KISAH ORANG PALING MALANG SEDUNIA
Jarot Hadianto
“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mzm. 23:1)
Jarot Hadianto
“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mzm. 23:1)
Situasi yang kuhadapi saat ini tampaknya sederhana bagi orang lain, tapi tidak bagiku. Aku diminta setiap pagi mengantar setumpuk koran dari stasiun kereta ke kios majalah di pertigaan jalan. Untuk pekerjaan itu, aku akan mendapat uang jasa sebesar dua ribu rupiah per hari. Jarak antara dua tempat itu tidak jauh, hanya sekitar 300 langkah. Jadi kelihatannya mudah saja, bukan?
Tapi untuk melakukan kerja sederhana itu aku punya tiga masalah besar. Pertama, jalan yang akan kulalui itu sempit, namun selalu padat oleh manusia, mobil, dan motor yang hilir mudik menuju stasiun kereta. Kedua, tidak ada teman yang bisa mendampingiku, aku harus berjalan sendiri. Dan ketiga, mengapa dua hal sepele itu menjadi soal, tidak lain karena aku tidak bisa melihat. Aku ini buta.
Tapi untuk melakukan kerja sederhana itu aku punya tiga masalah besar. Pertama, jalan yang akan kulalui itu sempit, namun selalu padat oleh manusia, mobil, dan motor yang hilir mudik menuju stasiun kereta. Kedua, tidak ada teman yang bisa mendampingiku, aku harus berjalan sendiri. Dan ketiga, mengapa dua hal sepele itu menjadi soal, tidak lain karena aku tidak bisa melihat. Aku ini buta.
Orang paling malang sedunia
Kalau begitu keadaannya, lalu untuk apa aku harus mengambil risiko berjalan sendirian, membawa setumpuk koran yang berat, hanya demi selembar uang dua ribu rupiah? Terus terang saja, uang sebanyak itu sangat berarti bagiku. Aku ini pengemis. Pendapatan harian yang kuperoleh tidak banyak dan tidak pernah bisa dipastikan. Saat tanggal muda, kantong celanaku bisa penuh oleh koin, buah pemberian orang-orang kantoran yang murah hati. Tapi ketika tanggal tua tiba, jangan harap itu terjadi.
Pagi ini misalnya, pemasukan tercatat nol rupiah. Padahal, aku sudah beroperasi sejak pagi-pagi buta dan sekarang dalam keadaan lapar. Apakah tanggal tua telah tiba? Aku menduga demikian. Tuan-tuan dan nona-nona muda yang menanti kereta di stasiun ini rasanya tidak berminat melihat aku. Akibatnya, mangkok di tanganku masih kosong melompong. Koin seratus perak pun tak ada! Jadi, apa boleh buat, ketika ada orang yang mau memakai jasaku untuk mengantar koran ke kios di pinggir jalan, aku segera saja menerimanya.
Menjadi pengemis memang menyedihkan. Menjadi pengemis yang buta, itu lebih menyedihkan lagi. Tapi ya, begitulah nasibku. Sering aku merasa, aku ini orang paling malang sedunia. Entah kenapa Tuhan tega menciptakan aku seperti ini. Aku sudah lelah bertanya-tanya kepada-Nya tanpa jawaban. Sekarang ini, selain bersikap pasrah dan menjalani hidup apa adanya, aku punya keyakinan baru yang kupegang erat-erat: “Tuhanlah gembalaku, aku takkan kekurangan. Tuhan akan membimbing dan menuntun aku ketika aku berjalan dalam kegelapan.” Ah, bagaimana bisa pengemis buta seperti aku punya insight – begitu orang pintar sering mengatakannya – sehebat itu? Sebentar lagi kalian akan mengetahuinya.
Pagi ini misalnya, pemasukan tercatat nol rupiah. Padahal, aku sudah beroperasi sejak pagi-pagi buta dan sekarang dalam keadaan lapar. Apakah tanggal tua telah tiba? Aku menduga demikian. Tuan-tuan dan nona-nona muda yang menanti kereta di stasiun ini rasanya tidak berminat melihat aku. Akibatnya, mangkok di tanganku masih kosong melompong. Koin seratus perak pun tak ada! Jadi, apa boleh buat, ketika ada orang yang mau memakai jasaku untuk mengantar koran ke kios di pinggir jalan, aku segera saja menerimanya.
Menjadi pengemis memang menyedihkan. Menjadi pengemis yang buta, itu lebih menyedihkan lagi. Tapi ya, begitulah nasibku. Sering aku merasa, aku ini orang paling malang sedunia. Entah kenapa Tuhan tega menciptakan aku seperti ini. Aku sudah lelah bertanya-tanya kepada-Nya tanpa jawaban. Sekarang ini, selain bersikap pasrah dan menjalani hidup apa adanya, aku punya keyakinan baru yang kupegang erat-erat: “Tuhanlah gembalaku, aku takkan kekurangan. Tuhan akan membimbing dan menuntun aku ketika aku berjalan dalam kegelapan.” Ah, bagaimana bisa pengemis buta seperti aku punya insight – begitu orang pintar sering mengatakannya – sehebat itu? Sebentar lagi kalian akan mengetahuinya.
Perjalanan dimulai
Koran-koran yang harus kuantar sekarang sudah berada di tanganku. Di luar dugaan, jumlahnya banyak sehingga sungguh merepotkan. Aku menjepitnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan sudah punya tugas yang tetap, yakni menggenggam tongkat. Setelah meneguhkan hati dengan mengulang-ulang mantra suci: “Tuhanlah gembalaku,” aku memulai perjalanan yang mendebarkan ini. Dalam kegelapan, aku melangkah setapak demi setapak. “Tuhan, semoga aku sampai ke tujuan dengan selamat!” seruku dalam hati. Kalau tugas perdana ini berjalan lancar, besok-besok aku bisa mengawali hari-hariku dengan gembira, sebab setiap pagi dua ribu rupiah sudah pasti ada di tangan.
Aku rasa hari mulai terang, sebab udara mulai terasa hangat. Seperti sudah kuduga, pada jam-jam begini, jalan yang kulalui sudah dipadati orang yang hendak menuju ke tempat kerjanya masing-masing. Sambil berjalan melawan arus, aku menajamkan telinga, mengamati langkah mereka yang serba terburu-buru, takut ketinggalan kereta. Tapi raja jalan sempit tanpa trotoar ini bukanlah orang-orang itu, melainkan tukang ojek. Ya, tukang-tukang ojek adalah penguasa sejati jalur ini dengan motor-motor mereka yang melaju bak kereta ekspres. Demi memburu penumpang, mereka suka bertingkah gila-gilaan, serobot sana serobot sini, dan ngebut sesuka hati seolah-olah sedang berlaga di sirkuit balapan.
Aku terus melangkah dengan perlahan. Telingaku kupasang baik-baik, mewaspadai para tukang ojek dan motor-motor mereka yang liar itu. Begitu mendengar suara mendengung seperti lebah, itu artinya pasukan ojek mendekat dan aku harus minggir. Tapi pendengaranku yang tajam menangkap suara-suara lain juga. Yang kumaksud ialah seruan-seruan kecil seperti “Wah”, “Hah”, “Oh”, “Astaga”, “Ya ampun”, dan sejenisnya. Semua seruan itu tertuju kepadaku. Aku rasa itulah ekspresi kekagetan orang melihat ada orang buta berjalan sendiri di keramaian. Mereka mungkin terkejut, heran, atau prihatin. Melihat aku membawa setumpuk koran, bisa jadi mereka juga merasa aneh dan lucu. Orang buta dan koran memang bukan pasangan yang tepat.
Aku rasa hari mulai terang, sebab udara mulai terasa hangat. Seperti sudah kuduga, pada jam-jam begini, jalan yang kulalui sudah dipadati orang yang hendak menuju ke tempat kerjanya masing-masing. Sambil berjalan melawan arus, aku menajamkan telinga, mengamati langkah mereka yang serba terburu-buru, takut ketinggalan kereta. Tapi raja jalan sempit tanpa trotoar ini bukanlah orang-orang itu, melainkan tukang ojek. Ya, tukang-tukang ojek adalah penguasa sejati jalur ini dengan motor-motor mereka yang melaju bak kereta ekspres. Demi memburu penumpang, mereka suka bertingkah gila-gilaan, serobot sana serobot sini, dan ngebut sesuka hati seolah-olah sedang berlaga di sirkuit balapan.
Aku terus melangkah dengan perlahan. Telingaku kupasang baik-baik, mewaspadai para tukang ojek dan motor-motor mereka yang liar itu. Begitu mendengar suara mendengung seperti lebah, itu artinya pasukan ojek mendekat dan aku harus minggir. Tapi pendengaranku yang tajam menangkap suara-suara lain juga. Yang kumaksud ialah seruan-seruan kecil seperti “Wah”, “Hah”, “Oh”, “Astaga”, “Ya ampun”, dan sejenisnya. Semua seruan itu tertuju kepadaku. Aku rasa itulah ekspresi kekagetan orang melihat ada orang buta berjalan sendiri di keramaian. Mereka mungkin terkejut, heran, atau prihatin. Melihat aku membawa setumpuk koran, bisa jadi mereka juga merasa aneh dan lucu. Orang buta dan koran memang bukan pasangan yang tepat.
Melepas lelah di samping gereja
Pada langkah ke-109, aku memutuskan untuk beristirahat. Berjalan penuh kewaspadaan ternyata membuat urat-uratku tegang. Aku jadi cepat lelah dan indra keenamku jadi kurang berfungsi dengan baik. Beberapa kali aku bergeser ke tengah jalan, yang mana hal tersebut membuat ibu-ibu penjual pastel yang berjejer di situ berteriak histeris dan buru-buru menyeretku kembali ke tepi. Aku berterima kasih atas pertolongan mereka. Diam-diam aku berdoa semoga pastel, donat, dan lemper yang mereka jual hari ini laku habis tak bersisa.
Sebenarnya pemilihan tempat istirahat ini bukan suatu kebetulan. Langkah ke-109 dari stasiun kereta adalah suatu tempat yang teduh karena dinaungi pohon akasia nan rindang. Pada hari tertentu, yakni hari Minggu, aku biasa mangkal di tempat ini. Kenapa harus hari Minggu, tidak lain karena di situ ada sebuah gereja yang tentunya dipenuhi orang hanya pada hari Minggu. Aku pikir, aneh juga ada gereja kok terletak di dekat stasiun, di samping jalanan yang sempit dan padat. Apa mereka bisa berdoa dalam suasana yang begitu ramai, berisik, berhiaskan bunyi klakson di sana-sini? Tapi apa peduliku. Di tempat ini, banyak orang bermurah hati memberiku sedekah. Di tempat ini pula untuk pertama kalinya aku mendengar lagu “Tuhanlah Gembalaku” itu.
“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.”
Saat itu, ketika orang-orang di dalam gereja menyanyikan lagu tersebut, telingaku langsung berdiri tegak. Waahh… lagu itu begitu indah, syairnya begitu dalam! Aku sangat terkesan dan merasa tersapa olehnya. Sebagai orang buta yang selalu “berjalan dalam lembah kekelaman”, lagu itu langsung meresap ke dalam batinku, sebab sesuai sekali dengan situasi kehidupanku. Sejak saat itu, aku suka menyenandungkan lagu “Tuhanlah Gembalaku” berulang-ulang. Sikapku pun berubah. Yang tadinya sering mengeluh, sekarang jadi riang dan penuh semangat. Berkat lagu “Tuhanlah Gembalaku”, aku jadi yakin bahwa Tuhan pasti setia menuntun aku, memberi jalan bagiku, dan mencukupi aku dalam kekuranganku. Bukankah Dia yang menciptakan aku? Aku percaya, Dia pun mengasihi aku, peduli terhadapku, dan senantiasa memperhatikan aku.
Sebenarnya pemilihan tempat istirahat ini bukan suatu kebetulan. Langkah ke-109 dari stasiun kereta adalah suatu tempat yang teduh karena dinaungi pohon akasia nan rindang. Pada hari tertentu, yakni hari Minggu, aku biasa mangkal di tempat ini. Kenapa harus hari Minggu, tidak lain karena di situ ada sebuah gereja yang tentunya dipenuhi orang hanya pada hari Minggu. Aku pikir, aneh juga ada gereja kok terletak di dekat stasiun, di samping jalanan yang sempit dan padat. Apa mereka bisa berdoa dalam suasana yang begitu ramai, berisik, berhiaskan bunyi klakson di sana-sini? Tapi apa peduliku. Di tempat ini, banyak orang bermurah hati memberiku sedekah. Di tempat ini pula untuk pertama kalinya aku mendengar lagu “Tuhanlah Gembalaku” itu.
“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.”
Saat itu, ketika orang-orang di dalam gereja menyanyikan lagu tersebut, telingaku langsung berdiri tegak. Waahh… lagu itu begitu indah, syairnya begitu dalam! Aku sangat terkesan dan merasa tersapa olehnya. Sebagai orang buta yang selalu “berjalan dalam lembah kekelaman”, lagu itu langsung meresap ke dalam batinku, sebab sesuai sekali dengan situasi kehidupanku. Sejak saat itu, aku suka menyenandungkan lagu “Tuhanlah Gembalaku” berulang-ulang. Sikapku pun berubah. Yang tadinya sering mengeluh, sekarang jadi riang dan penuh semangat. Berkat lagu “Tuhanlah Gembalaku”, aku jadi yakin bahwa Tuhan pasti setia menuntun aku, memberi jalan bagiku, dan mencukupi aku dalam kekuranganku. Bukankah Dia yang menciptakan aku? Aku percaya, Dia pun mengasihi aku, peduli terhadapku, dan senantiasa memperhatikan aku.
Terkapar di tengah jalan
Begitulah, duduk satu dua menit di tempat ini membuat aku bersemangat lagi. Rasa lelahku lenyap dan aku pun melanjutkan perjalananku menuju pos terakhir, yakni kios koran di pertigaan sana. 191 langkah lagi. Ah, tidak jauh itu. Dengan spirit “Tuhanlah Gembalaku”, aku pasti bisa melakukannya.
Aku melangkah setapak demi setapak dengan gembira, sambil mengangguk-anggukkan kepala menyanyikan lagu kesayanganku tersebut. Tapi mungkin gara-gara itulah konsentrasiku jadi hilang. Aku bergeser agak ke tengah, lalu tiba-tiba ada suara mendengung melaju kencang ke arahku, dan guabruuuuuusssssss……..!!! Tukang ojek sialan itu benar-benar menabrak diriku.
Aku menjerit. Orang-orang juga menjerit. “Ya Tuhan!”, “Masya Allah!”, “Tuhan Yesus!” Demikianlah kami semua menyerukan nama Tuhan kami masing-masing. Si tukang ojek beda. Tak mau dipersalahkan, yang seketika ia lontarkan adalah sumpah serapah terhadapku, “Buta kamu ya! Matamu ditaruh di mana?” Lha, memang aku buta, bagaimana sih orang ini? Begitu menyadari bahwa yang ditabraknya benar-benar orang buta, ia langsung terdiam, tidak meneruskan caci makinya. Lagi pula saat itu orang-orang mulai datang berkerumun. Sebagian menolong aku, yang lain gantian memarahinya.
Terkapar di jalanan, aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Rasa sakit mendera seluruh tubuhku. Tongkatku terlempar entah ke mana, dan tangan kiriku kehilangan barang yang dijepitnya. Barang itu! Ya Tuhan, koran itu! Aku yang sudah mau pingsan langsung tidak jadi. “Koran! Koran! Di mana korannya?!!” begitu aku berteriak, sambil tanganku meraba ke mana-mana mencari-cari benda yang terbuat dari kertas. Satu dua lembar berhasil kudapat. Oh, koran itu berceceran di sana-sini, kotor oleh debu, air, dan tanah, tak ada yang utuh lagi!
Aku melangkah setapak demi setapak dengan gembira, sambil mengangguk-anggukkan kepala menyanyikan lagu kesayanganku tersebut. Tapi mungkin gara-gara itulah konsentrasiku jadi hilang. Aku bergeser agak ke tengah, lalu tiba-tiba ada suara mendengung melaju kencang ke arahku, dan guabruuuuuusssssss……..!!! Tukang ojek sialan itu benar-benar menabrak diriku.
Aku menjerit. Orang-orang juga menjerit. “Ya Tuhan!”, “Masya Allah!”, “Tuhan Yesus!” Demikianlah kami semua menyerukan nama Tuhan kami masing-masing. Si tukang ojek beda. Tak mau dipersalahkan, yang seketika ia lontarkan adalah sumpah serapah terhadapku, “Buta kamu ya! Matamu ditaruh di mana?” Lha, memang aku buta, bagaimana sih orang ini? Begitu menyadari bahwa yang ditabraknya benar-benar orang buta, ia langsung terdiam, tidak meneruskan caci makinya. Lagi pula saat itu orang-orang mulai datang berkerumun. Sebagian menolong aku, yang lain gantian memarahinya.
Terkapar di jalanan, aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Rasa sakit mendera seluruh tubuhku. Tongkatku terlempar entah ke mana, dan tangan kiriku kehilangan barang yang dijepitnya. Barang itu! Ya Tuhan, koran itu! Aku yang sudah mau pingsan langsung tidak jadi. “Koran! Koran! Di mana korannya?!!” begitu aku berteriak, sambil tanganku meraba ke mana-mana mencari-cari benda yang terbuat dari kertas. Satu dua lembar berhasil kudapat. Oh, koran itu berceceran di sana-sini, kotor oleh debu, air, dan tanah, tak ada yang utuh lagi!
Penutup
Membayangkan kemarahan si pemilik koran, aku ketakutan setengah mati. Ia pasti menuntutku membayar ganti rugi. Nilai koran-koran ini pasti sampai ratusan ribu. Ya Allah, dari mana aku mendapat uang sebanyak itu? “Aduh…, aduh…, Tuhanku…, Tuhankuuuu…!!!” Aku menangis dan meraung keras-keras. Orang-orang yang menolongku jadi kebingungan. Si tukang ojek malah jadi pingsan. Ia mengira orang yang ditabraknya sedang sekarat.
Aku tidak tahu separah apa luka yang kuderita. Yang ada di pikiranku hanyalah koran-koran itu. Ya Tuhan, pemilik koran itu pasti akan membunuhku. Kalaupun tidak, dia pasti tak akan memberiku pekerjaan lagi. Lalu bagaimana aku bisa makan? Aku merasa sangat putus asa. “Ya Tuhan, aku dalam bahaya! Kasihanilah aku, Tuhan. Kasihanilah aku sekali ini saja! Sudah terlalu lama Engkau mendiamkan aku. Tuhanku, Gembalaku, maukah kali ini Engkau menolong aku?”***
Aku tidak tahu separah apa luka yang kuderita. Yang ada di pikiranku hanyalah koran-koran itu. Ya Tuhan, pemilik koran itu pasti akan membunuhku. Kalaupun tidak, dia pasti tak akan memberiku pekerjaan lagi. Lalu bagaimana aku bisa makan? Aku merasa sangat putus asa. “Ya Tuhan, aku dalam bahaya! Kasihanilah aku, Tuhan. Kasihanilah aku sekali ini saja! Sudah terlalu lama Engkau mendiamkan aku. Tuhanku, Gembalaku, maukah kali ini Engkau menolong aku?”***
Bacaan Pendukung
Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 1-72. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Harun, Martin. Berdoa Bersama Umat Tuhan: Berguru pada Kitab Mazmur. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.
Stuhlmueller, Carroll. Psalms 1. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar