Senin, Februari 04, 2013

DIPUJI KARENA TIDAK JUJUR? 
Jarot Hadianto 

Kalau perumpamaan-perumpamaan dalam Luk. 15 umumnya dikenal baik oleh para pencinta Kitab Suci, terutama perumpamaan tentang anak yang hilang yang mengharukan itu, tidak demikian halnya dengan perumpamaan yang muncul tepat sesudahnya, yaitu tentang bendahara yang tidak jujur (Luk. 16:1-9). Di kalangan umat, perumpamaan ini rupanya kurang begitu populer. Hal ini terjadi mungkin karena situasi yang dikisahkan dalam perumpamaan ini kurang familiar bagi kita, menyangkut seorang yang kaya, bendahara, dan orang-orang yang berutang pada mereka. 

Bukan hanya itu. Ketidaktahuan akan praktik utang piutang pada masa itu membuat banyak orang bingung dan keliru memahami pesan perumpamaan ini. Mengapa si bendahara yang menurunkan jumlah utang dua orang yang berutang pada tuannya malah mendapat pujian? Bukankah itu artinya dia curang dan merugikan tuannya? Mengapa kita dianjurkan untuk bersahabat “dengan mempergunakan Mamon”? Pembaca bisa salah paham, dikiranya Yesus dengan begitu mengajarkan bahwa saat terjepit kita boleh melakukan apa saja – yang tidak halal sekalipun – asal saja diri kita selamat! 

LUKAS 16:1-13 
1Kemudian Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Ada seorang kaya yang mempunyai seorang bendahara. Kepadanya disampaikan tuduhan bahwa bendahara itu menghamburkan miliknya. 2Lalu ia memanggil bendahara itu dan berkata kepadanya: Apa ini yang kudengar tentang engkau? Berilah pertanggungjawaban atas apa yang engkau kelola, sebab engkau tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara. 3Kata bendahara itu di dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat? Tuanku memecat aku dari jabatanku sebagai bendahara. Mencangkul aku tidak kuat, mengemis aku malu. 4Aku tahu apa yang akan aku perbuat, supaya apabila aku dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan menampung aku di rumah mereka. 5Lalu ia memanggil seorang demi seorang yang berutang kepada tuannya. Katanya kepada yang pertama: Berapakah utangmu kepada tuanku? 6Jawab orang itu: Seratus tempayan minyak. Lalu katanya kepada orang itu: Terimalah surat utangmu, duduklah dan tulislah segera: Lima puluh tempayan. 7Kemudian ia berkata kepada yang kedua: Berapakah utangmu? Jawab orang itu: Seratus pikul gandum. Katanya kepada orang itu: Terimalah surat utangmu, dan tulislah: Delapan puluh pikul. 8Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya daripada anak-anak terang. 
9Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi.” 
10“Siapa saja yang setia dalam hal-hal kecil, ia setia juga dalam hal-hal besar. Dan siapa saja yang tidak benar dalam hal-hal kecil, ia tidak benar juga dalam hal-hal besar. 11 Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya? 12 Jikalau kamu tidak setia mengenai harta orang lain, siapakah yang akan memberikan hartamu sendiri kepadamu? 
13Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” 

Struktur Teks 
Perumpamaan ini dikisahkan Yesus khusus bagi murid-murid-Nya. Tentu saja Yesus tidak hendak mengajari mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak jujur. Karena itu, pertama-tama kita harus berpegang pada pernyataan dasar ini: perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur tidak bermaksud memuji tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan yang tidak jujur. 

Agar kita memahami perumpamaan ini dengan lebih baik, seorang penafsir menganjurkan agar pembacaan Luk. 16:1-13 agak sedikit diubah, menjadi sebagai berikut: 
•16:13 = Larangan untuk mengabdi pada dua “tuan”. 
•16:1-9 = Perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur. 
•16:10-12 = Nasihat untuk setia dalam hal-hal kecil. 

Ulasan Teks 
Mengabdi pada dua tuan 
Dalam perjalanan menuju Yerusalem, Yesus berkali-kali menegaskan pentingnya komitmen dari orang-orang yang bermaksud mengikuti Dia. Mereka dilarang berpamitan pada orang tua (9:61-62), harus “membenci” kaum kerabat (14:26), harus memikul salib (14:27), dan harus melepaskan diri dari segala miliknya (14:33). Dengan itu semua sebenarnya mau dikatakan bahwa para murid Yesus tidak boleh bersikap mendua hati. Orang-orang yang masih terikat dengan hal-hal duniawi (ikatan keluarga, harta benda, dan kepentingan diri sendiri) tidak akan bisa mengabdi Allah sepenuhnya. Padahal, saat kedatangan Allah sudah mendesak. Fokuslah pada Allah dan lepaskan segala ikatan duniawi! 

Namun, mungkinkah komitmen semacam itu dapat diwujudkan? Dalam kenyataan, hidup di dunia itu tidak mudah. Banyak godaan menghampiri manusia sehingga dia tidak bisa mengabdi Allah dengan sepenuh hati. Salah satu godaan yang paling menarik datang dari Mamon atau harta kekayaan. Siapa yang tidak terpesona dengan hidup yang nyaman, serba ada, dan kelimpahan harta? Ada juga orang yang hidupnya “diabdikan” pada usaha untuk menumpuk uang dan harta benda. Perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur mau menunjukkan kepada kita bahwa kalau mau, godaan maut si Mamon dapat saja kita atasi. Mamon bukan segalanya. Buktinya, lihat saja pengalaman seorang bendahara berikut ini. 

Dipuji karena jujur, lagi cerdik 
Alkisah, ada seorang bendahara yang mungkin lebih cocok disebut sebagai “manajer” karena bertugas mengelola harta tuannya. Karena tugasnya itu, ia menangani juga urusan sewa-menyewa tanah milik tuannya (tuan dari bendahara ini agaknya digambarkan sebagai seorang tuan tanah). Melalui si bendahara, orang-orang yang menyewa tanah harus membayar ongkos sewa, biasanya dalam bentuk hasil bumi. Belakangan ketahuan bahwa bendahara itu suka “menghamburkan” kekayaan si tuan tanah. Tidak dijelaskan secara detail apa kesalahan si bendahara, yang jelas di situlah letak ketidakjujurannya. Akibatnya parah, si tuan tanah langsung memecat dia. 

Tentu saja pemecatan itu menjadi musibah bagi bendahara ini. Mulailah ia berpikir-pikir, merancang strategi agar masa depannya tetap terjamin. Mula-mula di benaknya muncul dua pilihan: mau kerja keras (mencangkul) atau kerja enak (menjadi pengemis). Namun, dua-duanya bukan pilihan menarik baginya, sebab yang satu melelahkan, yang lain memalukan. Maka dia membuat keputusan yang besar dan cerdik: dia bermaksud meninggalkan Mamon. 

Penjelasannya demikian: bendahara ini agaknya dulu boleh dikatakan sebagai hamba uang. Terhadap orang-orang yang berutang pada tuannya, ia menetapkan bunga yang tinggi demi keuntungan dirinya sendiri. Boleh diperkirakan bahwa sikap tamak itu juga menjadi penyebab pemecatan dirinya. Begitu dipecat, si bendahara segera memutuskan untuk tidak bergantung lagi pada Mamon, tapi pada persahabatan. Ia memanggil orang-orang yang berutang pada tuannya. Yang berutang 100 tempayan minyak diubahnya menjadi 50 tempayan, yang berutang 100 pikul gandum diubahnya menjadi 80 pikul. Pengurangan utang itu pastinya membuat orang-orang itu girang dan sangat berterima kasih kepada si bendahara. Suatu hari nanti kalau dia butuh tumpangan, mereka pasti akan memberikannya dengan senang hati. Oportunis, tapi cerdik! 

Perlu dicatat bahwa tindakan bendahara mengurangi jumlah utang itu bukanlah suatu “penggelapan”. Harus dibaca bahwa orang-orang itu memang berutang masing-masing 50 tempayan minyak dan 80 pikul gandum. Bendahara yang gila uang itu dulu menggelembungkan utang mereka menjadi 100 tempayan minyak dan 100 pikul gandum demi keuntungan pribadi. Maka yang dilakukannya setelah tidak lagi menganggap Mamon sebagai sesuatu yang penting adalah menghapus “jatah” keuntungan baginya dan membuat orang-orang itu membayar utang mereka dalam jumlah yang semestinya. 

Maka, bendahara yang dulu tidak jujur, sekarang sudah bertindak jujur. Bukan hanya bertobat, bendahara itu telah bersikap “cerdik” dan yang terakhir inilah yang membuat si tuan lalu memberikan pujian baginya (tapi mestinya tetap memecatnya). Bendahara itu sadar bahwa Mamon yang dulu diandalkannya sekarang tak bisa menolongnya lagi. Maka, ditinggalkannya Mamon itu untuk berpaling kepada yang lain, yang dapat menjamin hidupnya, dalam hal ini adalah ikatan persahabatan. 

Setia dalam hal kecil 
Selanjutnya, Lukas merumuskan kembali perumpamaan di atas, kali ini dalam bentuk pepatah: siapa saja yang setia dalam hal-hal kecil, ia setia juga dalam hal-hal besar. Yang disebut hal-hal kecil adalah hal-hal duniawi. Dalam konteks perumpamaan ini, yang dimaksud adalah uang atau harta kekayaan. Uang atau harta kekayaan harus disikapi dengan tepat. Kita tidak boleh memegangnya erat-erat, seolah-olah itu adalah segala-galanya bagi kita. Uang hanyalah hal kecil! Namun, meski kecil, kita harus bersikap “setia” ketika menanganinya. Konkretnya, kita tidak boleh bersikap korup, seperti contoh tindakan bendahara itu di masa lalu. 

Kalau dalam hal-hal kecil – seperti mengurus harta benda – saja kita tidak setia, apalagi dalam hal-hal besar (yaitu hal-hal rohani)? Pasti kita lebih tidak setia lagi! Sebaliknya, kalau kita dapat menangani harta benda dengan tepat dan bijak, siapa tahu kepada kita dipercayakan harta yang lebih besar lagi, yaitu harta surgawi.

Amanat 
Demikian, menjadi jelas bahwa perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur disampaikan dalam rangka mengajak para murid Yesus untuk fokus pada satu hal, yaitu pengabdian pada Allah dengan segenap jiwa dan raga. Pengabdian para murid tidak boleh fifty-fifty: setengah pada Tuhan, setengah pada harta. Sebaliknya, para murid hendaknya tahu menentukan prioritas, yaitu menomorsatukan Allah. Bagaimana dengan harta kekayaan? Si Mamon itu tidak pada tempatnya menjadi sosok yang disembah-sembah; dikejar-kejar setengah mati; dan kalau sudah didapat, dipegang erat-erat. Letakkan posisi Mamon dengan tepat, yaitu sebagai sarana.

Perumpamaan yang dikisahkan Yesus ini boleh dilihat juga sebagai kritik bagi kita, manusia zaman ini, yang sedikit banyak lebih mementingkan uang dan harta di atas segalanya. Pengabdian kita kepada Tuhan bukan hanya setengah-setengah, malah bagi-Nya kita menerapkan “jatah” satu banding enam. Satu untuk Tuhan (hari Minggu, itu pun artinya pergi ke gereja satu jam), enam hari yang lain kita pakai untuk mencari uang sebanyak-banyaknya. 

Bumi bergerak cepat, kebutuhan hidup semakin mendesak, dan karenanya kita memang butuh banyak uang. Dan, jangan salah sangka, penginjil Lukas tidak menganggap uang sebagai barang “najis” yang harus dihindari. Lukas sebenarnya berpendapat bahwa uang dan harta hendaknya disikapi dengan tepat. Menurutnya, baiklah kita bekerja keras mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan kita, tapi dengan tetap menyadari bahwa uang bukanlah segalanya. Alih-alih terikat pada Mamon, hendaknya Mamon itu kita “peralat”, kita jadikan sarana untuk kebaikan bersama. Berbagilah, sehingga uang dan kekayaan yang kita miliki dapat turut mengangkat kesejahteraan masyarakat di sekitar kita. 

Agaknya, itu yang disebut cerdik: memanfaatkan hal-hal duniawi untuk kepentingan surgawi.***  
Pertanyaan Pendalaman 
1. Jelaskan bahwa perumpamaan ini tidak bermaksud mengajarkan kepada kita untuk menghalalkan segala cara demi keselamatan diri kita! 
2. Lalu, mengapa bendahara itu mendapat pujian dari tuannya? 
3. Jelaskan makna pepatah: siapa saja yang setia dalam hal-hal kecil, ia setia juga dalam hal-hal besar! 
4. Bagaimana sikap Anda sendiri pada harta benda yang anda miliki? 

MAMON 
Mamon (barangkali seakar dengan kata iman, aman, dan amin) artinya “apa yang diandalkan”. Istilah ini kemudian berkembang dan menunjuk pada “harta kekayaan”. Mamon di sini disebut “tidak jujur”, karena dipandang selalu menggoda manusia untuk menjadi hamba uang. Kalau sudah menjadi hamba uang, hati seseorang akan bercabang. Orang itu lalu kurang percaya pada Allah dan mengabdi Allah tidak dengan sepenuh hati. 

Harun, Martin, Tahun Rahmat Tuhan: Ulasan Injil Hari Minggu Tahun C Masa Biasa, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 194.

Tidak ada komentar: