Senin, Mei 10, 2010

Mazmur 22

IN MEMORIAM: YESUS
Jarot Hadianto

Di ketinggian Ia tergantung. Tangan dan kaki-Nya dipaku, kepala-Nya berhiaskan mahkota duri, dan darah tercurah keluar dari segala penjuru tubuh-Nya. Dialah Yesus, orang benar yang oleh pengadilan sesat dihakimi sebagai pemberontak, bahkan penghujat Allah. Hukuman mati dijatuhkan pada-Nya, dan betapa puasnya mereka ketika melihat Dia akhirnya menyambut maut dengan cara yang sangat-sangat hina.

Di sisi lain, Yesus yang tergantung di kayu salib tengah bergulat antara hidup dan mati. Luka di sekujur tubuh-Nya menimbulkan sakit yang tak terkatakan lagi. Sayang, bagi-Nya tak ada pertolongan, tak ada bantuan. Ia harus berjuang sendiri melawan maut. Di puncak penderitaan-Nya, tiba-tiba saja Ia berseru dengan suara nyaring, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46; Mrk. 15:34).

Setiap Jumat Agung, seruan itu senantiasa bergema, dan kita pun terharu mendengarnya. Tanpa sadar, kita menjadi saksi kematian orang yang tak bersalah, dan Dia adalah Putra Allah sendiri! Berjuta pertanyaan tiba-tiba muncul dan berkecamuk dalam benak kita: Mengapa orang benar harus mati sedemikian hina? Mengapa Allah diam saja? Mengapa Ia tega membiarkan Yesus menderita? Mengenai seruan Yesus, benarkah Ia sampai merasa ditinggalkan Allah? Apakah Dia tidak percaya lagi pada kebaikan Allah, Bapa-Nya?


Aku berseru, Engkau tetap jauh

Mzm. 22 dapat menuntun kita menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Perhatian, mazmur ini sangat hebat! Banyak orang memuji untaian syairnya yang indah luar biasa. Mazmur ini juga dinilai efektif dalam mengungkapkan isi hati orang yang sengsara, sampai-sampai Yesus yang tengah menderita di kayu salib pun terinspirasi olehnya. Coba kita simak bagian awal mazmur ini:

“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang” (Mzm. 22:2-3).

Pemazmur agaknya seorang beriman yang sedang dirundung malang. Mungkin ia sedang menderita sakit yang berat, sedang meringkuk dalam gelapnya penjara, atau mungkin juga ia sedang menghadapi dakwaan meski sebenarnya tak ada sedikit pun kesalahan padanya. Yang jelas, ia berada dalam situasi terjepit, dan kepada siapa lagi ia dapat minta tolong, selain kepada Allah yang ia percaya. Sayang, harapan itu bertepuk sebelah tangan, pertolongan yang dinanti tak kunjung datang.

Penderitaan Pemazmur menghebat. Ia menjerit semakin keras, “Allahku, Allahku!” Sampai dua kali ia menyebut Allah, itu artinya keadaannya semakin kritis. Dan apa jawaban Allah? Ia tetap saja tidak bereaksi apa-apa. Hal itu membuat Pemazmur merasa kecewa. Mengapa, mengapa Allah berpaling darinya? Bukankah selama ini ia selalu melakukan kebenaran? Ia sungguh tidak mengerti. Kepada Allah, sebenarnya tak banyak yang ia minta, sekadar kesediaan untuk mendengar keluh kesahnya, juga pertolongan pada saat-saat yang genting itu. Tapi anehnya, terhadap permohonan yang sedikit itu pun Allah tidak peduli!

Yang paling membuat Pemazmur gelisah dan tersiksa ternyata bukan penderitaan hebat yang tengah ditanggungnya, melainkan sikap Allah yang diam. Mengapa tak ada jawaban dari-Nya, padahal ia sudah berseru-seru sepanjang hari? Apakah Allah telah menolaknya, membuangnya, dan meninggalkannya secara total? Batin Pemazmur menjadi bimbang. Ia terombang-ambing antara percaya pada kebaikan Allah dengan kenyataan bahwa ia dibiarkan sendiri.


Kepada-Mu aku diserahkan sejak lahir

Dari lubuk hatinya yang paling dalam, Pemazmur didera rasa kecewa yang teramat sangat. Allah yang kudus tidak tergerak melihat penderitaannya. Lukanya makin dalam kalau ingat bahwa selama ini ia selalu menaati kehendak Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Jadi, kurang apa lagi? Dalam kondisi saat itu, ia merasa martabatnya sebagai manusia hilang musnah: “Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dihina oleh orang banyak” (Mzm. 22:7). Ia memang mesti menanggung penghinaan besar. Orang yang melihat dia beramai-ramai melontarkan ejekan. Mereka mengatakan, imannya kepada Tuhan itu tidak berguna!

“Ia menyerah kepada TUHAN; biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?” (Mzm. 22:9).

Namun, penderitaan yang hebat, Allah yang membisu, dan juga ejekan banyak orang tidak membuat Pemazmur lalu memutuskan hubungannya dengan Allah. Dengarlah, ia mengawali ratapannya ini dengan tetap menyebut Allah sebagai “Allah-ku” (22:2). Artinya, ia tidak berpaling dari-Nya. Sekalipun Allah saat itu tidak turun tangan untuk menolong dia, dia tetap beriman kepada-Nya.

“Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku. Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku” (Mzm. 22:10-11).

Iman macam apa yang dimiliki seseorang yang hidupnya baik-baik saja? Bukankah iman sejati lahir di tengah-tengah penderitaan? Bukankah emas dan perak harus dibakar terlebih dahulu di tungku api agar menjadi murni? Dengan kesadaran itu, Pemazmur mendapat semangat, kekuatan, dan pengharapan yang baru. Ia ingat bahwa Allahlah yang memberinya kehidupan. Allah juga yang membuat dia dapat tumbuh dan berkembang. Sejak dia masih belia, Allah selalu melindunginya. Jadi, kenapa ia sekarang meragukan pertolongan-Nya? Tangan Tuhan kiranya tetap bekerja, mungkin dengan cara yang tidak ia ketahui. Pemazmur lalu berubah sikap, batinnya menjadi tenang. Kini ia melihat penderitaan sebagai ujian bagi keteguhan imannya. Dan, ia yakin bahwa imannya itu tak akan sia-sia.


Dia setia dalam iman … sampai mati

Di kemudian hari, ratapan sang Pemazmur menjadi doa, juga inspirasi bagi orang-orang yang dilanda derita, termasuk Yesus yang tengah bergulat dengan maut di keheningan kayu salib. Yesus tengah berada di puncak kehidupan-Nya, puncak karya-Nya, dan puncak ketaatan-Nya kepada Bapa. Lihatlah, ketaatan itu tidak mengantar Yesus pada kemuliaan duniawi, tapi malah menggiring-Nya pada salib di Bukit Golgota. Pahit! Tidak ada yang tahu perasaan apa yang berkecamuk dalam batin Yesus, namun sungguh wajarlah jika saat itu Ia pun mengalami pergulatan yang hebat. Dan, ketika ketakutan, kesendirian, dan rasa sakit sudah bercampur aduk menjadi satu, sampailah Yesus pada titik kritis: Ia merasa ditinggalkan Bapa.

Mungkin kita jadi terheran-heran: Mengapa Yesus sampai mengeluh? Mengapa Ia sampai merasa ditinggalkan Bapa? Saudara-saudari sekalian, izinkanlah Yesus mengeluh. Dia juga manusia yang bisa merasa marah (Mrk. 8:33), gentar (Mat. 26:38), sedih (Yoh. 11:33), bahkan menangis (Yoh. 11:35); apalagi mengeluh! Sikap tersebut sebenarnya di sini juga tidak terlalu aneh, mengingat dalam kisah sengsara, sisi kemanusiaan Yesus memang sangat ditekankan (bdk. Flp. 2:8). Namun mesti diingat, keluhan Yesus terinspirasi oleh Mzm. 22. Meski Ia hanya mengutip bagian awal, gagasan yang ingin disampaikan adalah keseluruhan mazmur tersebut. Itu berarti, meskipun Yesus merasa ditinggalkan Bapa, Ia tetap percaya teguh kepada-Nya, persis seperti yang dilakukan oleh sang Pemazmur.


Penutup

Penderitaan orang benar selalu menimbulkan keraguan akan kuasa dan kebaikan hati Allah. Mengapa Ia diam saja? Mengapa ia membiarkan orang baik binasa di tangan orang jahat? Peristiwa Yesus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, bahwa meskipun ada ketegangan antara iman dan kenyataan, Allah tidak pernah mengabaikan orang yang percaya kepada-Nya. Yesus memang akhirnya meninggal, tapi lihatlah, Allah “menindaklanjutinya” dengan kebangkitan. Karena itu, bagi orang beriman, kebangkitan Yesus menjadi bukti banyak hal: bukti perhatian Allah terhadap keluh kesah manusia, bukti kebenaran iman mereka, juga bukti bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya.

Dengan terang Mzm. 22, penderitaan Yesus dan kebangkitan-Nya menjadi titik pijak bagi siapa saja yang memegang teguh komitmen iman mereka. Situasi boleh memburuk, silakan saja malapetaka datang bertubi-tubi, tapi iman kita akan kebaikan hati Allah tak boleh goyah sedikit pun. Sebab, dengan cara yang misterius, yang kadang tidak kita mengerti, perlindungan-Nya akan senantiasa menjadi perisai kita. Akhir kata, in memoriam: Yesus, Putra Allah yang mati akibat kejahatan manusia; Ia telah mati, namun pada hari ketiga bangkit kembali.***


Kepustakaan

Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Harun, Martin. Berdoa Bersama Umat Tuhan: Berguru pada Kitab Mazmur. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Knight, G.A.F. Psalms Volume I: The Daily Study Bible. Edinburgh: The Saint Andrew Press, 1982.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sungguh luar biasa, walupun dalam penderitaan yang berat tapi Tuhan Yesus tetap taat. Ia tidak memakai kuasaNya untuk melepaskan dari dari salib. Semoga salib membuat saya tetap setia pada Allah.