Pada zaman-Nya Yesus tidak hanya dikenal sebagai guru, tetapi juga sebagai pembuat mukjizat. Ia menyembuhkan orang sakit, mengusir roh-roh jahat, memberi makan lima ribu orang, meredakan angin ribut, dan sebagainya. Tetapi pada zaman-Nya, Yesus bukanlah satu-satunya pembuat mukjizat. Ada tukang sihir yang mampu membuat banyak keajaiban; ada juga dukun yang menyembuhkan orang sakit.
Kata “mukjizat” merupakan terjemahan dari kata Yunani dynameis (dalam injil-injil Sinoptik) dan semeia (dalam Injil Yohanes). Kata “dynameis” pada dirinya sendiri berarti keku-atan, kekuasaan. Bila dipakai sehubungan dengan mukjizat, kata ini berarti kekuatan rahasia yang bekerja melalui orang yang melakukan pekerjaan yang luar biasa itu. Kata “semeia” lebih berarti sebuah peristiwa atau kejadian yang kurang biasa yang menyatakan atau memperkenalkan sesuatu yang lain.
Orang biasanya mengatakan bahwa mukjizat adalah kejadian yang berlawanan dengan hukum alam. Tetapi pengertian ini tidak tepat bila diterapkan pada Kitab Suci. Para penulis Kitab Suci dan orang-orang sezamannya tidak tahu menahu tentang hukum alam. Dalam Kitab Suci mukjizat adalah suatu peris-tiwa atau perbuatan yang kurang biasa dan karenanya menarik perhatian dan oleh orang yang percaya dapat dimengerti seba-gai pernyataan kekuasaan Allah sebagai penyelamat yang de-ngan jalan itu dunia jasmani menyatakan kuasa penyelamatan-Nya.[6]
Tidak perlu bahwa kejadian atau perbuatan itu tidak dapat diterangkan dengan hukum alam; yang perlu hanyalah bahwa bagi orang yang percaya peristiwa atau kejadian itu diartikan sebagai campur tangan Tuhan. Memang kejadian atau peris-tiwa yang dikatakan sebagai mukjizat selalu menarik perhatian dan bukanlah sesuatu yang biasa-biasa saja. Walaupun demi-kian, kejadian atau perbuatan yang luar biasa itu baru dapat dimengerti sebagai mukjizat bila diartikan demikian dengan iman.
Bagaimana Yesus Mengadakan Mukjizat
Dalam mengadakan mukjizat Yesus tidak bertindak dengan daya magis seperti seorang tukang sihir. Dalam Injil ada kalanya Yesus memakai alat dan isyarat dalam mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan penyakit yang mengingatkan praktek-praktek yang dilakukan para tukang sihir yang terda-pat dalam cerita-cerita pembuat mukjizat dalam dunia Yunani. Dalam menyembuhkan Yesus juga bekerja dengan kontak jas-maniah. Ia mengulurkan tangan, menjamah orang, meletakkan tangan atas orang yang sakit atau kerasukan roh jahat (Mrk. 8:23; Luk. 13:13; Mrk. 1:41; Mat. 9:29 dll) untuk menyalurkan daya penyembuhannya kepada si sakit. Ia memasukkan jari ke dalam telinga dan memakai air ludah yang dicampur tanah (Mrk. 7:33; 8:23; Yoh. 9:6-7) dan melumaskannya pada anggo-ta tubuh yang sakit. Ia dapat menghardik atau menegur roh jahat (Mrk. 1:25; 9:25). Ketika tindakan Yesus tidak segera membawa hasil, Ia perlu mengulang tindakannya (Mrk. 8:22-26). Semua tindakan Yesus ini mengingatkan praktek dan sarana yang lazim dipakai para eksorsis dan para penyembuh di zamannya dan Yesus mirip dengan seorang dukun.
Walaupun ada banyak kemiripan antara tindakan Yesus de-ngan tindakan para tukang sihir, ada perbedaan yang menyo-lok di antara keduanya. Yang dimaksudkan adalah bahwa tindakan Yesus sangat sederhana dan bersahaja dibandingkan dengan manipulasi dan keanehan-keanehan dalam cerita-cerita lain itu: Yesus terutama menyembuhkan dengan firman-Nya yang berkuasa (Mrk. 1:41; 2:10-11; 3:5; 4:39; 5:41). Para tukang sihir biasanya memakai rumus rahasia (dengan mema-kai kata-kata yang tidak dapat dimengerti maknanya). “Efata” (Mrk. 7:34) atau “Talita-kum” (Mrk. 5:41) bagi pembaca Yunani mirip dengan lafal magis. Tetapi sebenarnya kata-kata ini adalah kata bahasa Aram yang lazim dan penginjil segera memberikan terjemahannya dan hal ini menghindarkan para pembacanya dari pemahaman yang keliru.
Para nabi pembuat mukjizat dalam Perjanjian Lama (1Raj. 17:14; 18:24, 36-37, 42; 2Raj. 2:21, 4:33) biasanya berdoa atau langsung menunjuk Allah sebagai yang mengerjakan mukjizat-mukjizat. Para rabbi Yahudi pun melakukan hal yang sama bila mereka mengadakan mukjizat. Sebaliknya Yesus tidak pernah menyerukan Allah atau firman Allah atau menunjuk-kan kepada-Nya sebagai yang melakukan mukjizat. Yesus sendiri dan atas nama-Nya sendirilah mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan orang sakit (bdk. Mrk. 1:41; 2:11; 5:41). Bahwa Yesus bertindak dengan kuasa-Nya sendiri inilah yang membuat mukjizat-mukjizat-Nya membuat jengkel orang-orang sezaman-Nya, terutama para pemuka agama Yahudi (bdk. Mrk. 6:2-3; Mat. 21:15; 8:27; 9:34). Orang Yahudi hanya bersedia menerima mukjizat bila hal itu dikerjakan oleh Allah. Orang yang menganggap bahwa dengan kekuatannya sendiri mengadakan mukjizat dianggap menghujat Allah dan layak dihukum mati (bdk. Im. 20:6, 27; Mat. 9:3 dst).
Yesus tidak pernah mengadakan mukjizat demi kepentingan-Nya sendiri; Ia hanya memanfaatkan kekuatan-Nya demi kepentingan orang lain: demi pemberitaan Kerajaan Allah. Hal ini tampak jelas ketika di salib Yesus diejek demikian: “Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan (Mat. 27:42; Mrk. 15:31). Olokan ini mengandai-kan bahwa Yesus belum pernah mengadakan mukjizat untuk membela dan menolong diri-Nya sendiri. Dan Yesus selalu bertindak untuk menanggapi prakarsa orang lain dan bukan atas prakarsa-Nya sendiri. Ia tidak pernah seolah-olah menca-ri-cari kesempatan untuk mengadakan mukjizat. Dalam hal menyembuhkan penyakit, tindakan Yesus selalu berupa tang-gapan atas kepercayaan orang. Kepercayaan itu menjadi sema-cam syarat mutlak bagi mukjizat Yesus, sehingga dapat dika-takan bahwa di tempat tidak ada kepercayaan Yesus tidak dapat mengadakan mukjizat (Mrk. 6:5a, 6a). Kepercayaan yang dituntut Yesus itu bukanlah seperti pengertian modern akan “keyakinan yang menyembuhkan.” Yesus menyembuhkan orang tidak dengan kemampuan sugesti karena iman yang ditanyakan Yesus justru iman sanak saudaranya (Mrk. 7:24) atau iman handai taulan si sakit (Mrk. 2:3) dan Mat. 8:5) dan dalam beberapa kasus terjadi penyembuhan jarak jauh (Mrk. 7:24 dan Mat. 8:5). Kepercayaan yang dituntut oleh Yesus bukanlah kepercayaan langsung kepada Yesus sendiri, melain-kan kepercayaan kepada Allah yang berkarya dalam diri Yesus.[7] Walaupun iman tidak secara langsung dipusatkan pada diri Yesus sendiri sebagai pembuat mukjizat, iman itu tetap terikat pada pribadi Yesus, karena melalui Yesus kuasa penye-lamatan Allah menjadi nyata.
Bila hanya dipandang sebagai pembuat keajaiban dan pengusir roh-roh jahat, Yesus tidak banyak berbeda dengan para dukun dan tukang sihir yang ada pada zaman itu. Mukjizat-mukjizat itu belum banyak artinya karena masih memungkinkan munculnya banyak penafsiran. Para lawan Yesus menjelaskan mukjizat-mukjizat-Nya dengan menyatakan bahwa daya yang sama dapat dikalahkan oleh daya yang sama (bdk. Mat. 9:34; Yoh. 8:45-52; 10:20).
Keistimewaan mukjizat Yesus terletak pada makna sebagaima-na dimengerti oleh Yesus sendiri dan maknanya itu terikat pada pemberitaan Yesus tentang Kerajaan Allah. Di luar rang-ka itu Yesus menolak mengadakan mukjizat. Hal ini paling terasa dalam sikapnya terhadap orang-orang yang menuntut Yesus mengadakan sebuah tanda (Mat. 16:1 dst; Luk. 11:16, 29). Mereka menuntut Yesus membuat keajaiban-keajaiban untuk membuktikan/menunjukkan bahwa Yesus dan seluruh pemberitaan-Nya sungguh-sungguh berasal dari Allah. Walau-pun demikian, keajaiban yang dibuat Yesus tidak dapat mem-berikan legitimasi kepada Yesus sebab banyak orang menga-dakan mukjizat-mukjizat yang serupa. Barangkali hanya se-buah keajaiban luar biasa yang langsung dikerjakan Allah dapat meyakinkan orang yang tidak percaya pada pemberitaan Yesus.
Yesus menolak membuat “tanda-tanda” semacam itu karena yang terpenting bagi-Nya adalah pewartaan-Nya. Jika pemberitaan Yesus itu ditolak, mukjizat-mukjizat Yesus hanya menjadi keajaiban belaka dan tidak dapat memberikan kepada mereka makna sebagaimana yang dimaksudkan oleh Yesus karena mereka tidak percaya akan pewartaan Yesus. Jika pewartaan itu diterima, makna mukjizat Yesus turut diterima juga. Makna mukjizat-mukjizat itu hanya dapat diterima dalam rangka pewartaan-Nya.
Dasar atau motif utama dalam mengadakan mukjizat adalah pemberitaan Yesus tentang Kerajaan Allah. Firman yang kelihatan (verbum visibile) melayani verbum audibile (firman yang terdengar), yaitu pewartaan Yesus. Verbum visibile itu tidak membuktikan verbum audibile, tetapi seolah-olah menjasmani-kan apa yang dikatakan Yesus tentang Kerajaan Allah yang sudah dekat.
Dua mukjizat yang diadakan Yesus untuk menjasmanikan pewartaan-Nya tentang kerajaan Allah adalah pengusiran roh-roh jahat dan penyembuhan orang sakit. Pada zaman Yesus orang Yahudi juga berpandangan bahwa roh-roh jahat dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Mereka memandang roh-roh jahat sebagai lawan Allah dan karena itu penyakit-penyakit (yang mengurangi daya hidup yang berasal dari Allah dan karenanya dianggap menjauhkan manusia dari Allah) dianggap disebabkan oleh roh-roh jahat itu. Dunia merupakan medan pertempuran antara Allah dan roh-roh jahat (yang dipandang mempunyai suatu kerajaan sendiri, bdk. Mrk. 3:22-24). Penyakit dan penderitaan dialami sebagai tanda bahwa dunia ini dikuasai oleh roh-roh jahat. Kuasa-kuasa jahat itu menghalangi ditegakkannya pemerintahan Allah (bdk. 2Tes. 2:6,7). Sebaliknya Yesus menyembuhkan orang yang sakit dan yang dirasuki roh-roh jahat. Dengan mengusir roh-roh jahat Yesus menyatakan bahwa Allah sudah mengalahkan kuasa jahat itu, sehingga tidak menguasai manusia lagi. Pengusiran setan dan penyembuhan orang sakit menyatakan kekuasaan Allah: Kerajaan Allah yang diberitakan Yesus mulai mewujudnyatakan diri berkuasa untuk mengalahkan kuasa jahat yang merajalela di tengah-tengah manusia. Jadi, melalui mukjizat-mukjizat Yesus, pemerintahan Allah yang berkuasa sudah memasuki dunia ini.[8] Melalui perbuatan Yesus Allah sendiri mencari mereka yang malang dan dikuasai Iblis, mereka yang menurut pandangan umum tidak dapat masuk Kerajaan Allah.
Bagaimana Membaca Mukjizat Yesus
Satu hal yang jelas adalah bahwa mukjizat tidak dapat diperlakukan sebagai bukti keilahian Yesus. Umat Kristiani mengakui ke-Allah-an Yesus dan keyakinan ini merupakan hasil pergaulan mereka dengan Yesus. Umat Kristiani menga-lami sendiri tindak penebusan Allah, karena dalam Kristus Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya. Tetapi umat Kris-tiani yang telah sekian lama bergaul dengan Yesus tidak dapat membuktikan bahwa Allah ada dalam diri Yesus. Ini merupa-kan kebenaran berdasarkan pengalaman perjumpaan.
Mukjizat Yesus juga tidak dapat diperlakukan sebagai contoh tindakan kemanusiaan. Ada tempat bagi himbauan kemanusia-an untuk memperhatikan orang sakit, tetapi tindakan itu bukanlah peniruan lahiriah dari Kristus. Tujuannya adalah memberikan tanggapan atas cinta Allah dalam Kristus dan cinta ini tidak pernah atas dasar sikap kemanusiaan belaka. Cinta itu merupakan pantulan dari cinta Allah yang tak terhingga dalam menanggapi kebutuhan pokok manusia. Dalam hal ini, sakit tidak lebih dari suatu keadaan akan kebutuhan tersebut. Perintah untuk menyembuhkan orang sakit termasuk pesan yang disampaikan Yesus kepada para murid-Nya (Mat. 10:8). Perintah ini sekarang masih dianggap sebagai bagian dari pelayanan kerasulan. Berdasarkan perlaku-an Matius terhadap mukjizat (Mat. 8-9) dan kemudian diikuti dengan pesan kepada para murid dalam Mat. 10, dapat dikata-kan bahwa mukjizat Yesus berkaitan dengan pelayanan kera-sulan sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Hanya saja Gereja tidak dapat memerintahkan pelayanan penyembuhan ajaib (tindakan Allah) tetapi Gereja harus mengharapkan bahwa setiap hal itu dapat terjadi di tengah-tengah manusia bila Tuhan menghendakinya.
Lalu bagaimana kita seharusnya membaca kisah-kisah mukjizat Yesus? Yang perlu dilakukan adalah menemukan arti mukjizat yang sedang kita hadapi (baik bagi Yesus sendiri maupun bagi para penginjil) kemudian mengaitkan arti terse-but dengan situasi dewasa ini. Para penginjil menaruh minat pada mukjizat bukan sebagai suatu kejadian di masa lampau. Mereka melihatnya sebagai gambaran dari apa yang sedang dilakukan Kristus yang sudah bangkit dalam Gereja pada masa mereka sendiri. Mereka tidak menaruh minat pada orang sakit yang datang atau dibawa kepada Yesus demi kepentingan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka memandang orang sakit sebagai contoh dari orang-orang yang mendengarkan pewarta-an Yesus
Dengan berpedoman pada penafsiran para penginjil, kita berusaha melihat bahwa situasi orang lumpuh, orang buta, orang tuli, dan orang mati yang datang atau dibawa kepada Yesus adalah juga merupakan situasi orang modern. Kita mengharapkan bahwa Sabda penyembuhan Yesus menjadi sapaan yang hidup bagi kita. Mukjizat dalam Injil bukanlah merupakan kisah mengenai apa yang terjadi jauh di Palestina dua ribu tahun yang lalu, melainkan pewartaan karya-karya Yesus sekarang ini.
[6] C. Groenen, Peristiwa Yesus, 139.
[7] R. H. Fuller, Menafsirkan Mukjizat.
[8] Konferensi Waligereja
(Referensi: Lembaga Biblika Indonesia, Seri Kursus Kitab Suci : INJIL, Jakarta, 2007, hal 35-42)
Apabila ada pertanyaan atau saran dan kritik yang membangun dapat dikirimkan ke email kami : kks@biblikaindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar