Senin, Desember 20, 2010

Mazmur 145

UNTUK SETERUSNYA DAN SELAMANYA
Jarot Hadianto

“Aku hendak mengagungkan Engkau, ya Allahku, ya Raja,
dan aku hendak memuji nama-Mu untuk seterusnya dan selamanya.” (Mzm. 145:1)

“Masuk biara banyak tantangannya, aku tahu itu,” kataku dengan letih lesu kepada teman yang ada di hadapanku. Saat itu, senja mulai turun. Langit berwarna kemerahan, dan kegelapan mulai menyelimuti bumi.

Sore itu kami mengadakan acara sharing panggilan. Kegiatan ini dilakukan setelah ibadat sore, lamanya kira-kira setengah jam. Dua belas frater dibagi menjadi enam kelompok. Kami lalu bertukar pikiran berdua-dua, terinspirasi oleh dua orang murid Yesus yang berjalan menuju Emaus dalam kegelisahan. Aku dan seorang teman mengambil tempat di depan biara. Kami duduk lesehan di situ. Tema yang harus kami diskusikan kali ini adalah tantangan dalam hidup membiara, dan aku memulainya dengan kisah yang suram.

“Aku tahu, di biara aku harus memperbaiki hidupku, harus tahan menanggung godaan, harus mendekatkan diri kepada Tuhan, harus latihan meditasi dan mengolah hidup rohani. Aku tahu itu semua dan aku siap menghadapinya,” kataku lagi.

Temanku tak kunjung memberi tanggapan. Dari tadi ia hanya memandangiku, kelihatannya tidak antusias. Sesekali ia berlama-lama memejamkan mata, mungkin bertanya-tanya, mimpi apa semalam hingga sore ini dihujani keluh-kesah dan persoalan hidup orang lain.

“Tapi ada satu masalah besar yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Masalah ini sangat mengganggu!” demikian aku terus berbicara, kali ini dengan berkobar dan berapi-api. Nada suaraku sengaja kutinggikan agar temanku itu jadi punya minat untuk mendengarkan.
“Wah! Masalah apa itu?” tanya temanku penasaran. Pancinganku rupanya berhasil.
“MENYANYI! Aku tidak tahu bahwa di biara, orang harus bisa menyanyi! Dan aku tidak bisa menyanyi!” jawabku.

Yang namanya sharing mestinya didengarkan dengan hikmat dan penuh pengertian. Sayangnya temanku ini mungkin tak pernah mendengar anjuran tersebut. Pengakuanku disambutnya dengan ledakan tawa yang mengagetkan. Bahkan saking lucunya (menurut dia lucu, menurut aku tidak), tawanya tak kunjung berhenti walau sudah berlangsung 5 menit. “Sungguh makhluk tak berperasaan!” umpatku dalam hati.

Tapi, tanpa mengindahkan penderitaanku, ia terus saja tertawa sampai menangis dan memegangi perutnya yang mulai terasa sakit. Aku hanya dapat memandanginya dengan kesal. Anak ini rupanya masih mengingat kejadian saat ibadat sore tadi.


Setiap hari aku hendak memuji Engkau


Ibadat sore tadi memang berujung pada kekacauan. Dan yang patut dipersalahkan tidak lain dan tidak bukan adalah aku sendiri, sebab akulah yang memimpin ibadat itu. Sebagai pemimpin, mestinya aku dapat menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga kami semua dapat beribadat dengan tenang dan hikmat. Tapi – maafkan aku, Tuhan – aku gagal.

Suasana rusuh sudah terasa sejak awal, yakni ketika aku melantunkan seruan pembuka: ‘Ya Allah, bersegeralah menolong aku.’ Not yang dipakai dalam seruan ini sebenarnya tidak banyak dan simpel saja: do-re-do-si-do-do. Aku cuma harus mengingat bahwa do pertama ditarik panjang-panjang, lalu antara nada si dan do ada ‘ayunan’ yang harus diwaspadai. Tapi, ya Tuhanku, karena tegang luar biasa dan karena pada dasarnya aku tak bisa menyanyi, rangkaian not sederhana itu di bibirku spontan berubah menjadi komposisi rumit dengan bunyi yang tidak karuan, miring ke sana dan miring ke sini. Frater-frater mulai menutup mulut, terkikik-kikik menahan tawa.

Kehancuran terjadi 15 menit kemudian, saat aku tampil lagi untuk ‘mengangkat’ Kidung Zakharia. Secara teknis, rangkaian nada dalam kidung ini memang lebih kompleks daripada dalam seruan pembuka. Bayangkan saja, di bagian belakang ada lima not dengan nada naik turun yang harus aku titi dengan tepat, tak boleh meleset, tak boleh terdengar fals. Sanggupkah aku? Aku ragu dan jadi gemetar. Tapi apa boleh buat, aku tak bisa mundur. Maka aku pun membulatkan tekad: aku hendak menyanyi untuk memuji nama Tuhan! Haleluya! Aku pasti bisa!

Maka, kupejamkan kedua mataku dan kutarik nafas dalam-dalam. Sesaat kemudian mulailah aku membuka mulut untuk melantunkan untaian syair yang indah penuh makna … dan habislah semuanya. Entah bagaimana caranya, aku membuat do jadi sol, sol jadi mi, dan mi jadi re. Konon kabarnya, dari mulutku keluar juga nada-nada baru yang belum pernah terdengar sebelumnya di alam semesta ini.

Pada saat itu, tanpa dikomando, seisi kapel langsung meledak. Teman-temanku tak kuat lagi menahan tawa. Sebagian berusaha menutup wajahnya dengan buku brevir, sebagian yang lain buru-buru keluar ruangan untuk tertawa sepuasnya di luar sana. Doa jadi kacau, ibadat sore bubar dengan sendirinya. Untung saat itu tak ada Pater Magister!


Tuhan itu panjang sabar dan besar kasih setia-Nya


Kalau hanya terjadi satu dua kali, tak apalah. Tapi peristiwa macam ini sudah terjadi berulang-ulang, dan sedihnya kemungkinan besar akan terus terjadi di masa mendatang. Bagaimana tidak, suaraku memang payah, tak bisa diperbaiki lagi. Jangan bilang aku malas berusaha, sebab aku sudah berdaya upaya sepanjang waktu untuk memperbaikinya. Setiap kali mendapat giliran memimpin ibadat, aku selalu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Sehari sebelumnya aku pasti mengurung diri dalam kamar untuk latihan menyanyi sepanjang hari. Hasilnya, ya itu tadi, nol besar.

Pater Magister sebenarnya tak terlalu peduli apakah aku bisa menyanyi atau tidak. Dia ini orangnya keras, tapi hanya menyangkut hal-hal yang prinsip, nyanyi-menyanyi tidak termasuk di dalamnya. Yang tidak sabar melihat diriku adalah wakilnya, Socius Magister, atau yang biasa kami panggil Pater Socius. Maklum, dia ini seniman ulung dan penyanyi hebat tiada tara. Suaranya sangat merdu bagaikan suara malaikat yang turun dari surga. Dan jangan lupa, vibrasi suaranya itu lo. Kalau dia menyanyi, kaca-kaca jendela sampai bergetar dibuatnya. Pater Socius sangat peduli pada lagu-lagu Gregorian yang disebutnya ‘warisan luhur dari Bunda Gereja yang suci’. Ia sungguh tidak rela lagu-lagu surgawi itu turun martabatnya gara-gara suaraku yang sember.

Pertama kali mendengar aku menyanyi, Pater Socius spontan mengelus dada. Ia mengaku telinganya langsung sakit sampai-sampai pendengarannya terganggu selama seminggu. Setelah itu, disingkirkannya aku dari grup paduan suara, karena katanya suaraku ‘semerdu burung gagak yang tengah mencari makan di tengah sawah’. Kala teman-temanku menyanyi di gereja, ia malah menyuruhku jadi misdinar saja. Alasannya, ‘ini kor dengan empat suara, kalau ada kamu nanti jadi lima suara’. Lain kesempatan, ia marah mendapatiku mengacaukan ibadat. Dicelanya aku karena menyanyi seperti ‘orang yang sedang berkumur-kumur’. Suaraku, katanya dengan emosi, ibarat ‘jeritan roh jahat yang datang dari neraka’.

Lama-lama aku jengkel diejek demikian. Memangnya menyanyi itu adalah segala-galanya? Memangnya menyanyi itu syarat masuk surga? Memangnya biarawan yang baik diukur dari caranya menyanyi? Dari suaranya yang bagus? Lihat dari cara hidupnya dong, bukan dari caranya menyanyi!

Ah, bukan berarti aku membenci Pater Socius. Dia itu sebenarnya orang baik. Dulu, menyadari bahwa aku ini manusia bersuara sumbang, ia berusaha melatihku habis-habisan. Pertama-tama, ia mengajari aku untuk melafalkan kata dengan baik. Ini penting, sebab aku suka sekali mengubah huruf f menjadi p. Akibatnya, lagu bagus dari Spice Girls yang berjudul Viva Forever saat kunyanyikan berubah menjadi Pipa Poreper. Di mata Pater Socius, sang seniman sejati, apa yang kulakukan itu tak ubahnya pelecehan terhadap karya seni. Itu dosa besar! Ia terpanggil untuk mempertobatkan diriku agar kembali ke jalan yang benar.

Soal pelafalan kata, Pater Socius boleh dibilang sukses mendidik diriku. Sekarang aku bisa membedakan mana huruf f, mana huruf p. Tapi soal penguasaan nada, bimbingan darinya gagal total. Sejauh masih berurutan do-re-mi-fa-sol-la-si-do, not-not itu memang tidak menjadi masalah bagiku. Tapi kalau aku diminta menyanyikan lagu dengan not yang naik turun, meliuk-liuk, dan berbelit-belit, semuanya pasti kacau balau. Apa boleh buat, aku benar-benar tuna nada!

Kegusaran Pater Socius memuncak ketika aku bisa-bisanya mendapat tugas untuk membawakan Mazmur Tanggapan. Saat itu, kami mengadakan misa intern di kapel biara. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Begitu aku bersuara dari atas mimbar, seketika seisi kapel dinaungi oleh suasana horor yang mencekam. Nada-nada yang kusenandungkan membuyarkan konsentrasi semua orang. Syukur tak ada yang sampai tertawa terbahak-bahak. Selain karena sudah kauancam sebelumnya, teman-temanku tampaknya sangat menghormati keluhuran perayaan Ekaristi. Mereka hanya buru-buru menunduk di kursinya masing-masing, setengah mati menahan tawa.

Tidak demikian halnya dengan Pater Socius. Ia murka dan sangat kecewa. Suaraku saat itu agaknya hancur-hancuran. Mendengarnya, Pater Socius jadi merasa bahwa usahanya selama ini sama sekali tak berguna. Jerih payahnya mengajariku menyanyi sia-sia belaka! Ia sangat marah karenanya dan langsung keluar dari kapel sambil membanting pintu. Tuhan kasihanilah kami…


Tuhan itu penopang bagi semua orang yang jatuh


“Tak kusangka ketidakmampuanku dalam bernyanyi akan membebani perjalanan panggilanku,” keluhku lagi melanjutkan sharing-ku. “Bayangkan, berdoa lima kali sehari, tujuh hari seminggu, semuanya dinyanyikan! La, ini kan ordo para pengemis bukan para penyanyi!”
“Kalau begini caranya, aku kan jadi repot. Mana tahan aku ditertawakan kalian semua terus-menerus. Terus terang ya, gara-gara itu aku pernah berpikir untuk mundur saja. Tapi masak keluar dari biara gara-gara tak bisa nyanyi? Alasan itu kurang berbobot!” Puas benar sore ini aku mencurahkan seluruh persoalan yang mengganjal hatiku.

Setelah itu, suasana mendadak hening. Aku sudah selesai dengan kisahku yang panjang lebar, sementara temanku yang tadi terkekeh-kekeh sekarang tampak berpikir-pikir dengan serius. Agaknya ia kini prihatin melihat diriku yang tengah pusing tujuh keliling. Tapi mengapa dia terus saja tersenyum-senyum kecil?
“Ah teman,” katanya sambil nyengir, “Kamu tak harus menyanyikan semuanya. Baca saja kah.”
“Tapi kebiasaan dalam tarekat kita kan begitu. Doa-doa harus dinyanyikan dengan indah. Semua orang meyakini bahwa menyanyi itu sama dengan berdoa dua kali!” kataku mengutip sebuah pepatah Latin.

“Itu kalau suaramu bagus,” tukas temanku. “Suaramu kan hancur. Kalau kau menyanyi, itu artinya kau tidak berdoa,” katanya sambil tertawa-tawa lagi.
“Lagi pula jangan kecil hati kah,” lanjutnya. “Yang suaranya jelek justru kelak akan jadi uskup. Biasanya begitu. Lihat saja, uskup-uskup kan biasanya tak bisa menyanyi.”
Wah, benarkah itu? Perkataan terakhir temanku menjadi penghiburan bagiku. Aku bisa tersenyum lagi dan sepanjang malam membayangkan asyiknya menjadi uskup. Hmmm…


Dua belas tahun kemudian


Hari ini aku bertemu dengan temanku itu lagi. Aku berdiri di depan altar, sementara ia kulihat duduk manis di bangku umat. Ya, setelah melalui perjalanan yang panjang, setelah jatuh bangun berjuang menghadapi aneka macam tantangan, pada akhirnya aku boleh ditahbiskan menjadi imam. Temanku itu tidak ada di antara kami, frater-frater yang ditahbiskan, sebab ia telah memilih untuk menempuh jalan hidup yang lain. Sayang sekali, padahal ia anak yang pandai.

Tentang diriku, aku sungguh tidak menyangka boleh menerima anugerah sebesar ini dari Tuhan. Padahal sebagai seorang pribadi, aku sungguh memiliki banyak kekurangan. Aku merasa tak layak menjadi hamba-Nya. Namun, kebesaran dan kebaikan hati Tuhan menutupi semua kekurangan itu.

Atas karunia yang melimpah ini, tak henti-hentinya hatiku memuji Dia, “Ya Tuhan, aku hendak mengagungkan nama-Mu untuk seterusnya dan selamanya!”
Aku pun bertekad untuk membalas kebaikan itu. Kujanjikan kepada-Nya, “Ya Tuhan, umat-Mu yang Kaupercayakan kepadaku akan kugembalakan dengan sebaik-baiknya! Siang dan malam!”
Setelah misa selesai, di tengah-tengah serbuan umat yang ingin mengucapkan selamat, aku berkesempatan bertemu dan berbincang-bincang dengan temanku itu. Wah, tak terasa kami sudah tidak bertemu selama belasan tahun! Maka dengan gembira kami bersalaman, saling menepuk bahu, dan berbasa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Sayangnya perbincangan itu tak bisa berlangsung lama. Panitia sudah menyeret-nyeretku untuk berfoto bersama umat. Maka, pertemuan kami untuk sementara terpaksa mesti diakhiri.
“Omong-omong,” katanya sebelum berpisah “prefasi yang kaunyanyikan tadi adalah prefasi terburuk yang pernah kudengar.”
“Suaramu masih saja mengerikan, baca saja kah.”
Kali ini kami tertawa bersama-sama.***

Kepustakaan
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 73-150. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 2. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.
Van Harn, Roger E., dan Brent A. Strawn (ed.). Psalms for Preaching and Worship. Grand Rapids: William B. Eerdmans, 2009.






Tidak ada komentar: