Senin, Mei 24, 2010

Mazmur 90

SEORANG PEMABUK DI AMBANG MAUT

Jarot Hadianto

“Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun…” (Mzm. 90:10)

Patut disayangkan bahwa dulu-dulu tidak ada yang memberi tahu aku kalau tuak bisa saja mengirimku ke liang kubur. Sekarang, setelah berbotol-botol tuak yang kutenggak membuatku tak berdaya terkapar di ranjang, barulah orang-orang menjengukku dan mengatakan hal itu dengan wajah prihatin. Mereka bilang, jauhi minuman setan itu! Jangan minum minuman yang memabukkan, mabuk adalah sumber segala dosa! Yang lain bilang, bolehlah cicip sedikit-sedikit, asal jangan sampai mabuk! Sia-sia semua nasihat itu. Badanku lemah dan menguning, sementara tanganku berlubang-lubang ditembus jarum suntik dan selang infus. Sudah terlambat!

Dari pembaringan, dengan tatapan nanar kulihat para pendoa berdatangan. Mereka mengelilingi aku dan serentak mengangkat tangannya ke atas tubuhku. Mulut mereka komat-kamit memanjatkan doa agar roh jahat, yakni roh jahat dari dalam tuak yang kuminum, enyah meninggalkan diriku untuk selama-lamanya. Tentunya mereka itu berdoa dengan sepenuh hati, tapi sayang doanya tidak manjur. Aku tidak merasakan perubahan apa-apa pada diriku.

Setelah itu, ketika melihat dokter berbisik-bisik dengan keluargaku, tahulah aku bahwa diriku dalam bahaya. Benar saja, tak lama kemudian seorang imam dengan wajah mengerikan tiba-tiba datang ke kamarku dan memberiku sakramen terakhir. Aku mengeluh dan meneteskan air mata. Ya Tuhan, umurku rupanya tak lagi panjang. Aku sungguh merasa hancur, hina, dan papa.

Kembalilah, hai anak manusia!

Imam itu tidak memberi tahu kapan aku akan mati. Dengan agak kurang berperasaan, ia hanya mendoakan aku agar sabar menghadapi segala sesuatu dan berpasrah diri menerima segala rencana Tuhan atas diriku. Mendengar bahwa sakitku ini karena kegemaran minum tuak, ia menambahkan harapan semoga aku kelak diterima di surga.

Maka, yang aku buat setelah itu hanyalah menanti-nanti. Kapan ya nafasku akan mulai tersengal-sengal? Kapan ya pandanganku akan tiba-tiba menjadi gelap? Kata orang, itulah tanda-tanda kedatangan malaikat maut yang hendak mencabut nyawa manusia. Aku pikir, malaikat itu akan langsung menunaikan tugasnya segera setelah sang imam melangkah meninggalkan kamarku. Tapi ternyata tidak. Yang ada hanyalah kesunyian yang membuatku semakin gelisah.

Mengisi waktu sebelum berpindah ke alam lain, aku mencoba mengetuk hati Tuhan. Seperti orang gila, aku berbicara dengan kayu salib yang ditaruh di samping ranjangku. “Tuhan,” sapaku dengan memelas, “aku terlalu muda untuk mati!” Dengan egois kusebut nama tetangga-tetanggaku yang lebih tua yang tidak mati-mati. Kenapa mereka tidak diambil lebih dulu? Lagi pula kelakuan mereka toh lebih parah dari aku. Pak Edi itu jelas-jelas suka korupsi; Pak Budi suka marah dan menyiksa anak-istri; dan Tuhan pasti tahu kalau Pak Roni yang gendut itu punya simpanan sampai dua. “Tuhan, aku cuma mabuk-mabukkan. Aku tidak mencuri, tidak merugikan orang lain, paling-paling mengganggu tetangga saat menyanyi keras-keras akibat pengaruh alkohol. Aku mohon Tuhan, aku mohon, berilah aku kesempatan kedua…”

Sepi. Tidak ada jawaban. Doaku membentur tembok. Manusia berasal dari debu, akan kembali menjadi debu, dan saat bagiku untuk kembali menjadi debu agaknya telah tiba. Tuhan telah berseru kepadaku, "Kembalilah, hai anak manusia!" Dan rupanya Dia tak bermaksud membatalkan panggilan-Nya itu.

Hidup berjalan begitu cepat

Pandanganku beralih dari kayu salib, lalu terarah kepada jam dinding yang menempel di tembok. Tik… tak… tik… tak… suasana yang sepi membuat detak jarumnya terdengar jelas. Pukul 10.35 malam. Satu setengah jam lagi hari baru akan tiba. Akankah aku menikmati hari baru itu? Ataukah umurku akan disudahi malam ini? Ah, aku bisa apa. Mungkin sudah nasibku harus berakhir malam ini. Lagi pula mati hari ini atau esok hari apa bedanya. Dia yang tinggal dalam keabadian tak mengenal waktu. Kan ada yang bilang, “Di mata-Nya seribu tahun sama seperti hari kemarin, sama seperti suatu giliran ronda malam…”

Tiba-tiba aku teringat pada hari-hariku yang telah lalu. Baru kusadari bahwa hidup berjalan begitu cepat. Apa saja yang sudah kulakukan? Prestasi apa yang telah kuraih? Malu rasanya, aku ini ternyata hanyalah manusia yang biasa-biasa saja, tidak punya suatu pencapaian yang patut dibanggakan. Kalaupun ada, akhir hidup dengan cara seperti ini dengan segera akan menghapus segala pencapaian itu. Jadi sudahlah, kulupakan saja semua piala, piagam, pengakuan, dan pujian orang-orang kepadaku. Semuanya sia-sia belaka, sebab hari ini aku ada dan besok aku sudah tidak ada. Merenungkan hal itu, tiba-tiba air mataku bercucuran lagi.

Tanpa catatan prestasi yang gemilang, akankah kelak orang mengingat aku? Jika ya, apa yang mereka ingat tentang diriku? Aku jadi merasa cemas. Keluargaku yang suka iseng bisa-bisa menulis “Wafat karena Tuak” di atas nisanku, sehingga seluruh pengunjung kuburan tahu bahwa aku tukang mabuk. Gawat, aku tidak mau dikenang sebagai orang yang mati karena keranjingan alkohol! Kuharap aku masih sempat berbicara kepada keluargaku. Akan kuperingatkan mereka agar berhati-hati menulis sesuatu di atas nisanku. Kalimat-kalimat indah dari Kitab Suci bolehlah. “Rest in Peace” rasanya juga sudah cukup.

Harus diisi sebaik mungkin, tapi…

Hik! Mendadak aku tersedak. Aku pun langsung terperanjat. Jantung ini rasanya berdegup kencang dug… dag… dug… dag… Apakah malaikat maut sudah datang? Apakah nyawaku akan segera dicabut? Aku melihat ke kanan dan ke kiri, mencari-cari penampakan makhluk surgawi, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa. Oh, ternyata saatku belum tiba. Aku tersedak karena kurang minum, bukan karena mau mati. Maka buru-buru kubasahi tenggorokanku dengan air. Aku sangat gugup. Meskipun sudah siap sedemikian rupa, kematian tetap saja mencemaskan!

Kalau saja aku boleh berharap, sebenarnya aku ingin hidup sampai usia lanjut. Sebab aku pernah mendengar orang berkata, “Batas umur manusia itu 70 tahun, atau 80 jika kuat…” Lha aku, setengahnya saja belum! Jadi aku merasa masih berhak menikmati segarnya udara pagi lebih lama lagi. Aku juga masih ingin mendengarkan kicauan burung di udara dan merasakan hangatnya sinar mentari.

Namun harus kuakui, kalimat tadi sebenarnya tidak hendak menyatakan bahwa umur seseorang harus mencapai 70 atau 80 tahun. Kalimat itu belum selesai. Selengkapnya kurang lebih dikatakan, “Batas umur manusia itu 70 tahun, atau 80 jika kuat, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan.” Jadi yang aku dengar itu rupanya suatu keluhan betapa hidup manusia begitu panjang, tapi isinya semata-mata hanya duka, derita, dan masalah.

Agaknya banyak orang merasa kalau hidupnya tidak bahagia. Penyebabnya, mereka tidak tahu bagaimana mengisi hari-hari hidupnya dengan baik. Ada yang tadinya merasa bahwa makan enak akan mendatangkan kebahagiaan. Ternyata yang datang bukan kebahagiaan, melainkan kegendutan. Setelah perut jadi buncit, derita demi derita jadi rajin menghampiri orang itu, seiring dengan munculnya macam-macam penyakit dan habisnya harta benda untuk biaya pengobatan.

Hmmm… mirip-mirip dengan aku. Aku juga tidak tahu bagaimana mengisi hidupku dengan baik. Dan apa akibatnya? Lihatlah, sekarang ini aku sedang tertimpa hukuman. Tapi bukan sombong, aku tidak sampai menyalahkan Tuhan atas keadaanku saat ini. Kan bukan Tuhan yang menyuruhku minum tuak sampai teler? Ya, ini semua karena kebodohanku. Aku telah mendatangkan hukuman bagi diriku sendiri.

Akhirnya

Kesadaran itu sungguh membuatku terhibur. Ah, si bodoh ini sedikit banyak telah belajar bijak di akhir hidupnya. Kesalahanku kuakui, dan Tuhan tidak kutuding sebagai penyebab malapetaka yang menimpaku ini. Kini pada kemurahan-Nya aku berpasrah. Jika Ia mau mengambilku sekarang, silakan. Umur tak lagi jadi soal. Hidupku berasal dari-Nya, Ia berhak mengambilnya kapan saja.

Di sisi lain, aku tetap memohon agar Ia sudi menyelamatkan nyawaku. Aku tetap mengharapkan adanya kesempatan kedua. Maka aku kembali memanjatkan doa: “Tuhan,” demikian bisikku perlahan, “seandainya aku Kauanugerahi kehidupan, aku janji akan hidup lebih baik lagi. Aku janji tak akan minum tuak lagi. Lain kali aku akan minum teh botol saja!”***

Kepustakaan

Barth, Marie Claire, dan B.A. Pareira. Tafsir Alkitab: Kitab Mazmur 73-150. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.

Mays, James L. Psalms. Louisville: John Knox Press, 1994.

Stuhlmueller, Carroll. Psalms 2. Delaware: Michael Glazier, Inc, 1983.

1 komentar:

Angela Hauw mengatakan...

Wah mengagumkan...Saya jadi belajar deh cara menulis narasi dari sebuah mazmur...Gaya bahasanya spt biasa lugas dan jelas...Menarik deh...GBU...