Jumat, April 29, 2011

ALANGKAH BAIK DAN INDAHNYA…
Jarot Hadianto

“Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya,
apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!”
(Mzm. 133:1)

Dengan tergesa-gesa, aku membuka lemari pakaian. Baju, celana – dan apapun yang terjangkau oleh tanganku – kuraih dan kumasukkan begitu saja ke dalam ransel. Semuanya berjejal-jejalan di situ. Setelah itu, buru-buru aku meninggalkan rumah, mencari angkutan umum, dan tiba di terminal setengah jam kemudian. Tanpa pikir panjang, segera saja aku memasuki sebuah bus yang akan membawaku kembali ke kampung halaman. Bus itu masih agak kosong. Jadi, aku duduk saja di dalamnya, berharap penumpang lain segera datang, agar kendaraan besar ini segera berangkat. Sambil menyabar-nyabarkan diri, sedikit-sedikit aku melirik jam yang terikat di tanganku. Kalau hati sedang gelisah, segala sesuatu memang jadi terasa lama!

Setelah serasa bertahun-tahun menunggu, ditemani lagu-lagu dari seorang pengamen bersuara sumbang, tampak tuan sopir memasuki bus dan menempati posisinya. Hatiku mulai lega, apalagi tak lama kemudian mesin kendaraan dihidupkan dan bus ini mulai beranjak meninggalkan terminal. Ah, perjalanan panjang rupanya sudah dimulai.

Diam bersama dengan rukun

“Segera pulang. Adik sakit keras. Masuk ICU.” Pesan singkat itulah yang tadi membuatku kaget dan jadi serba terburu-buru. Kenapa dengan adikku? Apa yang terjadi pada dirinya? Kata ICU sungguh membuatku ngeri. Itu kan tempat untuk orang yang sakitnya sudah parah. Dalam bayanganku, siapa pun yang masuk ke situ, itu artinya ia sudah dekat ke alam baka. Memangnya adikku sakit apa? Aku telah mencoba menelepon ke rumah untuk meminta penjelasan. Sayang, yang kudengar hanya suara orang menangis dan keterangan yang tidak jelas. Jatuh? Kecelakaan? Bocor? Darah di mana-mana? Entahlah. Suasana rumah tampaknya kacau. Jadi aku pun tidak bertanya lebih lanjut, selain menenangkan ayah-ibu yang aku telepon, sambil menjanjikan bahwa aku segera datang.

Namun, karena tinggal di tempat yang jauh, yang dimaksud “segera datang” paling cepat ya dua belas jam lagi. Bayangkan, aku harus menanggung kegelisahan dalam waktu yang demikian lama! Aku sungguh tak bisa tenang. Sebentar-sebentar aku mengubah posisi dudukku, kadang ke kanan, kadang ke kiri. Tapi sama saja, semuanya terasa tak nyaman. Lalu, kenapa pula bus ini jalannya terasa begitu lamban? Apa tidak bisa dipercepat sedikit, Pak Sopir? Seratus kilometer per jam mungkin? Aku jadi gusar. Sopir itu harus tahu bahwa aku mesti cepat-cepat sampai ke rumah! Situasi sedang gawat!

Tiba-tiba aku ingat, bulan ini adalah bulan yang dipersembahkan kepada Bunda yang Suci. Teringat akan kemurahan hatinya, aku pun menyapa dia, memohon penghiburan, “Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu Yesus. Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin.” Kudoakan doa itu tiga kali dalam hati, dan perlahan-lahan aku pun merasa tenang. Tiga kali Salam Maria tadi kupanjatkan dengan intensi untuk kesembuhan adikku, adik yang sebenarnya tidak terlalu aku sayangi.

Seperti minyak yang baik di atas kepala, seperti embun Gunung Hermon

Yah … bagaimana aku bisa menyayangi dia, dia ini boleh dibilang berandal, biang dari segala macam kekacauan. Tidak ada prestasinya, kecuali dalam hal membuat masalah dan menyusahkan orangtua. Ketika masih tinggal di rumah bersamanya, yang aku lakukan dengannya dari hari ke hari hanyalah bertengkar dan bersilang pendapat. Ayah-ibu pasti pusing melihat dua anaknya ini bertingkah layaknya kucing dan anjing.

Sebagai saudara tua, aku berharap dia mau berubah dan menjadi anak yang baik. Sayang, nasihatku bagaikan angin lalu baginya, dan ia malah memintaku untuk mengurusi diriku sendiri. Kesal benar aku mendengarnya. “Oke! Seumur-umur, aku tak akan pernah peduli lagi denganmu!” demikian aku bersumpah dalam hati.

Teringat akan hal itu, aku tersenyum pahit. Sekarang aku harus pulang untuk mengurusi dia lagi. Ah, dasar anak nakal! Apa yang kaubuat kali ini? Menyusahkan saja! Sebenarnya aku tidak terlalu heran kalau suatu ketika anak itu mengalami hal yang aneh-aneh. Itu sepadan dengan tingkah lakunya yang sering di luar kendali. Aku teringat akan sejumlah kegilaan yang ia lakukan di masa lalu. Dalam benakku yang senantiasa terstruktur rapi, kegilaan-kegilaan itu dapat dikelompokkan dalam tiga jenis.

Yang pertama adalah “prestasi akademis yang rendah”. Adikku yang tercinta ini malasnya bukan main. Sementara aku belajar, ia malah sibuk main game. Hari-hari sekolah ia isi dengan nongkrong di kantin dan di tempat parkir, seolah-olah di situlah ia belajar menuntut ilmu, bukan di kelas. Hasilnya tentu saja bisa ditebak. Nilai-nilai ujiannya jeblok dan buku rapornya pun kebakaran, penuh angka merah.

Yang kedua adalah “tindakan-tindakan brutal nan emosional”. Mungkin adikku ini punya cita-cita jadi petinju, karena dalam hal menonjok orang, kemampuannya sungguh luar biasa. Di kampung, ia disanjung sebagai jagoan. Di mana ada tawuran, di situ ia ada. Melengkapi kegemaran tersebut, ia suka kebut-kebutan dan mengisi malam dengan minum minuman keras. Ck, ck, ck, ck … melihat ia mabuk, aku sungguh merasa berhadapan dengan orang gila.

Yang ketiga adalah “tuntutan biaya hidup yang tinggi”. Dari mana ia bisa membiayai kesenangan-kesenangan itu? Tentu saja dari uang ayah dan ibu. Aku sungguh marah melihat kerja keras orangtuaku lenyap sia-sia di tangannya. Pernah aku hampir berkelahi dengannya gara-gara ia meminta uang kepada ibu dengan setengah memaksa. Itulah titik kritis hubungan persaudaraan di antara kami. Sejak saat itu, ia mulai hati-hati kalau aku ada di dekatnya, dan kami pun jarang bertegur sapa lagi. Maka tidak mengherankan, ketika tiga tahun lalu harus meninggalkan rumah karena mendapat pekerjaan di tempat yang jauh, aku sangat gembira, sampai bersorak-sorak kegirangan!

Aahhh … aku menghela nafas panjang sambil melihat ke arah jendela. Bus tengah melaju di sepanjang jalur pantai utara. Hari sudah gelap, rumah-rumah di pinggir jalan hanya tampak remang-remang. Bagaimana keadaan ayah-ibu sekarang ini? Mereka pasti sedang susah dan bingung. Memang adikku itu menyebalkan dan menyusahkan, tapi bagaimanapun juga dia itu anak mereka. Tiga kali Salam Maria kembali kupanjatkan, kali ini dengan intensi semoga ayah-ibu selalu sabar, tenang, dan baik-baik saja.

Ke sanalah Tuhan memerintahkan berkat…

Menjelang tengah malam, sejenak aku bisa tertidur, tapi sayangnya tidak lama. Bapak sopir ini mungkin baru kemarin mendapat SIM. Cara mengemudinya sama sekali tidak halus, hingga bus berjalan terguncang-guncang tak keruan. Sesekali kendaraan ini bahkan mengerem mendadak akibat nyaris bersenggolan dengan bus tetangga. Sejumlah penumpang mengomel-ngomel, mereka sangat jengkel dan ketakutan. Aku mungkin merasakan hal yang sama, tapi pikiranku dipenuhi oleh masalahku sendiri.

Kembali aku teringat pada adikku. Bagaimanakah keadaannya sekarang. Benarkah kondisinya benar-benar gawat? Masih bertahankah dia? Dulu ia memang sering membuatku jengkel dengan tingkah lakunya yang menyebalkan itu. Lebih parah lagi, beberapa kali aku ditegur ayah dan ibu gara-gara dia. Mereka berkata, aku seharusnya bisa menjaga adikku dan mengarahkan dia ke jalan yang benar. Hah! Saat itu aku merasa dunia seakan terbalik-balik. Yang salah dia, kenapa yang dimarahi aku? Yah … dia memang mengesalkan. Tapi itu kan dulu. Dan, bagaimanapun juga dia itu adikku. Kodrat ini tak mungkin akan berubah.

Maka, pada saat yang genting ini, tak ada bisa kulakukan selain kembali ada di sisinya dan kembali menjadi saudara baginya. Aku tentu berharap ia sudah berubah. Tahun-tahun berlalu ketika aku jauh darinya semoga membuat ia makin dewasa, tahu membedakan mana yang baik, mana yang buruk. Tapi mungkin bukan itu yang penting saat ini. Yang penting saat ini adalah bagaimana ia bisa sembuh, keluar dari masa-masa kritis dan pulih seperti sedia kala. “Tuhan, dia itu saudaraku. Aku mungkin tak terlalu menyayangi dia, tapi aku pasti tidak pernah sungguh membenci dan memusuhi dia. Buatlah dia bertahan, Tuhan. Beri dia masa depan yang panjang.” Tiga kali Salam Maria kembali kupanjatkan, tapi kali ini untuk diriku sendiri. Semoga semangat kasih persaudaraan kembali berkobar dalam diriku.

… Dan kehidupan untuk selama-lamanya

Pagi-pagi buta, tepat jam empat, bus yang kutumpangi sampai ke kota tujuan. Aku bergegas turun, lalu berjalan cepat-cepat menuju rumah sakit yang letaknya tidak jauh dari terminal. Masuk rumah sakit ketika hari masih gelap sungguh tidak menyenangkan. Jantungku berdebar-debar dibuatnya.

Mendekati ruang ICU, dari kejauhan aku melihat ayah, ibu, dan sejumlah saudaraku ada situ. Mereka terpuruk di lantai beralaskan koran, berpelukan satu sama lain, dan menangis terisak-isak. Hatiku makin tak keruan menebak-nebak apa gerangan yang terjadi. Dengan bergegas aku mendatangi mereka. Nafasku memburu, batinku sungguh tidak merasa tenang. Sambil berjalan mendekat, aku masih sempat mendoakan kembali tiga kali Salam Maria. Kali ini aku memohon yang terbaik untuk kami semua…***

Bacaan pendukung
Harun, Martin. Berdoa Bersama Umat Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 1998.




Tidak ada komentar: