Selasa, April 22, 2014

APA KATA KITAB SUCI TENTANG RELIKUI

APA KATA KITAB SUCI TENTANG RELIKUI
Alfons Jehadut


Menurut tradisi di dalam atau di bawah altar gereja sedapat-dapatnya disimpan relikui yang terkait dengan kehidupan dan pelayanan Yesus atau dengan para martir dan para kudus lainnya. Itulah sebabnya, apa kata kitab suci tentang relikui perlu dijelaskan.
Tubuh sebagai bait Roh Kudus 
Kata relikui berasal dari bahasa Latin reliquiae yang artinya peninggalan. Peninggalan itu terkait dengan bagian tubuh orang kudus, barang atau benda yang dipakainya, dan benda atau barang yang bersentuhan dengan tubuhnya. Peninggalan para martir dan para kudus lainnya itu dihormati oleh jemaat kristiani.

Apa dasar biblis jemaat kristiani menghormati relikui para martir dan para orang kudus lainnya? Jawabannya ditemukan dalam pandangan Paulus tentang tubuh (Yun. sōma) dalam suratnya yang pertama kepada jemaat Korintus. Baginya, tubuh adalah bait Roh Kudus (1Kor. 6:19). Bagi Dunn, tubuh adalah bait Roh Kudus adalah cara lain untuk mengatakan Roh Kudus ada atau hadir dalam diri jemaat sebab tubuh tidak dipahaminya hanya sebagai tubuh fisik yang seolah-olah berbeda dari seluruh diri, tetapi keseluruhan diri seseorang.[1] Tubuh dilihat sebagai penjelmaan dari keseluruhan diri seseorang. Karena tubuh dipandang sebagai bait Roh Kudus, Roh Kudus hadir dalam diri seseorang, makan tubuh harus diperlakukan dengan hormat, baik sewaktu masih hidup, maupun sesudah mati. Barang atau benda yang terkait dengan tubuh orang kudus itu pula  perlu dihormati. 
Penghormatan relikui para martir atau para kudus lainnya karena tubuh mereka dipandang sebagai bait Roh Kudus itu sebenarnya tidak hanya ditemukan dalam kekristenan, tetapi juga dalam banyak agama dan budaya lain. Relikui Buddha, misalnya, dihormati oleh para pengikutnya. Dalam budaya Yunani kuno, bagian tubuh dan barang yang berhubungan dengan para pahlawan yang telah meninggal dilestarikan dan diabadikan sebagai suatu bentuk penghormatan. Bentuk penghormatan ini tampaknya pula dihayati dalam agama dan budaya Yahudi. Meski kontak dengan tubuh orang [1] James D. G. Dunn, Theology of Paul the Apostle (Grand Rapids: Eermands, 1998), 58.yang telah meninggal diyakini oleh orang-orang Yahudi sebagai salah satu penyebab seorang najis secara ritual sehingga harus dilakukan pentahiran (Bil. 19:11-12), namun mereka seperti terlihat dalam tindakan Musa mengambil dan membawa tulang-tulang Yusuf ketika mereka meninggalkan Mesir untuk pergi ke tanah yang dijanjikan (Kel. 13:19; Yos. 24:32). Yusuf telah meminta kepada saudara-saudaranya dengan sumpah untuk membawa tulang-tulangnya ke tanah terjanji (Kej. 50:25-26). Tulang-tulang Yusuf lalu dikuburkan di Sikhem, di tanah milik yang dibeli Yakub dari anak-anak Hemor, bapa Sikhem, dan yang ditentukan bagi bani Yusuf menjadi milik pusaka mereka (Yos. 24:32). Bagi Propp, tindakan orang Israel yang diwakili oleh Musa ini tidak hanya dipandang sebagai suatu bentuk pemenuhan sumpah dengan leluhur mereka, tetapi juga sebagai suatu pengakuan akan kewajiban terhadap leluhur dan penegasan adanya kesinambungan hubungan dengan leluhur.[2] 

Praktek penghormatan relikui

Kapan praktek penghormatan terhadap relikui Yesus, para martir dan para kudus lainnya dimulai? Kita dapat menelusurinya dalam kehidupan jemaat kristiani abad-abad awal. Salah satu referensi tertulis pertama tentang praktek penghormatan itu ditemukan dalam tulisan yang berjudul, “the Martyrdom of Polycarp”, kemartiran St. Polikarpus, pada pertengahan abad ke dua sekitar tahun 256 M. Dalam tulisan itu diceritakan tentang bagaimana komunitas kristiani di Smirna mengumpulkan secara sembunyi-sembunyi sisa tubuh martir Polikarpus yang dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Sisa tubuhnya dikumpulkan karena mereka menganggapnya jauh lebih mulia dari intan permata dan lebih berharga dari emas. Sisa-sisa tubuhnya disemayamkan di tempat yang pantas untuk menghormati kemartirannya.  
Pada pertengahan abad keempat, penghormatan terhadap relikui para martir dan para orang kudus lainnya tersebar luas termasuk relikui salib Yesus. Menurut tradisi, relikui kayu salib Yesus ditemukan oleh ratu Helene di Yerusalem sekitar tahun 318 M. St. Sirilus dari Yerusalem, menulis beberapa dekade kemudian, mengklaim bahwa relikui salib Yesus telah tersebar di seluruh dunia. Pada abad pertengahan, ziarah ke tempat-tempat suci dan gereja-gereja yang memiliki relikui para [2] William H. C. Propp, The Exodus 1-18: a new translation with introduction and commentary (Anchor Bible, Doudleday: New York, 1999), 489.martir dan para orang kudus lainnya menjadi sangat populer. Akibatnya, penjualan relikui para martir dan para orang kudus lainnya menjadi bisnis yang luar biasa sehingga dilarang keras oleh Gereja dalam Kitab Hukum Kanonik. “Dilarang dengan keras untuk menjual relikui-relikui suci. Relikui-relikui istimewa dan relikui lainnya, yang biasa dihormati oleh banyak umat, tidak bisa dengan sah dialih-milikkan dengan cara apa pun atau dipindahkan untuk selamanya tanpa izin takhta apostolik” (Kan. 1190). 
Relikui diyakini memiliki kekuatan Allah 
Relikui para martir dan para orang kudus lainnya diyakini memiliki kekuatan yang dapat menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan orang mati. Keyakinan ini memiliki dasar biblisnya yang sangat kuat. Dalam Perjanjian Lama, kita menemukan kisah mukjizat orang mati dihidupkan kembali oleh Allah melalui kontak dengan relikui tulang-belulang seorang nabi yang sudah lama meninggal. Kitab 2 Raj. 13:21 menceritakan bahwa setelah nabi Elisa meninggal dan dikuburkan, ada orang lain lagi yang meninggalkan dan mayatnya dilemparkan begitu saja ke dalam kuburan Elisa. Ketika menyentuh tulang-belulang nabi Elisa yang sudah tak bernyawa, jasad orang yang baru saja meninggal itu dihidupkan kembali secara ajaib.  Kisah ini memperlihatkan bahwa Allah kuasa yang memberikan kehidupan tidak hanya aktif bekerja ketika Elisa masih hidup seperti terlihat dalam kisah anak seorang perempuan Sunem yang telah meninggalkan dihidupkan kembali (2Raj. 4:32-37; 8:4-5), tetapi juga ketika ia sudah meninggal. Kuasa Allah menghidupkan orang mati melalui nabi Elisa tidak berhenti ketika Elisa sudah meninggal, tetapi berlangsung terus bahkan setelah tidak bernyawa lagi.
Keyakinan bahwa relikui para martir dan para orang kudus lainnya memiliki kekuatan itu dikisahkan pula dalam Perjanjian Baru. Lukas dalam Kisah Para Rasul mengatakan bahwa Allah melakukan tindakan-tindakan penuh kuasa (Yun. dunāmeis) dan luar biasa melalui Paulus. Salah satunya adalah mukjizat penyembuhan dari penyakit dan pengusiran roh-roh jahat dengan meletakkan sapu tangan atau kain yang pernah dipakai oleh Paulus. Keyakinan bahwa kuasa dan kekuatan akan memancar keluar dari pakaian orang yang berkuasa itu sesuatu yang umum. “Melalui tangan Paulus Allah mengadakan mukjizat-mukjizat yang luar biasa, bahkan orang membawa sapu tangan atau kain yang pernah dipakai oleh Paulus dan meletakkannya atas orang-orang sakit, maka lenyaplah penyakit mereka dan keluarlah roh-roh jahat” (Kis. 19:11-12). Lukas melihat mukjizat semacam ini sebagai bukti Allah melakukan tindakan penuh kuasa dan luar biasa.
Mukjizat penyembuhan dari penyakit dan pengusiran roh-roh jahat dengan meletakkan sapu tangan atau kain yang pernah dipakai oleh Paulus itu mengingatkan kita pada kisah injil tentang penyembuhan seorang perempuan yang mengalami pendarahan setelah menyentuh jumbai jubah Yesus dengan penuh iman (Mrk. 5:25-34; Luk. 8:44-46).  Perempuan yang menderita pendarahan kronis yang membuatnya najis menurut hukum Taurat (Im. 15:25) dan siapa pun yang berkontak secara fisik dengannya akan menjadi najis juga (Im. 15:19) disembuhkan hanya dengan menyentuh penuh iman jumbai jubah-Nya. Jubah atau pakaian Yesus bisa menjadi sarana penyalur kuasa penyembuhan Allah bila disentuh dengan iman seperti yang diyakini oleh seorang perempuan yang sakit pendarahan. Baginya Yesus tidak harus meletakkan tangan padanya untuk disembuhkan, tetapi cukup dengan meletakkan tangan pada-Nya bahkan hanya pada jumbai jubah-Nya untuk mendapatkan kuasa penyembuhan-Nya.  
Relikui tidak boleh menjadi objek penyembahan 
Dari uraian di atas, kiranya menjadi jelas bahwa penghormatan terhadap relikui para martir dan para kudus lainnya memiliki dasar biblis. Relikui para martir dan para kudus lainnya yang kini hidup bersama Kristus perlu dihormati, tetapi tidak boleh disembah oleh kaum beriman. Relikui-relikui mereka hanya dapat menjadi objek penghormatan dan tidak pernah boleh menjadi objek penyembahan. Penghormatan terhadap relikui pada akhirnya mesti diarahkan untuk pujian dan penyembahan kepada Allah melalui Yesus Kristus.  Relikui para martir dan para kudus lainnya tidak berarti apa-apa tanpa Allah. Mereka tidak bisa dihormati dan dikenang jika pada saat yang sama Allah sendiri tidak disapa dan disembah. Relikui para martir dan para kudus lainnya tidak bisa dihormati terlepas dari penyembahan dan pujian kepada Allah melalui Yesus Kristus. Jadi, penghormatan relikui para martir dan para kudus lainnya mesti pada akhirnya diarahkan untuk memuliakan dan menyembah Allah melalui Yesus Kristus. 
Sumber-sumber bacaan
Dunn, James D. G. Theology of Paul the Apostle. Grand Rapids: Eermands, 1998. 
Jebadu, Alex, Bukan Berhala! Penghormatan kepada para leluhur. Maumere: Ledalero, 2009.Propp, William H. C. The
Exodus 1-18: a new translation with introduction and commentary. Anchor Bible, Doudleday: New York, 1999.    
Reid, Barbara. What’s Biblical about…Relics? dalam The Bible Today (Vol. 50, September/October 2012):313-314.


Tidak ada komentar: