BADAI BULAN NOVEMBER
Jarot Hadianto
“Kepada TUHAN, hai penghuni surgawi,
kepada TUHAN sajalah kemuliaan dan kekuatan!” (Mzm. 29:1)
Segelas cappuccino, dua donat berlapis strawberry, dan duduklah aku di café itu dengan nyaman. Tempat duduk yang kupilih rasanya sangat pas dan strategis. Letaknya memang di sudut ruangan, tapi dari situ aku tetap bisa melihat suasana di luar sana. Dan yang paling penting: sofanya begitu empuk! Siapa pun yang mendudukinya pasti akan menghembuskan nafas panjang penuh kelegaan, seperti yang terjadi pada diriku saat ini.
Tak menunggu lama, cangkir kopi di atas meja segera kuangkat. Sambil memejamkan mata, aromanya yang harum semerbak kuhirup dalam-dalam. Hmmm, sedaaappp… Tak percuma saudara-saudara Kapusin meminjamkan namanya untuk minuman berwarna cokelat muda ini. Lalu, selagi masih hangat, cappuccino itu kuminum sedikit demi sedikit. Ah, nikmatnya sungguh tak terkira…
Mampir di café macam ini sebenarnya bukan kebiasaanku. Aku bahkan berpendapat, itu hanya buang-buang waktu dan buang-buang uang saja. Tapi sore ini apa boleh buat. Hujan turun dengan derasnya ketika aku berjalan kaki pulang dari kantor. Datangnya yang mendadak membuat semua orang berlari-lari mencari tempat berteduh, termasuk diriku. Beberapa waktu lamanya aku bernaung di sebuah halte bus, namun derasnya hujan dan amukan angin yang liar langsung menyadarkanku bahwa tempat ini tak banyak membantu.
Maka terpaksalah aku masuk ke café ini. Letaknya memang persis di seberang halte tersebut. Dari luar sudah kelihatan bahwa tempat ini sanggup memberikan kehangatan. Dan benar, itulah yang aku rasakan begitu masuk ke dalamnya. Para pelayan menyambutku dengan ramah, sambil mengucapkan pertanyaan standar, “Ada yang bisa kami bantu?” Kubalas senyum mereka dan kusebutkan pesananku. Ah, berteduh tak pernah senyaman ini: duduk manis bak seorang eksekutif muda, ditemani cappuccino nan hangat dan donat nan lezat. Tapi berteduh juga tak pernah semahal ini: untuk makanan dan minuman yang tak mengenyangkan itu, aku harus membayar tiga puluh ribu!
Berilah kepada Tuhan kemuliaan nama-Nya
Sambil terbuai dalam kenikmatan, aku melayangkan pandangan ke jalan raya. Suasana di luar sana benar-benar kacau. Mobil-mobil berderet panjang, sama sekali tak bergerak. Samar-samar terdengar bunyi klakson bersahut-sahutan. Orang-orang di dalam mobil itu rupanya sudah tak sabar. Masak satu jam hanya bisa maju sepuluh meter! Aku tersenyum kecil. Di kota metropolitan ini, hujan turun sebentar saja, lalu lintas pasti langsung kacau. Penyebabnya? Selokan meluap, jalan tergenang air, pohon tumbang, lampu lalu lintas mati, dan macam-macam hal lainnya. Mau protes bagaimana lagi?
Yang boleh merasa sedikit beruntung hanyalah pengendara sepeda motor. Satu dua dari mereka kulihat bisa melaju, lolos dari kemacetan, karena cerdik mencari celah di sana-sini. Tapi aku menggeleng-gelengkan kepala. Gila mereka itu. Hujan selebat ini masih juga nekat diterobos. Kenapa tidak menepi saja? Selain berbahaya, orang-orang itu tanpa sadar mempersilakan dirinya didatangi macam-macam penyakit.
Pengendara motor yang lain bersikap lebih bijaksana. Bersama sejumlah pejalan kaki, mereka memilih berteduh di pinggir jalan. Mengapa orang-orang itu kusebut bijaksana, tidak lain karena hujan sore ini memang luar biasa. Air tercurah laksana dituang dari langit. Butir-butir air hujan tampak begitu besar – mungkin sebesar biji salak – sehingga pasti akan terasa menyakitkan kalau terkena badan. Jangan cari masalah dengan menantang hujan macam ini, lebih baik menghindar.
Biar begitu, orang-orang yang berteduh itu kelihatannya tak merasa lebih baik. Kupandangi wajah mereka satu per satu. Tak satu pun tersenyum, tak seorang pun tampak bahagia. Ibu berbaju merah di halte itu misalnya, mukanya begitu suram. Lelaki di sebelahnya sama saja. Ia bahkan sedang marah-marah, mungkin mengutuki motornya yang mogok.
Memandang mereka semua, aku merasa beruntung. Kuiris donat yang ada di atas meja, lalu kusantap dan kunikmati rasanya yang asam-manis itu perlahan-lahan. Diam-diam aku tersenyum lagi, diam-diam pula aku bersyukur, memuji nama Tuhan atas keadaanku. Tapi mengapa semua harus serba diam-diam? Ya, karena aku agak merasa bersalah, bisa tersenyum di atas penderitaan orang lain.
Suara Tuhan di atas air, Allah yang mulia mengguntur
Sudah setengah jam aku berada di tempat ini. Hujan tak kunjung reda, malah makin menggila. Padahal, cappuccino-ku sudah tandas, sementara donat cuma tersisa seiris. Mau pesan lagi, uang sudah menipis. Aku mulai gelisah dan mengeluh dalam hati, “Ah Tuhan, kenapa Kauturunkan hujan sore hari, saat kami pulang kerja? Kenapa tidak tadi siang saja? Begini kan bikin repot.”
DUARRR!!! Aku terperanjat saking kagetnya. Orang-orang di luar sana kulihat serentak menundukkan kepala. Astaga, apa itu tadi? Kilat! Halilintar! Sekarang giliran dia rupanya yang mengamuk. Lidahnya menyambar-nyambar tanpa ampun di angkasa. Langit yang gelap gulita itu seakan-akan mau dibelahnya dengan cahayanya yang terang-benderang dan suaranya yang dahsyat menggelegar. Engkaukah yang berteriak itu, Tuhan? Apakah itu jawaban-Mu atas keluhanku? Jangan begitu, Tuhan. Engkau membuat kami semua ketakutan saja!
DUARRR!!! Karena aku masih protes, Tuhan membalasnya dengan kilat yang lebih hebat. Nyali orang-orang jadi makin ciut, apalagi diriku. Aku menggigil ketakutan, tak berani mengkritik-Nya lagi. Jangan-jangan berikutnya Ia mengirim kilat untuk menyambar kepalaku!
Kilat yang kedua tadi ternyata memang sangat dekat. Disambarnya pohon tinggi besar yang ada di ujung jalan. Pohon perkasa itu dibuatnya hangus dalam sekejap! Kami semua terpana memandangnya. Mulut kami makin menganga ketika tak berapa lama kemudian terdengar bunyi, “Krakk…, krak…, krak…” Orang-orang mulai berteriak histeris. Kutinggalkan sofaku yang empuk dan aku memandang peristiwa langka ini dari balik dinding kaca.
Pohon itu perlahan-lahan tumbang. Pelan tapi pasti, ia miring ke kiri, miring terus, miring terus, dan “Bummm…” Terkaparlah ia ke tanah, menghancurkan pagar dan bagian depan sebuah rumah yang ada di dekatnya. Untung bagi orang-orang yang berteduh, pohon itu tidak menimpa mereka. Untung bagi pengguna jalan, pohon itu tidak menjatuhi kendaraan yang mereka tumpangi. Tapi sial benar pemilik rumah itu. Mimpi apa dia semalam, rumahnya rontok dihajar pohon yang beratnya ratusan kilo.
Dadaku berdebar kencang melihat kejadian yang spektakuler itu. Meski merasa was-was, tak henti-hentinya aku mengucap syukur. Syukur bahwa aku tidak kehujanan di luar sana, syukur bahwa aku aman dan nyaman di ruangan ini, syukur bahwa aku tidak berada di dekat pohon itu, syukur bahwa yang tertimpa pohon itu bukan rumahku, syukur bahwa … DUARRR!!! Semua orang di ruangan ini berseru kaget. Listrik tiba-tiba mati. Kegelapan mendadak menguasai tempat ini.
Aku hanya bisa diam membisu. Ucapan syukurku tak lagi kuteruskan. Kulihat para pelayan berjalan bergegas ke sana-kemari. Mereka kebingungan mencari lilin. Waduh, zaman modern begini masih mengandalkan lilin! Apakah mereka tak punya genset? Para pengunjung, termasuk aku, hanya bisa pasrah menunggu dalam gelap. Lenyap sudah kenyamanan yang sejak tadi kurasakan, kenyamanan yang kubayar dengan harga yang sangat mahal!
DUARRR!!! Untuk yang terakhir kalinya, kilat menyambar lagi. Terangnya sejenak menerangi orang-orang di ruangan ini yang terpuruk dalam kegelapan di tempat duduknya masing-masing. Sekilas aku melihat ke arah bawah. Lantai tampak begitu mengkilap. Lalu kakiku tiba-tiba terasa basah. Yaaahhh… café elite ini ternyata kebanjiran!
Tuhan kiranya memberikan kekuatan kepada umat-Nya
Para pengunjung langsung panik, sementara aku menggerutu saking jengkelnya, “Hentikan banjir ini, ya Tuhan. Hentikan!” Tapi kemudian aku jadi bingung sendiri. Tuhan memang berkuasa atas hujan, tapi apakah Ia yang harus dipersalahkan kalau kami kebanjiran? Tuhan memang berkuasa atas kilat, tapi apakah Ia yang harus bertanggung jawab kalau kilat itu menyambar pohon, lalu pohon itu ambruk menimpa rumah? Wah entahlah, aku tak tahu.
Yang aku tahu, aku harus cepat berbuat sesuatu. Makin lama air yang masuk ke ruangan ini makin banyak saja. Maka buru-buru kukemasi barang-barangku, dan aku pun segera melangkah pergi. Kebetulan hujan yang tadi mendadak datang, kini mendadak pula berhenti. Yang tersisa di luar sana hanyalah gerimis kecil. Jadi kuputuskan untuk memberanikan diri meninggalkan tempat ini. Apa pun yang terjadi, aku harus melanjutkan perjalananku. Aku harus pulang.
Kubuka pintu café perlahan-lahan, dan aku pun langsung terperanjat. Badai yang terjadi di awal bulan November ini benar-benar hebat. Jalanan sanggup diubahnya menjadi samudra. Air ada di mana-mana. Di hadapanku berjajar begitu banyak kendaraan yang terendam di tengah jalan. Orang-orang tampak kebingungan, tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa kulihat menelepon sanak kerabatnya sambil menangis. Yah, tak ada yang bisa kulakukan untuk membantu mereka. Jadi, aku pergi saja menjauhi tempat itu, menyibak genangan air yang tingginya sudah sampai selutut. Kalau air ini tiba-tiba meninggi, habislah semuanya. Maka dengan sungguh aku berdoa, “Tuhan, lindungi dan sertailah aku. Berilah aku kekuatan-Mu…”
Penutup: Tuhan kiranya memberkati umat-Nya dengan sejahtera!
DUARRR!!! Suara itu terdengar lagi. Aku mengeluh, “Ya Tuhan, mengapa jawaban dari-Mu seperti itu?” Dengan cemas, aku melangkah terus menerjang banjir. Sambil berjalan, kudaraskan doa Salam Maria tanpa henti. Semoga Ibu Maria berkenan mendampingi anaknya yang tengah bersengsara ini. “Ibu, jaga aku agar selamat sampai di rumah…”
DUARRR!!! Doaku tak berbalas. Tak adakah penghuni surga yang tergerak untuk menolongku? Aku ketakutan berjuang antara hidup dan mati. Di atas sana kilat menyambar-nyambar lagi dengan hebatnya. Hujan deras kembali turun. Kupandangi sekelilingku dengan nafas terengah-engah. Sejauh mata memandang, yang ada hanyalah air, dan makin lama permukaan air itu makin meninggi…, meninggi…, dan terus meninggi…***
Bacaan Pendukung
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Bergant, Dianne, dan Robert J. Karris (ed.). Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar