DENGAN LIDAH, KAMI MENANG
Jarot Hadianto
Jarot Hadianto
“Dengan lidah kami, kami menang! Bibir kami menyokong kami! Siapakah tuan atas kami?”
(Mzm. 12:5)
(Mzm. 12:5)
Sepucuk surat menyambut kehadiranku di kantor hari ini, padahal hari masih pagi-pagi benar. Surat itu tergeletak di atas meja, di ruangan kecil tempat kami biasa makan siang sekaligus berganti pakaian. Warnanya putih bersih, di bagian kiri atas tercetak tebal logo kantor ini, sedangkan namaku tertera di sebelah kanan bagian tengah. Surat? Tidak biasanya aku mendapat surat, tidak biasanya juga kantor ini mengirimi pegawainya surat. Praktis saja, kalau ada apa-apa biasanya pimpinan memanggil kami, lalu memberi instruksi ini dan itu. Jadi, kenapa kali ini aku dikirimi surat?
Karena itu hatiku jadi berdebar-debar. Kuletakkan ranselku di atas lantai, lalu dengan perlahan aku pun duduk di samping meja, berlama-lama menatap surat tersebut. Kubiarkan saja surat itu tergeletak dalam posisinya yang semula, aku belum menyentuhnya sama sekali. Mengulurkan tangan untuk mengambil surat itu rasanya aku tak berani. Pikiranku tiba-tiba saja jadi kosong dan melayang-layang. Berkali-kali aku mendesah dan menghela napas yang panjang. Pada saat-saat seperti ini, menerima surat memang merupakan hal yang sangat menakutkan.
Tolonglah kiranya, Tuhan…
Meskipun kepada orang lain aku membanggakan diri sebagai “orang kantoran”, sebenarnya aku tidak benar-benar bisa disebut demikian. Aku ini dibilang pegawai ya tidak tepat, dibilang bukan pegawai juga tidak tepat. Bingung? Yang kumaksud, aku memang bekerja di kantor ini, tapi sebenarnya aku dikirim oleh sebuah yayasan untuk ditempatkan di sini. Istilah kerennya, aku ini tenaga outsourcing.
Jadi jangan samakan aku dengan pegawai-pegawai lain di kantor ini, yang mulai bekerja jam 8 pagi dan bergegas-gegas pulang tepat jam 5 sore. Aku selalu datang jauh lebih awal dan selalu pulang jauh lebih lambat. Namun, meskipun kelihatannya aku bekerja lebih keras daripada pegawai-pegawai tersebut, tetap saja aku tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa aku ini pegawai rendahan. Maka sejujurnya, di kantor ini aku bukanlah siapa-siapa.
Dari hari ke hari, aku mengerjakan hal yang rutin dan terkesan itu-itu saja. Yang kutangani boleh dibilang pekerjaan yang remeh, sepele, serta tidak penting sama sekali. Tiap pagi misalnya, aku dan teman-teman senasib sepenanggungan mengawali hari dengan bersih-bersih, menyapu dan mengepel kantor yang tingginya sampai tujuh lantai ini. Setelah itu, beberapa saat sebelum para pegawai yang rapi dan berdasi mulai berdatangan, kami membuatkan mereka teh atau kopi yang hangat. Beres dengan itu, tugas-tugas lain sudah menanti. Sepanjang hari kami disibukkan dengan tugas membersihkan dinding dan langit-langit gedung, mengangkut boks-boks besar dari lantai 1 ke lantai 7, memfotokopi macam-macam berkas, juga orderan dari para bos untuk membelikan mereka makan siang.
Meski tampaknya sepele, jangan dikira tugas-tugas itu gampang saja dilakukan. Soal membuat minuman, misalnya. Aku harus ingat baik-baik bahwa si ibu di lantai 1 maunya teh kental tanpa gula, sebab dia itu paranoid dengan diabetes. Sementara itu, nona-nona di lantai 2 minta dibuatkan teh manis, tapi tidak boleh terlalu manis. “Kami kan sudah cukup manis,” kata mereka kepedean. Tuan-tuan di lantai 3 punya request yang edan. Tiap pagi jam 8 pas, kopi hitam dengan gelas besar sudah harus tersaji di meja mereka. “Ingat ya, gulanya harus tiga sendok! Buatnya jangan kepagian, jangan sampai pas mau diminum sudah dingin. Saya maunya kopi panas, bukan es kopi!”
Aduh, aduh, aduh, tiga puluh pegawai dengan tiga puluh permintaan. Tiap orang punya kemauan masing-masing, dan aku harus mengingat itu semua dengan baik. Gula yang terlalu sedikit atau terlalu banyak, kopi yang kurang kental, minuman yang kurang panas, semuanya akan berbuah teguran atau malah komplain yang keras. Dan memang ada kalanya aku mendapat hari-hari sial, disembur kemarahan dari lantai 1 sampai lantai 7, dari pagi sampai petang. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa mengurut dada menyabar-nyabarkan diri, sambil berbisik dalam hati, “Tolong Tuhan, tolong…”
Bibir yang manis dan hati yang bercabang
Sekali lagi harus kukatakan, di kantor ini aku bukanlah siapa-siapa. Yayasan tempatku bernaung bisa memindahkan aku sewaktu-waktu ke mana mereka suka. Kantor tempat aku bekerja ini juga bisa meminta agar aku diganti, yakni kalau mereka tidak puas dengan pekerjaanku. Teman-temanku sudah banyak yang mengalaminya. Mereka pergi dari sini dengan air mata, tanpa tahu kesalahan apa yang telah mereka perbuat. Memang istilahnya mereka itu di-rolling. Namun, karena belum tentu ada tempat baru yang bisa menampung, atau karena kemudian ditaruh di tempat yang jauh, terpencil, dan susah dijangkau, rolling rasanya hanya istilah halus untuk pemecatan.
Bercermin dari pengalaman mereka, aku mencoba untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Meski gaji yang kudapat untuk pekerjaan yang melelahkan ini tak seberapa, tak apalah. Enam ratus ribu sebulan memang sudah mengandaskan mimpiku menjadi jutawan. Mana mungkin bisa kaya, untuk hidup sehari-hari saja kurang. Namun, ketika badanku sakit semua saat harus naik-naik tangga atau menggosok-gosok toilet, aku ingat senyum keluargaku yang menunggu di rumah. “Anakku sayang, istriku sayang, aku mengerjakan ini semua demi kalian,” kataku dalam hati. Dan aku pun kembali bekerja dengan penuh semangat.
Tapi sayangnya, seperti yang juga dialami oleh teman-temanku, tidak semua orang bisa menerima keberadaanku. Di antara pegawai kantor ini tampaknya ada yang tidak puas melihat caraku bekerja. Di matanya, apa saja yang kulakukan rasanya selalu salah, tak ada yang beres. Mengelap meja, tak mengkilap; menyapu, tak bersih; mengepel lantai, airnya tercecer di mana-mana. Bagaimana dengan teh yang tiap pagi kubuatkan khusus untuknya? Dia bilang, teh itu rasanya tidak karu-karuan. Suatu ketika, ia mengaku mendapat teh yang rasanya begitu aneh: ada manis, ada asem, ada asin. Maka ia memanggilku dan meledakkan amarahnya di hadapanku. Ia membentakku sambil menunding-nudingkan jarinya ke mukaku, “Kamu ini buat teh atau ORALIT!!!”
Teh yang kurang enak hanya soal remeh. Namun, karena pada dasarnya sudah tidak suka, soal yang remeh pun bisa dibuat jadi besar. Apalah dayaku, aku hanya orang kecil. Saat itu aku hanya bisa diam dan tertunduk. Selanjutnya, kalau bekerja di ruangannya, aku selalu berusaha cepat-cepat. Aku juga tidak berani mengangkat kepala memandang wajahnya. Kebenciannya kepadaku lama-kelamaan kurasa makin mendalam. Ia selalu saja mencari-cari apa yang salah, yang bisa dijadikan bahan untuk mengomeli diriku. Pokoknya bagi dia, aku ini pekerja yang payah.
Anehnya, dia yang beringas terhadapku, kalau berhadapan dengan orang lain, sikapnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Dengan rekan-rekannya, terutama dengan bos-bos besar, senyumnya selalu terkembang, semanis gula batu. Tutur katanya senantiasa halus, tertata rapi, dan indah. Orang-orang terkesan kepadanya dan memuji-muji betapa cakapnya ia bekerja. Melihat itu, aku jadi sedih sekaligus menggerutu. Mengapa mereka menilai orang dari luarnya saja? Tak tahukah mereka bahwa dia ini begitu kejam? Orang ini adalah manusia yang punya dua hati!
Dengan lidah kami, kami menang!
Sekarang kalian tahu mengapa surat ini membuatku ketakutan. Dia yang membenciku setengah mati adalah orang yang punya pengaruh kuat di kantor ini. Rekan-rekan sesama pegawai segan kepadanya, pekerja-pekerja kelas bawah takut berhadapan dengannya. Seorang teman sampai-sampai membisikkan nasihat kepadaku, “Kamu boleh dimusuhi oleh siapa saja di kantor ini, asal bukan dia. Dimusuhi dia artinya game over.” Tapi kini ia jelas-jelas membenciku. Bagaimana aku tidak khawatir?
Bisa saja dia melaporkan yang buruk-buruk tentang aku kepada para pimpinan. Di hadapan mereka, ia dapat memutarbalikkan kata sekehendak hati. Hal itu tentu tidak sulit, sebab ilmu dan kepandaiannya sangatlah tinggi. Dengan mudah, para pimpinan akan percaya penuh kepadanya. Seketika mereka akan melihat bahwa yang ada pada diriku ini hanyalah keburukan semata-mata. Hasilnya, sebuah surat akan segera mereka kirimkan kepadaku, surat agar aku segera enyah dari tempat ini, surat pemecatan. Itukah surat yang ada di depanku saat ini? Aku belum juga sanggup memungutnya dari atas meja.
Ah, sekarang aku merasakan sendiri betapa kata-kata dapat dirancang untuk membunuh seseorang. Demi kedudukan dan keinginan dirinya, orang yang punya kuasa tega memanfaatkan bibir dan lidahnya untuk tujuan yang salah. Hati yang bercabang dan lidah yang penuh dusta sungguh membawa maut! Korbannya tidak lain orang-orang kecil dan lemah seperti aku ini. Dia bisa bersilat lidah, aku tidak. Di sini aku bahkan tak punya hak untuk mengucapkan barang sepatah kata. Siapa yang percaya pada perkataan petugas kebersihan seperti aku?
Tuhan, aku lemah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana kalau aku sampai diberhentikan? Aku lalu kerja di mana? Siapa yang mau mempekerjakan orang kecil seperti aku? Bagaimana pula nasib anak dan istriku nanti?
Tuhan, aku tahu, dia adalah orang yang sangat kuat. Dengan lidah dan kata-katanya yang licik, ia menguasai segalanya. Tetapi Engkau, ya Tuhan, Engkau tahu apa yang ada dalam hati manusia. Patahkan kesombongannya, ya Tuhan. Jangan biarkan orang-orang percaya kepadanya. Jangan biarkan pula orang-orang angkuh macam dia berseru, “Dengan lidah, kami menang!” Bangkitlah Tuhan, tunjukkan kuasa-Mu. Kasihanilah aku, ya Tuhan, kasihanilah keluargaku.
Engkau, Tuhan, yang akan menepatinya…
Seperempat jam kubiarkan diri terombang-ambing dalam kegelisahan, memikirkan berbagai macam prasangka dan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Amplop putih itu masih setia tergeletak di depanku. Ah, mengapa aku begitu cemas? Siapa tahu isi surat ini tidak seburuk yang kubayangkan? Maka, dengan tangan bergetar, surat itu kuambil dari atas meja. Kuputar-putar sejenak sambil kutatap dengan wajah yang bimbang. Lalu, setelah hatiku terasa kuat, perlahan amplop itu aku sobek. Selembar kertas yang ada di dalamnya segera kutarik keluar.
Kata demi kata aku baca dengan perlahan, kalimat demi kalimat aku resapi dalam-dalam. Air mata mulai mengalir di pipiku. Tanpa sadar aku mulai terisak-isak. Kututupi wajahku dengan kertas surat yang ada di tanganku itu. Ah Tuhan, sungguhkah mukjizat itu ada? Mengapa aku tidak mengalaminya?***
Karena itu hatiku jadi berdebar-debar. Kuletakkan ranselku di atas lantai, lalu dengan perlahan aku pun duduk di samping meja, berlama-lama menatap surat tersebut. Kubiarkan saja surat itu tergeletak dalam posisinya yang semula, aku belum menyentuhnya sama sekali. Mengulurkan tangan untuk mengambil surat itu rasanya aku tak berani. Pikiranku tiba-tiba saja jadi kosong dan melayang-layang. Berkali-kali aku mendesah dan menghela napas yang panjang. Pada saat-saat seperti ini, menerima surat memang merupakan hal yang sangat menakutkan.
Tolonglah kiranya, Tuhan…
Meskipun kepada orang lain aku membanggakan diri sebagai “orang kantoran”, sebenarnya aku tidak benar-benar bisa disebut demikian. Aku ini dibilang pegawai ya tidak tepat, dibilang bukan pegawai juga tidak tepat. Bingung? Yang kumaksud, aku memang bekerja di kantor ini, tapi sebenarnya aku dikirim oleh sebuah yayasan untuk ditempatkan di sini. Istilah kerennya, aku ini tenaga outsourcing.
Jadi jangan samakan aku dengan pegawai-pegawai lain di kantor ini, yang mulai bekerja jam 8 pagi dan bergegas-gegas pulang tepat jam 5 sore. Aku selalu datang jauh lebih awal dan selalu pulang jauh lebih lambat. Namun, meskipun kelihatannya aku bekerja lebih keras daripada pegawai-pegawai tersebut, tetap saja aku tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa aku ini pegawai rendahan. Maka sejujurnya, di kantor ini aku bukanlah siapa-siapa.
Dari hari ke hari, aku mengerjakan hal yang rutin dan terkesan itu-itu saja. Yang kutangani boleh dibilang pekerjaan yang remeh, sepele, serta tidak penting sama sekali. Tiap pagi misalnya, aku dan teman-teman senasib sepenanggungan mengawali hari dengan bersih-bersih, menyapu dan mengepel kantor yang tingginya sampai tujuh lantai ini. Setelah itu, beberapa saat sebelum para pegawai yang rapi dan berdasi mulai berdatangan, kami membuatkan mereka teh atau kopi yang hangat. Beres dengan itu, tugas-tugas lain sudah menanti. Sepanjang hari kami disibukkan dengan tugas membersihkan dinding dan langit-langit gedung, mengangkut boks-boks besar dari lantai 1 ke lantai 7, memfotokopi macam-macam berkas, juga orderan dari para bos untuk membelikan mereka makan siang.
Meski tampaknya sepele, jangan dikira tugas-tugas itu gampang saja dilakukan. Soal membuat minuman, misalnya. Aku harus ingat baik-baik bahwa si ibu di lantai 1 maunya teh kental tanpa gula, sebab dia itu paranoid dengan diabetes. Sementara itu, nona-nona di lantai 2 minta dibuatkan teh manis, tapi tidak boleh terlalu manis. “Kami kan sudah cukup manis,” kata mereka kepedean. Tuan-tuan di lantai 3 punya request yang edan. Tiap pagi jam 8 pas, kopi hitam dengan gelas besar sudah harus tersaji di meja mereka. “Ingat ya, gulanya harus tiga sendok! Buatnya jangan kepagian, jangan sampai pas mau diminum sudah dingin. Saya maunya kopi panas, bukan es kopi!”
Aduh, aduh, aduh, tiga puluh pegawai dengan tiga puluh permintaan. Tiap orang punya kemauan masing-masing, dan aku harus mengingat itu semua dengan baik. Gula yang terlalu sedikit atau terlalu banyak, kopi yang kurang kental, minuman yang kurang panas, semuanya akan berbuah teguran atau malah komplain yang keras. Dan memang ada kalanya aku mendapat hari-hari sial, disembur kemarahan dari lantai 1 sampai lantai 7, dari pagi sampai petang. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa mengurut dada menyabar-nyabarkan diri, sambil berbisik dalam hati, “Tolong Tuhan, tolong…”
Bibir yang manis dan hati yang bercabang
Sekali lagi harus kukatakan, di kantor ini aku bukanlah siapa-siapa. Yayasan tempatku bernaung bisa memindahkan aku sewaktu-waktu ke mana mereka suka. Kantor tempat aku bekerja ini juga bisa meminta agar aku diganti, yakni kalau mereka tidak puas dengan pekerjaanku. Teman-temanku sudah banyak yang mengalaminya. Mereka pergi dari sini dengan air mata, tanpa tahu kesalahan apa yang telah mereka perbuat. Memang istilahnya mereka itu di-rolling. Namun, karena belum tentu ada tempat baru yang bisa menampung, atau karena kemudian ditaruh di tempat yang jauh, terpencil, dan susah dijangkau, rolling rasanya hanya istilah halus untuk pemecatan.
Bercermin dari pengalaman mereka, aku mencoba untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Meski gaji yang kudapat untuk pekerjaan yang melelahkan ini tak seberapa, tak apalah. Enam ratus ribu sebulan memang sudah mengandaskan mimpiku menjadi jutawan. Mana mungkin bisa kaya, untuk hidup sehari-hari saja kurang. Namun, ketika badanku sakit semua saat harus naik-naik tangga atau menggosok-gosok toilet, aku ingat senyum keluargaku yang menunggu di rumah. “Anakku sayang, istriku sayang, aku mengerjakan ini semua demi kalian,” kataku dalam hati. Dan aku pun kembali bekerja dengan penuh semangat.
Tapi sayangnya, seperti yang juga dialami oleh teman-temanku, tidak semua orang bisa menerima keberadaanku. Di antara pegawai kantor ini tampaknya ada yang tidak puas melihat caraku bekerja. Di matanya, apa saja yang kulakukan rasanya selalu salah, tak ada yang beres. Mengelap meja, tak mengkilap; menyapu, tak bersih; mengepel lantai, airnya tercecer di mana-mana. Bagaimana dengan teh yang tiap pagi kubuatkan khusus untuknya? Dia bilang, teh itu rasanya tidak karu-karuan. Suatu ketika, ia mengaku mendapat teh yang rasanya begitu aneh: ada manis, ada asem, ada asin. Maka ia memanggilku dan meledakkan amarahnya di hadapanku. Ia membentakku sambil menunding-nudingkan jarinya ke mukaku, “Kamu ini buat teh atau ORALIT!!!”
Teh yang kurang enak hanya soal remeh. Namun, karena pada dasarnya sudah tidak suka, soal yang remeh pun bisa dibuat jadi besar. Apalah dayaku, aku hanya orang kecil. Saat itu aku hanya bisa diam dan tertunduk. Selanjutnya, kalau bekerja di ruangannya, aku selalu berusaha cepat-cepat. Aku juga tidak berani mengangkat kepala memandang wajahnya. Kebenciannya kepadaku lama-kelamaan kurasa makin mendalam. Ia selalu saja mencari-cari apa yang salah, yang bisa dijadikan bahan untuk mengomeli diriku. Pokoknya bagi dia, aku ini pekerja yang payah.
Anehnya, dia yang beringas terhadapku, kalau berhadapan dengan orang lain, sikapnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Dengan rekan-rekannya, terutama dengan bos-bos besar, senyumnya selalu terkembang, semanis gula batu. Tutur katanya senantiasa halus, tertata rapi, dan indah. Orang-orang terkesan kepadanya dan memuji-muji betapa cakapnya ia bekerja. Melihat itu, aku jadi sedih sekaligus menggerutu. Mengapa mereka menilai orang dari luarnya saja? Tak tahukah mereka bahwa dia ini begitu kejam? Orang ini adalah manusia yang punya dua hati!
Dengan lidah kami, kami menang!
Sekarang kalian tahu mengapa surat ini membuatku ketakutan. Dia yang membenciku setengah mati adalah orang yang punya pengaruh kuat di kantor ini. Rekan-rekan sesama pegawai segan kepadanya, pekerja-pekerja kelas bawah takut berhadapan dengannya. Seorang teman sampai-sampai membisikkan nasihat kepadaku, “Kamu boleh dimusuhi oleh siapa saja di kantor ini, asal bukan dia. Dimusuhi dia artinya game over.” Tapi kini ia jelas-jelas membenciku. Bagaimana aku tidak khawatir?
Bisa saja dia melaporkan yang buruk-buruk tentang aku kepada para pimpinan. Di hadapan mereka, ia dapat memutarbalikkan kata sekehendak hati. Hal itu tentu tidak sulit, sebab ilmu dan kepandaiannya sangatlah tinggi. Dengan mudah, para pimpinan akan percaya penuh kepadanya. Seketika mereka akan melihat bahwa yang ada pada diriku ini hanyalah keburukan semata-mata. Hasilnya, sebuah surat akan segera mereka kirimkan kepadaku, surat agar aku segera enyah dari tempat ini, surat pemecatan. Itukah surat yang ada di depanku saat ini? Aku belum juga sanggup memungutnya dari atas meja.
Ah, sekarang aku merasakan sendiri betapa kata-kata dapat dirancang untuk membunuh seseorang. Demi kedudukan dan keinginan dirinya, orang yang punya kuasa tega memanfaatkan bibir dan lidahnya untuk tujuan yang salah. Hati yang bercabang dan lidah yang penuh dusta sungguh membawa maut! Korbannya tidak lain orang-orang kecil dan lemah seperti aku ini. Dia bisa bersilat lidah, aku tidak. Di sini aku bahkan tak punya hak untuk mengucapkan barang sepatah kata. Siapa yang percaya pada perkataan petugas kebersihan seperti aku?
Tuhan, aku lemah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana kalau aku sampai diberhentikan? Aku lalu kerja di mana? Siapa yang mau mempekerjakan orang kecil seperti aku? Bagaimana pula nasib anak dan istriku nanti?
Tuhan, aku tahu, dia adalah orang yang sangat kuat. Dengan lidah dan kata-katanya yang licik, ia menguasai segalanya. Tetapi Engkau, ya Tuhan, Engkau tahu apa yang ada dalam hati manusia. Patahkan kesombongannya, ya Tuhan. Jangan biarkan orang-orang percaya kepadanya. Jangan biarkan pula orang-orang angkuh macam dia berseru, “Dengan lidah, kami menang!” Bangkitlah Tuhan, tunjukkan kuasa-Mu. Kasihanilah aku, ya Tuhan, kasihanilah keluargaku.
Engkau, Tuhan, yang akan menepatinya…
Seperempat jam kubiarkan diri terombang-ambing dalam kegelisahan, memikirkan berbagai macam prasangka dan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Amplop putih itu masih setia tergeletak di depanku. Ah, mengapa aku begitu cemas? Siapa tahu isi surat ini tidak seburuk yang kubayangkan? Maka, dengan tangan bergetar, surat itu kuambil dari atas meja. Kuputar-putar sejenak sambil kutatap dengan wajah yang bimbang. Lalu, setelah hatiku terasa kuat, perlahan amplop itu aku sobek. Selembar kertas yang ada di dalamnya segera kutarik keluar.
Kata demi kata aku baca dengan perlahan, kalimat demi kalimat aku resapi dalam-dalam. Air mata mulai mengalir di pipiku. Tanpa sadar aku mulai terisak-isak. Kututupi wajahku dengan kertas surat yang ada di tanganku itu. Ah Tuhan, sungguhkah mukjizat itu ada? Mengapa aku tidak mengalaminya?***
Kepustakaan
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar