APA KATA KITAB SUCI TENTANG RELIKUI
Alfons Jehadut
Menurut tradisi di dalam atau di bawah altar gereja sedapat-dapatnya disimpan relikui yang terkait dengan kehidupan dan pelayanan Yesus atau dengan para martir dan para kudus lainnya. Itulah sebabnya, apa kata kitab suci tentang relikui perlu dijelaskan.
Tubuh sebagai bait Roh Kudus
Kata relikui berasal dari bahasa Latin reliquiae yang artinya peninggalan. Peninggalan itu terkait dengan bagian tubuh orang kudus, barang atau benda yang dipakainya, dan benda atau barang yang bersentuhan dengan tubuhnya. Peninggalan para martir dan para kudus lainnya itu dihormati oleh jemaat kristiani.
Apa dasar biblis jemaat kristiani menghormati
relikui para martir dan para orang kudus lainnya? Jawabannya ditemukan dalam
pandangan Paulus tentang tubuh (Yun. sōma)
dalam suratnya yang pertama kepada jemaat Korintus. Baginya, tubuh adalah bait
Roh Kudus (1Kor. 6:19). Bagi Dunn, tubuh adalah bait Roh Kudus adalah cara lain
untuk mengatakan Roh Kudus ada atau hadir dalam diri jemaat sebab tubuh tidak
dipahaminya hanya sebagai tubuh fisik yang seolah-olah berbeda dari seluruh
diri, tetapi keseluruhan diri seseorang.[1] Tubuh dilihat sebagai
penjelmaan dari keseluruhan diri seseorang. Karena tubuh dipandang sebagai bait
Roh Kudus, Roh Kudus hadir dalam diri seseorang, makan tubuh harus diperlakukan
dengan hormat, baik sewaktu masih hidup, maupun sesudah mati. Barang atau benda
yang terkait dengan tubuh orang kudus itu pula
perlu dihormati.
Penghormatan relikui para martir atau para
kudus lainnya karena tubuh mereka dipandang sebagai bait Roh Kudus itu
sebenarnya tidak hanya ditemukan dalam kekristenan, tetapi juga dalam banyak
agama dan budaya lain. Relikui Buddha, misalnya, dihormati oleh para
pengikutnya. Dalam budaya Yunani kuno, bagian tubuh dan barang yang berhubungan
dengan para pahlawan yang telah meninggal dilestarikan dan diabadikan sebagai
suatu bentuk penghormatan. Bentuk penghormatan ini tampaknya pula dihayati
dalam agama dan budaya Yahudi. Meski kontak dengan tubuh orang [1] James D. G. Dunn, Theology of Paul the Apostle (Grand
Rapids: Eermands, 1998), 58.yang telah
meninggal diyakini oleh orang-orang Yahudi sebagai salah satu penyebab seorang
najis secara ritual sehingga harus dilakukan pentahiran (Bil. 19:11-12), namun
mereka seperti terlihat dalam tindakan Musa mengambil dan membawa tulang-tulang
Yusuf ketika mereka meninggalkan Mesir untuk pergi ke tanah yang dijanjikan
(Kel. 13:19; Yos. 24:32). Yusuf telah meminta kepada saudara-saudaranya dengan
sumpah untuk membawa tulang-tulangnya ke tanah terjanji (Kej. 50:25-26).
Tulang-tulang Yusuf lalu dikuburkan di Sikhem, di tanah milik yang dibeli Yakub
dari anak-anak Hemor, bapa Sikhem, dan yang ditentukan bagi bani Yusuf menjadi
milik pusaka mereka (Yos. 24:32). Bagi Propp, tindakan orang Israel yang
diwakili oleh Musa ini tidak hanya dipandang sebagai suatu bentuk pemenuhan
sumpah dengan leluhur mereka, tetapi juga sebagai suatu pengakuan akan
kewajiban terhadap leluhur dan penegasan adanya kesinambungan hubungan dengan
leluhur.[2]
Praktek penghormatan relikui
Kapan praktek penghormatan terhadap relikui Yesus,
para martir dan para kudus lainnya dimulai? Kita dapat menelusurinya dalam
kehidupan jemaat kristiani abad-abad awal. Salah satu referensi tertulis
pertama tentang praktek penghormatan itu ditemukan dalam tulisan yang berjudul,
“the Martyrdom of Polycarp”,
kemartiran St. Polikarpus, pada pertengahan abad ke dua sekitar tahun 256 M.
Dalam tulisan itu diceritakan tentang bagaimana komunitas kristiani di Smirna
mengumpulkan secara sembunyi-sembunyi sisa tubuh martir Polikarpus yang dihukum
mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Sisa tubuhnya dikumpulkan karena mereka
menganggapnya jauh lebih mulia dari intan permata dan lebih berharga dari emas.
Sisa-sisa tubuhnya disemayamkan di tempat yang pantas untuk menghormati
kemartirannya.
Pada pertengahan abad keempat, penghormatan terhadap relikui para martir
dan para orang kudus lainnya tersebar luas termasuk relikui salib Yesus.
Menurut tradisi, relikui kayu salib Yesus ditemukan oleh ratu Helene di
Yerusalem sekitar tahun 318 M. St. Sirilus dari Yerusalem, menulis beberapa
dekade kemudian, mengklaim bahwa relikui salib Yesus telah tersebar di seluruh
dunia. Pada abad pertengahan, ziarah ke tempat-tempat suci dan gereja-gereja
yang memiliki relikui para [2] William H. C. Propp,
The Exodus 1-18: a new translation with
introduction and commentary (Anchor Bible, Doudleday: New York, 1999), 489.martir dan para orang kudus lainnya menjadi sangat
populer. Akibatnya, penjualan relikui para martir dan para orang kudus lainnya
menjadi bisnis yang luar biasa sehingga dilarang keras oleh Gereja dalam Kitab
Hukum Kanonik. “Dilarang dengan keras untuk menjual relikui-relikui suci.
Relikui-relikui istimewa dan relikui lainnya, yang biasa dihormati oleh banyak
umat, tidak bisa dengan sah dialih-milikkan dengan cara apa pun atau
dipindahkan untuk selamanya tanpa izin takhta apostolik” (Kan. 1190).
Relikui diyakini memiliki
kekuatan Allah
Relikui para martir dan para orang kudus lainnya
diyakini memiliki kekuatan yang dapat menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan
orang mati. Keyakinan ini memiliki dasar biblisnya yang sangat kuat. Dalam
Perjanjian Lama, kita menemukan kisah mukjizat orang mati dihidupkan kembali
oleh Allah melalui kontak dengan relikui tulang-belulang seorang nabi yang
sudah lama meninggal. Kitab 2 Raj. 13:21 menceritakan bahwa setelah nabi Elisa
meninggal dan dikuburkan, ada orang lain lagi yang meninggalkan dan mayatnya dilemparkan
begitu saja ke dalam kuburan Elisa. Ketika menyentuh tulang-belulang nabi Elisa
yang sudah tak bernyawa, jasad orang yang baru saja meninggal itu dihidupkan
kembali secara ajaib. Kisah ini
memperlihatkan bahwa Allah kuasa yang memberikan kehidupan tidak hanya aktif
bekerja ketika Elisa masih hidup seperti terlihat dalam kisah anak seorang
perempuan Sunem yang telah meninggalkan dihidupkan kembali (2Raj. 4:32-37;
8:4-5), tetapi juga ketika ia sudah meninggal. Kuasa Allah menghidupkan orang
mati melalui nabi Elisa tidak berhenti ketika Elisa sudah meninggal, tetapi
berlangsung terus bahkan setelah tidak bernyawa lagi.
Keyakinan bahwa relikui para martir dan para orang kudus
lainnya memiliki kekuatan itu dikisahkan pula dalam Perjanjian Baru. Lukas
dalam Kisah Para Rasul mengatakan bahwa Allah melakukan tindakan-tindakan penuh
kuasa (Yun. dunāmeis) dan luar biasa
melalui Paulus. Salah satunya adalah mukjizat penyembuhan dari penyakit dan
pengusiran roh-roh jahat dengan meletakkan sapu tangan atau kain yang pernah
dipakai oleh Paulus. Keyakinan bahwa kuasa dan kekuatan akan memancar keluar
dari pakaian orang yang berkuasa itu sesuatu yang umum. “Melalui tangan Paulus
Allah mengadakan mukjizat-mukjizat yang luar biasa, bahkan orang membawa sapu
tangan atau kain yang pernah dipakai oleh Paulus dan meletakkannya atas
orang-orang sakit, maka lenyaplah penyakit mereka dan keluarlah roh-roh jahat”
(Kis. 19:11-12). Lukas melihat mukjizat semacam ini sebagai bukti Allah
melakukan tindakan penuh kuasa dan luar biasa.
Mukjizat penyembuhan dari penyakit dan pengusiran
roh-roh jahat dengan meletakkan sapu tangan atau kain yang pernah dipakai oleh
Paulus itu mengingatkan kita pada kisah injil tentang penyembuhan seorang
perempuan yang mengalami pendarahan setelah menyentuh jumbai jubah Yesus dengan
penuh iman (Mrk. 5:25-34; Luk. 8:44-46).
Perempuan yang menderita pendarahan kronis yang membuatnya najis menurut
hukum Taurat (Im. 15:25) dan siapa pun yang berkontak secara fisik dengannya
akan menjadi najis juga (Im. 15:19) disembuhkan hanya dengan menyentuh penuh
iman jumbai jubah-Nya. Jubah atau pakaian Yesus bisa menjadi sarana penyalur
kuasa penyembuhan Allah bila disentuh dengan iman seperti yang diyakini oleh
seorang perempuan yang sakit pendarahan. Baginya Yesus tidak harus meletakkan
tangan padanya untuk disembuhkan, tetapi cukup dengan meletakkan tangan
pada-Nya bahkan hanya pada jumbai jubah-Nya untuk mendapatkan kuasa
penyembuhan-Nya.
Relikui tidak
boleh menjadi objek penyembahan
Dari uraian di atas, kiranya menjadi jelas bahwa
penghormatan terhadap relikui para martir dan para kudus lainnya memiliki dasar
biblis. Relikui para martir dan para kudus lainnya yang kini hidup bersama
Kristus perlu dihormati, tetapi tidak boleh disembah oleh kaum beriman. Relikui-relikui
mereka hanya dapat menjadi objek penghormatan dan tidak pernah boleh menjadi
objek penyembahan. Penghormatan terhadap relikui pada akhirnya mesti diarahkan
untuk pujian dan penyembahan kepada Allah melalui Yesus Kristus. Relikui para martir dan para kudus lainnya
tidak berarti apa-apa tanpa Allah. Mereka tidak bisa dihormati dan dikenang
jika pada saat yang sama Allah sendiri tidak disapa dan disembah. Relikui para
martir dan para kudus lainnya tidak bisa dihormati terlepas dari penyembahan dan
pujian kepada Allah melalui Yesus Kristus. Jadi, penghormatan relikui para
martir dan para kudus lainnya mesti pada akhirnya diarahkan untuk memuliakan
dan menyembah Allah melalui Yesus Kristus.
Sumber-sumber bacaan
Dunn, James D. G. Theology
of Paul the Apostle. Grand Rapids: Eermands, 1998.
Jebadu, Alex, Bukan Berhala! Penghormatan kepada para leluhur. Maumere: Ledalero, 2009.Propp, William H. C. The
Exodus 1-18: a new translation with introduction and commentary. Anchor Bible, Doudleday: New York, 1999.
Reid, Barbara. What’s Biblical about…Relics? dalam The Bible Today (Vol. 50, September/October 2012):313-314.
Jebadu, Alex, Bukan Berhala! Penghormatan kepada para leluhur. Maumere: Ledalero, 2009.Propp, William H. C. The
Exodus 1-18: a new translation with introduction and commentary. Anchor Bible, Doudleday: New York, 1999.
Reid, Barbara. What’s Biblical about…Relics? dalam The Bible Today (Vol. 50, September/October 2012):313-314.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar