Selasa, April 20, 2010

Senandung Mazmur

SEPERTI SEKAM DITIUP ANGIN
Jarot Hadianto

Anak-anak jalanan itu ada di samping saya ketika saya sedang menunggu kereta api di sebuah stasiun yang bukan main kumuhnya. Pakaian mereka semrawut, sepertinya mereka juga sudah seminggu tidak mandi, sebab dari tempat mereka berada terpancar aroma yang sungguh tidak sedap. Kelakuan anak-anak berusia belasan tahun itu membuat kening saya berkerut. Mereka – laki-laki dan perempuan – bercanda satu sama lain, kejar-kejaran, tarik-menarik baju, sambil tertawa-tawa dan saling mengumpat dengan menyebut seluruh isi kebun binatang. Andai saja waktu itu saya memakai earphone, pastilah kedua telinga ini selamat dari sumpah serapah berandal-berandal cilik itu. Saya pun memilih pergi menjauhi mereka.
Tapi menyalahkan mereka tampaknya tidak bijak. Menjadi anak jalanan bukanlah suatu pilihan bebas. Mereka berkeliaran di terminal, perempatan jalan, dan stasiun-stasiun kereta karena terpaksa, misalnya akibat situasi keluarga yang morat-marit. Anak-anak itu lebih pantas dilihat sebagai korban.
Mereka ditampilkan di sini bukan untuk dipersalahkan, tapi untuk menjadi ilustrasi konkret bahwa lingkungan memainkan peran penting dapat pembentukan pribadi seseorang. Lingkungan yang keras membuat anak-anak jalanan itu terbiasa berkata-kata kasar. Di tempat lain, bergaul dengan teman-teman yang biasa mengonsumsi narkoba membuat seorang remaja tergoda untuk melakukan hal yang sama. Nah, mulailah mewaspadai lingkungan di sekitar kita!

Pertentangan nasib
Pengaruh lingkungan sekitar terhadap perkembangan diri seseorang dengan jelas dimunculkan juga oleh Mzm. 1. Dengan indahnya, mazmur ini membuka rangkaian mazmur dalam kitab Mazmur. Begini bunyinya:

1 Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, 2 tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. 3 Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.
4 Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin. 5 Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar;
6 sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.

Sungguh menarik bahwa kitab Mazmur ternyata dibuka dengan mazmur kebijaksanaan. Tidak seperti mazmur yang lain, dalam mazmur jenis ini tidak ada doa, tidak ada juga permohonan atau pujian kepada Allah. Sesuai dengan namanya, mazmur kebijaksanaan memuat ajaran kebijaksanaan. Ajaran-ajaran seperti itu dapat kita temui juga misalnya dalam kitab Amsal. Keberadaan Mzm. 1 dalam kitab Mazmur menunjukkan adanya hubungan yang erat antara sastra mazmur dan sastra kebijaksanaan. Bukankah kitab Mazmur sendiri terletak di bagian kitab-kitab kebijaksanaan?
Mzm. 1 – yang agaknya baru belakangan ditambahkan dalam kitab Mazmur – mengangkat tema yang sangat digemari oleh sastra kebijaksanaan, yakni pertentangan nasib orang benar dan orang fasik. Tema ini dipilih untuk mengawali kitab Mazmur kiranya bukan tanpa sengaja. Dengannya kitab Mazmur ingin ditampilkan pula sebagai kitab kebijaksanaan, yang bermanfaat untuk membimbing, mendidik, dan membina jemaat agar hidup mereka terberkati.

Berbahagialah orang benar
Pada bagian pertama, yakni ay. 1-3, Pemazmur memuji orang benar dengan menyebutnya “berbahagia”. Orang benar yang ia maksud adalah siapa saja yang tidak mengikuti ajaran orang fasik dan tidak bertingkah laku seperti mereka. Selain itu, orang benar haruslah menjauhi orang-orang fasik: tidak berkumpul bersama mereka, tidak pula bergaul dengan mereka. Mengapa? Sebab kalau orang-orang fasik berkumpul, yang dibicarakan biasanya hal-hal yang tidak berguna. Di situ mereka malah menertawakan Allah, serta menganggap remeh hukum dan kebijaksanaan.
“Jauhilah orang fasik, dekatkanlah diri pada Taurat,” demikian kurang lebih pesan sang Pemazmur. Gagasan ini dekat sekali dengan gagasan Putra Sirakh (bdk. Sir. 24:23-29,30-34; 39:1-11). Ya, kesukaan orang benar ialah Taurat Tuhan. Ia begitu merindukan dan mencintainya; ia senantiasa merenungkannya setiap waktu. Taurat di sini baik kalau dilihat lebih dari sekadar hukum tertulis. Taurat yang dimaksud adalah seluruh firman Tuhan yang sampai kepada manusia dalam berbagai macam bentuk (bdk. Ul. 8:3). Dengannya, Tuhan hendak menjangkau, menyentuh, dan membentuk jiwa manusia. Itulah alasannya mengapa Taurat itu perlu direnungkan dalam-dalam, dan disambut oleh orang benar sebagai rahmat yang menggembirakan, bukan beban.
Orang yang demikian, menurut Pemazmur, “seperti pohon yang ditanam di tepi air”. Untuk memahami perumpamaan ini, perlu diketahui bahwa iklim di Palestina umumnya panas dan kering. Pohon yang ditanam di tepi air dengan demikian hidupnya terjamin. Ia tidak akan kekeringan, selalu berbuah pada musimnya, daun-daunnya pun tak akan pernah layu. Tepat seperti itulah yang akan dialami oleh orang benar.

Celakalah orang fasik
Lalu bagaimana dengan nasib orang fasik? Pemazmur menguraikannya di bagian kedua, yakni ay. 4-5. Sementara orang benar dilindungi Tuhan, kasihan, nasib orang fasik sungguh memelas. Kontras dengan orang benar yang diibaratkan “pohon yang ditanam di tepi air”, Pemazmur menganggap orang fasik seumpama “sekam yang ditiup angin”. Mereka itu kosong, tak bernilai, berhamburan ke mana-mana ditiup angin. Angin di sini ditampilkan sebagai simbol kemurkaan Tuhan, jadi mesti kita bayangkan angin kencang yang menderu-deru.
Selaras dengan itu lalu disebutkan bahwa orang fasik akan dihakimi dan saat itu mereka tak akan mampu bertahan. Apakah yang dimaksud pengadilan akhir? Hal itu kurang jelas. Yang jelas adalah, orang fasik – meskipun mungkin sekarang hidupnya penuh kesenangan – nantinya pasti akan mengalami nasib buruk. Mereka akan dihukum, akan layu dan tak berbuah, dan akan tersingkir dari “perkumpulan orang benar”.

Jalan orang benar dan jalan orang fasik
Sebagai kesimpulan, di ay. 6 Pemazmur berbicara tentang “jalan”. Menurutnya, jalan orang benar dikenal Tuhan (yang berarti mengarah pada keselamatan), sementara jalan orang fasik menuju kebinasaan. Gambaran ini sekaligus menjadi puncak pertentangan kiasan-kiasan dalam Mzm. 1, yang secara tajam menggambarkan keadaan manusia kalau bersama Allah dan kalau terpisah dari-Nya.
Sepanjang kitab Mazmur, gagasan tentang “jalan” akan sering sekali muncul. Hidup bagi Pemazmur tampaknya merupakan suatu perjalanan. Saat seorang manusia hendak melangkah maju, di hadapannya terbentang dua jalan yang mesti dipilih salah satu: jalan yang benar dan jalan yang sesat. Jalan yang pertama akan membuat hidup seseorang sempurna, penuh, bagaikan pohon subur yang berbuah tak habis-habisnya. Jalan ini disebut Jalan Tuhan, sebab berpedoman pada firman dan perintah-perintah-Nya. Siapa menapaki Jalan Tuhan, dia akan beroleh ganjaran hubungan yang erat dengan Sang Sumber Hidup.
Sementara itu, jalan yang kedua – jalan yang sesat – sekadar menawarkan ilusi. Jalan ini tak punya dasar, sesuai dengan pengibaratan sebelumnya, yakni seperti “sekam yang ditiup angin”. Inilah jalan yang dipilih orang fasik. Mereka berbuat jahat, hanya mau menuruti keinginan dan kesenangan diri mereka sendiri. Hubungan orang-orang fasik dengan Allah, Sang Sumber Hidup, karenanya terputus. Karena itu, Pemazmur memastikan bahwa jalan itu akan mengantar mereka pada kebinasaan.

Penutup
Setelah membaca dan menggali makna Mzm. 1, pada akhirnya kita sebagai pembaca diundang untuk menentukan sikap. “Tentukanlah jalan hidupmu!” demikian seru Pemazmur kepada kita. Pilihlah satu dari dua jalan tersebut di atas, dan pastikan kita memilih jalan yang tepat, sebab setiap jalan menuntun kita pada akhir yang berbeda.
Sebagai kritik, dua hal berikut dapat dipertimbangkan. Pertama, menjauhi orang berdosa mungkin saja membuat kita bebas dari pengaruh mereka, tapi sikap ini sama sekali tidak membantu orang-orang itu. Mendekati mereka, menyapa mereka, dan mengajak mereka kembali ke jalan yang benar tampaknya akan lebih efektif, seperti yang dilakukan Yesus di kemudian hari. Kedua, pandangan Mzm. 1 – bahwa orang benar akan berbahagia dan orang fasik akan binasa – tampaknya terlalu optimis. Dalam kenyataan, yang terjadi sering kali sebaliknya. Oleh karena itu, sebagai penyeimbang, kita perlu membaca mazmur-mazmur lain, misalnya Mzm. 37. Dalam mazmur ini, digambarkan bahwa orang yang melakukan tipu daya malah berhasil dalam hidupnya (37:7). Mzm. 73 tentang pergumulan orang benar melawan kekuasaan orang jahat juga baik disimak. Jika tiga mazmur tersebut dilihat bersama-sama, akan kita temukan bahwa memilih jalan yang benar adalah sikap yang tepat. Tapi harus diingat bahwa Jalan Tuhan itu terjal dan penuh pergulatan.***

Kepustakaan
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Harun, Martin. Berdoa Bersama Umat Tuhan: Berguru pada Kitab Mazmur. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.

Tidak ada komentar: