yahudi yang bertobat menjadi pengikut jalan Tuhan dan siapakah orang pertama yang membuka jalan misi kerasulan kepada orang-orang yang bukan Yahudi.

Kisah pertobatan sida-sida Etiopia telah memunculkan diskusi di antara para ahli tafsir. Ada sebagian ahli tafsir melihat Filipus sebagai perintis jalan misi kerasulan kepada orang-orang yang tidak bersunat karena sida-sida Etiopia dianggap sebagai seorang bukan Yahudi pertama yang bertobat menjadi pengikut jalan Tuhan. Sida-sida memang tidak diakui sebagai proselit Yahudi (Ul. 23:1) dan karena itu Lukas mungkin menganggapnya sebagai seorang bukan Yahudi. Namun, sebagian ahli tafsir lain menganggap sida-sida Etiopia sebagai seorang Yahudi diaspora dan karena itu Filipus bukanlah perintis misi kerasulan kepada orang-orang yang berlatar belakang bukan Yahudi.

Dari kedua pandangan di atas saya melihat pandangan yang terakhir lebih masuk akal. Gambaran bahwa sida-sida Etiopia sedang dalam perjalanan pulang dari Yerusalem dan duduk dalam keretanya sambil membaca kitab Yesaya mengisyaratkan status religiusnya sebagai seorang proselit atau seorang Yahudi diaspora. Isyarat itu diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa Filipus tampaknya tidak sulit menjelaskan injil tentang Yesus Kristus kepadanya dengan bertolak dari perikop yang sedang dibacanya. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa latar belakang religiusnya sebagai seorang Yahudi diaspora telah cukup mempersiapkannya untuk memahami pewartaan injil Filipus.

Pola kisah penyebaran injil dari Yerusalem kepada orang-orang yang tidak bersunat sebagaimana digambarkan oleh Lukas memperlihatkan suatu kemungkinan yang sangat besar bahwa sida-sida Etiopia ditempatkan sebagai seorang proselit atau seorang Yahudi diaspora. Penyebaran injil itu mula-mula bergerak di antara orang Yahudi lalu diteruskan kepada orang-orang Samaria, para proselit (sida-sida Etiopia), orang-orang yang tidak bersunat yang takut akan Tuhan (Kornelius), dan akhirnya kepada orang-orang yang tidak bersunat (Antiokhia). Dari pola ini terlihat bahwa kisah pertobatan sida-sida Etiopia digunakan oleh Lukas untuk mengarahkan pembacanya secara lebih dekat pada misi kerasulan kepada orang-orang yang tidak bersunat. Pertobatan sida-sida Etiopia dianggap sebagai pengantar bagi pertobatan seorang bukan Yahudi yang bernama Kornelius.

Rangkuman

Melintasi batas-batas religius dan budaya merupakan suatu aspek penting dalam memulai misi kerasulan di daerah atau lingkungan yang baru. Langkah awal Petrus melintasi batas religius dan budaya terjadi ketika ia diutus bersama dengan Yohanes oleh gereja Yerusalem ke Samaria. Langkah awal ini mempersiapkannya untuk mewartakan injil kepada orang-orang yang bukan Yahudi.

Petrus bersama dengan Yohanes diutus ke Samaria sebagai representasi dari para rasul di Yerusalem. Kehadiran mereka melengkapi kegiatan misi pewartaan yang telah dimulai oleh Filipus dengan berdoa dan menumpangkan tangan untuk mencurahkan Roh Kudus. Melalui doa dan penumpangan tangan mereka, Allah mencurahkan Roh Kudus kepada orang-orang Samaria sama seperti yang dicurahkan kepada para rasul dan para murid di Yerusalem. Di sini, Filipus dan kedua rasul yang diutus oleh para rasul di Yerusalem, yakni Petrus dan Yohanes, tampil sebagai rekan kerja yang saling melengkapi dalam tugas mewartakan injil.

Karya misi kerasulan Petrus di luar Yerusalem dilukiskan secara lebih lanjut dalam perjalanan misi kerasulannya di daerah pesisir pantai seperti Lida dan Yope yang didominasi oleh orang-orang yang bukan Yahudi. Di sini, Petrus melakukan dua karya mukjizat yang membawa banyak orang menjadi percaya kepada Tuhan dan dibaptis dalam nama Yesus.

1. Ungkapan “kecuali rasul-rasul” itu memunculkan diskusi di antara para ahli tafsir modern tentang siapa yang menjadi target utama penganiayaan? Penganiayaan itu tampaknya tidak diarahkan kepada semua pengikut jalan Tuhan, tetapi diarahkan secara selektif kepada orang kristiani yang berasal dari latar belakang Yunani. Mereka dianiaya karena mengkritik hukum Taurat dan bait Allah sebagaimana disampaikan oleh Stefanus (Kis 6:8-8:1a). Stefanus mengkritik pandangan yang menganggap bait Allah sebagai satu-satunya tempat kehadiran Allah. Bagi Stefanus, kehadiran Allah dalam sejarah bangsa Israel tidak terbatas pada satu tempat dan bangunan tertentu. Kritikan ini akhirnya melahirkan permusuhan dan penganiayaan yang tidak lagi bersifat selektif, tetapi menyeluruh kepada semua pengikut jalan Tuhan, baik jemaat maupun pemimpinnya yang dalam hal ini adalah para rasul (Kis. 9:26-30). Imam Besar memberi kuasa bagi Paulus untuk menganiaya semua pengikut jalan Tuhan (Kis 9:1-2). Bdk. Martin Hengel, Earliest Christianity: Containing Acts and the History of Earliest Christianity and Property and Riches in the Early Church (London: SCM Press, 1979), 75.

2. Andrew C. Clark, “The Role of the Apostles,” in Witness to the Gospel: the Theology of Acts (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), 176.

3. Sullivan, “The Laying on of Hands in Christian Tradition” dalam Spirit and Renewal: Essays in Honor of J. Rodman Williams (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1994), 45.

4. William H. Shepherd, The Narrative Function of the Holy Spirit as a Character in Luke-Acts (Atlanta: Scholars Press, 1994), 183-184.

5. Robert C. Tannehill, The Narrative Unity of Luke-Acts: A Literary Interpretation, vol. 2 (Minneapolis: Fortress Press, 1990), 104-105.

6. F. Scott Spencer, The Portrait of Philip in Acts: a Study of Roles and Relations (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1992), 241.

Tidak ada komentar: