Selasa, Maret 19, 2013

IMAM TUHAN 
Alfons Jehadut 
 
Ketika hadir di gereja untuk merayakan ekaristi atau perayaan liturgis lainnya kita menemukan seorang imam. Keberadaan seorang imam inilah yang mendorong saya bertanya tentang apa kitab suci seputar keberadaannya. Pertanyaan itu ternyata tidak mudah dijawab. Kesulitan itu semakin disadari ketika ingin mengetahui asal-usul dan perkembangan jabatan imam dalam agama Yahudi. Alasannya karena para penulis kitab suci lebih berkonsentrasi pada padangan mereka tentang peran yang seharusnya dimainkan oleh imam daripada apa yang sesuangguhnya terjadi pada masa lalu. Itulah sebabnya, saya membatasi diri untuk menulis tentang empat hal mendasar yang kiranya perlu diketahui tentang imam. Pertama, istilah yang digunakan untuk imam. Kedua, imam dan suku Lewi. Ketiga, fungsi dan peran yang dimainkan oleh imam. Keempat, Yesus imam agung dan imamat kristiani. 

Imam: Kohen, Hiereus 
Kata Ibrani yang digunakan untuk imam TUHAN adalah kohen. Kata kohen itu pula digunakan untuk imam dewa-dewi bangsa-bangsa asing seperti Mesir (Kej. 41:45; 47:22), Filistin (1Sam. 5:5; 6:2), Moab (Yer. 48:7), dan Amon (Yer. 49:3). Kata kohen yang berasal dari akar kata khn muncul sekitar delapan ratus kali dalam Perjanjian Lama. Asal usul kata khn itu banyak diperdebatan dan tidak dapat dipastikan. Ada yang mengaitkannya dengan kata kerja kanu dalam bahasa Akkad, bahasa yang digunakan di Mesopotamia kuno, yang artinya membungkuk, menghormati. Namun, ada juga yang mengaitkan asal usulnya dengan dengan akar kata bahasa Semit kwn, yang artinya berdiri tegak lurus, berlaku jujur. 

Septugianta (LXX) biasanya menerjemahkan kata kohen dalam bahasa Ibrani untuk imam dengan hiereus. Variasi dari kata yang sama digunakan lebih dari 150 kali dalam Perjanjian Baru untuk imam, imam besar, imamat, tindakan seorang imam, dan kegiatan yang berkaitan dengan imamat (misalnya Mat. 2:4; 8:4; Mrk. 1:44; 15:1; Luk. 1:9; Yoh. 1:19; Kis. 9:1; Ibr. 7:11; 1Ptr. 2:5; Why. 1:6; 5:10). Dalam Perjanjian baru, kata hiereus yang diterjemahkan imam muncul tiga puluh satu kali (31x) dan kata majemuk archiereus yang terjemahkan ‘‘imam besar“ muncul seratus dua puluh dua kali (122x). Selain itu, ada dua kata benda abstrak yang biasanya diterjemahkan imam yang masing-masing muncul sebanyak dua kali (2x), yakni hierateia (Luk. 1:9; Ibr. 7:5) dan hierateuma (1Ptr. 2:5, 9) 

Jabatan imam dan Suku Lewi 
Sebelum kita menelusuri jabatan imam dan suku Lewi, kita perlu mulai dengan menegaskan bahwa pada zaman yang berbeda dalam periode kitab suci peran imam diisi dengan cara-cara yang berbeda. Bapa-bapa bangsa Israel sebagai kepala keluarga atau kelompok-kelompok suku menjalankan apa yang mungkin kita anggap menjadi fungsi dan peran imam seperti mempersembahkan kurban (Kej 22; 31:54, 46:1). Kitab Kejadian tidak pernah menyebutkan imam, kecuali ketika mengacu kepada bangsa-bangsa asing yang hidupnya sudah menetap, tidak berpindah-pindah (misalnya, imam Mesir disebut dalam Kej. 41:45; 47: 22 dan raja-imam Salem yang bernama Melkisedek disebut dalam Kej 14:18). Jadi, kita dapat mengatakan bahwa jabatan imamat baru muncul setelah organisasi sosial kemasyarakatan berkembang jauh.[1]

Pada zaman yang lebih kemudian ketika organisasi sosial Israel mulai bertumbuh dan berkembang muncul jabatan imam. Beberapa orang laki-laki mulai membaktikan seluruh atau sebagian besar waktu mereka untuk menjadi imam. Perkembangan ini diilustrasikan dalam kisah Mikha yang membangun kuilnya sendiri dan menjadikan salah seorang anak laki-laki menjadi seorang iman tetapi anaknya kemudian diganti dengan seorang profesional dari suku Lewi yang menyebabkan jabatan iman pada akhirnya menjadi hak istimewa suku Lewi. Kemungkinan besar kelompok imam profesional yang terorganisasir baru ada di Israel sejak Israel masuk ke tanah terjanji.[2]

Ketika orang Israel berada di gunung Sinai, Allah menawarkan dan menjanjikan kepada mereka suatu kerajaan imam dan bangsa yang kudus (Kel. 19:5-6) jika mereka menaati firman Tuhan, hidup menurut petunjuk yang nanti diberikan dalam sepuluh perintah. Sebagai kerajaan imam, semua orang Israel memiliki akses kepada Allah dan mereka melayani sebagai imam bagi bangsa-bangsa lain. Mereka bisa berperan sebagai imam bagi bangsa-bangsa lain hanya ketika hidup suci. Itulah sebabnya Allah menjadikan mereka sebagai suatu bangsa yang kudus, bangsa yang dikhususkan bagi Allah dan dibedakan dari bangsa lain untuk memuji dan melayani Allah. Namun, tawaran dan janji ini tidak dimaksudkan untuk mencegah dan menentang perkembangan jabatan imam menjadi hak istimewa suku tertentu.

[1] Roland de Vaux, Ancient Israel: Its Life and Institutions (London: Darton, Longman & Todd, 1988), 345 
[2] I. Suharyo, Mengenal Alam Hidup Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1993)

Sayangnya, tawaran dan janji kerajaan imam itu terganjal karena orang Israel tidak setia pada perintah dan ketetapan dalam perjanjian Sinai. Bangsa Israel memberontak dengan membuat patung anak lembu emas untuk disembah ketika Musa berada di Gunung Sinai (Kel. 32). Hanya suku Lewi yang setia kepada Allah dan tidak berpartisipasi dalam penyembahan berhala dan malah membunuh banyak orang yang terlibat dalam penyembahan berhala (Kel. 32:25-29).Itulah sebabnya, Suku Lewi, keturunan dari Levi, salah seorang anak Yakub (Kej. 29:34) dikhususkan untuk menjalankan pelayanan di tempat-tempat suci (1 Raj. 8:4, Ezr 2:70) sebagai imam. Suku Lewi, yang tidak mendapat tanah warisan sebagai milik pusaka mereka sendiri (Bil. 18:8; 18:21; Ul. 12), dikhususkan dan ditetapkan untuk menjalan pelayanan di tempat-tempat suci setelah insiden pembuatan dan penyembahan patung lembu emas. Musa menabiskan mereka untuk melayani Allah, yakni untuk menjadi imam. “Baktikanlah dirimu mulai hari ini kepada TUHAN, masing-masing dengan membayarkan jiwa anaknya laki-laki dan saudaranya -- yakni supaya kamu diberi berkat pada hari ini“ (Kel. 32:29).

Meskipun semua imam berasal dari suku Lewi, namun tidak semua anggota suku Lewi bisa menjadi imam. Dengan kata lain, menjadi anggota suku Lewi itu tidak secara otomatis membuat seseorang menjadi imam. Hanya orang-orang Lewi dari keluarga Harun yang memenuhi kualifikasi tidak memiliki cacat fisik bisa menjadi imam (Im. 21:18-20). Anggota suku Lewi yang tidak berasal dari keluarga Harun hanya memegang peran pembantu di tempat-tempat suci. Mereka diberi peran untuk mengurusi hal-hal jasmaniah di kenisah seperti memelihara peralatan (Bil. 3:8), menjaga kebersihan (1Taw. 23:28), menyanyi (Ezr. 3:10; Neh. 12:27; 1Taw. 6:31).

Fungsi dan peran imam 
Berkat Musa bagi suku Lewi dalam Ul. 33:8-11 melukiskan tiga fungsi seorang imam Israel yang tampaknya disusun menurut skala prioritas.[3] Pertama, mereka bertugas mengkonsultasikan tentang kehendak Allah di tempat suci melalui tumim dan urim dengan maksud untuk menjawab persoalan yang ditanyakan oleh umat Israel (Ul. 33:8). Urim dan Tumim adalah dua benda yang kemungkinan besar batu yang digunakan oleh imam untuk menanyakan dan menentukan kehendak Allah (Kel. 28:30; Im. 8:8; 1Sam. 14:41-42. Tidak diketahui secara pasti bagaimana dua benda itu digunakan. Namun, 1 Sam. 14:42 memberi indikasi bahwa pemakaian dua benda itu disamakan dengan “pembuangan undi” dan kedua benda itu ditaruh dalam kantong tutup dada
[3] Raymond E. Brown, Priest and Bishop: Biblical Reflections (Oregon: Wipf and Stock publisher, 1999), 10-13. 
yang dikenakan pada imam besar (Kel. 28:30). Karena penggunaannya disamakan dengan pembuangan undi maka disimpulkan bahwa urim dan tumim merupakan dadu yang terbuat dari batu yang sisinya ditandai dengan “ya” dan sisi lainnya ditandai dengan “tidak.”

Kedua, mereka bertugas mengajar dan meneruskan Taurat atau hukum Tuhan kepada umat. “mereka mengajarkan peraturan-peraturan-Mu kepada Yakub, hukum-Mu kepada Israel” (Ul. 33:10). Taurat atau hukum Tuhan yang diajarkan itu memuat instruksi singkat mengenai topik tertentu, misalnya, peraturan praktis dalam bertindak atau lebih tepatnya bagaimana melakukan ibadat. Mereka memberi petunjuk tentang apa yang tahir dan apa yang najis secara kultis (Im. 10:10-11). Namun, tugas pengajaran seorang imam itu sesungguhnya tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat kultis. Kompentensi seorang imam dalam mengajar melampaui hal-hal yang bersifat kulits. Taurat Tuhan yang diajarkan secara umumnya mengatur tentang bagaimana manusia berelasi dengan Allah. Imam juga bertugas menafsirkan sabda Allah dengan menyampaikan nubuat (Hak. 18:5; 1 Sam 14:41) meski setelah pembuangan peran menafsirkan hukum Taurat ini bergeser kepada para ahli Taurat.

Ketiga, mereka bertugas untuk mempersembahkan kurban kepada Allah. Tugas ini ditampilkan pada terakhir dalam berkat yang disampaikan oleh Musa bagi suku Lewi. “Mereka menaruh ukupan wangi-wangian di depan-Mu dan korban yang terbakar seluruhnya di atas mezbah-Mu” (Ul. 33:10). Mempersembahkan kurban itu dipandang sebagai peran yang paling mendasar dari seorang imam (bdk. Ibr. 5:1; 8:3). Namun, membunuh hewan kurban itu tidak menjadi previlese seorang imam sebagaimana terungkap dalam perintah Musa kepada beberapa anak muda untuk membunuh hewan kurban (Kel. 24:3-8). Peraturan tentang kurban mengatur secara ekplisit bahwa hewan kurban dibunuh oleh orang yang mempersembahkan kurban (Im. 1:5; 3:2, 8, 13; 4:24, 29, 33). Peran khusus imam baru dimulai ketika mereka harus menggunakan darah yang dianggap sebagai bagian yang terkudus dari hewan kurban (Im. 17:11, 14) dan harus diperciki di altar. Seorang imam juga harus mempersembahkan dan menempatkan di atas altar bagian dari kurban persembahan yang menjadi milik Allah.

Dari tiga tugas dan tanggung jawab imam di atas kita melihat peran imam sebagai mediator, pengantara. Ketika menjalankan tugas dan tanggung jawab menyampaikan nubuat, mengajar serta meneruskan Taurat Tuhan, imam mewakili Allah di depan manusia. Ketika menjalankan tugas dan tanggung jawab mengambil darah untuk diperciki di altar dan membawa daging kurban ke altar, imam mewakili manusia di hadapan Allah. Di sini imam berperan sebagai pengantara atau mediator antara Allah dan manusia. Imam dapat berbicara kepada Allah demi umat dan kepada umat atas nama Allah. Imam berperan dan berfungsi untuk menjembatani jurang yang memisahkan Allah yang kudus dan manusia yang penuh dengan dosa.

Yesus Imam Agung dan Imamat kristiani 
Dalam sejumlah perikop dalam Perjanjian Baru, Yesus mengkritik para imam Israel. Dalam perumpamaan tentang Samaria yang baik hati (Luk 10:29-37), imam dan Lewi dikiritik karena mereka memberikan teladan yang buruk dengan melewati begitu saja seorang yang membutuhkan pertolongan. Mereka juga dikritik secara tidak langsung dalam kata-kata Yesus yang dikutip dari nabi Hosea: “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan” (Mat 12:7). Namun, ada juga sejumlah teks yang menampilkan bahwa Yesus menerima peran para imam dalam menafsirkan hukum Taurat, misalanya, ketika mengutus orang-orang yang telah disembuhkan untuk memperlihatkan diri mereka kepada para imam (Mark 1:44; Luk 17:14).

Meski ada sejumlah perikop yang berbicara tentang imam, namun perlu disadari bahwa tidak ada seorang kristiani yang ditunjuk secara khusus sebagai imam dalam periode Perjanjian Baru. Pemakaian istilah imam untuk mengacu kepada seorang yang ditahbiskan untuk menjalankan pelayanan khusus yang dibedakan dari awam itu pula tidak ditemukan dalam periode Perjanjian Baru. Mengapa tidak ada seorang yang ditunjuk sebagai imam dalam periode Perjanjian Baru? Sekurang-kurangnya ada tiga jawaban yang ditawarkan. Pertama, kurban Kristus dilakukan hanya sekali untuk selama-lamanya (Ibr. 10:12-14) sehingga tidak perlu lagi ada seorang yang ditunjuk secara khusus untuk menjadi imam. Yesus adalah seorang imam yang telah menggantikan imam dan kurban Israel dengan mempersembahkan diri-Nya di kayu salib sekali untuk selama-lama dalam rangka menebus dosa-dosa manusia. Kurban darah Yesus di kayu salib itu berdaya efektif untuk menebus dosa semua orang dari segala zaman sehingga tidak perlu dilakukan secara berulang-ulang kali dan karena itu tidak perlu ada lagi imam yang ditunjuk untuk mempersembahkan kurban penebusan dosa. Kedua, semua orang kristiani dipandang sebagai iman sehingga tidak perlu ada lagi seorang yang ditunjuk secara khusus menjadi imam untuk mempersembahkan kurban. Dasar biblis argumen ini ditemukan dalam teks yang berbicara tentang Israel sebagai “kerajaan imam” (Kel. 19:6) yang disoroti lagi dalam Perjanjian Baru.

Dalam 1 Ptr. 2:9, orang kristiani disapa sebagai “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri” (bdk. Why. 1:6; 5:10; 20:6). Ketiga, para rasul yang memimpin perayaan Ekaristi adalah imam, tetapi tidak menggunakan nama imam sebab terlalu terkait erat dengan imam Yahudi yang melayani kurban berdarah di bait Allah. Para rasul itu memang ditugaskan untuk memimpin perayaan ekaristi sebagaimana tercatat dalam perintah Yesus kepada mereka pada waktu perjamuan terakhir. “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk. 22:19).

Satu-satunya penulis Perjanjian Baru yang memakai istilah imam untuk pribadi dan karya Yesus sebagai Kristus adalah penulis surat Ibrani. Penulis surat Ibrani melukiskan Yesus sebagai “Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit” (Ibr. 4:14), yang kurban-Nya sempurna dan abadi (Ibr. 5:9; 7:24) sehingga tidak perlu lagi mempersembahkan kurban apapun (Ibr. 7:27). Ia juga mengetahui bahwa Yesus tidak berasal dari garis keturunan imam. Imamat Israel berasal diturunkan dari suku Lewi terutama dari keturunan Harun dan tidak ada imamat menurut peraturan Melkisedek sehingga Yesus tidak memenuhi syarat untuk menjadi imam Israel (Ibr. 7:13-14). Meski tidak memenuhi syarat menurut imamat Israel, namun penulis surat Ibrani memperlihatkan bahwa Yesus memenuhi syarat menjadi seorang imam dengan melihat asal-usul imamat-Nya menurut peraturan Melkisedek.

Dari mana pemahaman penulis surat Ibrani tentang imamat Yesus menurut peraturan Melkisedek? Ia tampaknya mengangkatnya dari Mazmur. “TUHAN telah bersumpah, dan Ia tidak akan menyesal: ‘Engkau adalah imam untuk selama-lamanya, menurut Melkisedek’” (Mzm. 110:4). Secara kesuruhan, Mazmur ini biasanya digunakan dalam Perjanjian Lama untuk penobatan Tuhan yang bangkit sebagai Mesias. Dalam konteks keseluruhan inilah penulis Ibrani tampaknya mengambil kesimpulan bahwa seorang yang duduk di sisi kanan Allah sebagai Mesias (Mzm. 110:1) adalah juga seorang imam menurut peraturan Melkisedek (Mzm. 110:4; Ibr. 5:10, 6:20).

Bagaimana dan mengapa Yesus disebut sebagai imam besar menurut peraturan Melkisedek? Penulis Ibrani menjelaskan dalam Ibr. 7:1-28 dalam dua bagian. Pertama, ia berargumen bahwa Melkisedek lebih unggul dari Abraham dan karena itu lebih unggul pula dari keturunan imam Lewi Abraham mengakui keunggulan Melkisedek di atas dirinya dan semua keturunannya (ay. 1-10). Kedua, ia menjelaskan mengapa perlu menggantikan imamat suku Lewi dengan imam menurut peraturan Melkisedek (ay. 11-28). Alasannya, imam suku Lewi tidak bisa mencapai kesempurnaan sama seperti hukum Taurat tidak bisa membawa kesempurnaan.

Terlepas dari Mzm 110:4, Melkisedek hanya muncul sekali di tempat lain dalam Perjanjian Lama, yakni dalam kisah Kej. 14:17-20. Dalam perikop ini Melkisedek diidentifikasi sebagai raja Salem (yang diidentifikasi oleh Mzm 76:2 sebagai Yerusalem) dan sebagai imam Allah Yang Mahatinggi. Penulis Ibrani memakai fakta bahwa kisah kitab Kejadian yang tidak menampilkan silsilah Melkisedek sehingga Melkisedek dianggapnya tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya (Ibr. 7:3). Ia juga berkesimpulan bahwa Melkisedek lebih tinggi dari Abraham karena Abraham diberkati oleh Melkisedek (7:7). Karena Melkisedek lebih tinggi dari Abraham, Melkisedek dianggapnya lebih tinggi dari Lewi dan imam keturunannya.

Selain dipakai untuk menggambarkan pribadi dan karya Yesus, istilah imam (Yun.hierateuma) dipakai pula untuk para pengikut Yesus dalam surat Petrus (1Ptr. 2:5, 9; bdk Why. 1:6, 5:10, 20:6). Namun, baik penulis Petrus maupun kitab Wahyu memakai istilah imamat rajawi atau kerajaan imam dalam pengertian kiasan atau simbolis. Istilah itu tidak dipakai untuk menjelaskan bahwa semua orang kristiani dipandang sebagai imam sehingga tidak perlu imamat khusus. Istilah imamat rajawi-kerajaan imam bagi orang kristiani dipahami dengan cara yang sama seperti orang lsrael memahami kiasan kerajaan imam dalam Kel. 19:6. Orang Israel memahami istilah itu dalam konteks perjanjian dengan Allah. Karena umat Israel diikat dengan Allah melalui sebuah relasi perjanjian yang khusus, maka mereka dipanggil menjadi umat yang kudus seperti imam. Sama seperti umat Israel dipanggil untuk hidup kudus seperti imam, demikian pula umat kristiani dipanggil untuk mempersembahkan persembahan rohani, sebuah kiasan untuk pola hidup yang suci. Maka, istilah kerajaan imam atau imamat rajawi itu tidak pertama-tama berkaitan dengan fungsi imam dalam ibadat kurban tetapi dengan pola hidup suci.

Sumber-sumber bacaan 
*Brown, Raymond E. Priest and Bishop: Biblical Reflections. Eugene, Oregon: Wipf and Stock Publisher, 1997. 
*de Vaux, Roland. Ancient Israel: Its Life and Institutions. London: Darton, Longman & Todd, 1988 
*Ermatinger, James W. Daily Life in New Testament. USA: Greenwood Press, 2008. 
*Kugler, Robert. “Priest and Levites” dalam The New Interpreter’s Dictionary of the Bible. 
*Nashville: Abingdon Press, 2009. 
*Matera, Frank J. New Testament Theology: Exploring Diversity and Unity. 
*Louisville: Westminster John Knox Press, 2007. 90

Tidak ada komentar: